Minggu, 16 Agustus 2015

PERKEMBANGAN CORAK-CORAK PENULISAN SEJARAH ISLAM KLASIK (Perkembangan Corak Penulisan Sejarah)



A.   Pendahuluan
Perkembangan penulisan sejarah dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari perkembangan budaya secara umum.[1] Puncak dari perkembangan budaya itu terjadi pada dinasti Abbasiyah, tepatnya pada abad ke-9 dan ke-10 M. Seiring dengan perkembangan budaya dan peradaban Islam itulah penulisan sejarah dalam Islam yang sudah dimulai bersamaan dengan perkembangan penulisan hadis semakin mengalami perkembangan pesat.
Mulai dari masa awal pertumbuhan historiografi Islam hingga masa munculnya sejarawan-sejarawan besar seperti Ibn Qatadah al-Dinawari (w.276/889), Al-Baladzuri (w.279/892), Al-Ya’qubi (w.284/897), Abu Hanifah al-Dinawari (w.282/895), Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari (w.310/922) dan lain-lain, corak penulisan sejarah dalam karya-karya sejarah mereka, dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu corak khabar, corak halwiyat (kronologi berdasarkan tahun) dan corak maudhu’iyat  (tematik).


B.   Khabar
Sejarawan muslim pada mulanya menulis sejarah disandarkan pada riwayat, sebagaimana dalam penulisan hadis, dengan menggunakan sanad, ciri berkenaan dengan riwayat-riwayat itu[2] antara lain:
1.      Antara satu riwayat dan riwayat lain tidak ada hubungan masing-masing berdiri sendiri.
2.     Riwayat itu ditulis dalam bentuk cerita (kisah) yang biasanya dalam bentuk dialog.
3.     Riwayat-riwayat itu diselang-selingi dengan syair yang seringkali digunakan sebagai penguat kandungan khabar itu.
Setengah abad setelah wafatnya Rasulullah saw. kaum muslimin belum melahirkan tradisi menulis. Pada masa itu riwayat berpindah dari satu orang atau dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui tradisi lisan.
Tradisi lisan yang mengambil bentuk riwayat inilah yang pertama kali muncul. Para sejarawan mengumpulkan riwayat-riwayat itu dan menulisnya dengan bersumber dari ingatan dan hafalan yang memang orang Arab dikenal kuat dari segi ingatan dan hafalan. Baru pada abad ke-2 H, para sejarawan ada yang menulis karya sejarah dengan bersumber kepada tulisan-tulisan para penulis sebelummnya. Pada masa awal-awal kebangkitan sejarah ini, para sejarawan muslim secara berangsur-angsur melepaskan diri dari pengaruh penulisan hadis yang sangat kuat menggunakan sanad. Pada waktu itu para sejarawan tidak lebih dari sekedar pemberi riwayat (perawi) dan menuliskannya dalam tulisan. Riwayat yang berdiri sendiri itulah dalam sejarah yang dinamakan khabar.[3]
Al-Thabari dan para sejarawan sebelumnya sangat memperhatikan persoalan sanad, persambungan para penyampai khabar. Setelah masa at-Thabari muncul para sejarawan yang meninggalkan penyebutan sanad dalam penulisan sejarah.
Mereka merasa cukup dengan hanya menyebutkan matan (teks) khabar-khabar itu di dalam tulisan mereka. Di antara mereka adalah al-Ya’qubi (w.2844H) dan al-Mas’udi (w.246H). mereka ini menganggap adalah cukup apabila disebutkan sumber-sumber pengambilan data-data sejarah itu di pendahuluan karya-karya mereka, yang kadang-kadang juga diikuti dengan kajian-kajian kritis terhadap sumber-sumber itu, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Mas’udi di dalam bukunya yang berjudul Muruj al-Dzahab.[4] Dalam pendahuluan bukunya itu Ia memuji karya sejarah at-Thabari dan mengkritik pedas Sinan bin Tsabit bin Qurrah al-Harani. Ketika memuji at-Thabari, al-Mas’udi menulis:
Karya sejarah Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir at-Thabari, sebuah karya cemerlang melebihi karya-karya sejarah yang lain, telah menghimpun bermacam-macam khabar, meliputi berbagai peninggalan, berisi berbagai ilmu. Kitab ini adalah sebuah karya yang mempunyai faidah besar, sangat bermanfaat. Bagaimana tidak, pengarangnya adalah seorang ahli fikih, ahli hukum Islam pada masanya, yang sangat rajin beribadah, yang dapat dikatakan bahwa ia adala orang yang paling menguasai ilmu pada masanya, dan lebih dari itu ia adalah seorang ahli hadis.[5]

Ketika mengkritik Sinan bin Tsabit bin Qurrah al-Harani, al-Mas’udi berkata:
Saya melihat bahwa Sinan bin Tsabit bin Qurrah al-Harani, ketika menjiplak karangan orang lain (plagiat), dan menggunakan metode orang lain juga, dia telah mengarang tulisan yang dijadikan surat kepada bebrapa orang temannya yang juga para penulis.[6]

C.   Hawaliyat
Kalau sebelumnya para sejarawan Islam menulis peristiwa-peristiwa sejarah itu secara acak dan tidak berurutan (kronologis), dalam perkembanga seterusnya para sejarawan kemudian menggunakan dua metode penulisan yaitu, (1) metode penulisan sejarah berdasarkan urutan tahun (al-Tarikh al-hawli, atau al-tarikh ‘ala al-Sinin) atau yang lebih singkat Hawliyat, annalistic form, dan (2) metode penulisan sejarah berdasarkan tema (tematik).[7]
Maksud penulisan dengan metode hawliyat adalah metode penulisan sejarah yang menggunakan pendekatan tahun demi tahun. Dalam metode ini bermacam-macam peristiwa sejarah dihimpun di bawah “tema’ tahun. Dalam metode ini peristiwa-peristiwa yang banyak terjadi pada tahun tertentu dihubungkan dengan kata-kata wafihai (dan pada tahun itu juga). Apabila peristiwa-peristiwa pada tahun itu dipaparkan sejarawan beralih ke-tahun berikutnya dengan mengunakan kata-kata tsumma dakhalat sanah… (kemudian masuk tahun….) atau  tsumma ja’a… fi sanah… (kemudian terjadi peristiwa…pada tahun…).
At-Thabari salah seorang tokoh besar dan rujukan sejarawan Islam, oleh banyak pemerhati historiografi Islam sering dipandang sebagai sejarawan muslim pertama yang menghasilkan metode hawliyat yang menulis di dalam karya sejarahnya tarikh al-Rasul wa al-Muluk (sejarah Para Rasul dan Para Raja) yang juga dikenal dengan judul lain Tarikh al-Umam wa al-Muluk (sejarah Umat-umat dan Taja-Raja), sejak tahun pertama Hijirah sampai tahun 302 H.[8]
Namun, Rosenthal meragukan bahwa at-Thabari adalah sejarawan pertama yang menggunakan metode hawliyat dalam menulis sejarah. Hal ini karena besarnya karya sejarahnya dari satu sisi, dan pada sisi lain, karena menurut Rosenthal, ada isyarat bahwa para sejarawan muslim sebelum at-Thabari sudah ada yang menggunakan metode hawliyat,[9] diantaranya adalah Abu Isa ibn al-Munajjim (w.279H) yang menulis karya sejarahnya sebelum at-Thabari dengan judul Tarikh Sinin al-‘Alam (sejarah Dunia berdasarkan Tahun). Sesuai dengan judulnya, ada kemungkinan  peristiwa-peristiwa sejarah itu disusun berdasasrkan tahun. Sejarawan lainnya adalah Muhammad bin Yazdad yang sejauh disebutkan oleh anaknya ‘Abdullah, samapai tahun 300 H. dari ibn Nadim, Rosenthal memahami bahwa buku Muhammad ibn Yazdad telah menggunakan metode hawliyat.[10]
Untuk menggunakan pendapatnnya itu, Rosenthal mengatakan bahwa Muhammad ibn Musa al-Khawarizni yang hidup pada pertengahan pertama abad ke-4 H juga sudah menggunakan metode ini. Hal itu, menurutnya terlihat pada karya sejarah Hamzah al-Ashfahani dan Ilyas an-Nushaybi yang keduanya mengandung beberapa kandungan dari karya sejarah Muhammad ibn Musa al-Khawarizni tersebut.
Lebih jauh Rosenthal berpendapat bahwa metode penulisan sejarah berdasarkan tahun ini bukanlah temuan sejarah muslimin. Metode ini menurutnya sudah dikenal di dalam karya-karya sejarah Yunani. Metode hawliyat Yunani ini banyak kesamaan dengan metode yang digunakan sejarawan muslim. Di antara karya sejarah Yunani yang menggunakan metode hawliyat adalah karya Ioanes Malalas, sebagaimana juga karya sejarah Siryani yang mengunakan metode itu diwakili oleh karya yang ditulis oleh Ya’qub al-Rahawi (pada abad pertama Hijirah). Metode hawliyat seperti ini masuk pertama kali dan dipergunakan oleh sejarawan muslim yang pertama melalui hubungan mereka para ilmuwan Kristen asal Siryani dan kemudian di susul oleh bacaan mereka terhadap sumber-sumber asli Yunani secara langsung.[11]
Menurut Rosenthal tidak penting untuk mengetahui buku apa yang secara langsung mempengaruhi sejarawan Arab tentang metode hawliyat ini, karena metode ini memang sangat mudah berpindah dan di ikuti oleh orang lain, misalnya melalui bacaan dan bisa juga melalui dialog atau diskusi antara sejarawan Muslim dengan sejarawan Kristen. Komunikasi budaya antara kaum muslimin dengan penganut agama Kristen cukup kuat khususnya di Syiria, karena mereka disana hidup bersama dan di ikat oleh ikatan-ikatan sosial yang kuat.
Singkatnya dalam pandangan Rosenthal sejarawan muslim mendapat inspirasi tentang metode hawliyat dalam penulisan sejarah dari sejarawan Yunani dan Siryani, padahal menurut ‘Abd al-‘Aziz Salaim, karya-karya tulis Yunani dan Siryani pada waktu itu belum mempengaruhi sejarawan muslim, apa yang mereka kutip dari mereka terbatas dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu filsafat, matematika, falaq, geografi, kimia, kedokteran dan obat-obatan.[12]
Kemudian sejarawan-sejarawan Arab menciptakan metode ini dan mengembangkannya melebihi yang mereka temukan dari sumber-sumber aslinya. Perkembangan itu dipermudah oleh banyaknya materi sejarah sepanjang masa kekuasaan Islam. Orang-orang Islam banyak mengambil manfaat dari bangsa-bangsa yang mereka kalahkan.
Meskipun demikian Rosenthal sendiri meragukan adanya hubungan yang kuat antara ilmu sejarah Yunani Siryani dengan ilmu sejarah Arab, dan kita kata ‘Abd ‘Aziz Salim tidak yakin bahwa ilmu sejarah Arab Islam yang mengunakan metode hawliyat diambil langsung dari karya-karya sejarah Yunani, karma karya-karya sejarah orang Yunani itu diketahui sejarawan muslim melalui Siryani dengan perantaraan orang-orang Kristen, dan karya-karya itu tidak ada hubungannya dengan metode hawliyat.[13]
‘Abd al-Hamid al-Ibadi yakin betul bahwa penulisan materi sejarah berdasarkan tahun, bulan, dan hari, jelas hanya digunakan oleh sejarawan muslim, tidak ada hubungan dengan sejarawan Yunani, Romawi, atau Erofa pada abad pertengahan. Sayyidah Kasim juga berpendapat demikian.
Menurut hintoriografi Siryani sama sekali tidak berpengaruh terhadap sejarawan muslim, meskipun di Raha, Nisbin, dan Jundishapur terdapat sekolah-sekolah yang menerjemahkan karya-karya Yunani. Kalaupun ada pengaruh dari luar terhadap sejarawan muslim, pengaruh itu menurutnya datang dari karya-karya sejarah Persia khususnya tentang sejarah klasik Iran.[14]
Yang jelas, setelah at-Thabari metode hawliyat ini banyak digunakan oleh sejarawan muslim yang terpenting diantaranya adalah Miskawayh, ibn al-Jawzi, ibn al-Atsir, Abu al-Fida, dan al-Dzahabi.
Pada masa-masa berikutnya penulisan sejarah Islam yang menggunakan metode hawliyat itu mengalami perkembangan, yaitu ketika para sejarawan muslim merasa membutuhkan bentuk susunan materi sejarah yang baru sebagai tambahan yaitu disusun dalam urutan masa yang lebih lama dan panjang.
Oleh karena itulah Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Ahmad al-Dzahabi (637-748) dalam karya besarnya yang berjudul Tarikh al-Islam yang terdiri atas 21 jilid besar, yang dimulai dengan sejak awal kebangkitan Islam sampai awal abad ke-2 H, peristiwa-peristiwa sejarah disusun berdasarkan sepuluh tahunan (system berdasarkan dekade/ dasawarsa). Pembabakan berdasarkan dasawarsa ini banyak berhutang budi pada sejarah al-Sirah. Dalam hal ini, al-Dzahabi mengaitkan sejarahnya dengan corak penulisan at-Tabaqat  dan at-Tarajjim.[15] Bahkan pembabakan berdasarkan abad (at-Taqsim hash al-Qurun) juga muncul dan berkembang terutama melalui karya-karya at-Tabaqat dan at-Tarajjim,[16] seperti buku al-Hawadits al-Jami’ah fi A’yan al-Mi’ah ats-Tsaminah karya Ibn Hajar al-Asqalani, kitab al-Dhaw al-Lami fi Rijal al-Qarn al-Tasi karya al-Sarkhawi, kitab al-Nur al-Safir fi Akhbar al-Qarn al-‘Asyir  karya ibn al-‘Aydrus, al-kawakib al-Sairah fi A’yan al-Mi’ah al-Asirah karya al-Ghazali, kitab Nakhbah al-Zaman fi A’yan al-Qarn al-Hadi ‘Asyar karya al-Muhibbi, dan kitab Nuzhah al-Hadi bi Akhbar Muluk al-Qarn al-Hadi karya Muhammad al-Shagir. Buku-buku ini ada yang mengunakan sistematika penulisan berdasarkan tahun, ada juga yang berdasarkan huruf Hija’iyah (alpabetis).
 
D.  Kritik Terhadap Metode Hawaliyat dan Munculnya Corak Mawadhu’iyat (Tematik)

Metode hawliyat mengandung kelemahan karena Ia memutus kontiunitas sejarah yang panjang yang saling berhubungan dan berkelanjutan dalam beberapa tahun. Sejarawan yang memakai metode ini tidak menyebutkan peristiwa-peristiwa sejarah kecuali yang terjadi pada tahun yang bersangkutan dan berkelanjutan pada tahun-tahun berikutnya, maka peristiwa itu terpisah-pisah, informasi yang terpisah-pisah itu kemudian digabungkan dengan peristiwa-peristiwa lain yang terjadi pada tauhn itu. Seorang sejarawan besar telah mengkritik metode ini, ‘Ali bin Muhammad ibn Abd al-Karim ibn ‘Abd al-Wahid al-Syaybani, yang dikenal dengan ibn al-Atsir al-Jazuri, yang bergelar ‘Izz al-Din (555-630 H). Pada pendahuluan karyanya yang berjudul al-kamal fi al-Tarikh,dia berkata:
Saya melihat bahwa mereka (maksudnya sejarawan yang menggunakan metode hawliyat ini, seperti at-Thabari), menuliskan satu peristiwa (yang berlangsung lama secara terpisah-pisah) pada beberapa tahun dan menyebutkan banyak peristiwa pada satu tahun tertentu. Oleh karena itu, satu peristiwa terputus-putus sehingga tidak mencapai sasaran yang dibutuhkan, dan tidak dapat dipahami kecuali setelah penelaahan yang serius. Oleh karena itu saya mengumpulkan satu peristiwa pada satu tema dan saya menyebutkan pada bulan dan tahun berapa peristiwa-peritiwa itu terjadi. Oleh karena itu, tulisan seperti ini menjadi tersusun secara tematis dan kronologis sekaligus. Sebagian dan bahkan ada yang membutuhkan pembicaraan pada tahun tertentu sepanjang tahun. Setiap peristiwa besar yang masyhur mendapat perhatian khusus, maka peristiwa-peristiwa itu saya letakkan di akhir setiap tahun, di bawah judul dzikir ‘iddah al-hawadits (tentang beberapa peristiwa). Kalau ada sebagian tokoh atau raja disuatu wilayah yang masa kekuasaannya tidak panjang, maka saya menyebutkan semua informasi tentangnya dari awal sampai akhir, ketika saya menyebutkan awal perkara itu, karena kalau saya pisah-pisahkan berdasarkan tahun, maka orang yang tidak mengetahui sebelumnya tidak akan memahaminya dengan baik. Kalau ada di akhir setiap tahun tentang tokoh-tokoh terkenal yang wafat pada tahun yang bersangkutan seperti ulama, penguasa, dan tokoh-tokoh lain. Ketika itu saya juga menjelaskan nama-nama yang sama atau berdekatan tetapi tokohnya berbeda, atau tulisan arabnya sama tetapi bacaannya berbeda. Itu semua saya jelaskan agar orang dapat membedakannya dan tidak mengalami kerancuan.[17]

Ibn Atsir telah berusaha menghindarkan diri dari kelemahan metode hawliyat. Untuk itu menghimpun unsur-unsur peristiwa yang berkelanjutan dalam beberapa tahun dan menghubungkan bagian-bagiannya dalam satu tahun tertentu dalam satu tema sehingga peristiwa itu menjadi jelas dan dapat dipahami. Unsur-unsurnya disusun secara kronologi secara baik.
Akan tetapi tidak semua peritiwa itu dapat dilakukan seperti itu, seperti pemberontakan Zanj yang berlangsung sangat lama sekitar 14 tahun. Peristiwa ini terpisah-pisah di dalam beberapa tahun sebagaimana yang dilakukan oleh at-Thabari.[18]
Di samping itu, ibn al-Atsir sangat memperhatikan kemudahan bagi para pembaca yaitu dengan memberikan judul bagi peristiwa-peristiwa yang menggambarkan isinya. Kadang-kadang peristiwa-peristiwa kecil yang terjadi pada tahun yang sama dihimpun di bawah judul dzikir ‘iddah al-hawadits (tentang beberapa peristiwa lainnya) dan diakhiri dengan riwayat hidup tokoh-tokoh yang meninggal dunia pada tahun tersebut.
Penulis besar lainnya, Shihab al-Din Ahmad ibn ‘Abd al-Wahhab al-Nuwaryi (w. 732 H),[19] juga mengkritik metode hawliyat dan menulis sejarah berdasarkan tema. Di dalam karya sejarah lainnya ketika memaparkan sejarah-sejarah dinasti-dinasti, Ia menulis dinasti setelah dinasti lainnya. Dalam hal ini ia tidak beralih ke dinasti lain sebelum sejarah dinasti itu tuntas ditulisnya. Dalam menulis satu dinasti itu dia tetap menggunakan metode hawliyat dalam memaparkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada dinasti itu, setelah itu barulah ia beralih kedinasti lain.
Dalam hal ini dia berkata, “Ketika saya melihat bahwa sejarawan muslim menulis sejarah dengan metode hawliyat, tidak menggunakan pendekatan dinasti saya menyadari bahwa hal yang demikian itu akan menyulitkan para pembaca untuk memahaminya, terutama berkenaan dengan peristiwa yang tidak selesai satu tahun. Peristiwa yang tidak selesai pada satu tahun itu dituangkan dalam satu tahun tanpa harus memperhatikan apakah informasi tentang peristiwa itu sudah sempurna atau belum. Raja dan peninggalannya, dinasti dan perjalanannya, keadaan tertentu dan peristiwa-peristiwa tertentu. Dalam hal ini sejarawan juga menuangkan peristiwa itu secara acak, berpindah-pindah dari Timur ke Barat, dari Selatan ke Utara, dari keadaan damai kepada keadaan peperangan, dan begitu seterusnya. Peristiwa-peristiwa itu dipaparkan demikian saja tanpa menyebutkan secara utuh meskipun ringkas apalagi rinci. Bagi pembaca yang ingin mengetahui satu peristiwa, mka Ia harus membaca dengan teliti paparan yang panjang dan lelah. Tidak jarang para penuntut itu harus berlama-lama mendapatkan kelengkapan satu peristiwa. Oleh karena itulah saya memilih untuk menulis sejarah dengan pendekatan dinasti. Ketika saya menulis tentang satu dinasti saya memaparkan peristiwa-peristiwa secara runtut dari awal sampai akhir, semua peristiwa dan akibatnya, tentang raja-raja secara berurutan, tempat kedudukan raja, asal etnis dinasti, keterkaitan raja-rajanya, peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan dinasti itu. Semuanya saya jelaskan sejarahnya”.[20]
Hal ini dapat dilihat dalam kitabnya, dia membagi sejarah Islam menjadi beberpa dinasti, mulai dari al-Sirah al-Nabawiyyah (riwayat hidup Nabi Saw), sejarah al-Khulafa al-Rasyidin, sejarah Bani Umayyah, sejarah Bani abbas dan ‘Alawiyyah dan dinasti-dinasti kecil yang berdiri pada masa Khilafah al-‘Abbasiyyah.[21]
Walaupun ibn Atsir dan Shihab al-Din Ahmad ibn ‘Abd al-Wahhab al-Nuwaryi melontar keritikan terhadap corak penulisan hawliyat dan mengajukan cara tematik sebagai alternatif mereka berdua bukan sejarawan pertama dalam Islam yang menggunakan corak sejarah secara tematik (maudhu’iyyat atau hash al-maudu’at). Jauh sebelum mereka, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas al-Ya’qubi (wafat di Mesir pada tahun 284/897 M) dan al-Mas’udi (w. 957 M) sudah menggunakan corak tematik itu dalam karya-karya sejarah mereka.

E.   Penutup
Bahwa perkembangan corak penulisan sejarah yang dimulai dari corak khabar kemudian corak hawliyat (kronologi berdasarkan tahun) serta corak maudhu’iyat (tematik) adalah merupakan corak gambaran peristiwa-peristiwa penulisan sejarah yang dilakukan oleh para sejarawan-sejarawan muslim dalam upaya untuk mempermudah bagi para penulis sejarawan dan para pembacanya untuk menelaah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau baik yang berkenaan dengan peristiwa yang menyangkut pada dinasti-dinasti yang berkuasa, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya-budaya yang berlaku pada masa yang telah lampau.

DAFTAR PUSTAKA
 

Duri, ‘Abd al-‘Aziz. Al-Bahts Nasy’ah Ilm al-Tarikh ‘ind al-‘Arab, Beirut: 1960.

Ibn al-Atsir, al-Kamil fi at-Tarikh, Beirut: Dar al-Kutub al-“Alamiah, 1988, Jilid I.

Kasyif, Sayyidah Ismail. Mashadir al-Tarikh al-Islam wa Wanahij al-Bahts Fih, Kairo: Maktabah al-Khanji, 1976.

Al-Mas’udi, Muruj Al-Dzahab, Beirut: Dar al-Fikr, 1973, Jilid I.

Al-Nuwary, Shihab al-Din Ahmad ibn ‘Abd al-Wahhab. Nihayat al-Irb fi Funun al-Adab, Beirut: Dar al-Fikr, 1968.

Oelery, Masalik al-Tsaqafah ila al-‘Arab, terj. Taman Hassan, Kairo: 1957.

Rosenthal, Franz. Histori of Muslim Histotiography, Leiden: E.J.Brill, 1968.

Salim, ‘Abd al-‘Aziz. Al-Tarikh wa al-mu’arrikhun al-‘Arab, Beirut: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1986.

Yatim, H. Badri. Historiografi Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.


[1] ‘Abd al-‘Aziz Duri, Al-Bahts Nasy’ah Ilm al-Tarikh ‘ind al-‘Arab, (Beirut: 1960), h. 13.
[2] ‘Abd al-‘Aziz Salim, Al-Tarikh wa al-mu’arrikhun al-‘Arab, (Beirut: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1986), h. 75. Franz Rosenthal, Histori of Muslim Histotiography, (Leiden: E.J.Brill, 1968), h. 66-71.
[3] H. Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 101.
[4]‘Abd al-‘Aziz Salim, Op. Cit., h. 76. Lihat juga al-Mas’udi, Muruj Al-Dzahab, Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), h. 15.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] ‘Abd ‘Aziz Salim, Op. Cit., h. 82.
[8] Ibid., h. 85.
[9] Franz Rosenthal, Op. Cit., h. 102.
[10] Ibid., h. 104.
[11] Franz Rosenthal, Op. Cit., h. 151; ‘Abd ‘Aziz Salim, Op. Cit., h. 88. Baca juga Oelery, Masalik al-Tsaqafah ila al-‘Arab, diterjemahkan Taman Hassan, (Kairo: 1957), h. 3.
[12] ‘Abd ‘Aziz Salim, Op. Cit., h. 89.
[13] Ibid., Franz Rosenthal, Op. Cit., h. 112.
[14] Sayyidah Ismail Kasyif, Mashadir al-Tarikh al-Islam wa Wanahij al-Bahts Fih, (Kairo: Maktabah al-Khanji, 1976), h. 50.
[15] ‘Abd ‘Aziz Salim, Op. Cit., h. 90.
[16] Ibid., h. 91.
[17]Ibid.,h. 83. Lihat juga ibn al-Atsir, al-Kamil fi at-Tarikh, Jilid I, h. 5-6.
[18] ‘Abd ‘Aziz Salim, Op. Cit., h. 84.
[19] Shihab al-Din Ahmad ibn ‘Abd al-Wahhab al-Nuwaryi adalah penulis buku yang berjudul Nihayat al-Irb fi Funun al-Adab.
[20] ‘Abd ‘Aziz Salim, Op. Cit., h. 85.
[21] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar