Minggu, 16 Agustus 2015

Al-Jarh wa al-Ta’dil



A.    Pendahuluan
Hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam telah mendapat perhatian yang serius dan para Ulama dalam upaya memelihara keotentikannya. Hadis telah dibukukan di dalam berbagai kitab dan penulis kitab Hadis disebut periwayat sekaligus penghimpun hadis. Sebagian penghimpun Hadis telah berupaya untuk menyeleksi hadis-hadis yang sahih di dalam kitabnya, namun sebagian lain menghimpun Hadis sebanyak mungkin tanpa membedakan antara yang sahih dan yang tidak sahih, seperti musnad Imam Ibn Hanbal dan kitab-kitab musnad lainnya.
Para Ulama memperhatikan para periwayat hadis dalam upaya membedakan antara hadis yang dapat diterima dan hadits yang ditolak, yakni dengan memperhatikan kesalehan, kekuatan ingatan, kecermatan dan akhlak setiap periwayat hadis. Pengalaman para Ulama dalam mengkaji keadaan periwayat hadis ini berkembang dan melahirkan kaidah-kaidah yang pada akhirnya menjadi sebuah ilmu, disebut ‘ilmu al-jarh wa at-ta’dil.

Dalam makalah ini, akan dijelaskan pengertian al-jarh wa at-ta’dil, dalil disyariatkan al-jarh wa al-ta’dil, lafal-lafal yang dipergunakan dalam al-jarh dan al-ta’dil, syarat-syarat al-jarh dan al-ta’dil, prosedur penetapan al-jarh dan al-ta’dil, cara mengetahui keadilan seorang perawi, pertentangan antara al-jarh dan al-ta’dil.




1
 
 
B.    Pengertian al-Jarh dan al-Ta’dil
Kata al-Jarh adalah bentuk masdar dari jaraha-yajrahu yang secara etimologi berarti “luka”.[1] Keadaan luka di sini dalam bentuk fisik maupun non fisik, seperti luka badan terkena benda tajam sehingga darah mengalir (fisik) atau seperti luka hati karena mendengar kata-kata yang kasar dari seseorang (non fisik).
Apabila kata jaraha dipakai dalam bentuk kesaksian dalam pengadilan, seperti “jaraha al-hakim asy-syahid”, maka kalimat ini berarti “Hakim menggugurkan keadilan saksi”.[2] Kalimat ini muncul karena pada diri saksi terdapat cacat atau kekurangan yang menggugurkan keabsahan saksi yang diberikannya.
Secara terminologi, al-Jarh didefenisikan oleh para Ulama, sebagai berikut:
ظهور وصف في الراوى يثلم عد الته او يخل بحفظه وضبطه مما يترتب عليه سقوط روايته اوضعفها ورد ها.[3]
Artinya: “Munculnya sifat pada seseorang periwayat yang merusak keadilannya atau hafalannya dan kecermatannya yang keadaan ini menyebabkan gugurnya atau lemahnya atau tertolaknya riwayat yang disampaikannya”.
Al-Jazari mengemukakan defenisi lain, sebagai berikut:
وصف متى التحق بالراوى والشاهد سقط الاعتبا ربقوله وبطل العمل به.[4]
Artinya: “Suatu sifat yang apabila terdapat (melekat) pada periwayat hadis atau saksi, maka perkataannya tidak dapat diterima dan batal beramal dengannya”.
Sedang dalam istilah ilmu hadis, al-jarh berarti terdapatnya suatu sifat pada seorang perawi yang menyebabkan ternodainya keadilannya, atau merusak hafalan dan kecermatannya dalam memelihara Hadis sehingga mengakibatkan riwayat yang disampaikannya menjadi gugur, lemah atau ditolak.[5]
Dari kedua defenisi yang dikemukakan di atas, dapat memberikan gambaran tentang pengertian al-Jarh, sekalipun redaksi pengertian di atas berbeda, namun menurut hemat penulis defenisi tersebut memberikan pengertian yang sama, yaitu terdapatnya sifat-sifat yang jelek (tercela) pada diri periwayat yang menyebabkan hadisnya tidak dapat diterima.
Adapun kata at-ta’dil berasal dari kata ‘adalah, dari bentuk masdar ‘addala yang artinya mengemukakan sifat-sifat baik (adil) yang dimiliki seseorang.[6] Kata at-ta’dil secara etimologi berarti tazkiyah yaitu membersihkan atau memberi rekomendasi.[7] Atau bisa juga diartikan bahwa ta’dil itu adalah pernyataan sifat adil oleh seorang kritikus Hadis terhadap seorang perawi sehingga riwayat yang disampaikannya diterima dan dinyatakan sahih.[8]
Secara terminologi, kata at-ta’dil berarti:
هومن لم يظهرفي امرد ينه ومر وء ته ما يخل بهما.[9]
Artinya: “Seseorang yang tidak terlihat pada dirinya sesuatu yang merusak urusan agama dan muruahnya”.
Maka jarh wa at-ta’dil adalah pengungkapan keadaan periwayat tentang sifat-sifatnya yang tercela dan terpuji sehingga dapat diambil keputusan apakah riwayat yang disampaikan itu dapat diterima atau ditolak. Pengetahuan tentang pembahasan ini disebut dengan istilah ‘ilm jarh wa at-ta’dil.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib memberikan defenisi ‘ilm jarh wa at-ta’dil sebagai berikut:
هوالعلم الذي يبحث في احوال الر واة من حيث قبول روايتهم اورد هم.[10]
Artinya: “Suatu seperti ilmu yang membicarakan tentang para periwayat dari segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka”.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa ‘ilm jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang membicarakan tentang hal ihwal (keadaan) para periwayat dari segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka dalam meriwayatkan hadis.

C.    Dalil Disyariatkan al-Jarh wa al-Ta’dil
Dalil yang menjadi disyariatkannya al-jarh wa al-ta’dil adalah firman Allah yang terdapat dalam surat al-Hujarat ayat 6:
 يأ يها الذ ين امنوا ان جاء كم فا سق بنبا فتبينوا ان تصيبوا قوما بجها لة فتصبحوا على ما فعلتم ند مين.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.[11]
                       
Selain itu juga surah al Baqarah ayat 282:
وا ستشهد وا شهيد ين من رجا لكم فا ن لم يكو نا رجلين فرجل وامرا تن ممن تر ضو ن من الشهدﺁء ان تضل ا حدا هما فتذ كرا حدا هما الاخرى ولا يأب الشهدء اذا ماد عوا.
Artinya: ”Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya”.[12]
                        Yang dimaksud saksi yang diridhai adalah orang yang kita ridhai agama dan kejujurannya. Pengutipan dan periwayatan hadits tidak kurang dari kesaksian itu, yang berarti hadits tidak diterima kecuali dari orang-orang yang tsiqah.
                        Berkenaan dengan al-jarh, Rasulullah saw. besabda:
بئس أ خوالعشيرة.
            Artinya: “Seburuk-buruk saudara adalah dia”.
Dan yang berkenaan dengan ta’dil, beliau bersabda:
نعم عبد الله خالد ابن الوليد سيف من سيوف الله.
Artinya: ”Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid Ibn al-Walid, sebilah pedang dari pedang-pedang Allah”.[13]

D.   Lafal-lafal yang Dipergunakan dalam al-Jarh dan al-Ta’dil
Ada beberapa lafaz yang digunakan untuk menta’dil dan menjarh periwayat dan derajatnya berbeda-beda.[14] Menurut Ibn Hajar al-Asqalany, ada enam tingkatan lafaz-lafaz al-jarh wa at-ta’dil.[15]
Adapun lafaz-lafaz at-ta’dil dan tingkatan penggunaannya masing-masing adalah sebagai berikut:
1.       Lafaz atau ungkapan yang menunjukkan kepercayaan kepada periwayat secara berlebihan (mubalaghah) atau dengan af’al tafdhil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenis, seperti:
اوثق النا س اثبت النا س حفظا وعدالة.[16]
2.      Lafaz atau ungkapan yang menunjukkan kuatnya kepercayaan kepada periwayat dengan pengulangan lafaz tsiqah dua kali, baik pengulangan itu dengan lafaz yang sama maupun dengan lafaz yang berbeda, seperti:
ثبت ثبت ثقة ثقة.[17]
3.      Lafaz yang menunjukkan kepercayaan dan mengandung arti kuatnya ingatan periwayat, seperti:  حا فظ ضا بط.[18]
4.      Lafaz atau ungkapan yang menunjukkan keadilan dan hafalan serta kecermatan periwayat tetapi tidak dalam arti keadilan atau ingatan yang kuat, seperti:  صد و ق محله الصد ق.[19]
5.      Lafaz atau ungkapan yang menunjukkan kejujuran periwayat, tapi tidak menggambarkan hafalan atau kecermatan, seperti: جيد الحد يث حسن الحد يث.[20]
6.      Lafaz at-ta’dil yang menunjukkan ketidakyakinan penilaian akan keadilan dan dhabit periwayat sehingga ia tidak menggunakan lafaz at-ta’dil secara mutlak melainkan dengan mengaitkannya dengan pengharapan. Tingkatan ini sudah mendekati tingkatan al-jarh, seperti:  صا لح الحد يث صد و ق ان شا ء الله.[21]

Para Ulama menerima hadits yang diriwayatkan dengan lafaz-lafaz pada tingkat pertama sampai tingkat keempat sebagai hujjah. Sementara hadis yang dita’dil pada tingkat kelima dan keenam hanya ditulis dan dapat digunakan apabila mendapat dukungan yang kuat dari periwayat lain.
Adapun mengenai lafaz al-jarh dan pembagian tingkatannya,[22] sebagai berikut:
1.       Memberi sifat kepada periwayat dengan sifat-sifat yang menunjukkan kelemahannya, tetapi mendekati sifat adil, seperti: ضعيف حد يثه فلا ن فيه خلا ف
2.      Lafaz yang menunjukkan kelemahan dan kekacauan hafalan periwayat, seperti:فلا ن مجهول فلا ن منكرالحد يث.  
3.      Lafaz yang menunjukkan sangat lemahnya riwayat yang disampaikan oleh si periwayat, seperti:   فلا ن مرد ود الحد يث
4.      Lafaz yang mengandung tuduhan dusta, seperti: فلا ن متهم بالكذ ب
5.      Lafaz yang menunjukkan cacat periwayat dalam bentuk mubalaghah, seperti:
كذ ا ب وضاع.
6.      Lafaz yang menunjukkan cacat yang keterlaluan pada periwayat dengan menggunakan lafaz-lafaz yang berbentuk af’al at-tafdhil, seperti: ا كذ ب النا س

E.    Syarat-syarat al-Jarh dan al-Ta’dil
Al-jarh wa at-ta’dil mempunyai dua macam syarat, yaitu: pertama, syarat Ulama yang boleh melakukan jarh dan ta’dil dan kedua, syarat diterimanya jarh dan ta’dil.
Adapun syarat Ulama yang akan melakukan jarh dan ta’dil itu, sebagai berikut:
1.       Berilmu, bertaqwa, warak dan jujur.
2.      Mengetahui sebab-sebab jarh dan ta’dil.
3.      Mengetahui penggunaan lafaz dan ungkapan bahasa Arab sehingga lafaz yang digunakan tidak terpakai kepada selain maknanya yang tepat dan tidak menjarh dengan lafaz yang sebenarnya tidak digunakan untuk jarh.
4.      Penilaian jarh dan ta’dil dari setiap orang yang adil, baik laki-laki maupun perempuan, merdeka maupun budak diterima.
5.      Penilaian jarh dan ta’dil dari satu orang dapat dipadakan selama ia memenuhi syarat sebagai penilai. Inilah pendapat kebanyakan Ulama.[23]
Sementara syarat-syarat diterimanya jarh an ta’dil itu, sebagai berikut:
1.       Jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab-sebabnya.
2.      Penilaian jarh secara umum tanpa menjelaskan sebab-sebabnya terhadap periwayat yang sama sekali tidak ada yang menta’dilnya dapat diterima.
3.      Jarh harus terlepas dari berbagai hal yang menghalangi penerimaannya.[24]

F.    Prosedur Penetapan al-Jarh dan al-Ta’dil
Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para Ulama ahli al-jarh wa al-ta’dil yang digunakan sebagai prosedur penetapan al-jarh wa al-ta’dil, yaitu:
  1. Jujur dan tuntas dalam memberikan penilaian. Mereka akan menyebutkan sifat positif maupun negatif perawi. Sebagai contoh perkataan Muhammad ibn Sirin: “Sungguh engkau berbuat zalim kepada saudaramu, bila engkau hanya menyebutkan keburukan-keburukannya tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikannya”.
  2. Kecermatan dalam meneliti dan menilai. Dengan mencermati pernyataan-pernyataan Ulama tentang al-jarh wa al-ta’dil kita bisa menemukan kecermatan mereka dalam meneliti dan kedalaman pengetahuan mereka tentang seluk beluk perawi yang mereka kritik.
  3. Mematuhi etika al-jarh wa al-ta’dil dalam menyatakan penilaian tidak akan keluar dari etika penelitian ilmiah. Ungkapan paling keras yang mereka kemukakan adalah “Fulan Wadhdha” (Fulan tukang palsu), “Fulan kadzdzb” (Fulan tukang dusta), “Fulan Yaftari al-Kadziba Ala ash-Shahabat ra.” (Fulan membuat kedustaan atas diri sahabat ra.) atau ungkapan-ungkapan lain yang mereka berikan untuk orang yang memalsukan hadits.
  4. Secara global menta’dil dan secara rinci dalam mentajrih. Dari ungkapan-ungkapan Imam-Imam al-jarh wa al-ta’dil kita bisa melihat bahwa mereka tidak menyebutkan sebab-sebab ta’dil mereka terhadap para perawi. Karena  sebab-sebab ta’dil sangat banyak, sehingga sulit bagi seseorang untuk menyebut seluruhnya. Berbeda dengan al-jarh yang umumnya mereka menjelaskan sebabnya, seperti sering lupa, menerima secara lisan saja, sering salah, kacau hafalannya, tidak kuat hafalannya, dusta, fasik dan lain-lain. Karena dianggap cukup menyebut satu sebab untuk mengkritik sifat adilnya atau daya hafalannya. Mayoritas Ulama menerapkan prinsip semacam ini. Karena jarh hanya diperbolehkan demi kepentingan membedakan antara yang tsiqah dan yang dha’if.

G.   Cara Mengetahui Keadilan Seorang Perawai
Keadilan seorang rawi dapat mengetahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut:
1.       Dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil. Seperti dikenalnya sebagai orang yang adil di kalangan ahli ilmu bagi Anas bin Malik, sufyan al-Sauri, Sya’ban bin al-Hajjaj, ash-Syafi’iy, Ahmad dan lain-lain.[25] Oleh karena mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan tentang keadilannya.
2.      Dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah). Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang dita’dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh:
a.      Seorang rawi yang adil. Jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang menta’dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat. Oleh karena itu, jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk menta’dilkan seorang rawi.
Demikian pendapat kebanyakan muhadditsin, berlainan dengan pendapat para fuqaha yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyahkan seorang rawi.
b.      Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan, baik orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.[26]
Selain dari ketetapan keadilan seorang rawi, ketetapan tentang kecacatannya juga dapat ditempuh dengan dua jalan:
a)     Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam ke’aibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasiq atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan.
Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
b)     Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat.
Demikian ketetapan yang dipegangi oleh para muhadditsin, sedang menurut para fuqaha sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.[27]

H.  Pertentangan antara al-Jarh dan al-Ta’dil
Kadang-kadang pernyataan-pernyataan tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama bisa saling bertentangan. Sebagian mentajrihkannya, sedang sebagian lain menta’dilkannya. Jika hal demikian tersebut terjadi, maka sebagai solusinya ada beberapa pendapat Ulama yang dapat dipegangi yakni:
1.       Mendahulukan jarh dari pada ta’dil, meski yang menta’dil lebih banyak dari pada yang mentajrih. Karena yang mentajrih mengetahui apa yang tidak diketahui oleh yang menta’dil.
2.      Ta’dil didahulukan dari pada jarh, bila yang menta’dil lebih banyak. Karena banyaknya yang menta’dil bisa mengukuhkan keadaan perawi-perawi yang bersangkutan. Pendapat ini tidak bisa diterima, sebab yang menta’dil meski lebih banyak jumlahnya, tidak memberitakan apa yang bisa menggah pernyataan yang mentajrih.
3.      Bila jarh dan ta’dil bertentangan, maka salah satunya tidak bisa didahulukan kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya. Yakni keadaan dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat di antara keduanya.[28]

I.      Penutup
Dalam upaya memelihara keautentikan hadits sebagai sumber kedua dari ajaran Islam, maka para Ulama terus berusaha dalam menghimpun hadis-hadis Nabi saw. dengan cara menilai para periwayat secara jarh atau ta’dil.
Ilm al-Jarh wa at-Ta’dil merupakan suatu ilmu untuk menyeleksi para periwayat hadis, apakah ia cacat atau adil sehingga hadits yang diriwayatkannya itu dapat diterima atau ditolak.
Melalui syarat-syarat al-jarh wa at-ta’dil, lafal-lafal dan kaidah-kaidah tertentu, para Ulama hadis menilai para periwayat dari segi jarh (cacat) dan ta’dil (bersihnya)nya.


DAFTAR PUSTAKA
 

Dahlan, Abdul Aziz. et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Van Hoeve 1996, Jilid III.

Depag. RI., Alquran dan Terjemahannya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Alquran Depag. Ri., 1984/1985.

Husain, Abu Lubabah. al-Jarh wa at-Ta’dil, Riyadh: Dar al-Liwa’ li an-Nasyr at-Tauzi’ 1394 H/1974 M.

‘Itr, Nur ad-Din. Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis, Beirut: Dar al-Fikr t.t.

Al-Jazari, Jami’ al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., Jilid I.

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushul al-Hadis: ‘Ulumuh wa Mustalahuh, Beirut: Dar al-Fikr 1979.

Manzur, Ibn. Lisan ‘Arab,  Beirut: Dar al-Fikr, 1990, Jilid III.

Manzur,Ibn. Lisan ‘Arab, Beirut: Dar al-Fikr 1990, Jilid XIII.

Al-Nawawi, Dasar-dasar Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Masthalah Hadis Bandung: al-Ma’arif 1991.

Ath-Thahanawy, Zafar Ahmad al-‘Ustmani. Qawa’id ‘Ulum al-Hadis, Halan: Maktabah al-Mathbu’at al-Islamiyah 1404 H/1984 M.

Thahhan, Mahmud. Tafsir Musthalah al-Hadis, terj. Zainul Muttaqin, Ulumul Hadis: Studi Kompleksitas Hadis Nabi,  Yogyakarta: Titian Ilahi, 1997.

Yuslem, Nawir. Sembilan Kitab Induk Hadis, Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006.


[1] Ibn Manzur, Lisan ‘Arab (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), Jilid III, h. 422.
[2] Abu Lubabah Husain, al-Jarh wa at-Ta’dil (Riyadh: Dar al-Liwa’ li an-Nasyr at-Tauzi’ 1394 H/1974 M), h. 19.
[3]  Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis: ‘Ulumuh wa Mustalahuh (Beirut: Dar al-Fikr 1979), h. 260.
[4] Al-Jazari, Jami’ al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), Jilid I, h. 126.
[5] Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis  (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006), h. 170.
[6] Ibn Manzur, Lisan ‘Arab (Beirut: Dar al-Fikr 1990) Jilid XIII, h. 456.
[7] al-Khatib, Ushul al-Hadis, h. 261.
[8] Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk, h. 171.
[9]al-Khatib, Ushul al-Hadis, h. 261.
[10] Ibid.,
[11]Depag. RI., Alquran dan Terjemahannya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Alquran Depag. Ri., 1984/1985), h. 846.
[12]Ibid., h. 70.
[13]al-Khatib, Ushul al-Hadis, h. 234-235.
[14]Menurut Ibn Abi Hatim, Ibn as-Salah dan Imam an-Nawawi, lafaz-lafaz tersebut disusun menjadi empat tingkatan. Sementara menurut al-Hafiz az-Zahani dan al-Iraqy, lafaz-lafaz tersebut ada lima tingkatan. Namun pendapat Ulama kontemporer, seperti Mahmud ath-Thahab, Abu Luanah Husain dan Abd Maujud Muhammad And al-Latif, mereka cenderung menyusun dalam enam tingkatan seperti yang dipaparkan oleh Ibn Hajar di atas.
[15] Fatchur Rahman, Ikhtisar Masthalah Hadis (Bandung: al-Ma’arif 1991), h. 273.
[16] Zafar Ahmad al-‘Ustmani ath-Thahanawy, Qawa’id ‘Ulum al-Hadis (Halan: Maktabah al-Mathbu’at al-Islamiyah 1404 H/1984 M), h. 242.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20]ath-Thahanawy, Qawa’id ‘Ulum al-Hadis, h. 242.
[21]al-Khatib, Ushul al-Hadis, h. 277.
[22]ath-Thahanawy, Qawa’id ‘Ulum al-Hadis, h. 251-253.
[23] Nur ad-Din ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis (Beirut: Dar al-Fikr t.t.), h. 84-85.
[24] Ibid., h. 87-91.
[25] Fatchur Rahman, Iktishar Musthalah al-Hadis (Bandung: al-Ma’arif, 19995), h. 270, lihat juga al-Nawawi, Dasar-dasar Ilmu hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 39, lihat juga Mahmud Thahhan, Tafsir Musthalah al-Hadis, terj. Zainul Muttaqin, Ulumul Hadis: Studi Kompleksitas Hadis Nabi (Yogyakarta: Titian Ilahi, 1997), h. 158.
[26] Abdul Aziz Dahlan et.al., Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve 1996), Jilid III, h. 805.
[27] Fatchur Rahman, Iktishar Musthalah al-Hadis …., h. 270-271, lihat juga ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis …., h. 240-241.
[28] ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis …., h. 241.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar