Minggu, 16 Agustus 2015

DINASTI THAHIRIYAH



 A. Pendahuluan
            Menurut para pakar sejarah Islam, Daulat Abbasiyah (750-1258 M) telah berjasa dalam memajukan umat Islam. Hal ini ditandai dengan kemajuan di bidang Ilmu pengetahuan, peradaban, kesenian, dan filsafat. Data monumental dari kebesaran Daulat Abbasiyah, yaitu berdirinya kota Baghdad yang megah, kota yang didirikan atas prakarsa raja-raja dinasti ini. Menurut Philip K.Hitti, kota Baghdad adalah kota terindah yang dialiri sungai dan benteng-benteng yang kuat serta pertahanan militer yang cukup kuat[1]. Sekalipun demikian, dinasti ini tidak mampu mempertahankan integritas negerinya, karena setelah Khalifah Harun Ar-Rasyid, daerah kekuasaan dinasti ini mulai goyah baik daerah yang ada di bagian Barat naupun yang ada di bagian Timur Baghdad. Di bagian Timur, menurut J.J Saunder berdiri dinasti-dinasti kecil yaitu Thahiriyah, Saffariah, dan Samaniyah[2].

PERKEMBANGAN CORAK-CORAK PENULISAN SEJARAH ISLAM KLASIK (Perkembangan Corak Penulisan Sejarah)



A.   Pendahuluan
Perkembangan penulisan sejarah dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari perkembangan budaya secara umum.[1] Puncak dari perkembangan budaya itu terjadi pada dinasti Abbasiyah, tepatnya pada abad ke-9 dan ke-10 M. Seiring dengan perkembangan budaya dan peradaban Islam itulah penulisan sejarah dalam Islam yang sudah dimulai bersamaan dengan perkembangan penulisan hadis semakin mengalami perkembangan pesat.
Mulai dari masa awal pertumbuhan historiografi Islam hingga masa munculnya sejarawan-sejarawan besar seperti Ibn Qatadah al-Dinawari (w.276/889), Al-Baladzuri (w.279/892), Al-Ya’qubi (w.284/897), Abu Hanifah al-Dinawari (w.282/895), Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari (w.310/922) dan lain-lain, corak penulisan sejarah dalam karya-karya sejarah mereka, dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu corak khabar, corak halwiyat (kronologi berdasarkan tahun) dan corak maudhu’iyat  (tematik).

Al-Jarh wa al-Ta’dil



A.    Pendahuluan
Hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam telah mendapat perhatian yang serius dan para Ulama dalam upaya memelihara keotentikannya. Hadis telah dibukukan di dalam berbagai kitab dan penulis kitab Hadis disebut periwayat sekaligus penghimpun hadis. Sebagian penghimpun Hadis telah berupaya untuk menyeleksi hadis-hadis yang sahih di dalam kitabnya, namun sebagian lain menghimpun Hadis sebanyak mungkin tanpa membedakan antara yang sahih dan yang tidak sahih, seperti musnad Imam Ibn Hanbal dan kitab-kitab musnad lainnya.
Para Ulama memperhatikan para periwayat hadis dalam upaya membedakan antara hadis yang dapat diterima dan hadits yang ditolak, yakni dengan memperhatikan kesalehan, kekuatan ingatan, kecermatan dan akhlak setiap periwayat hadis. Pengalaman para Ulama dalam mengkaji keadaan periwayat hadis ini berkembang dan melahirkan kaidah-kaidah yang pada akhirnya menjadi sebuah ilmu, disebut ‘ilmu al-jarh wa at-ta’dil.

Arnold J. Toynbee II (Kontak Antar Peradaban dan Runtuhnya Peradaban)



A.        Pendahuluan
          Peradaban menurut Spengler adalah tingkatan kebudayaan ketika tidak lagi memiliki sifat produktif, beku, dan mengkristal. Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa peradaban adalah sesuatu yang sudah selesai (it has been), sedangkan kebudayaan sebagai sesuatu yang menjadi (it becomes).[1] Sementara itu, Arnold Joseph Toynbee menyatakan bahwa peradaban adalah wujud daripada kehidupan suatu golongan kultur seluruhnya. Dengan mengacu pada pemikiran Spengler dapat diartikan bahwa peradaban merupakan tingkatan ketika masyarakat yang menjalankan sebuah kebudayaan berada pada suatu posisi yang telah mapan, telah menjadi. Peradaban dapat pula diartikan sebagai kebudayaan yang telah mencapai taraf yang tinggi dan kompleks. Dengan demikian, berarti peradaban berasal dari kebudayaan. Oleh karena itu sebelum membahas tentang peradaban perlu dibahas pula konsep dasar tentang kebudayaan.

STIMULATING THE INTEREST OF TEACHER IN READING AND WRITING



 The fact that the interest of pupils, students teacher and lectures in Indonesia is still low is something that we must realize and be our problems in educational sector.
Taufik Ismail one of the famous cultural observer in Indonesia who had observed some primary school in ASEAN countries. Said that Indonesian pupils in primary school can not read and write properly. This fact is underieble especially after International Education Achievement (IEA) also report that school pupils are in the 26th grade of 27 countries that had been researched.
The research was conducted by IAEA in 1992. When the economic situation grow well mean while the purchasing power of society was good enough. It means unability to buy books and other knowledge source as many after complain is unreasonable. Then when this nation was shocked by long multidimensional crisis.