Kamis, 28 Mei 2015

PERGUMULAN ISLAM DAN NASIONALISME ( Perjuangan Dasar Negara )




A. Pendahuluan
Proses kelahiran Dasar negara (Pancasila) bagi bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang dan menampilkan berbagai ragam organisasi dan tokoh-tokoh nasional yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dalam perumusannya berhimpunlah berbagai tokoh dengan latar belakang pendidikan dan kondisi yang berbeda sertakarakter yang beraneka ragam, sehingga terjadilah pergumulan konsep yang sengit untuk melahirkan konsep teoritis sebuah landasan negara.
Namun hanya ada 2 kelompok yakni yang bersifat nasional Islam dan nasional sekuler, demikian juga halnya konsep yang dilontarkan agar menjadi landasan negara hanya 2 macam yakni; Landasan negara yang bersifat nasional dan landasan negara yang berdasarkan Islam. Sekalipun perbedaan yang sengit terjadi, akhirnya tercapai juga kompromi dengan mengakomodir kedua perbedaan yang melahirkan Piagam Jakarta dalam sidang BPUPKI.

Selanjutnya setelah diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno Hatta, perwakilan Jepang menyampaikan kepada Hatta tentang keberatannya bangsa Indonesia sebelah timur apabila Piagam Jakarta ditetapkan dan dilaksanakan sebagai landasan negara Indonesia dalam sidang PPKI nantinya.
Muhammad Hatta dengan menemui perwakilan dari Nasionalis Islam akhirnya menyetujui dan menghapus 7 kata yang menjadi aspirasi mayoritas Muslim di Indonesia ketika itu.

B.       Kondisi bangsa Indonesia Menjelang Kemerdekaan
  1. Pengaruh Tokoh dan Ormas Islam Pra Merdeka
Ada dua faktor yang sangat potensial ketika berbicara mengenai Umat Islam di Indonesia, dalam Frame (bingkai)  proses kelahiran Dasar Negara (Pancasila). Pertama, Sumber daya Manusia yang mayoritas beragama Islam, bahkan dapat disebut sebagai Umat Islam terbesar di seantaro dunia. Kedua, Para tokoh dan panitia yang menggali dan mengusulkan konsep-konsep Dasar Negara adalah Muslim.
Oleh sebab itu, kelahiran Pancasila menjadi Dasar Negara di Republik Indonesia sangat-sangat tidak bisa dilepas dari pengaruh dan peran aktif berbagai tokoh dan Ormas Keagamaan, yang begitu intens dalam mengkaji dan menggali konsep yang akan diperjuangkan sebagai dasar Negara. Tentunya dapat dipastikan bahwa konsep-konsep yang akan diusung dalam musyawarah sebagai konsep yang bernuansa Islam dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
 Dalam perumusan dan penetapan Dasar Negara (Pancasila) sebelum Indonesia merdeka, mengalami proses yang penuh tarik menarik dan dalam suasana perdebatan yang panjang, serta suana dialogis yang alot dengan alas pikir yang rasional, tetapi dapat menjadi konsep yang Refresentatif terhadap kemajemukan (Pluralisme) bangsa Indonesia. Sehingga terjadilah dikhotomi pergumulan pendapat antara; tokoh dan Ormas keagamaan dengan tokoh dan ormas nasionalis kebangsaan.
Dilihat dari perspektif pemikiran agama dan politik, secara umum dapat disimpulkan bahwa ada tiga teori tentang pola hubungan antara negara dan agama yang dikemukakan oleh para ilmuan dan pakar politik di dunia ini :
Pertama. Pola hubungan antara negara dan agama yang ikatannya sama sekali terputus
Kedua. Pola hubungan formal antara negara dan agama.
Ketiga. Pola hubungan antara negara dan agama yang bersifat tidak formal.[1]
Salah satu perdebatan ideologis yang terpenting dalam sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia berkisar pada masalah dasar perjuangan. Bahwa kekuasaan kolonial belanda adalah sesuatu yang tak diinginkan telah merupakan konsensus yang relatif umum diterima di kalangan kaum pergerakan, masalahnya ialah apakah dasar yang”sah” dari perjuangan itu ? mereka yang kemudian akan disebut dan menyebut dari golongan “kebangsaan” mengatakan bahwa dasar perjuangan adalah” Nasional Indonesia”.[2]
Terhadap pernyataan tersebut di atas lalu menimbulkan suasana dialogis yang serius sehingga menimbulkan pertanyaan-pertanyan filosofis agar tidak melakukan kesalahan yang besar bagi nulai-nilai perjuangan yang akan dan telah dilakukan.
Di antara Ormas Islam dan para tokohnya  yang berpengaruh terhadap penetapan dasar Negara Indonesia adalah :
a.        Sarikat Islam (H. Saman Hudi, H.O.S Tjokroaminoto, Agus Salim, Abdul Moeis)
Pada dekade pertama abad ke 20 Islam memainkan peranan yang amat menentukan dalam rasa persatuan nasionalisme menentang penjajah belanda, sebagaimana pernyataan George Mc Turnan Kahin, yang dikutip Bahtiar Effendy.”Agama Muhammad bukan saja mata rantai yang mengikat tali persatuan; melainkan ia merupakan simbol kesamaan nasib (in group) menentang penjajah asing dan penindas yang berasal dari agama lain.[3] Itu sebabnya pergerakan Nasional pertama satu-satunya perwujudan politik Islam muncullah Sarekat Islam (SI) yang didirikan H.Samanhoedi di Solo tahun 1911 yang pada mulanya sebagai gerakan dagang, namun dengan cepat berubah organisasi politik nasional. Dan masa H.O.S Tjokroaminoto, Agus Salim dan Abdoel Moeis SI adalah organisasi pemula yang mengembangkan program politik yang menuntut pemerintahan sendiri (oleh rakyat Indonesia) dan kemerdekaan penuh.[4] Namun pada akhir tahun 1920 organisasi ini mulai melemah dan semakin kehilangan daya dobraknya dalam mengadakan konfrontasi dengan pihak kolonialis. Hal ini disebabkan menyusupnya faham Marxisme yang banyak menebar tuntutan sosialistik dan revolusioner,  perbedaan yang semakin mencuat dikalangan pengurus disebabkan kebijakan dan interes pribadi.
Tokoh tiga serangkai SI, Tjokroaminoto, Agus Salim, A Moeis dengan tegas menyatakan bahwa Islam adalah    ideologi  partai itu, dan mereka menggerakkan partai itu sejalan dengan gerakan Pan Islamisme di Timur Tengah.[5]  Dan pada perkembangan selanjutnya salah satu tokoh SI Agus Salim membentuk Barisan Penyadar pada tahun 1936 sebagai suatu bentuk kerjasama terbatas dengan kolonial namun tahun 1937 dibubarkan kembali(dikeluarkan dari SI) yang membuat SI semakin kecil, dan sebelumnya beberapa tokoh muda keluar dari SI membentuk organisasi sendiri seperti Soekarno (anak didik Cokroaminoto).
b.      Muhammadiyah
K.H. Ahmad Dahlan merupakan tokoh pendiri Muhammadiyah yang banyak diilhami oleh pemikiran keislaman dari Ibnu Timiyah, , Jamaluddin Al-Afghani(1839-1897), Muhammad Abduh(1849-1905) dan juga Rasyid Ridho(1865-1935) ketika menunaikan ibadah haji dan juga disempatkan untuk memperdalam pemahaman tentang Islam.
Maka dalam rangka merubah situasi dan kondisi bangsa pada itu beliau mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta, pada tanggal 18 Nopember 1912, juga merupakan langkah merintis Gerakan Salaf yang lebih konkrit. Pengurus pertama tersusun sebagai berikut : H.A Dahlan, Abdullah Sirad, H.Ahmad, H.Abdurrahman, R.H. Sarkawi,H.Muhammad, R.H. Djaelani, H.Anis dan H.M. Fakih.[6]  Dalam perkembangan selanjutnya organisasi ini berkembang pesat dalam berbagai kelengkapan organisasi sebagai tanggung jawab moral bangsa dari berbagai tekanan pihak kolonial, yaitu dengan mendirikan departemen-departemen: Majlis Pimpinan Pengajaran Muhammadiyah pada tgl,14 juli 1923, Pemberdayaan Wanita (gerakan/`Aisyiah) 1918 Kepanduan pertama dalam masyarakat Islam dengan nama Padvinder Muhammadiyah 1918 yang pada tahun 1920 diganti nama Hizbul Wathan  atas usul K.R.M.Hadjid.
Muhammadiyah adalah sebagai gerakan Islam yang tidak mencampuri politik, namun sebagai pribadi banyak anggotanya ikut serta duduk dalam badan-badan perwakilan, baik di daerah maupun di Pusat dalam gerakan Nasional. Dalam bidang politik, Muhammadiyah gigih menentang politik ganas penjajahan, tidak setuju tindakan kolonial mengadakan pengawasan terhadap pengajaran Indonesia, yang mempunyai arah tertentu terhadap hari depan bangsanya.[7]
Dalam perkembangan Muhammadiyah dalam konteks tokoh-tokohnya, memiliki peran dan andil yang cukup besar dalam membentuk negara RI terutama dalam meletakkan dasar negara, yang akan dipaparkan pada bahasan berikut dalam makalah ini nantilah.
c. Persatuan Islam (PERSIS),Ahmad Hasan dan Muhammad Natsir
Persis merupakan salah satu Organisasi Islam yang tokoh-tokohnya mempunyai andil besar dalam perjuangan kemerdekaan dan meletakkan dasar negara Republik Indonesia serta memiliki tokoh-tokoh yang terkenal smart dan konsekwen serta istikomah terhadap ajaran Islam. A.Hasan terkenal sebagai salah seorang ulama yang beraliran Reform, Radikal dalam memutuskan hukum-hukum Islam. Ia berjuang dalam persatuan islam yang didirikannya atas prakarsa K.H.Zamzam, berasal dari Palembang, pada tanggal 17 september 1923.[8]
A.Hasan merupakan ulama yang produktif dalam mengembangkan tulisan tentang keislaman, sehingga banyak melahirkan karya-karya tentang kebangunan umat Islam yang menyajikan soal-soal populer, sehingga banyak para kaum muda intelek yang bergabung dan menjadi angkatan muda Islam, diantara muridnya yang giat membantu dan mengikuti jejaknya adalah Muhammad Natsir pada tahun 1932. Bahkan Ir Soekarno banyak diilhami oleh pemikiran A.Hasan terhadap jiwa keagamaan yang dipeluknya.
Persatuan Islam selalu saja dapat menangkis serangan-serangan yang dilancarkan kepadanya mengenai Islam, Ia mempunyai alat menangkisnya, yakni majallah “Pembela Islam”.[9] 

d. Nahdhatul `Ulama (NU)
Pergumulan Islam dengan nilai budaya setempat menuntut adanya penyesuaian terus menerus tanpa harus kehilangan ide aslinya sendiri, penghadapan Islam dengan realitas sejarah akan memunculkan realitas baru yang beragam. Organisasi Jam`iyah Nahdatul `Ulama yang didirikan tahun 1926 di Surabaya merupakan salah satu wujud dari fenomena di atas.[10]
Kelahiran NU memiliki rentetan pengaruh yang besar  dari terbentuknya kongres Al-Islam tentang masalah khilafah yang akan diadakan di Kairo ,serta organisasi komite Hijaz yang akan diutus sebagai delegasi tentang nasib kedua kota suci umat Islam yaitu Mekkah dan Madinah, yang telah menghebohkan umat Islam di dunia sehubungan dengan berdirinya penguasa Ibn Sa`ud yang beraliran wahabi. Maka muncullah K.H. Hasyim Asy`ari yang dipilih sebagai raisul Akbar (ketua dewan syuriyah) dalam rapat para tokoh-tokoh pesantren.
Komite Hijaz yang dibentuk sebelum Januari 1926 diketuai Hasan Gipo dan penasehat K.H. Abdul Wahab akan mengadakan pertemuan komite Hijaz 31 januari 1926, untuk mengutus perwakilan delegasi, lalu timbul masalah atas nama organisasi apa delegasi itu dikirim. K.H Mas Alwi mengusulkan nama Nahdatul `Ulama. Usul itu disepakati sidang komite maka komite Hijaz dibubarkan.[11]
Latar belakang terbentuknya NU disebabkan organisasi Al-Islam tidak mengakomodir para Kiyai (Perwakilan Pesantren) sebagai utusan maupun pemikirannya untuk dibawa kekongres di Kairo. Hal ini dapat dimaklumi mengingat pengurus yang ada di Al-Islam lebih cenderung kepemahaman Wahabi . Sehingga para Kiyai berhimpun membentuk organisasi yang dinamakan Komite Hijaz.
Setelah terbentuknya NU, maka 2 tahun kemudian diutuslah delegasi mengahadap Kerajaan Saudi menyampaikan aspirasi Ulama Indonesia.
Ada 4 pokok pemikiran yang disampaikan kepada Raja Ibn Abd Aziz Sa`ud, mengingat utusan kelompok komite Hijaz gagal mengutus delegasinya sehingga hanya melalui surat disampaikan aspirasi yaitu;  Kebebasan menjalankan praktek keagamaan menurut salah satu mazhab, buku-buku mereka dizinkan masuk ke Arab Saudi, perawatan dan pemeliharaan tempat pusakan yang bernilai sejarah, tidak dihancurkan, perbaikan tata laksana ibadah haji dan tarif resmi serta jaminan hukum.[12]

  1. Pengaruh Tokoh dan Ormas Nasional Pra Merdeka
Pada pertengahan 1920an di saat SI mengalami perpecahan dan sudah kurang menarik terutama bagi yang lebih muda yang  dididik secara barat, akhirnya keluar membentuk organisasi baru. Salah seorang di antaranya adalah Soekarno, anak didik Tjokroaminoto, yang memutuskan untuk membentuk organisasi politik sendiri – Partai Nasional Indonesia (PNI) – pada tahun 1927 dan mengembangkan paham ideologi politik yang berbeda.[13]
Sejak tahun 1930an dan selanjutnya, kelompok ini-bersama beberapa intelektual dan aktivitas didikan barat lain yang baru kembali dari belanda (terutama Syahrir, Mohammad  Hatta) membentuk cikal bakal gerakan nasionalis di Indonesia.[14]
Setelah PNI terbentuk,maka menyusullah Partai-partai nasional kebangsaan lainnya sebagaimana yang dikutip dalam buku Politik Islam Indonesia,Partai Indonesia (Partindo) April 1931, Partai Indonesia Raya (Parindra) 26 desember 1935, dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) 24mei 1937. Gerakan-gerakan ini lahir sebagai reaksi terhadap kolonialisme dan mencita-citakan Indonesia merdeka berdasarkan kebangsaan.[15]
Dan masih banyak lagi Organisasi dan partai-partai nasional yang bersifat kebangsaan dan sekuler,seperti GAPI 1939, Djawa Hokokai 1944
C. Proses Kelahiran Dasar Negara
1.  Terbentuknya BPUPKI
Setelah Jepang menang dalam perang pasifik dengan sekutu 1941, jepang menggantikan kolonial belanda, dan menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa indonesia, sehingga pada tanggal 24 april 1945 BPUPKI dibentuk menyusul janji pemerintah kolonial Jepang yang segera akan memberikan kemerdekaan kepada seluruh rakyat indonesia.[16] Pembentukan dan janji tersebut dilatar belakangi oleh motif dan muatan politik yang sangat kental, yaitu Jepang hendak menarik simpati dan dukungan kekuatan dalam upaya jepang memenangkan perang melawan sekutu yang terus berkecamuk. Namun keduluan jepang takluk dengan dibombardirnya Hiroshima dan Nagasaki oleh pihak sekutu pada tanggal 15 agustus 1945. Sehingga jepang tidak berdaya lagi dan berbarengannya daerah jajahannya satu-oersatu melepaskan dan memerdekakan diri.
BPUPKI diresmikan oleh komandan militer Jepang di jawa pada tanggal 28 mei 1945 dan menyelengggaran sidang-sidangnya secara intensif dalam dua tahap yang secara aktif dihadiri oleh nasionalis sekuler. Sidang-sidang BPUPKI tahap pertama berlangsung dari tanggal 29 mei hingga 1 juni 1945, dan sidang-sidang BPUPKI tahap kedua dilaksanakan dari tanggal 10 juli sampai tanggal 16 juli 1945.[17]

2. Pergumulan Islam dan Nasionalis
Setelah terbentuk dan berdirinya BPUPKI, tentunya perjalanan menuju pesiapan kemerdekaan telah sangat dekat, namun mengalami perjuangan dan perdebatan yang sangat alot dalam melaksanakan dan mengahsilkan konsep yang menjadi bingkai negara.
Tema sentral yang dibahas dalam BPUPKI.[18] Tentunya yang berkaitan dengan syarat-syarat dan perangkat pendirian sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, dan hampir seluruh peserta dalam rapat BPUPKI menyetujui dan menyepakati persoalan yang dibahas, kecuali mengenai “Dasar Negara” yang menjadi topik yang sangat alot dan sengit dalam memperbincangkannya dan menyepakatinya, sehingga hal yang satu ini menjadi sejarah yang selalu menarik untuk diperbincangkan, bahkan selalu dijadikan issu central dalam perkembangan politik sampai saat ini di Negara RI.
Dalam perbincangan mengenai dasar negara ini, terdapat dua golongan politik secara garis besar yakni, golongan Nasional Islam (Islam sebagai dasar dan menjadi satu dengan negara), dan Nasional Sekuler (pemisahan agama dan negara), karena dasar perjuangan yang antara satu dengan lainnya saling berbeda, yang satu didasarkan pada watak nasionalisme dan lainnya pada Islam dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka.
Dalam konteks historis inilah dua kelompok yang saling bertentangan muncul dalam diskursus politik Indonesia: (1) golongan Islam dan (2) golongan Nasionalis. Pada awalnya, benturan antara kedua kelempok berlangsung disekitar masalah watak nasionalisme. Dalam upaya menemukann ikatan bersama untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, Soekarno secara luas mendefenisikan nasionalisme sebagai” cinta kepada tanah air, kesediaan yang tulus untuk membaktikan diri dan mengabdi kepada tanah air, serta kesediaan untuk mengenyampingkan kepentingan golongan yang sempit.[19]
Pernyataan Soekarno sebagai kelompok nasionalis tersebut mendapat tanggapan keras dan tegas dari kelompok Islam antara lain;
Ahmad Hasan,pemimpin organisasi reformasi Persatuan Islam (Persis), mengkritik nasionalisme sebagai suatu yang berwatak chauvinistik.[20] Dalam hal ini terjadilah dialog yang memanas dalam membicarakan watak perjuangan .
“Tetapi arti dasar dan makna dari Nasionalisme itu? Apakah penghormatan terhadap” Ibu Pertiwi” itu tidak melampaui ketakwaan kepada Allah, tanya Haji Agus Salim. Kita tak Chauvinis kata Soekarno, kebangsaan kita bertolak dari harkat kemanusiaan. Baiklah, kata A.hasan pemimpin Persatuan Islam(Persis) Bandung, tetapi jika kita berjuang “ demi bangsa”, apapun mungkin perumusannya, bukannya” Demi Allah”, maka sesungguhnya kita telah melibatkan diri dalam dosa tanpa ampun, bukanlah salah satu yang paling ditentang oleh Nabi Besar Muhammad saw adalah sifat Ashabiyah, kesukuan, sedangkan Islam bersifat Universal?. Jadi berjuang demi bangsa adalah hal yang mengingkari ajaran pokok Islam.[21]
Selanjutnya seorang pemuda cerdas dan berani sekaligus pernah menjadi kader A.Hasan menyampaikan pemikirannya begitu kokoh yaitu, M.Nasir bertutur; tanpa Islam, maka nasionalisme Indonesia itu tidak akan ada; karena Islam pertama-tama telah menanamkan benih-benih persatuan Indonesia, (dan telah) menghapuskan sikap-sikap isolasionis pulau-pulau yang beragam.[22] Dalam hal ini Natsir memandang bahwa kemerdekaan hanyalah sebuah jalan dan yang menjadi tujuan adalah Ridho Allah, dan dalam buku The modernist Muslim  Movement in Indonesia” Orang Islam tidak akan berhenti hingga itu (yakni kemeredekaan), melainkan akan melanjutkan perjuangannya selama(negara) belum didasarkan dan diatur menurut susunan hukum kenegaraan Islam”.[23]
Selanjutnya, untuk memperkokoh gagasan mengenai sebuah negara yang sudah didekonfessionalisasikan ini, Soekarno mengusulkan “lima prinsip pokok” yang belakangan dikenal sebagai Pancasila, untuk diterima sebagai philosophische grondslag (landasan filosofi) negara.[24] Maka pada sidang BPUPKI tertanggal 1 juni 1945 Soekarno sebagai mewakili seluruh elite Nasionalis sekuler mengusulkan “ Pancasila dengan rumusan :
1.      Kebangsaan Indonesia
2.      Internasionalisme atau perikemanusiaan
3.      Mufakat atau demokrasi
4.      Kesejahteraan sosial
5.      Ketuhanan.[25]
Maka rumusan ini mendapat tanggapan yang keras dari kelompok Nasional Islam yang dipandang sebagai hasil pemikiran sosial filosofis yang tidak ada relevansinya dengan paradigma agama dan mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Dan setelah melalui gelombang perdebatan ideologis-politis yang panjang dan memelahkan, kaum Nasionalis Muslim dan faksi Nasionalis sekuler pada tanggal 22 juni 1945 berhasil mencapai kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta.[26] Dan lebih lanjut dalam piagam Jakarta ini Pancasila usulan Soekarno direformulasikan sehingga berbunyi seperti pancasila saat ini kecuali sila pertama yaitu Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Setelah sidang pertama dari BPUPKI selesai dibentuklah Panitia Kecil (Panitia sembilan) yang terdiri dari: Soekarno, Muhammad Hatta, A.A,Maramis, Ahmad Soebardjo, Muhammad Yamin. Kelima tokoh ini mewakili golongan sekuler. Sedangkan empat selebihnya: Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Abdul Wahid Hasyim, dan Abikoesno adalah mewakili golongan Islami.[27]
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan negara Republik Indonesia diumumkan, kelompok kristen di kawasan Indonesia bagian timur, melalui seorang opsir angkatan laut Jepang menyatakan keberatan mereka kepada Muhammad Hatta apabila piagam Jakarta tetap akan dilaksanakan. Pada tanggal 18 agustus 1945 beberapa saat sebelum PPKI (Panitia persiapan kemerdekaan indonesia) secara resmi menyelenggarakan sidangnya yang bersejarah, Hatta mengadakan pertemuan dengan para wakil kelompok Nasionalis Muslim(antara lain Teuku Muhammad Hasan dan Ki Bagus Hadikusumo).[28] Dalam pertemuan tersebut disepakati menghapus 7 kata dari sila pertama yaitu dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya.
Menurut analisa penulis, bahwa usulan angkatan laut Jepang tentang ketidak setujuan menjadikan Negara Islam atas dasar adanya kaum minoritas yang menduduki Sulawesi dan Kalimantan, merupakan sesuatu yang tidak substansial sebagai alasan. Penulis melihat bahwa mayoritas bangsa Indonesia dan panitia BPUPKI adalah muslim, namun secara mental dan psikologis tidak siap menerima Islam sebagai aturan hidup, di samping para tokoh-tokoh Nasional yang banyak mengecap pendidikan barat dan terpengaruh dengan pemikiran modernis secular.
Pergumulan dasar Negara di Indonesia telah beberapa kali dicoba dan diupayakan, baik pada masa Orde Lama, yang menuntut kembali piagam Jakarta ditetapkan sebagai dasar Negara, namun Soekarno dan antek-anteknya malah banyak melakukan penekanan dan mengisolasikan tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh, dan mengantarkan Soekarno kedalam bentuk kepemimpinan otoriter dan lari dari consensus nasional.
Demikian juga masa Orde Baru mengeluarkan Undang-undang Organisasi dan Politik yang mengarah pada system pemerintahan Absolut dan rezim.
 Hal sama juga terjadi ketika dibentangkannya Reformasi telah dicoba untuk mengangkat kembali tentang status piagam Jakarta, namun hanya merupakan komoditi politik murahan dari segelintir umat Islam yang memiliki martabat dan jiwa keislamannya, agar dapat dikenal dan dapat dukungan dari masyarakat awam.
Mempunyai  negara nasional berarti politik telah diinstitusionalisasikan kedalam negara nasional dengan menumbuhkan sebuah otoritas, dan kepada kelompok diminta partisipasi politik. Sebuah negara nasional juga berarti persaudaraan baru, di atas persaudaraan lama.[29] Dan dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia yang telah berkali berganti sistem dan  pemerintahan, baik Orde Lama hingga pemilu pertama, dan Orde Baru hingga Reformasi telah berkali diupayakan untuk menjadikan issu central politik masalah dasar negara agar dikembalikan kepiagam Jakarta, namun hanya sekedar komoditas politik dalam mendongkrak populeritas belaka tanpa realitas.
D. Penutup
Ketika Bangsa Indonesia akan menjelang kemerdekaannya, segala  potensi bangsa dari berbagai unsur kelompok etnis, suku dan agama yang berbeda satu sama lain mengerahkan segala daya untuk mewujudkan impian bangsa yang bebas dari belenggu penjajah. Sehingga terbentuklah berbagai kekuatan nasional baik yang berbentuk sekuler maupun yang bersifat agamis dengan persi yang berbeda tapi memiliki satu tujuan.
Perbedaanpun terjadi dengan sengitnya ketika akan menetapkan landasan bagi bangunan negara, hal ini dilatar belakangi pemikiran dan latar belakang serta  kondisi psikologis para tokoh-tokoh yang diamanatkan melahirkan landasan tersebut, walau akhirnya kompromipun tercapai namun tetap menyisahkan sejarah yang  merugikan umat Islam dengan toleransinya yang tinggi dalam menghargai kaum minoritas. Yang menurut penulis tidaklah memiliki andil apapun dibanding perjuangan dan pengorbanan umat Islam dalam kurun waktu yang lama pada masa lampau.



Daftar Pustaka :

Effendy Bahtiar, Islam Dan Negara, Transformasi Pemikiran dan
          Kritik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998)

Haidar M.Ali, Nahdatul Ulama dan Islam Di Indonesia, Pendekatan
          Fikih dalam Politik, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama,
         1994)

Ismail Faisal,Pijar-pijar Islam, Pergumulan kultur dan Struktur,( Yogyakarta: Lesfi Yogya, 2002)

Abdullah Taufiq, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1987)

Katimin, Politik Islam Indonesia, (Bandung: Citapustaka Media, Tahun, 2007)

L.Stoddard, Dunia Baru Islam,Terjemah (Jakarta, 1966)
 
  Noer Deliar, The modernist Muslim  Movement in Indonesia 1900-1942, (Jakarta:Oxford University Press, 1978)


[1] Faisal Ismail,Pijar-pijar Islam, Pergumulan Kultur dan Struktur,( Yogyakarta: Lesfi Yogya, 2002), h. 64
[2] Taufiq Abdullah, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1987), h.15
[3] Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Kritik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998),h. 62-6
[4] ibid
[5] Ibid, h. 67
[6] L.Stoddard, Dunia Baru Islam,Terjemah (Jakarta, 1966), h. 307-308
[7] Ibid,h. 315
[8] L.Stoddard, Dunia Baru Islam, h. 316
[9] Ibid, h. 317
[10] M.Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam Di Indonesia, Pendekatan Fikih dalam Politik, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 2
[11] Ibid, h. 59
[12] Ibid, h.81-82
[13] Bahtiar Effendy,h. 69
[14] Bahtiar E,h. 70
[15] Katimin, Politik Islam Indonesia, (Bandung: Citapustaka Media, Tahun, 2007), h. 79
[16] Faisal Ismail,Pijar-pijar Islam, h. 35
[17] Ibid, h. 36
[18] Pokok bahasan BPUPKI adalah Bentuk, Batas Negara, Dasar Filsafat Negara, dan yang berkaitan dengan masalah konstitusional. Katimin, Politik Islam Indonesia, h. 84
[19] Ibid. h. 71
[20] Bahtiar Effendi,Islam dan Negara, h. 71
[21] Taufiq Abdullah, Islam dan Masyarakat,,h. 15
[22] Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Kritik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998),h. 73
[23] Deliar Noer, The modernist Muslim  Movement in Indonesia 1900-1942, (Jakarta:Oxford University Press, 1978), h. 276
[24] Ibid, h. 88
[25] Bakhtiar Effendi, h. 37
[26] Faisal Ismail,Pijar-pijar Islam, h. 39
[27] Katimin, Politik Islam Indonesia, h. 86
[28] Ibid, h. 40
[29] Ibid, h. 58-59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar