Kamis, 28 Mei 2015

HADIS : SESUDAH ZAMAN SAHABAT HINGGA SEKARANG



A.  Pendahuluan

Hadis adalah sumber hukum Islam yang pertama sesudah Alqur’an. Selain berkedudukan sebagai sumber hukum, Hadis memiliki fungsi sebagai penjelas, perinci dan penafsir Alqur’an. Berdasarkan hal ini, kajian tentang Hadis memiliki kedudukan yang penting di dalam studi ilmu sumber hukum di dalam Islam.
Salah satu usaha membangun pemahaman tentang Hadis adalah pemahaman tentang sejarah Hadis sesudah zaman sahabat hingga sekarang. Sejarah penulisan Hadis seringkali menjadi bahan kontroversi di kalangan sebagian kaum muslim maupun non muslim. Ada sebagian yang menolak untuk menerima otentisitas Hadis Nabi lantaran mereka berargumen bahwa Hadis Nabi ditulis dan dibukukan dua abad sesudah wafatnya Rasulullah Muhammad, suatu rentang waktu yang agak lama berlalu sehingga dapat menyebabkan timbulnya perubahan dan pergeseran lafazh serta makna Hadis yang bersangkutan. Mereka ini beranggapan hanya berdasarkan asumsi rasional semata dan tidak melihat serta meneliti berbagai argumen yang bisa diterima oleh syari’at Islam serta tidak mengkaji serta menelaah sejarah penulisn dan pembukuan Hadis dengan benar. Sementara di sisi yang lain ada sebagian kaum yang secara tekstual menerima begitu saja Hadis Nabi tanpa mempedulikan kesahihan dan ketidaksahihannya. Oleh karena itu, pada makalah ini akan disajikan uraian tentang sejarah Hadis sesudah masa sahabat hingga sekarang.


B.   Penulisan dan Pembukuan Hadis secara resmi (Abad ke 2 H)
Pada periode ini Hadis-Hadis Nabi saw mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi. Adapun Khalifah yang memerintah pada saat itu adalah Umar ibn Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah. Umar ibn  Abdul  Aziz

mempunyai kepentingan di dalam kepemimpinannya untuk menulis dan membukukan Hadis secara resmi, yang selama ini berserakan di dalam catatan dan hafalan para Sahabat dan Tabi’in. Hal tersebut dirasakannya  begitu mendesak, karena pada masa itu wilayah kekuasaan Islam telah mulai meluas  sampai ke daerah-daerah di luar jazirah Arabia, di samping para Sahabat sendiri, yang hafalan dan catatan-catatan pribadi mereka mengenai Hadis Nabi merupakan sumber rujukan bagi ahli Hadis ketika itu sebagian besar telah meninggal dunia karena faktor usia dan akibat banyaknya terjadi peperangan. Dan pada masa itu, yaitu awal pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, Hadis masih belum dibukukan secara resmi. [1]  
Ada perbedaan dalam penghimpunan Hadis dengan Alquran. Hadis mengalami masa yang lebih panjang sekitar tiga abad dibanding dengan Alquran yang hanya memerlukan waktu relatif lebih pendek. Yang dimaksud dengan periodesasi penghimpunan Hadis dalam hal ini adalah fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan Hadis, sejak Rasulullah saw masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab Hadis yang dapat disaksikan sekarang ini.[2]
Pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz, Islam sudah meluas sampai ke daerah-daerah yang tentunya pemahaman dan pemikiran mereka khususnya tentang keislaman itu sendiri adalah Hadis. Khalifah berinisiatif untuk mengumpulkan Hadis-Hadis tersebut dikarenakan semakin meluasnya perkembangan Islam yang umumnya orang-orang yang baru memeluk agama Islam butuh dengan pengajaran yang  didasarkan pada Hadis-Hadis Nabi. Selain itu gejolak politik yang terjadi di kalangan umat Islam, ada beberapa kelompok yang mencoba menyelewengkan sabda-sabda Rasulullah saw yang akhirnya akan merusak ajaran kemurnian Islam itu sendiri. Oleh  karena  itu  Umar  ibn  Abdul   Aziz   telah   menyusun  suatu

gerakan yang penuh semangat dalam rangka penyebarluasan dakwah Islamiyah.[3]  
Ada beberapa faktor yang mendorong Umar bin Abdul Aziz mengambil inisiatif untuk memerintahkan para gubernur dan pembantunya untuk mengumpulkan dan menulis Hadis. Faktor-faktor yang dimaksud adalah :
1.         Tidak adanya lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan Hadis ;
2.         Munculnya kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya Hadis ;
3.         Semakin maraknya kegiatan pemalsuan Hadis, dan ;
4.         Semakin luasnya daerah kekuasaan Islam.[4]
Umar ibn Abdul Aziz dikenal secara umum dari kalangan penguasa sebagai tokoh yang memprakarsai pembukuan Hadis Nabi SAW secara resmi. Akan tetapi menurut ‘Ajjaz al-Khatib berdasarkan sumber yang sah dari Thabaqat ibn Sa’ad kegiatan pembukuan Hadis ini telah lebih dahulu diprakarsai oleh ‘Abd Aziz ibn Marwan (w.85 H).[5] Meskipun ‘Abd Aziz sebagaimana dikemukakan oleh ‘Ajjaz al-Khatib telah lebih dahulu memprakarsai pengumpulan Hadis, namun karena kedudukannya hanya sebagai seorang gubernur, maka jangkauan perintahnya untuk mengumpulkan Hadis kepada aparatnya adalah terbatas sekali.
          Pada abad ke 2 H terdapat kitab-kitab yang merupakan hasil kodifikasi yang masih dapat dijumpai sampai sekarang. Kitab-kitab tersebut adalah Kitab Al-Muwaththa’ oleh Imam Malik, Kitab Musnad Al-Syafi’i oleh Imam Al-Syafi’i, Kitab Mukhtaliful Hadis oleh Imam Al-Syafi’i, dan Kitab Al-Sirat al-Nabawiyah  oleh Ibn Ishak.[6]




C.  Masa Pemurnian dan Penyempurnaan Penulisan Hadis              (Abad ke 3 H)

Masa pemurnian dan penyempurnaan Hadis berlangsung sejak pemerintahan al-Ma'mun sampai awal pemerintahan al-Muqtadir dari khalifah Dinasti Abbasiyah. Ulama-ulama Hadis memusatkan pemeliharaan pada keberadaan Hadis, terutama kemurnian Hadis Nabi saw, sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan pemalsuan Hadis yang semakin marak.[7]
Kegiatan pemalsuan Hadis mengalami masa yang begitu lama, sejak dari pemerintahan al-Ma'mun, al-Mu'tasim dan Wastiq, yang mereka sangat mendukung kaum Mu'tazilah. Momentum pertentangan mazhab juga dimanfaatkan oleh kaum kafir Zindiq yang memusuhi Islam untuk menciptakan Hadis-Hadis palsu dan menyesatkan kaum muslimin dan tidak ketinggalan para pengarang cerita juga memanfaatkan setuasi tersebut. Ulama Mu'tazilah tidak saja mempengaruhi pikiran khalifah untuk bertindak keras terhadap ahli Hadis, bahkan mereka melepaskan umpat dan caci maki kepada ahli Hadis serta menuduh ahli Hadis bodoh dan dungu.[8]
 Para ulama berupaya agar pelestarian yang berbentuk Hadis dapat terus dipertahankan dan diabadikan tentunya dengan menyeleksi satu demi satu Hadis yang telah masuk ataupun penemuan baru yang hubungan keakuratannya adalah bisa dipertanggungjawabkan serta memang benar-benar datang dari Nabi saw. Maka para ulama melakukan kunjungan ke daerah-daerah untuk menemui para perawi Hadis yang jauh dari pusat kota. Di antara mereka adalah Imam Bukhari yang telah melakukan perjalanan selama 16 tahun dengan mengunjungi kota Mekkah, Madinah dan kota-kota lain. Seterusnya mereka juga melakukan pengklasifikasian Hadis yang disandarkan kepada Nabi (marfu'), dan yang disandarkan kepada para sahabat (mawquf), serta yang disandarkan kepada tabi'in (maqthu'), serta penyeleksian Hadis kepada Hadis Shahih, Hasan, dan Dha'if.

Adapun bentuk penyusunan kitab Hadis pada periode ini adalah:
1.    Kitab Shahih, kitab ini hanya menghimpun Hadis-Hadis Shahih, sedangkan yang tidak Shahih tidak dimasukkan kedalamnya. Yang termasuk dalam kitab shahih adalah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
2.    Kitab Sunan, di dalam kitab ini selain dijumpai Hadis-Hadis Shahih, juga dijumpai Hadis yang berkualitas Dha'if dengan syarat tidak terlalu lemah dan tidak munkar. Yang termasuk dalam kitab ini antara lain Sunan Abi Dawud, Sunan at Turmudzi, Sunan al Nasa’i dan Sunan ibn Majah. 
3.    Kitab Musnad, di dalam kitab ini dijumpai Hadis-Hadis disusun berdasarkan urutan kabilah, seperti mendahulukan Bani Hasyim dari yang lainnya, ada yang menurut urutan lainnya seperti huruf hijaiyah dan lain sebagainya. Yang termasuk kitab ini adalah Musnad Ahmad ibn Hanbal.[9]

D.  Masa Pemeliharaan, penertiban dan penambahan dalam penulisan Hadis (Abad 4 s/d 7 H)

  Dimulai dari khalifah al-Muqtadir sampai pada al-Mu'tashim, walaupun kekuasaan Islam sudah mulai melemah pada abad ke 7 akibat serangan Holagu Khan cucu dari Jengis Khan, namun kegiatan para ulama Hadis dalam rangka memeliharannya dan mengembangkannya berlangsung sebagaimana pada periode sebelumnya. Hanya saja Hadis yang dihimpun tidaklah sebanyak masa sebelumnya. Adapun kitab-kitab Hadis yang dihimpun adalah:
1.    Al-Shahih, oleh ibn Khujaimah (313 H).
2.    Al-Anwa'wa al-Taqsim, oleh ibn Hibban (354 H).
3.    Al-Musnad, oleh Abu Awanah (316 H).

4.    Al-Muntaqa, oleh ibn Jarud.
5.    Al-Muhtarah, oleh Muhammad ibn Abd al-Maqdisi.[10]
Kitab-kitab di atas merupakan bahan rujukan bagi para ulama Hadis, sekaligus mempelajari, menghafal dan memeriksa serta menyelidiki sanad-sanadnya. Selanjutnya menyusun kitab baru dengan tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun sanad dan matannya yang saling berhubungan serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab yang telah ada tersebut.[11] 
Adapun bentuk-bentuk penyusunan kitab Hadis pada periode ini memperkenalkan sistem baru, yaitu:
1.    Kitab Athraf, di dalam kitab ini penyusunnya hanya menyebutkan sebagian dari matan Hadis tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab Hadis yang dikutip matannya ataupun dari kitab-kitab lainnya.
2.    Kitab Mustakhraj, kitab ini memuat matan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, atau keduanya atau yang lainnya, dan selanjutnya penyusunan kitab ini meriwayatkan matan Hadis tersebut dengan sanadnya sendiri.
3.    Kitab Mustadrak, kitab ini menghimpun Hadis-Hadis yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya.
4.    Kitab Jami', kitab ini menghimpun Hadis-Hadis yang termuat dalam kitab-kitab yang telah ada, seperti:
a.    Yang menghimpun Hadis-Hadis shahih Bukhari dan Muslim.
b.    Yang menghimpun Hadis-Hadis dari al-Kutub al-Sittah.
c.    Yang Menghimpun Hadis-Hadis Nabi dari berbagai kitab  Hadis.


E.   Pensyarahan, penghimpunan, pentakhiran, dan pembahasan Hadis (Abad 7 H s/d sekarang)

1. Kegiatan periwayatan Hadis
 Periode ini dimulai sejak Kekhalifahan Abbasyiah di Baghdad ditaklukkah oleh tentara Tartar (656 H/1258 M), yang kemudian Kekhalifahan Abbasyiah tersebut dihidupkan kembali oleh Dinasti Mamluk dari Mesir setelah mereka berhasil menaklukkan bangsa Mongol tersebut. Pembaiatan khalifah oleh Mamluk hanyalah berupa simbol saja agar daerah-daerah Islam yang lain dapat mengakui Mesir sebagai pusat pemerintahan Islam, dan selanjutnya mengakui Dinasti Mamluk sebagai penguasa Dunia Islam.
Pada abad ke 13 H, Mesir di bawah pimpinan Muhammad Ali bangkit untuk mengembalikan kejayaan Mesir pada masa silam. Namun Eropa yang dimotori oleh Inggris dan Prancis semakin bertambah kuat dan berkeinginan menguasai dunia. Kebangkitan umat Islam baru mulai pada pertengahan abad ke 10 M.[12]
Sejalan dengan kondisi Islam di atas, maka periwayatan Hadis pada periode ini lebih banyak dilakukan dengan cara ijazahi dan mukatabah.[13] Sedikit sekali dari ulama Hadis pada periode ini melakukan periwayatan Hadis secara hafalan sebagaimana yang dilakukan oleh ulama Mutakaddimin, di antaranya:
1.    Al-'Iraqi (w. 806 H/ 1404 M). Dia berhasil mendektekan Hadis secara hafalan kepada 400 majelis sejak tahun 796 H / 1394 M, serta menulis beberapa kitab Hadis.
2.    Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H / 1448 M), seorang penghafal Hadis yang tiada tandingannya pada masanya. Ia telah mendektekan Hadis kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab yang berkaitan dengan Hadis.
3.    Al-Sakhawi (w. 902 H / 1497 M), ia merupakan murid Ibnu Hajar, yang telah mendektekan Hadis kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab.[14] 
Pada masa ini, para ulama Hadis pada umumnya mempelajari kitab-kitab Hadis yang sudah ada dan selanjutnya mengembangkannya dan meringkasnya sehingga menghasilkan jenis-jenis karya seperti kitab Syarah, Mukhtashar, Zawa'id, Takhrij dan lain sebagainya. Tentunya tidak terlepas dari pengkaji Hadis pada saat sekarang, selain mengkaji Matan (isi) Hadis tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan dan bacaan pada generasi baru dan tidak hanya menerima bahwa Hadis tersebut shahih atau tidak shahih. Akan tetapi kita telah mendapatkan suatu pengetahuan dasar untuk mencari dan memastikan sebab musabab Hadis tersebut beroperasi, yang tentunya tidak terlepas dari perjalanan menyelamatkan Hadis dari orang-orang yang ingin menyelewengkannya.
Dalam hal ini kita tidak terlepas dari ilmu Tarikh al-Ruwah yang  membicarakan hal ihwal para rawi Hadis baik yang bersangkutan dengan umur dan tanggal kapan mereka dilahirkan, dimana domisili mereka dan kapan mereka menerima Hadis dari guru-guru mereka.[15]
 2. Bentuk penyusunan kitab Hadis
Pada periode ini, umumnya para ulama Hadis mempelajari kitab-kitab Hadis yang telah ada, kemudian mengembangkan dan meringkaskannya sehingga menjadi sebuah karya sebagai berikut:
a.    Kitab Syarah. Yaitu kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan Hadis dari kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lain yang bersumber dari Alquran, Hadis, ataupun kaidah-kaidah syara’ lainnya.[16] Di antara contohnya adalah:
1.    Fath al-Bari, oleh Ibn Hajar al-asqalani, yaitu syarah kitab Shahih al-Bukhari.
2.    Al-Minhaj, oleh al-Nawawi, yang mensyarahkan kitab Shahih Muslim.
3.    ‘Aun al-Ma’bud, oleh Syams al-Haq al-Azhim al-Abadi, syarah sunan Abu Dawud.
b.    Kitab Mukhtashar. Yaitu kitab yang berisi ringkasan dari suatu kitab Hadis, seperti Mukhtashar Shahih muslim, oleh Muhammad fu’ad abd al-Baqi.
c.    Kitab Zawa’id. Yaitu kitab yang menghimpun Hadis-Hadis dari kitab-kitab tertentu yang tidak dimuat kitab tertentu lainnya. Di antara contohnya adalah  Zawa’id al-sunan al-Kubra, oleh al-Bushiri, yang memuat Hadis-Hadis riwayat al-Baihaqi yang tidak termuat dalam al-Kutub al-Sittah.
d.   Kitab petunjuk (kode indeks) Hadis. Yaitu, kitab yang berisi petunjuk-petunjuk praktis yang mempermudah mencari matan Hadis  pada kitab-kitab tertentu. Contohnya, Miftah Kunuz al-Sunnah, oleh A.J. Wensinck, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh M. Fu’ad ‘Abd al-Baqi.
e.    Kitab Takhrij. Yaitu kitab yang menjelaskan tempat-tempat pengambilan Hadis-Hadis yang memuat dalam kitab tertentu dan menjelaskan kualitasnya. Contohnya adalah, Takhrij Ahadits al-Ihya’, oleh Al-‘Iraqi. Kitab ini men-takhrij Hadis-Hadis yang terdapat di dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali.
f.    Kitab Jami’. Yaitu kitab yang menghimpun Hadis-Hadis dari berbagai kitab Hadis tertentu, seperti al-Lu’lu’ wa al-Marjan, karya Muhammad fu’ad al-Baqi. Kitab ini menghimpun Hadis-Hadis Bukhari dan Muslim.
g.    Kitab yang membahas masalah tertentu, seperti masalah hukum. Contohnya, Bulugh al-Maram min Adillah al-Hakam, oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani dan koleksi Hadis-Hadis Hukum  oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.[17]
Dengan adanya karya-karya besar para ahli Hadis tersebut, maka dapatlah mempermudah generasi sekarang ini dalam mempelajari serta mentelusuri Hadis-Hadis yang ada sekarang, sehingga dapat mengetahui kualitas Hadis-Hadis tersebut, dan menghindarkan diri dari pengamalan Hadis-Hadis yang daif.

F.   Kesimpulan

Pada masa pemerintahan Umar ibn ‘Abd al-Aziz merupakan titik awal pengumpulan Hadis secara resmi dan dalam jangkauan wilayah yang luas seiring dengan semakin luasnya wilayah Islam. Kegiatan ini terjadi pada awal abad kedua hijriah. Ada beberapa faktor yang menjadi pendorong usaha pengumpulan Hadis Nabi SAW. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang membedakan antara usaha yang dilakukan ‘Abdul Azis ibn Marwan dengan Umar Ibn ‘Abd al-Aziz.
   Dalam perkembangannya Hadis mengalami pemalsuan, baik dilatarbelakangi oleh politik atau yang lainnya. Maka untuk mengatasi hal ini diadakan usaha pemurnian Hadis pada abad ketiga. Pada tahap perkembangan berikutnya, Hadis mulai ditertibkan dengan menyusun Hadis dalam beberapa kitab Hadis yang memiliki karakteristik dan sistematika tertentu. Selanjutnya, Hadis disyarahkan dihimpun kembali dan dibahas pada masa sekarang. Dengan demikian usaha pemeliharaan Hadis masih tetap berlangsung hingga saat ini.

DAFTAR PUSTAKA


Hasan, Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2003.
Ismail, Shuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa, 1991.
Rahman, Farhur. Ikhtishar Mushthalul Hadis. Bandung: Alma'arif, 1974.
Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.  


[1] Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, (Jakarta :Mutiara Sumber Widya,2001) cet I. hal.125.  
[2] Shuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa, 1991), hal. 69.
[3] Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), hal. 97.               
[4]  Nawir Yuslem, Op.Cit.  hal. 126                   
[5]  Ibid.                                                                                                                                     
[6]  Ibid. hal. 131                                                                                                                       
[7] Yuslem, Op.Cit, hal. 133.
[8] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 87.
[9]  Nawir Yuslem, Op.Cit. hal. 136                                                                                              
[10] Yuslem, Ulumul Hadis…… h. 139.
[11] Ibid. h. 139.
[12]  Ibid. hal. 142                                                                                                                      
[13] Ijazah adalah pemberian izin dari seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan Hadis-Hadis yang berasal dari guru tersebut, baik yang tertulis maupun yang berupa hafalan. Sedangkan mukatabah adalah pemberian catatan Hadis dari seorang guru kepada orang lain (muridnya), baik catatan tersebut ditulis oleh guru itu sendiri ataupun yang didektekan kepada muridnya. Lihat Nawir Yuslem, Ulumul Hadis…. h. 143.
[14]  Ibid. h. 144.
[15] Farhur Rahman, Ikhtishar Mushthalul Hadis (Bandung: Alma'arif, 1974), h. 296.
[16] Nawir Yuslem, Op.Cit, hal. 144.
[17] Ibid. h. 145.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar