Kamis, 28 Mei 2015

ALIRAN IRAK (PENULISAN SEJARAH ISLAM)



BAB I
 
PENDAHULUAN

          Penulisan sejarah adalah usaha rekonstruksi peristiwa yang terjadi di masa lampau. Penulisan itu bagaimana pun baru dapat dikerjakan setelah dilakukannya penelitian, karena tanpa penelitian penulisan menjadi rekonstruksi tanpa pembuktian. Dalam penelitian dibutuhkan kemampuan untuk mencari, menemukan dan menguji sumber-sumber yang benar. Sedangkan dalam penulisan dibutuhkan kemampuan menyusun fakta-fakta yang bersifat fragmentaris dan selanjutnya disusun ke dalam suatu uraian yang sistematis, utuh dan komunikatif. Keduanya membutuhkan kesadaran teoritis yang tinggi dan serta imajinasi historis yang baik.[1]
            Perkembangan ilmu sejarah dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari perkembangan budaya secara umum yang berlangsung sangat cepat.[2] Dalam bidang politik, hanya dalam satu abad lebih sedikit, Islam sudah menguasai Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afghanistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenia, Uzbekistan dan Kigris di Asia Tengah. Seiring dengan perkembangan budaya dan peradaban Islam. Ilmu sejarah dalam Islam lahir dan berkembang.
            Penulisan sejarah Islam berkembang dari masa ke masa, mengikuti perkembangan
peradaban Islam. Sebagiamana dikutip oleh Badri Yatim, Husein Nashshar berpendapat bahwa perkembangan penulisan sejarah di awal masa kebangkitan Islam tidak terlepas dari aliran Yaman, Aliran Madinah, dan Aliran Irak.[3] Rohadi Abdul Fatah dalam diskusi program doktor di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juga berpendapat bahwa suburnya penulisan sejarah Islam terjadi di awal masa kebangkitan Islam yang ditandai dengan adanya Aliran Yaman, Aliran Madinah dan Aliran Irak.[4] Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sepakat para pengamat historiografi Islam memasukkan Aliran Irak ke dalam aliran penulisan sejarah Islam.
         

BAB II
PEMBAHASAN

A. Aliran Irak
          Setidaknya ada dua faktor yang menjadi pendukung utama berkembangnya penulisan sejarah dalam sejarah Islam. Faktor pertama adalah al-Qur’an dan faktor kedua adalah Ilmu Hadis. Al-Qur’an dengan beberapa redaksi ayatnya memberikan isyarat dan sekaligus memerintahkan  kepada umat Islam untuk memperhatikan sejarah. Selain itu juga di dalam al-Qur’an terdapat kisah-kisah yang berhubungan dengan sejarah.
            Pada awal masa perkembangan Islam, Ilmu Hadis merupakan ilmu yang paling tinggi dan paling diperlukan oleh umat Islam pada waktu itu. Ulama-ulama kemudian bepergian dari satu kota ke kota lain hanya untuk mencari beberapa hadis dan meriwayatkannya.
            Husein Nashshar menambahkan bahwa selain faktor pendukung tersebut di atas, ada beberapa faktor lain yang mempercepat kebangkitan sejarah Islam. Faktor-faktor tersebut adalah: pertama, khalifah yang menginginkan pengetahuan dalam rangka menjalankan roda pemerintahan; kedua, sikap orang-orang asing di wilayah kekuasaan Islam membanggakan diri mereka dengan mengungkapkan sejarah dan peradaban mereka di masa lalu; ketiga, sistem pemerintahan; keempat, adanya gerakan menulis ilmu-ilmu yang lain yang sudah dikenal oleh bangsa Arab ketika itu, dan; kelima, perhatian terhadap “silsilah” dan “al-Ayyâm” semakin berkembang di masa Islam.[5]
          Dibandingkan dengan Aliran Yaman dan Aliran Madinah, Aliran Irak adalah aliran yang terakhir kali lahir. Aliran Irak yang dimaksud dalam pembahasan ini meliputi Kufah dan Bashrah. Aliran ini lebih luas perkembangannya dibandingkan dengan dua aliran sebelumnya, karena memperhatikan arus sejarah sebulum Islam dan masa Islam sekaligus.[6]  
            Kelahiran Aliran Irak ini tidak dapat dipisahkan dari perkembangan budaya dan peradaban Arab. Perkembangan budaya bangsa Arab itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari aspek-aspek politik, sosial, dan budaya Islam yang tumbuh di kota-kota dan komunitas-komunitas baru.[7]
            Bashrah dan Kufah yang menjadi pusat Aliran Irak dulunya merupakan daerah hasil ekspansi Islam pada masa Khalifah ‘Umar ibn Khaththâb. Kedua kota ini termasuk kota yang menjadi pusat-pusat penting kegiatan intelektual dan kebudayaan Islam pada abad pertama Hijrah. Sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar penduduk di dua kota tersebut adalah orang-orang Arab Muslim yang mereka pindah ke Kufah dan Bashrah dengan membawa adat isitadat dan tingkah laku Arab. Orang-orang Arab tersebut selanjutnya tinggal di dua kota tersebut dengan membentuk kelompok berdasarkan kabilah dan klan. Kabilah-kabilah dan klan yang berasal dari Arab Selatan (Yaman) mengambil sisi kota tertentu, sedangakan kabilah-kabilah dan klan lainnya berada di sisi kota lain. Pada masa Dinasti Umayyah yang sangat berorientasi kearaban, para penguasa dinasti tersebut ingin menciptakan Kufah dan Bashrah sebagai alternatif bagi Mekah dan Madinah di masa Jahiliyah dalam lapangan sastra dan adat istiadat.
            Pada masa pemerintahan ‘Abd al-Malik ibn Marwân, Kufah dan Bashrah berkembang menjadi  kota-kota ilmu pengetahuan. Hal ini membuat Kufah dan Bashrah didatangi oleh muslim-muslim dari negara luar seperti Persia, Syiria, dan kota-kota di Irak lainnya. Dengan kondisi seperti tesebut di atas, Kufah dan Bashrah ditinggali oleh penduduk yang majemuk (heterogen). Kemajemukan penduduk di Kufah dan Bashrah mendorong bangsa Arab di sana untuk memelihara nasab (silsilah) dan tradisi ayyam al- ‘Arab, berkenalan dengan sejarah bangsa-bangsa non-Arab, di samping ilmu-ilmu al-Qur’an, hadis dan fikih. Sejalan dengan orientasi budaya penguasa Bani Umayyah, orang-orang Arab berusaha melestarikan nilai-nilai lama mereka yang diwariskan secara lisan, terutama al-nasab dan adab al-ayyâm yang merupakan simbol kebanggaan bangsa Arab.

B. Tokoh dan Karya-karyanya
Sejarawan Irak (Kufah dan Bashrah) sangat cenderung untuk mendukung bahasan sejarahnya dengan susunan syair.[8] Para sejarawan Aliran Irak (Kufah dan Bashrah) jumlahnya banyak, di antara yang terkenal adalah Abu ‘Amar ibn al-‘Ala (w.54 H/770M), Hammad al-Rawiyah (w.156 H/774 M), Abu Mikhnaf (w. 157 H/774 M), ‘Awanah ibn al-Hakam (w. 147 H/764 M), Syayf ibn ‘Umar al-Asadi al-Tamimi (w.180 H/796M) Nashr ibn Muzahim (w.212 H/827 M), al-Haitsam ibn ‘Udi (130 H-207 H/747-822 M), al-Mad’ini (w. 135-225 H/752-843 M), Abu ‘Ubaydah Ma’mar ibn al-Mutsni al-Taymi ( 114-211 H), al-Ashma’i (w. Antara 213-217 H), Abu al-Yaqzhan al-Nassabah (w. 190 H/808 M),  Muhammad ibn al-Sa’ib al-Kalibi (w. 146 H/763 M), dan Hisyam Ibn Muhammad al-Sa’ib al-Kalibi (w. 204 H/819 M).
            Yang terpenting di antara mereka adalah ‘Awanah ibn al-Hakam (w. 147 H/764 M), Syayf ibn ‘Umar al-Asadi al-Tamimi (w.180 H/796M), dan  Abu Mikhnaf (w. 157 H/774 M).[9] 
a)      Awanah ibn al-Hakam (w. 147 H/764 M) dalam hasil tulisannya berbicara tentang sejarah Islam pada abad pertama hijriah, al-Khulafa’ al-Rasyidun, perang Riddah, ekspansi Islam pertama ke Irak dan Syiria, konflik antara ‘Alî ibn Abî Thâlib dan Mu’awiyah, penyerahan kekuasaan dari al-Hasan ibn ‘Alî ibn Abî Thâlib kepada Mu’awiyah, dan kondisi politik secara umum di Irak dan Syiria sampai pada masa akhir pemerintahan ‘Abd al-Malik ibn Marwan. Riwayat-riwayat ‘Awanah ibn al-Hakam sampai kepada kita  lewat ibn Kalbi, al-Mada’ini, dan Haitsam ibn ‘Adi yang mungkin telah menerima langsung hikayat ini dari ‘Awanah atau dari kumpulan bukunya.[10] Gagasan yang dituangkan ‘Awanah dalam tulisan sejarahnya berbentuk kronologi. Kadang-kadang ‘Awanah juga menggunakan isnad serta memaparkan syair dalam kerangka hikayat sejarahnya sebagai pengaruh dari cerita-cerita al-ayyâm dalam pemaparan dialog-dialog serta gaya tulisannya.[11]
b)      Syayf ibn ‘Umar al-Asadi al-Tamimi (w.180 H/796M) adalah  tokoh sejarah Islam Aliran Irak yang memiliki dua karya sejarah, yaitu (1) Kitab al-Futuh al-Kabir wa al-Riddah (Buku Tentang Ekspansi Besar Dan Perang Riddah), dan (2) Kitab al-Jamal wa Siyar ‘Aisyah wa ‘Ali (Buku Tentang Perang Jamal dan Riwayat Hidup ‘Aisyah dan ‘Ali). Karyanya yang terakhir ini berhubungan dengan masalah peristiwa pembunuhan ‘Utsman. Dalam hal ini, Sayf ibn ‘Umar menerima riwayat-riwayat tentang karya tersebut melalui Syu’ayb ibn Ibrahim.[12]  Sebagian besar kisah-kisah suku yang dituangkannya dalam karyanya berkenaan dengan adat istiadat Bani Tamim, sukunya sendiri. Gaya bahasanya dalam penulisan kisah tentang suku ini sangat terpengaruh oleh cerita-cerita al-ayyam.
c)      Abu Mikhnaf (w. 157 H/774 M) adalah tokoh sejarah Islam Aliran Irak yang sangat menguasai informasi yang berkenaan dengan perang Riddah, ekspansi Islam ke Irak dan Syiria, dan perang Shiffin. Ia tidak begitu teliti dalam masalah isnad. Secara berlebihan ia memasukkan dalam karyanya mengenai perang Shiffin, kisah-kisah suku serta isu-isu lokal. Oleh karena itu periwayat hadis menempatkannya sebagai periwayat yang lemah. Akan tetapi, ia sangat dipercaya dalam masalah sukunya sendiri, suku al-Azd, dan juga tentang kebiasaan orang Kufah. Dalam pemaparannya tentang peristiwa-peristiwa sejarah, ia menggunakan urutan waktu (hawliyat). Setidaknya lebih dari 354 kali nama Abu Mikhnaf disebut dalam karya al-Thabari. Di samping menunjukkan luasnya kajian Abu Mikhnaf, hal ini juga menunjukkan bahwa sangat besar tingkat kepercayaan al-Thabari terhadap Abu Mikhnaf. Abu Mikhnaf telah berbicara tentang hikayat selama masa Bani Umayyah, dan para sejarawan belakangan secara dominan mendapatkan informasi yang mereka butuhkan darinya.  Di dalam al-Fihrasat karya Ibn al-Nadim disebutkan bahwa Abu Mikhnaf telah menulis kitab al Riddah  (Buku tentang Perang Riddah), Kitab Futuh al-Syam (Buku tentang ekspansi Islam ke Syiria), Kitab Futuh al-‘Iraq (Buku tentant ekspansi Islam ke Irak) dan masih banyak karya Abu Mikhnaf yang disebutkan di dalam karya Ibn al-Nadim.[13]

Sejarawan-sejarawan Aliran Irak yang disebutkan di atas menempati posisi sentral dalam memberi corak kajian sejarah Aliran Irak. Irak dengan dua kota pusat kemajuan pada saat itu menjadi lebih unggul dalam kajian sejarahnya. Berbagai pendekatan yang digunakan oleh para sejarawan Aliran Irak dalam menuangkan gagasan mereka dalam periwayatan sejarah (metode dan tema sejarah) menjadikan khazanah penulisan sejarah Aliran ini lebih variatif.

C. Corak/Ciri-ciri Aliran Irak
            Dalam rangka melestarikan al-nasab dan adab al-ayyâm, sejarawan-sejarawan baru bermunculan. Mereka mengkhususkan diri dalam masalah adat istiadat, nasab, hikayat serta syair-syair kabilah. Dalam perkembangan itu, penutur cerita rakyat yang bersifat legenda dan pembaca syair sedikit demi sedikit dilupakan orang.
Langkah pertama yang sangat menentukan perkembangan penulisan sejarah di Irak yang dilakukan oleh bangsa Arab adalah pembukuan tradisi lisan. Hal ini pertama kali dilakukan oleh ‘Ubaidullah ibn Abi Râfi’, sekretaris ‘Alî ibn Abî Thâlib ketika menjalankan kekhalifahannya di Kufah. Di samping itu ‘Ubaidullah telah menulis buku berjudul Qadhâyâ Amîr al-Mu’min ‘Alayh al-Salâm (Perkara-perkara Pengadilan Amirul Mukminin [‘Alî ibn Abî Thâlib]) dan Tasmiyah man Syahad Ma’a Amir al-Mukminin fi Hurub al-Jamal wa Shiffin wa al-Nahrawan min al-Shahâbah Radhia Allah ‘Anhum (Nama-nama para sahabat r.a. yang bersama Amir al-Mukminin [‘Alî ibn Abî Thâlib] ikut dalam perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan). Oleh karena itu ia dipandang sebagai sejarawan pertama dalam Aliran Irak ini.[14] Dalam penulisan sejarah ini dia diikuti oleh Ziyad ibn Abih yang menulis buku dengan judul Matsâlib al-‘Arab.
            Profesionalisme dalam ilmu sejarah yang berlangsung di Irak (Kufah dan Bashrah) tidak terlepas dari dukungan penuh dari para penguasa Bani Umayyah. Sebagai konsekuensinya, para sejarawan mendapatkan posisi sosial yang lebih baik (popularitas sosial) yang menggiring para sejarawan mendapatkan tata kehidupan yang lebih baik. Para sejarawan dianggap mendukung pemerintahan Dinasti Umayyah.
            Para penutur kisah-kisah sejarah yang terdapat pada Aliran Irak berjasa dalam pengenalan dan penyebaran wawasan historiografi di Irak. Secara tidak langsung, merekalah yang melahirkan Aliran Irak. Dalam rangka pengumpulan materi-materi sejarah mereka berjasa mendorong munculnya penulisan berkenaan dengan tradisi-tradisi dinasti dan selanjutnya mempunyai perhatian terhadap peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi pada masa kekhalifahan, baik pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun maupun Bani Umayyah dan Bani Abbas. Untuk itu mereka mencari bahan-bahan yang terkumpul di Madinah, seperti arsip-arsip negara serta catatan-catatan tentang pendaftaran tentara yang berasal dari suku-suku yang terdapat di Irak dan Syiria. Dari sumber-sumber inilah para perawi bisa menemukan apa yang mereka cari.[15]
            Namun para sejarawan Aliran Irak ini, sebagaimana sejarawan Madinah, tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh Ilmu Hadis. Mereka tidak mungkin mengabaikan peraturan isnad dalam tulisan mereka, karena praktik-praktik penulisan sejarah yang dilakukan pada saat itu telah berada di bawah pengaruh ahli hadis. Namun sejarawan Irak ini menerapkan peraturan isnad dengan cara yang liberal, bahkan terkadang tidak teliti. Hal ini mengakibatkan kita menemukan para penulis sejarah berangsur-angsur menyimpang dari peraturan periwayatan hadis.
            Karena cakupan informasi dan subyek kajiannya lebih luas daripada dua aliran sebelumnya (Yaman dan Madinah), Aliran Irak dapat dikatakan sebagai kebangkitan sebenarnya penulisan sejarah sebagai ilmu. Sejarah pada masa ini telah melepaskan diri dari Ilmu Hadis dan bersamaan dengan itu terlihat adanya upaya meninggalkan pengaruh pra-Islam yang mengandung banyak ketidakbenaran, seperti dongeng-dongeng dan cerita khayal. Aliran  ini melahirkan sejarawan-sejarawan besar di masa kemudian dan diikuti oleh hampir seluruh sejarawan yang datang kemudian.

D. Pertemuan Tiga Aliran
            Menurut hukum sejarah, manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggalnya. Lingkungan ini memperkaya pikiran manusia dalam meresponi peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Para penulis sejarah Arab tidak terkecuali. Di antara mereka ada yang lahir dan dibesarkan di Madinah, dalam naungan Islam, sementara yang lainnya berasal dari Kufah, Basrah dan Damaskus. Semua kota ini merupakan pusat-pusat penting kegiatan intelektual dan kebudayaan Islam pada abad pertama Hijrah.  Perbedaan  geografi dan afinitas politik memiliki pengaruh yang dalam terhadap pikiran dan sikap mereka dalam meriwayatkan peristiwa-peristiwa sejarah.[16]
            Periwayatan awal sejarah yang berasal dari kota Madinah sangat dipengaruhi oleh ideologi Islam, pada saat yang sama rekan mereka di daerah lain terpengaruh oleh prasangka kesukuan atau kecenderungan politik lokal. Sebagian besar informasi tentang sirah (riwayat hidup Nabi Muhammad SAW) dikumpulkan di Madinah, tempat Nabi hidup selama sepuluh tahun, karena hadis Nabi banyak terkumpul di kota itu. [17]
Sejarah bukanlah sesuatu hal yang berhenti. Sejarah terus berjalan dinamis. Tidak ada yang tetap, semua saling mempengaruhi. Apalagi, di masa awal kebangkitan Islam, ketika negara Islam dengan cepat mengalami kemajuan peradaban, bukan saja antara satu wilayah Islam dengan wilayah Islam yang lain saling mempengaruhi, tetapi juga dengan wilayah-wilayah yang berpenduduk non muslim. Bahkan para pemikir dan intelektual muslim “mengundang” masuk pemikiran dan peradaban non muslim, untuk diambil manfaat dan iktibar daripadanya, melalui gerakan penterjemahan misalnya.[18]
Demikian pulalah halnya dengan penulisan sejarah. Ajaran-ajaran agama Islam dan kesatuan politik Islam mulai menciptakan kesatuan budaya dan peradaban. Tidak ada satu wilayah Islam yang steril dari pengaruh wilayah budaya Islam yang lain. Apalagi, semangat menuntut ilmu telah mendorong para penuntut ilmu muslim untuk mengembara dari satu kota ke kota lain menimba ilmu dari para ilmuwan, pujangga dan ulama-ulama yang terdapat di sana. Dalam konteks perkembangan penulisan sejarah, perkembangan seperti itu menyebabkan semakin mendekatnya satu aliran dengan aliran yang lain, bahkan pada saatnya semuanya menjadi lebur.
Dari beberapa bukti orang bisa dengan mudahnya menduga bahwa beberapa dokumen yang tersedia di Madinah disampaikan oleh generasi awal kepada generasi berikutnya hingga sampai kepada penulis sejarah aliran Madinah. Demikian pula halnya dengan beberapa dokumen yang terdapat di Kufah, Basrah dan Damaskus dan ini tidak perlu diragukan.
Aliran Madinah cukup teliti dalam memakai prinsip-prinsip isnad dalam setiap periwayatan, kadang-kadang mereka memakai isnad jama’i (isnad kolektif) dan isnad itu selalu diulang ketika mereka menyampaikan suatu riwayat, baik sebagian maupun keseluruhannya. Pada saat yang sama sejarawan dari aliran lain menunjukkan konsentrasi pada teks cerita. Sejarawan Kufah, Basrah sangat cenderung untuk bahasan sejarahnya dengan susunan syair, sementara para periwayat aliran Madinah justru sangat hati-hati dalam menggunakan syair itu.[19]
Perkembangan seperti inilah yang membuat para pemerhati perkembangan penulisan sejarah berbeda pendapat tentang beberapa tokoh, apakah berasal dari satu aliran tertentu ataukah berasal dari aliran lainnya.Misalnya tentang Muhammad ibn Ishaq dan Muhammad ibn Sa’ad. Perbedaan itu muncul karena, para sejarawan itu sudah melampaui batas-batas aliran di mana mereka hidup, tetapi pada saat yang sama, masih banyak sejarawan yang terkait dengan alirannya.[20]
a)      Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar (w. 150 H/768 M)
Sebagaimana Musa ibn ‘Uqbah, Muhammad ibn Ishaq adalah juga merupakan murid dari al-Zuhri. Dia juga melanjutkan langkah yang sudah dirintis oleh al-Zuhri dalam penulisan sirah. Muhammad ibn Ishaq merupakan tokoh tonggak penting aliran Madinah.  Pada masanya, ilmu sejarah sudah berdiri tegak dan kokoh. Karyanya yang sangat terkenal adalah al-Sirah al-Nabawiyah, yang lebih dikenal dengan Sirah Ibn Ishaq. Muhammad ibn Ishaq tidak lagi membatasi sumber-sumber sejarah dari periwayatan hadis-hadis dari kalangan ulama Islam. Dia juga meriwayatkan berita-berita sejarah dari kalangan Ahlul Kitab, orang-orang Persia yang baru masuk Islam, dan bahkan orang-orang asing.  Oleh karena itulah, Husayn Nashshar berpendapat bahwa semua aliran penulisan sejarah di awal masa kebangkitan Islam bertemu dan melahirkan Muhammad ibn Ishaq. Menurutnya, dalam karyanya terliput sejarah Yaman, Ahli Kitab, biografi Nabi seperti yang dilakukan oleh sejarawan aliran Madinah, dan sejarah para khalifah seperti yang dilakukan oleh sejarawan aliran Irak. Semua ciri-ciri aliran itu terdapat dalam karya Ibn Ishaq.[21]




b)      Al-Waqidi (130-207 H/748-823 M)
Sebagaimana Ibn Ishaq, banyak pemerhati historiografi Islam yang menempatkannya sebagai tonggak penting aliran Madinah. Akan tetapi, baik metode yang digunakannya maupun materi sejarah yang dibahasnya sudah jauh melampaui batas-batas aliran Madinah. Al-Waqidi dapat dikatakan sebagai ulama yang produktif. Ia meninggalkan sekitar tiga puluh judul buku dalam berbagai bidang ilmu, seperti Alquran, Hadis, Fikih dan Sejarah. Dalam metode penulisan karya sejarahnya, al-Waqidi berusaha melepaskan corak penulisan sejarah dari corak penulisan hadis. Oleh karena itulah ia tidak begitu taat menggunakan isnad, sebagaimana yang berlaku dalam periwayatan hadis. Peristiwa sejarah dipaparkannya dengan metode naratif. Dilihat dari subyek kajian sejarahnya dan corak penulisan sejarahnya yang kelihatan berusaha melepaskan diri dari isnad, dia dapat disamakan dengan Muhammad ibn Ishaq.[22]

c)      Muhammad ibn Sa’ad (168-230 H/784-845 M)
Banyak pemerhati perkembangan penulisan sejarah dalam Islam menempatkannya sebagai salah seorang sejarawan aliran Madinah, tetapi ‘Abd al-‘Aziz Salim menempatkannya sebagai seorang sejarawan dari aliran Irak. Ibn Sa’ad menulis biografi Nabi SAW serta mengaitkan kisah tertentu yang berhubungan dengan biografi itu sehingga masyarakat umum dapat mengingatnya dengan mudah tanpa harus menghafal banyak. Dalam menulis biografi para tabi’in dan generasi sesudahnya, Ibn Sa’ad memasukkan juga penilaian terhadap tokoh yang ditulisnya, sebagaimana dilakukan oleh para kritikus hadis. Corak penulisan ini dipandang sebagai sesuatu yang baru, yakni menghubungkan ilmu hadis dengan ilmu periwayatan sejarah. Penilaiannya itu sering kali dikutip oleh para kritikus hadis. Di antara karangan Ibn Sa’ad adalah Kitab al-Thabaqat al-Kabir dan Kitab al-Thabaqat al-Shaghir.[23]
Rohadi Abdul Fatah mengatakan bahwa secara signifikan ketika pola penulisan sejarah Islam bertemu tiga aliran penulisan sejarah (Yaman, Irak dan Madinah), maka corak penulisan sejarah dengan pendekatan dinasti telah memperoleh tempat yang cocok dan sekaligus sebagai pengayaan corak penulisan sejarah Islam secara lebih komprehensif. Seperti Muhammad bin Ishak ibn Yasar (W.150 H) beliau telah meninggalkan karya tulis yang monumental yakni Tarikh al-Khulafa,' yang di dalamnya termaktub sejarah al-Khulafa al-Rasyidun dan Khalifah Bani Umayyah.[24]

BAB III
KESIMPULAN

Penulisan sejarah Islam berkembang dari masa ke masa, mengikuti perkembangan budaya dan peradaban Islam. Aliran Irak sebagai salah satu aliran dalam penulisan sejarah Islam memiliki karakteristik penulisan sejarah Islam yang bercorak sejarah para khalifah, dan dalam penyampaian riwayat sejarahnya bersifat terperinci dan panjang. Aliran ini lahir dikarenakan semakin besarnya tingkat kemajemukan masyarakat di kota Kufah dan Bashrah sehingga mendorong perlunya usaha untuk memelihara nasab (silsilah) dan tradisi ayyam al- ‘Arab. Sejarawan-sejarawan penting dalam Aliran Irak adalah Awanah ibn al-Hakam (w. 147 H/764 M), Syayf ibn ‘Umar al-Asadi al-Tamimi (w.180 H/796M), dan  Abu Mikhnaf (w. 157 H/774 M). Dalam perkembangan selanjutnya ternyata terdapat pertemuan tiga aliran besar dalam penulisan sejarah Islam. Pertemuan aliran tersebut melahirkan variasi metode dalam penulisan sejarah Islam.  















DAFTAR PUSTAKA

Duri, ‘Abd al-‘Aziz, Al-Bahts fî Nasy’ah ‘Ilm al-Târikh ‘ind al-‘Arab. Beirut: 1960

Faruqi, Nisar Ahmed, Early Muslim Historiography. Delhi: Idarah Adabiyah Delhi, 1979

Tarhînî, Muhammad Ahmad al-Mu’arrikhun wa al-Tarîkh ‘ind al-‘Arab. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991

Yatim, Badri, Historiografi Islam. Jakarta: Logos, 1997

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyyah II. Jakarta: Rajawali Pers, 1995

http://www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=12511.  


[1] Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos, 1997), hal. 3.
[2] ‘Abd al-‘Aziz Duri, Al-Bahts fi Nasy’ah ‘Ilm al-Tarikh ‘ind al-‘Arab (Beirut: 1960),                     hal. 13.
[3] Badri Yatim, op.cit, hal. 45.
[5] Badri Yatim, op.cit. hal. 16.
[6] Ibid. hal. 69.
[7] Muhammad Ahmad Tarhînî, al-Mu’arrikhun wa al-Tarîkh ‘ind al-‘Arab, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), hal. 59.
[8] Badri Yatim, op.cit, hal. 81.
[9] Ibid,  hal. 74.
[10] Muhammad Ahmad Tarhînî, op.cit,  hal. 62.
[11] Nisar Ahmed Faruqi, , Early Muslim Historiography, (Delhi: Idarah Adabiyah Delhi, 1979), hal. 286.
[12] Loc.cit.
[13] Badri Yatim, op.cit, hal. 78.
[14] Nisar Ahmed Faruqi, op.cit, hal. 60.
[15] Badri Yatim, op.cit, hal. 73.
[16] Ibid. hal. 80.
[17] Ibid.
[18] Ibid. hal. 81.
[19] Ibid.
[20] Ibid. hal. 82.
[21] Ibid. hal. 83.
[22] Ibid. hal. 85.
[23] Ibid. Hal. 86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar