Minggu, 02 Februari 2014

SEJARAH DAN HADIS NABAWI

A.     Pendahuluan
    Banyak hal yang dapat diperoleh ketika kita memahami berbagai peristiwa kehidupan yang penting, yang akhirnya menjadi sejarah dalam kehidupan manusia. Peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang terjadi di masa lampau dan berkaitan dengan keadaan pada masa sekarang menjadi suatu kajian yang penting untuk dipelajari sehingga menimbulkan ilmu sejarah. Ilmu Sejarah berkembang seiring perkembangan tingkat kehidupan  manusia.

        Begitu juga Sejarah Islam, berkembang seiring dengan perkembangan umat Islam dan tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan peradaban Islam pada umumnya. Di dalam Islam, berbagai sumber dapat dijadikan dasar dalam mempelajari sejarah. Diantara sumber tersebut adalah Hadis.  Hadis  berfungsi sebagai penjelas dan penafsir Alquran, dan mengandung catatan sejarah ajaran-ajaran yang terdapat di dalam agama Islam yang meliputi berbagai aspek seperti aqidah, syari’ah, pendidikan, dan lain-lain.
Sejarah mencatat bahwa dari tahun ke tahun, sepeninggalnya Rasulullah SAW. perhatian terhadap Hadis terus berkembang. Dalam arti Hadis terus mendapat perhatian yang serius di kalangan ummat Islam dan bahkan para orientalis juga tertarik mengkaji Hadis sebagai upaya menemukan ibrah  yang terkandung di dalam Hadis-hadis yang merupakan pedoman yang bersumber dari Rasulullah SAW. Penelusuran Hadis melaui para sanad memberikan pelajaran bagi para ilmuwan dalam menempatkan sejarah sebagai ilmu pengetahuan.
Dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan tentang Sejarah dan Hadis Nabawi. Dengan pembahasan pada peran  Hadis dalam melahirkan ilmu sejarah dan  pertumbuhan ilmu sejarah pada masa awal serta Hadis-hadis nabawi yang mengandung nilai-nilai sejarah.

B.    Pengertian
    1.    Sejarah
Ditinjau dari sudut etimologi, Sejarah berarti satera lama, asal usul (keturunan), peristiwa yang benar-benar berlaku pada waktu yang lampau.  Ibrahim Alfian berpendapat bahwa besar kemungkinannya sejarah berasal dari perkataan arab yaitu syajaratun yang berarti pohon. Namun, belum ada yang membahas secara mendalam hubungan antara kata sejarah dengan syajaratun.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta mengatakan bahwa sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa yang lampau atau peristiwa penting yang benar-benar terjadi.
Sedangkan Badri Yatim menjelaskan kata  tarikh dalam sifat umumnya, menunjukkan ilmu yang berusaha menggali peristiwa-peristiwa masa lalu agar tidak dilupakan, sepadan dengan pengertian “history” yang menunjukkan ilmu yang membahas peristiwa-peristiwa masa lalu. 
Di awal masa timbulnya ilmu sejarah, para ahli berbeda pendapat dalam menempatkan kedudukan ilmu ini dalam ruang lingkup ilmu pengetahuan. Bahkan Ibnu Khaldun yang dikenal luas sebagai ahli sejarah dalam Islam juga tidak menyebutkan sejarah di dalam pembidangan ilmu yang dilakukannya. 
Akan tetapi, pada era berikutnya para ahli menempatkan sejarah sebagai ilmu pengetahuan yang patut dipelajari. Dan diantara ilmuwan yang menempatkan sejarah sebagai ilmu pengetahuan adalah Muhammad al-Zuhayli, seorang ilmuwan kontemporer asal Damaskus, menempatkan ilmu sejarah sebagai bagian penting dalam ilmu-ilmu keislaman. Bukunya yang berjudul Marja’ al Ulum al-Islamiyah setebal 802 halaman itu dibaginya menjadi sepuluh pasal. Pasal pertama membahas ilmu-ilmu keislaman pada abad pertama hijrah. Dalam pasal ini, dia menjelaskan bahwa ilmu-ilmu keislaman pada masa itu yang paling utama adalah ilmu tentang riwayat hidup Nabi, para sahabat dan para ulama dari kalangan tabi’in. 
2.    Tujuan Sejarah
        Sejarah dalam pandanagn Alquran dan Hadis sesungguhnya merupakan konsepsi pengkajian sejarah menurut aliran Relegius  (ketuhana) dalam hal ini adalah agama Islam. Segala kejadian dalam sejarah semata-mata karena kehendak Tuhan yang diajarkan melalui Alquran dan Hadis. Alquran sarat dengan peristiwa yang dapat dikaitkan dengan materisejarah dalam rangka menumbuhkan sikap beragama sebagai perwujudan dari keimanan dan ketaqwaan.  Bahkan Alquran menghendaki agar manusia senantiasa melakukan pencermatan yang sungguh-sungguh terhadapsejarah demi kepentingan masa depan.
Sedangkan Hadis sebagai bentuk perilaku dan perkataan Nabi meminjam pengertian Tamburaka adalah salah satu penyebab gerak sejarah. Sebab para Nabi merupakan orang-orang yang berjiwa besar termasuk dalam penyebab gerak sejarah di samping penyebab ke-tuhanan dalam konteks peradaban relegius.
    Menurut Rustam E. tamburaka bahwa tujuan sejarah adalah memenuhi rasa ingin tahu mengenai peristiwa-peristiwa masa lampau, tentang bagaimana deskripsi peristiwanya, mengapa peristiwa itu terjadi dan bagaimana akhir peristiwa serta perkiraan implikasi atau dampak peristiwa tersebut terhadap bidang-bidang kehidupan lainnya.  Sejarah dalam kapasitasnya adalah suatu seni dan sekaligus sebagai ilmu. Profesor Charles A. Beard, dalam pidatonya selaku Presiden Perserikatan Ahli Sejarah Amerika di New York, 1933 menyatakan bahwa sejarah sebagai disiplin ilmu dan sebagai seni kedua hal itu saling mengisi. Tetapi yang pasti sejarah memiliki metode ilmiah dimana berjuta-juta fakta dapat dipastikan secara yakin baik bagi awam maupun bagi para ahli.
    Adapun manfaat sejarah ialah, dengan mengetahui sejarah kita akan dapat lebih hati-hati agar tidak terjadi kegagalan atau kegagalan itu akan terulang lagi. Dalam bukunya “Penggunaan Ilmu Sejarah” Ruslan Abdul Gani mengatakan bahwa sejarah dan ilmu sejarah ibarat penglihatan tiga dimensi yaitu pertama penglihatan ke masa silam, ke dua ke masa sekarang dan kemudian ke masa depan. Di samping itu juga, manfaat lain adalah memperluas cakrawala wawasan berpikir kita. Artinya, sejarah secara terbuka terus memberikan pedoman dan perspektif tentang perkembangan selanjutnya.
Secara khusus tujuan dan manfaat sejarah adalah:
1.    Untuk memperoleh pengalaman mengenai peristiwa-peristiwa sejarah di masa lampau lalu baik posistip maupun pengalaman negative dijadikan hikmah agar kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi tidak terulang kembali.
2.    Untuk mengetahui dan dapat menguasai hukum-hukum sejarah yang berlaku agar kemudian dapat memanfaatkan dan menerapkan bagi mengatasi persoalan-persoalan hidup saat sekarang dan akan dating.
3.    Untuk menumbuhkan kedewasaan berfikir, memiliki vision atau cara pandang ke depan yang lebih luas serta bertindak lebih arif dan bijakana terutama dalam mengambil keputusan.
   
3.    Manusia dan Sejarah
        Manusia inheren dalam dirinya jati diri pribadi. Jati diri pribadi yang terakumulasi secara koletif membentuk personalitas kebangsaan yang dapat berwujud sebagai kebudayaan bangsa. Jati diri berwujud sebagai kebudayaan bangsa. Jati diri merupakan symbol agung yang membedakan manusia dari lain, terutamna yang bukan dari jenisnya. Akan tetapi, jati diri juga tidak selamanya luhur. Jati diri, baik yang luhur atau tidak, dapat melekat dalam pribadi manusia sekaligus, sebab jati diri bagi manusia adalah plus minus manusia itu sendiri. Akan tetapi, orientasi membangun jati diri tentu saja selalu diarahkan pada kecemerlangan jati diri. Hal ini bukan semata disebabkan kesadaran kemudian yang terbentuk dari pengalaman melainkan lebih merupakan potensi naluriah mannusia.
    Semua manusia mempunyai jati diri. Bahwa kemudian jati diri manusia berada di dalam wujud plus-minus itu adalah soal nanti, termasuk ketika pada akhirnya muncul kecenderungan untuk hanya menerima jati diri positip dan mengingkari refleksi ke-dirian yang bernuansa negatif.  Akan tetapi, pada konteks inilah sebenarnya manusia di uji jati dirinya. Justeru, penolakan atau keengganan untuk mengakui totalitas ke-dirian mencerminkan keterpecahan jati diri manusia. Manusia ragu-ragu atas dirinya dan masa lalunya. Manusia kehilangan keseimbangan, lalu bagaimana jati diri manusia di dalam sejarah ? Kesadaran untuk menerima jati diri seutuhnya mendeskripsikan “apa adanya saya”. Dalam relevansi inilah, salah satu pandangan yang sering mengemuka ketika esensi sejarah hendak di cari, yaitu memposisikan sejarah sebagai “cermin”.
4.    Hadis
Secara etimologi kata Hadis atau al-Hadis berarti al-jadid (sesuatu yang baru) lawan dari al-qadim (sesuatu yang lama). Jamaknya adalah ahadis.  Sementara kata Hadis  sebagai kata sifat berarti al-jadid, yaitu yang baharu, lawan dari al-qadim yang berarti yang lama. Dengan begitu, dapat dipahami penggunakan kata al-Hadits di sini adalah untuk menunjukkan perbedaannya dengan Alquran yang bersifat qadim.
Ulama Hadis mendefenisikan Hadis dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW saw, baik berupa perkataan, perbutan, takrir atau sifatnya. 
Sejak pertengahan abad  pertama Hijrah, buku-buku Hadis dalam subjek-subjek khusus atau minat tertentu mulai muncul. Orang dapat menemukan misalnya, sebuah risalah tentang sahabat dan sekretaris Nabi SAW, Zayd ibn Tsabit (w. 45 H/666 M,) 
Hadis bersumber dari dan berkembang dalam kehidupan Nabi SAW, ia menyebar secara berkesinambungan seiring dengan penyebaran Islam keberbagai belahan dunia. Ekspansi yang dilakukan ummat Islam  ke daerah Irak, Iran, Mesir, Syiria, Turki dll melibatkan sejumlah sahabat Nabi SAW dengan membawa Hadis yang mereka miliki baik melalui hafalan atau melalui suatu perbuatan yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW. Atau dikenal juga dengan sebutan Hadis Nabawi.

C.    Sejarah  dan Hadis
Konsep sejarah dalam hadis lebih cenderung dilihat dari pengumpulan hadis sendiri, walaupun isi dari hadis itu sedikit banyak memuat tentang perubahan sejarah. Makna sejarah dalam hadis tidak bisa terlepaskan dari ketika usaha pengumpulan dan penelitian dalam studi hadis, yaitu ta’dil dan jarh. Menurut Ibnu Khaldun ada perbedaan sedikit tentang metode ini dengan metode sejarah: “Ini karena hukum-hukum yang didasarkan pada berita-berita keagamaan merupakan hukum-hukum formatif, yang menentukan kewajiban-kewajiban orang-orang yang terkena kewajiban dan terkena kewajiban dan memerintahkan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Atau dengan ungkapan lain, mewajibkan kepada mereka melaksanakan sebagian perbuatn dengan semua hal yang berkenaan dengannya, sesuai dengan prinsip-prinsip agama tanpa butuh pada keyakinan terhadap berita itu. Karena itu mereka menyatakan, bahwa tajrih dan ta’dil  saja sudah cukup untuk timbulnya opini tentang kebenaran suatu berita serta untuk memastikan suatu perbuatan. Sedang hukum-hukum yang terkandung dalam berita-berita historis adalah hukum-hukum informative murni, tidak memerintahkan sesuatu dan tidak mewajibkan suatu perbuatan atau mengharuskan untukmeninggalkan sesuatu. Berita-berita ini tidakmempunyai tujuan kecuali untukmengukuhkan suatu kenyataan. Karena itu berita-berita tidak boleh tidak harus selalu ditinjau, berdasarkan keseringannya atau ketidakseringannya dengan kenyataan-kenyataan. Tidak perlu dijelaskan lagi, bahwa yang demikian itu tidak mungkin dengan tajrih atau ta’dil saja – yakni dengan menyakinkan adil dan tidaknya para penutur saja – tapi ia membutuhkan suatu tinjauan yang luas dan penelitian yang lebih mendalam lagi”.
Ibnu Khaldun membatasi hadis oleh karena hadis berorientasi pada obyek agama (penelitian agama) sedangkan sejarah mencakup obyek yang lebih luas. Walau demikian hadis telah menggunakan metode sejarah ketika para ahli hadis tersebut bersusah payah mencari kebenaran dengan meneliti rawi maupun matannya.

Adapun hadis sebagai mana dijelaskan diatas merupakan segala keadaan yang bersumber dari Nabi SAW SAW menjadi sumber dalam penulisan sejarah Islam. Alquran mengemukakan bahwa ucapan Nabi  SAW harus dijadikan pegangan. Dalam Alquran Allah SWT berfirman:
         •   •       
Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (QS.al-Hasyr: 59: 7)
Dan perjalanan hidupnya merupakan cita ideal dan pedoman bagi kaum muslimin.
                 
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 33: 21)
Ayat-ayat Alquran itu secara langsung memberikan motivasi kepada ummat Islam untuk mengkaji ucapan, ketetapan dan perbuatan Nabi SAW.
Sejak masa paling awal dalam Islam, ulama membuat perbedaan antara Hadis hukum (ahadits al-ahkam) dan Hadis yang murni historis. Hadis hukum sebagai Hadis dogmatis  atau teknis, yakni hadis yang menyangkut keimanan dan ibadah. Sedangkan Hadis histori adalah yang memunculkan historiografi awal Islam.
    Oleh karena agama Islam turun di Arab, maka bangsa Arab merasa bahwa mereka membawa misi yang agung dan pada abad ke 2H mereka telah berhasil melewati suatu periode penting. Penaklukan-penaklukan besar sebelum dan pada masa itu membuat mereka merasa bahwa mereka mempunyai peran historis yang penting pula. Semua hal tersebut semakin mendorong minat mereka untuk melakukan kajian-kajian tentang sejarah.  
    Diantara peristiwa peristiwa pada masa Nabi SAW yang menjadi objek penelitian sejarah adalah al-Maghazi (ekspedisi militer) yang dari sudut pandang sejarah berarti perang dan penyerangan militer dalam memerangi orang kafir yang dilakukan Nabi SAW. Inilah studi paling awal tentang sejarah kehidupan Nabi SAW, yang dilakukan beberapa sahabat terkemuka. Mereka mengumpulkan Hadis historis yang beredar pada masa mereka. Hasilnya kemudian menjadi data yang sangat berguna. 
        Dari sisi lain, ummat Islam pada abad ke 2H telah mengalami banyak perkembangan bahkan dapat menaklukkan daerah-daerah sampai kedaratan Eropa, keadaan ini membutuhkan suatu dasar yang kuat dalam melaksanakan kebijaksanaan –kebijaksanaan secara praofesional, sebagai mana yang telah dilaksanakan Nabi SAW sebagai Rasul dan sekaligus Negarawan dalam Islam.
    Sesuai dengan motivasi Alquran di atas, pengkajian sejarah di kalangan kaum muslimin pertama-tama berkenaan dengan kisah kehidupan Nabi SAW beserta peperangan yang dilakukannya. Oleh karena itu, aktivitas pengumpulan informasi yang berkenaan dengan ucapan, perbuatan dan segala peristiwa yang dilakukan Nabi SAW mempunyai makna yang tinggi dalam sejarah Islam.
       
D.    Beberapa Ulasan Hadis tentang Sejarah
    1.    Penaklukan Romawi Konstantinovel
Romawi ialah Roma yang menjadi ibukota Itali sekarang ini, sedangkan Konstantinovel adalah kota yang sekarang disebut Istanbul yang merupakan pusat kerajaan romawi pada masa Nabi SAW. Para sahabat pernah bertanya kepada Nabi SAW tentang usaha perluasan daerah kekuasaan Islam, seperti disebutkan dalam Hadis berikut:
ﺃﻦﺍﻟﻨﺒﻰﺻﻠﻌﻢﺳﺌﻞﺃﻲﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺘﻴﻦﺗﻔﺘﺢﺃﻭﻻ ﻗﺴﻂﻨﻂﻴﻨﻴﺔ ﺃﻭ ﺭﻭﻣﻴﺔ ؟ ﻓﻘﺎﻝﻣﺪﻳﻨﺔﻫﺮﻗﻞ ﺘﻔﺘﺢ ﺃﻭﻻ ﻳﻌﻨﻰﻗﺴﻂﻨﻂﻴﻨﻴﺔ)ﺭﻭﺍﻩﺍﺣﻤﺪ(  
“Bahwa Nabi SAW ditanya: “Kota mana yang dapat ditaklukkan lebih dulu, Konstantinovel atau Romawi.” Nabi SAW menjawab: “Kotanya Heracleus yang ditaklukkan lebih dulu.” (HR, Ahmad) 
Heracleus adalah kaisar Romawi dan Bizantium pada masa Nabi SAW. Nabi SAW  pernah mengirim surat kepadanya untuk mengajaknya dan kaumnya masuk Islam.    

    2.    Wanita Menjadi Pemimpin
Hadis Nabi SAW menyatakan:
ﻟﻦﻳﻔﻠﺢﻗﻮﻡﻭﻟﻮﺃﻤﺮﻫﻢﺍﻣﺮﺃﺓ  ﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯﻭﺍﻟﺘﺮﻣﻴﺬﻯﻭﺍﻟﻨﺴﺎﺉﻋﻦﺃﺑﻲﺑﻜﺮ﴾
Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk meminpin) urusan mereka kepada wanita. (HR. Bukhari dan Tarmizi  dan Nasai dari Abu Bakar) 
Hadis ini disabdakan Nabi SAW tatkala mendengar penjelasan dari sahabat beliau tentang pengangkatan wanita menjadi ratu di Persia. Dalam peristiwa suksesi yang terjadi pada tahun 9 H.
Menurut tradisi yang berlangsung di Persia sebelum itu, yang diangkat sebagai kepala negara adalah seorang laki-laki. Yang terjadi pada tahun 9 H itu menyalahi tradisi tersebut. Yang diangkat sebagai kepala negara bukan seorang laki-laki, melainkan seorang wanita, yakni Buwaran binti Syairawaih bin Kisra bin Barwaiz. Dia diangkat sebagai ratu di Persia setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan dalam rangka suksesi kepala negara. Ketika ayah Buwaran meningal dunia, anak laki-lakinya yakni saudara Buwaran, telah mati terbunuh tatkala melakukan perebutan kekuasaan. Karenanya Buwaran dinobatkan sebagai ratu.     
Pada masa itu derajat kaum wanita sangatlah rendah dan tidak memiliki wibawa di tengah masyarakat, sementara untuk menjadi seorang kepala pemerintahan harus memiliki kewibawaan agar dapat memberikan kemakmuran bagi rakyatnya. Sehingga wanita tidak diberikan kepercayaan dalam urusan kemasyarakatan, terlebih masalah politik. Maka Nabi SAW dengan kearifan yang tinggi menyatakan bahwa bangsa yang menyerahkan urusan negara dan kemasyarakatan kepada wanita tidak akan sukses.   

    3.    Permusuhan
ﻋﻦﻋﺒﺪﺍﷲﺑﻦﻣﺴﻌﻮﺩ׃ ﻗﺎﻝﺭﺳﻮﻝﺍﷲﺻﻠﻌﻢ׃ ﻻﺗﺨﺘﻠﻔﻮﺍﻓﺈﻥﻣﻦﻛﺎﻥﻗﺒﻠﻜﻢﺍﺧﺘﻠﻔﻮﺍﻓﻬﻠﻜﻮﺍ ﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ﴾
“Dari Abdullah Ibn Mas’ud: Nabi SAW bersabda: Janganlah kamu berselisih maka sesungguhnya orang-orang sebelum kamu berselisih sehingga mereka binasa.” (HR. Bukhari)   
    Permusuhan dan perselisihan yang sering terjadi di kalangan para penguasa sering menimbulkan perpecahan yang akibatnya akan menghancukan suatu kekuasaan seperti yang terjadi pada ummat Islam setelah Nabi SAW wafat.

    4.    Taat dan Patuh pada Pimpinan
ﻋﻦﺍﺑﻦﻋﺒﺎﺱﺃﻥﺍﻟﻨﺒﻰﺻﻠﻌﻢﻗﺎﻝﻣﻦﻛﺮﻩﻣﻦﺃﻣﻴﺮﻩﺷﻴﺄﻓﻠﻴﺼﺒﺮﻓﺈﻧﻪﻣﻦﺧﺮﺝﻣﻦﺍﻟﺴﻠﻂﺎﻥﺷﻴﺮﺍﻣﺎﺕﻣﻴﺘﺔﺟﺎﻫﻠﻴﺔ
﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ﴾        
“Dari Ibn Abbas bahwa Nabi SAW bersabda: Barang siapa benci kepada amirnya (rajanya/pemimpinnya) akan sesuatu dalam (perkara agama)maka hendaklah sabar, maka sesungguhnya barang siapa yang keluar dari kekuasaan sultan (raja/pemimpinnya) ia akan mati seperti matinya orang jahiliyah.”  (HR. Bukhari)    

5.    Wafatnya Nabi SAW
    Nabi SAW adalah seorang utusan Allah SWT dan juga kepala negara, beliau merupakan tokoh yang sangat ternama sehingga para ahli banyak yang membahas seluruh aspek kehidupannya. Dan itu bukan hanya terjadi dikalangan ummat Islam melainkan para ahli dan sejarawan non muslim yang juga tertarik untuk mengenal beliau lebih dalam.
     Untuk memenuhi data sejarah tentang Nabi SAW maka dibutuhkanlah Hadis-hadis yang berkaitan dengan sejarah beliau dan diantaranya adalah Hadis yang menjelaskan kepastian usia Nabi SAW saat meninggal dunia.
ﻋﻦﻋﺎﺋﺸﺔﺃﻥﺭﺳﻮﻝﺍﷲﺗﻮﻓﻲﻭﻫﻮﺍﺑﻦﺛﻼﺙﻭﺳﺘﻴﻦ ﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ﴾
“Dari Aisyah bahwa Rasullulah SAW wafat dalam usia 63 tahun.”    

E.    Peran Hadis dalam Penulisan  Sejarah
Sejarah Islam pada awal perkembangannya sangat terkait dengan kondisi pra Islam di tanah Arab, namun sejarah bangsa Arab kuno sendiri hampir tidak dikenal sama sekali, hal ini terjadi diantaranya karena dua faktor penyebabnya yaitu : pertama karena mereka hidup secara nomade yang tersebar diberbagai penjuru , saling berseteru dan bermusuhan serta tidak punya raja yang kuat dan yang mampu menyatukan sebagai kesatuan politik, Kedua karena mereka lebih menghargai dan mengutamakan tradisi hafalan dibanding tulisan sehingga tidak ada pemberitaan dalam bentuk tulisan tentang peristiwa yang terjadi dan yang mereka alami.
    Dengan demikian, untuk mengetahui secara mendalam informasi sejarah perjalanan dan warisan asli penduduk jazirah Arab pra Islam adalah dengan mengarahkan perhatian pada tradisi lisan, yang pertama disebut dengan al Ayyam, yang arti semantiknya adalah hari-hari penting, yaitu hari-hari dimana telah terjadi peperangan/konflik antar kabilah karena perebutan sumber air, padang rumput dan perselisihan mencapai kepemimpinan. Kedua disebut dengan al-Ansab, jamak dari nasb artinya silsilah, yaitu pengetahuan yang harus dihapal oleh setiap kabilah tentang asal usul dan anggota keluarganya agar tetap murni, karena nasab adalah yang dibanggakan terhadap kabilah-kabilah lain. Kedua hal itulah yang memungkinkan sejarawan mengetahui masa itu tentang Arab pra Islam meskipun tidak seluruhnya menggambarkan kenyataan dan berita itu bertolak dari realitas.   
    Penulisan sejarah Islam berkembang seiring dengan perkembangan peradaban Islam. Paling tidak ada dua faktor pendukung utama berkembangnya penulisan sejarah dalam sejarah Islam yaitu :
1.    Alquran, kitab suci umat Islam memerintahkan kepada umatnya untuk memperhatikan sejarah, diantaranya dalam surat 30 : 9 dan 59 : 18 yang bunyinya :
       •    •   • 
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah.”

2.    Hadis, ajaran Islam yang terkandung dalam Alquran yang berkenaan dengan masalah Muamalah bersifat umum dan hanya garis-garis besarnya. Dan tugas Nabi SAW menjabarkan dan menerangkan hal-hal yang masih dalam garis besarnya, menerangkan yang masih bersifat umum dan menetapkan hukum-hukum yang belum terdapat di dalam Alquran.  Oleh karena itu diawal masa perkembangan Islam, ilmu ini sangat diperlukan oleh umat Islam, sehingga mendorong para ulama bepergian dari satu kota ke kota lain hanya untuk mencari beberapa hadis dan meriwayatkannya. Setelah itu muncullah beberapa kitab hadis.
Dari penulisan Hadis inilah dapat dikatakan sebagai cikal bakal perkembangan ilmu sejarah, bahkan dalam rangka menyeleksi hadis yang benar dari yang salah maka muncullah ilmu kritik hadis, baik dari segi periwayatannya maupun dari segi matan atau materinya. Ilmu kritik hadis ini pula yang dijadikan metode kritik penulisan sejarah yang paling awal.
Hadis bukan saja perkataan Nabi SAW, tetapi juga mencakup perbuatannya dan ketetapan-ketetapannya. Oleh karena itu, Nabi SAW dipandang sebagai contoh teladan yang harus diikuti oleh umat Islam. Untuk kepentingan meneladani Nabi SAW, umat Islam kemudian menyusun buku semacam biografi Nabi SAW, yang dikenal dengan nama al-sirah dan perang-perang Nabi SAW atau al-maghazi.
Para penulisnya adalah juga para ahli hadis, oleh karena itu sebagaimana dalam penulisan hadis, mereka juga menggunakan isnad apalagi dalam peristiwa-peristiwa penting, seperti turunnya wahyu dan hijrah. Tulisannya sederhana dipaparkannya bersifat faktual dan tidak berlebihan. Mereka itu adalah Iban bin Usman bin Affan (wafat 105H/723M), Urwah bin Zubayr (wafat 92H/710M) yang menulis Sirah Nabawiyyah, Muhammad bin Muslim al-Zuhri (wafat 124H/741M), Syurahbil ibn Sa’ad (wafat 123H/740M), Abdullah ibn Abu Bakar Ibn Hazm (wafat 135H/753M), Ashim bin Umar bin Qatadah (wafat 120H/717M) dan wahab ibn Munabbih (wafat 110H/728M).
Karya mereka itu bersumber dari data-data yang terekam oleh hapalan lewat periwayatan individu-individu, yang dalam hal ini disebut dengan istilah asnad, yang berarti menghubungkan suatu pernyataan kepada yang menyatakan. Metode ini digunakan untuk menyepakati validitas suatu informasi, dalam proses kodifikasi hadis-hadis Nabi SAW. Metode ini juga telah dilakukan agar para pengumpul hadis meyakini kesinambungan sanad hadis-hadis dengan Nabi SAW. Hal ini semakin menjelaskan bahwa sejarah mengikuti metode hadis pada awal pencatatannya, dan bahkan sejarah mengambil berita dari suatu rangkaian riwayat yang juga diambil dari hadis.
Namun setelah tradisi tulisan berkembang dan ilmu sejarah telah mapan, maka riwayat yang semula dinilai sebagai bagian dari agama tidak lagi dianggap memadai untuk menyampaikan fakta sejarah, karena ia tidak mampu menampilkan seluruh sisi fakta secara utuh akibat keterbatasan kemampuan hapalan manusia. Dari situ sejarawan Muslim mulai berubah dari sekedar informan yang semata-mata menguasai informasi dan menjaga kesinambungan rangkaian periwayatannya, ke arah pengkajian riwayat itu sendiri guna mengungkapkan fakta secara utuh. Dengan demikian muncullah perkembangan baru pada historiografi, karena sejarah mulai melepaskan diri dari metode ilmu hadis ke wilayah yang lebih luas dimana metodologinya lebih mandiri dan berkembang.
Kebangkitan tulisan sejarah sejak masa awal Islam merupakan bagian integral dari perkembangan kebudayaan Islam umumnya, historiografi Islam berkaitan erat dengan kebangkitan disiplin Hadis. Berkat pengumpulan Hadis, tersedia amat banyak bahan yang mempunyai bermacam nilai, yang selanjutnya disaring dan dicerna para pakar sesuai keahlian masing-masing.
Sebagaimana kita ketahui, Ketika Nabi SAW masih hidup berbagai masalah yang muncul di kalangan kaum muslimin dapat di selesaikan dengan otoritas Alquran atau Nabi SAW sendiri. Akan tetapi setelah beliau wafat, ketika kaum muslimin menghadapi persoalan-persoalan baru dan tidak dapat menemukan bimbingan eksplisit dari Alquran maka hal terbaik yang dilakukan untuk menyelesaikan berbagai permasaalahan yang ada adalah dengan melihat Hadis.
Dalam hubungan dengan kenyataan inilah hukum islam berkembang berbarengan dengan seni historiografi. Bahkan Abbott menyatakan Hadis dan sejarah merupakan disiplin kembar, walau keduanya tidak identik. 

E.    Penutup
    Sejarah merupakan peristiwa penting yang terjadi dalam perjalanan hidup manusia pada masa lampau. Mempelajari dan mengetahuinya merupakan hal penting untuk melakukan perbandingan sekaligus pelajaran bagi peningkatan taraf kehidupan manusia. Manusia akan dapat maju dengan mengetahui dan belajar dari sejarah yang terjadi, demikian halnya ummat Islam. 
    Sejarawan muslim pada awalnya menganggap bahwa sejarah bukan merupakan ilmu pengetahuan, namun dalam perkembangan selanjutnya mengingat pentingnya sejarah dalam kehidupan muncullah ilmuwan islam yang menempatkan sejarah sebagai ilmu pengetahuan. Karena Islam itu sendiri merupakan ajaran yang universal yang bersumber  dari Alquran dan Hadis  Nabi SAW dimana  ajaran-ajarannya berkembang darinya atau apa yang disebut Hadis Nabawi.
    Penelusuran sebuah sejarah dilakukan oleh para ahli dengan cara seperti apa yang dilakukan oleh para muhaddisin yaitu peneletian Hadis dengan menelusuri sanad sehingga sebuah Hadis dapat dikatakan Shahih dan layak untuk dijadikan dasar hukum atau sejarah. Dan Hadis Nabawi sebagai sumber sejarah mengandung penjelasan-penjelasan tentang Nabi SAW dan para sahabatnya yang mana hal ini merupakan sumber dari sejarah dalam dunia Islam.
          
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Ushul al-Hadis : Ulumuhu wa Musthalahuhu. Beirut: Dar al-Fikr, 1989
Abdullah, Yusri Abd Ghani. Historiografi Islam Dari Klasik Hingga Modern, terj. Sudrajat.  Jakarta: Raja Grafindo, 2004.
Bahreisy, Hussein. Himpunan Hadits Pilihan Hadits Shahih Bukhari, (Surabaya: Al-Ikhlas, tt.)
Hasan, Ibrahim Hasan. Tarikh al Islam as Siyasi wa Tsaqafi wa al Ijtima. terj. H.A.Baharuddin. Jakarta:  Kalam Mulia, 2001.
Ibrahim, Muhd. Yusof. Ilmu Sejarah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997.
Kasyif, Sayyidah Ismail. Mashadir al-Tarikh al-Islam wa Manahij al-Bahtsi Fih. Kairo: Maktabah al- Khanji, 1976.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cet. 12 Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
Yatim, Badri. Historiografi Sejarah Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar