Minggu, 02 Februari 2014

PROSES ISLAMISASI NUSANTARA

A. Pendahuluan
Sebelum Islam sampai ke Indonesia, pengaruh Hindu sangat kuat terhadap masyarakat Indonesia dimana adanya perbedaan kasta di kalangan masyarakat. Ketika Islam datang dengan menawarkan toleransi dan persamaan derajat diantara sesama manusia, maka masyarakat Indonesia merasa tertarik. Sehingga Islam dengan mudah dianut oleh masyarakat Indonesia.
  Islam adalah agama dakwah yaitu agama yang harus disiapkan, disebar luaskan dan dikembangkan oleh penganutnya dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun. Demikian pula halnya dengan apa yang dilakukan para pedagang muslim yang juga berperan sebagai dai, dengan berbagai metode yang digunakan berusaha mengembangkan sayap Islam seluas-luasnya sampai penjuru Nusantara.

    Semenjak Islam masuk ke Indonesia hingga Indonesia merdeka penganutnya semakin bertambah. Sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara nomor satu di dunia yang jumlah ummat Islamnya paling banyak.
    Bagaimana Islam masuk ke Nusantara, makalah sederhana ini akan mencoba membahas tentang masuknya Islam ke Nusantara. Proses Islamisasi dan sampel kerajaan Islam yang berdiri karena pengaruh para ulama-ulama Islam pada masa awal keberadaan Islam di Indonesia.

B. Masuknya Islam ke Indonesia
    Sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia melalui dakwah yang damai dan bukan dengan ketajaman mata pedang.  Ini dikarenakan ajaran Islam yang memandang bahwa semua manusia sama di hadapan Allah SWT. sementara pada masa sebelum Islam masuk ke Nusantara para penduduk merasa sangat terintimidasi dengan pengaruh Hindu yang meerapkan ajaran kasta dalam lapisan masyarakat.
 Akan tetapi sejauh menyangkut kedatangan Islam di indenesia terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli, mengenai tiga masalah pokok, tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.  Bukti-bukti yang terdapat di berbagai daerah di Nusantara seperti kuburan ulama Islam, mesjid, mushaf Alquran dan lain-lain merupakan sesuatu yang dapat dijadikan dasar penelitian tentang kapan masuknya Islam ke Nusantara.
    Akan tetapi berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok tentang masuknya Islam ke Nusantara jelas belum tuntas, tidak hanya kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu, tetapi juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada. Terdapat kecenderungan kuat, suatu teori tertentu menekankan hanya aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok, sementara mengabaikan aspek-aspek lainnya.  Dan juga disebabkan oleh subjektivitas penulis.
    Islam menyebar di India dan semenanjung Arab hingga ke Malaya dan masuk ke Indonesia. Pada beberapa daerah, Islam disebarkan melalui penaklukkan, akan tetapi di Asia Tenggara Islam disebarkan oleh para pedagang dan aktivitas sufi.
    Dalam berbagai literatur yang ada, banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ahli mengenai tiga persoalan di atas, namun di sini hanya akan dikemukakan beberapa masalah saja.
    Seorang penulis berkebangsaan Barat, Thomas W. Arnold menjelaskan bahwa Islam telah dibawa ke-Nusantara oleh pedagang-pedagang Arab sehak abad pertama hijriah, lama sebelum adanya catatan sejarah. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya perdagangan yang luas oleh orang-orang Arab dengan dunia timur sejak masa awal Islam.
    Di dalam Tarikh China, pada tahun 674 M, terdapat catatan tentang seorang pemimpin Arab yang mengepalai rombongan orang-orang Arab dan menetap di pantai barat Sumatera. Kemudian berdasarkan kesamaan mazhab yang dianut oleh mereka (pedagang dan muhballigh) anut, yaitu mazhab Syafi’i. Pada masa itu mazhab Syafi’I merupakan mazhab yang dominan di pantai Corromandel dan Malabor ketika Ibnu Batutah mengunjungi wilayah tersebut pada abad ke-14.
    Dalam pernyataan di atas, Arnold mengatakan bahwa Arabia bukan satu-satunya tempat asal Islam dibawa, tapi juga dari Corromander dan Malabar.
    Versi lain yang dipaparkan oleh Azra yang mengutip beberapa  pendapat dan teori sarjana, kebanyakan sarjana Belanda yang berpegang pada teori yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara berasal dari anak Benua India bukan Persia atau Arab. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel, seorang pakar dari Leiden. Dia mengaitkan asal muasal Islam di Nusantara dengan  dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, adalah orang-orang yang bermazhab Syafi’I yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.  Teori ini dikembangkan oleh Snoujk Hurgronje
    Moquetta, seorang sarjana belanda lainnya, berdasarkan hasil penelitiannya menyimpulkan bawha tempat asal Islam di Nusantara adalah Cambay, Gujarat. Dia berargument bahwa tipe nisan yang terdapat baik di Pasai maupun Gresik memperlihatkan tipe yang sama dengan yang terdapat di Cambay, India.
    Teori-teori diatas kelihatan berbeda, namun mempunyai beberapa persamaan, yaitu Islam dibawa oleh pedagang Arab dan sama-sama menganut mazhab Syafi’i. Perbedaannya ialah, Arnold mengatakan bahwa pedagang itu ada yang langsung dari Arabia dan ada yang berasal dari Corromander dan Malabar, sementara pendapat yang dikutip Azra menjelaskan bahwa para pedagang ini berasal dari anak benua India.
    Selain dari itu, seminar yang dilaksanakan di Medan pada tahun 1963, tahun 1978 di Banda Aceh, dan tanggal 30 september 1980 di Rantau Kuala Simpang tentang sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia menyimpulkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad I H langsung dari tanah Arab melalui Aceh.
    Kemudian daerah yang pertama kali didatangi Islam ialah pesisir Sumatera. Para muballigh itu selain sebagai penyiar agama juga merupakan pedagang. Dan penyiaran Islam di Indonesia dilakukan secara damai.
    Beberapa teori lain, sebgaimana yang dihimpun oleh Muhammad Hasan al-Idrus menjelaskan dua teori yang berbeda yang bertolak belakang. Teori pertama diwakili oleh sarjanawan Eropa yang menjelaskan bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada sekitar abad ke-13 M, ketika Marcopolo singgah di Utara pulau Sumatera pada tahun 1292 M.
    Teori kedua, adalah teori yang dikemukakan oleh beberapa sarjana Arab dan Muslim, antara lain Muhammad Dhiya’ Syahab dan Abdullah bin Nuh yang menulis kitab al-Islam fi Indonesia, serta Syarif Alwi bin Thahir al-Haddad seorang mufti kesultanan Johor Malaysia dalam kitabnya yang berjudul al-Madkhal ila Tarikh al-Islam fis Syarqi al-Aqsha, keduanya menolak teori yang dikemukakan oleh para sarjanawan Barat yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Asia Tenggara  khusunya ke Malaysia dan Indonesia pada abad ke-13 M. mereka meyakini bahwa Islam masuk pada abad ke-7 H, karena kerajaan Islam baru ada di Sumatera pada sekitar akhir abad ke-5 dan ke-6 H. Hal ini mereka pertegas dengan mengemukakan beberapa bukti, antara lain tentang sejarah kehidupan seorang penyebar agama Islam di Jawa yakni Seikh Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin Maulana Uluwwul Islam Makhdum lahir pada tahun 1355 tahun Jawa. Sedangkan ayahnya masuk ke Jawa setelah masuknya Sayrif al-Husein raja Carmen pada tahun 1316 tahun Jawa. Setelah itu masuk Raden Rahmat, seorang penyebar agama Islam di Jawa Timur pada tahun 1316 tahun Jawa.  
    Satu lagi teori yang dikutip oleh Azra adalah bahwa Islam telah masuik ke Indonesia sejak abad ke-13 H melalui kegigihan para kaum sufi yang mengembara dan melakukan penyiaran Islam secara atraktiv, khusunya dengan menekankan kesesuaian Islam dan komunitas daripada perubahan dalam praktek kepercayaan lokal. Mereka juga mengawini putri para penguasa pada masa itu untuk mempermudah pengembangan Islam. Faktor pendukung lainnya adalah tasawwuf yang memang telah ada sebagai sebuah kategori dalam literatur sejarah Melayu khususnya di Nusantara pada waktu itu.
    Teori versi Indonesia menjelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedangan dari Persia, Arab dan India melalui pelabuhan penting  seperti pelabuhan Lamuri di Aceh, Barus dan Palembang di Sumatera sekitar abad I H/7 M.
    Dari beberapa teori di atas dapat diketahui bahwa, sesungguhnya ada perbedaan di kalangan sejarawan dalam melihat kapan dan dari mana Islam masuk ke-Nusantara untuk pertama kalinya. Namun perbedaan-perbedaan tersebut tidak sampai mengkaburkan tentang ada dan berkembangnya agama Islam di Nusantara ini, sebagai salah satu wilayah yang mayoritas penduduknya adalah muslim.

C. Proses Islamisasi Nusantara
    Islamisasi Nusantara yang berwujud pembentukan tradisi tersendiri dapat di telaah melalui dua sudut: (1) sifat Islam yang universal dan mengajarkan persamaan serta kebebasan, serta sifat sufistik yang mampu mengakomodasi kepercayaan lama, dan (2) para penyebar Islam, baik para saudagar maupun di kalangan penduduk setempat.  Sifat Islam yang sedemikian rupa dibawa oleh para saudagar muslim dan mendapat perhatian dari orang-orang di sekitar mereka yang terlibat dalam perdagangan. Selanjutnya secara perlahan timbul keinginan untuk mengikuti apa yang menjadi pedoman para saudagar tersebut dalam kehidupannya.
Hubungan   Islam disebarkan dengan cara damai bukan dengan kekerasan apalagi dengan pedang. Islam masuk seirama dengan budaya setempat, Islam tidak melakukan perubahan secara radikal dan sporadis, bahkan Islam dijadikan stabilisator apabila stuasi politik sedang mengalami ketidak-stabilan karena perebutan kekuasaan antara beberapa kalangan.
    Badri Yatim mengutip pendapat Candrasasmita yang mengatakan bahwa penyeberan Islam di Indonesia dilakukan dengan cara damai melalu enam cara berikut:

    1. Jalur Perdagangan.
    Pada tahap awal, jalur perdagangan adalah satu-satunya jalan yang paling memungkinkan, karena lalu-lintas perdagangan memang telah ramai sejak abad ke-7 sampai abad ke-16 M. Jalur ini sangat menguntungkan karena para raja-raja juga terlibat dalam aktivitas perdagangan ini, bahkan mereka merupakan pemilik kapal dan saham. Selanjutnya jalur ini menjadi lebih penting dan strategis karena sebagaian dari mereka adalah penguasa, sehingga proses Islamisasi lebih mudah terlaksana.

    2. Jalur Perkawinan.
    Dari sudut ekonomi, para pedagang muslim mempunyai status yang lebih baik dibandingkan dengan mayoritas penduduk pribumi, sehingga penduduk pribumi dan khususnya para putri raja tertarik untuk menjadi istri para saudagar. Sebelum mereka menikah, biasanya putri ini diIslamkan terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai keturunan, dengan otomatis tentu saja lingkungan dan penduduk muslimpun semakin luas hingga mereka bisa membentuk pemukiman, hingga pada gilirannya terbentuklah kerajaan-kerajaan Islam. Jalur ini menguntungkan karena dengan keterlibatan kalangan istana dan keturunannya akan mempercepat proses Islamisasi. Demikianlah yang dilakukan oleh Raden Rahmat atau sunan Ampel dengan Nyai Manil, Sunan Gunung Jati dengan putri Kawungten, Brawijaya dengan puteri Campa yang menurunkan Raden Fatah (raja pertama kerajaan Demak).

    3. Jalur Tasawwuf.
    Pengajar-pengajar tasawwuf atau para sufi mengajarkan ajaran agama bercampur dengan kebudayaan yang telah masyarakat kenal sebelumnya. Para muballigh ini juga mahir dalam ilmu kebathinan dan pengobatan. Dengan cara dan jalur ini, Islam menyebar dengan cara yang menyentuh dan memberi kesan damai. Di antara mereka ini adalah Hamzah Fansyuri di Aceh, Sekh Lemang Abang dan Sunan Panggung di Jawa.

    4. Jalur Pendidikan.
    Penyebaran agama Islam juga dilakukan melalu jalur pendidikan, yakni pesantren meskipun dalam arti yang lebih sederhana. Di pesantren atau pondok, para kyiai dan guru mengajar dan menyebarkan ajaran Islam. Santri-santri yang telah menamatkan kajiannya akan keluar dan wajib menyebarkan ajaran Islam. Contoh pesantren ini adalah seperti pesantren yang didirikan oleh Sunan Ampel di Ampel, dan Sunan Giri di Giri.

    5. Jalur Kesenian.
    Penyebaran dakwah melalui kesenian maksudnya adalah menyampaikan dakwah ajaran Islam melalui kesenian yang telah ada dan dikenal dekat oleh masyarakat setempat. Di Jawa, media utamanya adalah wayang, dalam hal ini Sunan Kalijaga adalah salah satu sunan yang ahli memainkan wayang, setiap kali penonton ingin menyaksikan pertunjukannya, beliau meminta mereka untuk mengucapkan kalimat syahadat, namun beliau tidak mengatakan bahwa itu merupakan ucapan bagi orang yang akan masuk agama Islam. Selanjutnya dalam setiap lakon yang dimainkan, seperti kisah Mahabrata dan yang lainnya, maka beliau akan menyelipkan nama tokoh Islam. Tanpa disadari, kepada para penonton telah diperkenalkan beberapa ajaran Islam. Cara ini ternyata sangat efektif, karena para penonton tidak merasa terpaksa untuk mengikuti dakwah dan ajaran yang disebarkan melalui media wayang.

    6. Jalur Politik dan Kekuasaan.
    Di kepulauan Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan para penduduk masuk Islam setelah rajanya memeluk agama Islam terlebih dahulu, sehingga peran dan partisipasi raja sangat membantu proses Islamisasi di daerah tersebut. Di bagian Timur Indonesia baik di daerah Sumatera dan Jawa banyak kerajaan-kerajaan Islam yang demi kepentingan politiknya memerangi kerajaan non-Islam.
    Ke-enam jalur yang dipergunakan oleh para pembawa ajaran Islam seolah-olah terlihat menumpang di sela-sela institusi yang telah dikenal oleh masyarakat setempat, baik melalui kesenian dan kebudayaan masyarakat.
    Di sisi lain, ternyata media dan jalur ini mempunyai kelemahan, yakni sulitnya masyarakat untuk membedakan antara ajaran Islam dengan cerita pewayangan ataupun dongeng yang diberikan. Akan tetapi pada saat itu, inilah cara yang paling mungkin dan paling efektif, karena memang akan sangat sulit untuk memperkenalkan agama Islam sebagai agama baru kepada masyarakat yang telah mempunyai keyakinan keberagamaan lain, apalagi keyakinan mereka itu adalah hal yang sudah sangat melembaga dan bersifat turun-temurun.
    Adapaun beberapa faktor yang mendorong perkembangan masyarakat Islam adalah antara lain sebagai berikut:
1.    Hubungan baik antara para saudagar pembawa ajaran Islam dengan pemerintah atau penguasa setempat.
2.    Saudagar-saudagar itu tidak mencampuri urusan politik.
3.    Saudagar-saudagar muslim itu lebih dahulu mempraktekkan ajaran agamanya pada dirinya dalam berinteraksi dengan masyarakat.
4.    Tidak ada paksaan dalam dakwah.
5.    Beberapa keistimewaan ajaran Islam dibandingkan ajaran Hindu dan Budha dan agama lainnya yang dianut oleh masyarakat setempat.
Faktor-faktor tersebut menarik kegemaran penduduk setempat  untuk menganut agama Islam dengan suka hati, di samping para saudagar yang datang ke-gugusan pulau-pulau Nusantara tidak membawa serta isteri mereka atau memang mereka belum mempunyai istri. Hal ini kemudian mendorong mereka untuk menikahi wanita-wanita penduduk pribumi, dan tentu saja isteri-isteri mereka ini akan masuk Islam, dengan begitu, serta keturunan mereka akan memperbanyak kaum muslim di daerah tersebut.
    Pendapat lain yang hampir serupa mengemukakan bahwa setidaknya ada tiga determinasi yang mempercepat proses penyebaran agama Islam di Indonesia.
    Pertama adalah karena ajaran Islam itu mengajarkan tauhid, hal ini ternyata merupakan ajaran baru yang secara diametral bertentangan dengan hubungan kemasyarakatan saat itu yaitu sistem kasta yang merupakan ajaran Hindu.
    Selain itu, Islam juga mengajarkan legalitarian (keadilan), kesamaan serta prinsip rasionalitas. Islam tidak pernah memerintahkan sesuatu yang di luar jangkauan para penganutnya.
    Kedua adalah fleksibilitas ajaran agama Islam itu sendiri, dengan kata lain bahwa ajaran agama itu merupakan kodifikasi kebenaran-kebenaran universal. Misalnya ada sesuatu yang telah berkembang pada masyarakat, maka Islam tidak akan merubahnya secara spontan. Tetapi manakala hal itu bertentangan dengan ajaran Islam, maka di sinilah dilakukan proses Islamisasi.
    Ketiga adalah bahwa pada akhirnya Islam itu digunakan untuk melawan ekspansi luar atas mereka. 

D. Sampel Kerajaan Islam Nusantara Dan Capaiannya.
    Kehadiran apra pedagang muslim, mereka bergaul dan menikah pada akhirnya memunculkan komunitas dan perkampungan muslim pada saat itu. Salah satu faktor yang mempererat hubungan sebuah komunitas dengan komunitas lain pada saat itu adalah kesamaan agama yang dianut. Bentuk nyata lanjutan dari hubungan itu adalah aktivitas dakwah yang mereka lakukan bersama.  Seperti yang dilakuka oleh Fadhilah Khan yang datang dari Pasai ke Demak untuk memperluas kekuasaan hingga ke Sunda Kelapa. Kondisi ini tentu saja akan melahirkan sebuah masyarakat baru.
    Dalam bidang politik saat itu, agama Islam dijadikan sebagai tameng untuk memperkuat diri dari kerajaan-kerajaan non-Islam, khusunya yang mengacam bidang ekonomi dan politik. Kondisi-kondisi inilah yang kemudian mendorong terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.
    Beberapa kerajaan Islam di Nusantarapun berdiri, seperti berikut:
    1. Samudera Pasai.
    Di Sumatera berdiri kerajaan Samudera Pasai yaitu kerajaan Islam pertama di Nusantara. Kerajaan ini diperkirakan berdiri pada awal atau pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses Islamisasi di daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi oleh para pedagang-pedangan muslim sejak abad ke-7 hingga seterusnya.
    Kerajaan Samudera Pasai berkembang dengan armada lautnya yang besar untuk ukuran saat itu, yang memang diperlukan untuk mengawasi perdagangan di dalam wilayahnya. Pengawasan perdagangan itu merupakan sendi-sendi kerajaan, karena dari bidang inilah kerajaan mendapatkan dana yang besar.
    Perdangan yang menjadi basis hubungan antara Malaka, China dan India saat itu telah menjadikan kerajaan Samudera Pasai menjadi sebuah kerajaan yang terkenal dan berpengaruh di Asia Tenggara terutama pada abad ke-14 dan 15 M. Dengan kondisi ini pula kerajaan Samudera Pasai bisa mengembangkan ajaran agama Islam ke wilayah-wilayah lainnya di Nusantara. Pada abad ke-14 M, kerajaan inipun menjadi pusat studi agama Islam.

    2. Kerajaan Aceh Darussalam.
    Kerajaan ini terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Kurang diketahui kapan sebanarnya kerajaan ini berdiri. Anas Mahmud berpendapat bahwa kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M  setelah runtuhnya Lamori oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M), beliaulah yang membangun kota Banda Aceh Darussalam.
    Menurut Anas, pada masa pemerintahan Muzaffar Syah, kerajaan Aceh Darusslam mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan, karena saudagar-saudagar muslim yang berbasis di Malaka memindahkan pusat aktivitas mereka ke Aceh setelah Malaka dikuasai oleh Portugis pada tahun 1511 M.
    Puncak kejayaan kerajaan Aceh terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M). Pada masa pemerintahannya, kerajaan Aceh menguasai seluruh pesisir Timur dan Barat di Sumatera.
    Kerajaan Aceh kemudian diperintah oleh Iskandar Tsani yang menggantikan Iskandar Muda. Pada beberapa tahun pemerintahannya, kerajaan Aceh mengalami perkembangan dalam bidang agama. Kematian raja Aceh Darussalam ini kemudian diikuti oleh beberapa bencana, sehingga menjelang abad ke-18 M, kesultanan Aceh tidak mempunyai pengaruh yang signifikan.

    3. Kerajaan-Kerajaan Lainnya.
    Sementara di pulau Jawa dikenal beberapa kerajaan yang berdiri seperti kerajaan Demak, Kesultanan Pajang, Mataram, Cirebon dan Banten. Sementara di Kalimantan berdiri kerajaan Banjar, Kutai di Kalimantan Timur dab sebagainya.
    Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Rajanya pertamanya adalah Raden Fatah. Dalam menjalakan pemerintahannya, Raden Fatah dibantu oleh beberapa ulama dan wali-wali. Pada masa pemerintahan sultan Demak yang ke-tiga yaitu Sultan Trenggono, Islam mulai dikembangkan ke seluruh pulau Jawa. Setelah Sultan Trenggono mati terbunuh, ia digantikan oleh adiknya Sunan Prawoto yang kemudian dibunuh oleh Aria Panangsang. Dengan begitu berakhirlah kerajaan Demak yang kemudian digantikan kerajaan Pajang dibawah pemerintahan Jaka Tingkir yang berhasil membunuh Aria Panangsang.
    Kelahiran kerajaan-kerajaan Islam, seperti Samudra Pasai, Demak dan lain-lainnya itu, dianggap sebagai awal zaman Islam di Nusantara. Kelahiran Demak telah memunculkan Islam sebagai elemen integratif yang mampu mengintegerasikan kekuatan ekonomi, politik, dan agama di dalam negara. 

E. Kesimpulan.
    Ada beberapa pendapat yang muncul di antara para sarjanawan tentang waktu dan tempat pertamakalinya Islam masuk ke Nusantara. Akan tetapi mayoritas mereka setuju bahwa yang membawa ajaran Islam ke Nusantara pada pertama kalinya adalah para pedagang, meskipun mereka tidak mempunyai pandangan yang sama tentang asal para pedagang tersebut.
    Agama Islam di Nusantara disebarkan dengan berbagai cara. Beberapa jalur utama penyebaran agama Islam dilakukan dengan menumpangi wadah-wadah yang telah dikenal oleh masyarakat setempat pada masyarakat tersebut. Begitu juga dengan menikahkan para gadis Indonesia dengan mengislamkan mereka sehingga terjadilah ikatan darah.
    Beberapa media dakwah yang merupakan kategori kesenian ternyata memmpunyai kelemahan dimana para masyarakat sulit untuk membedakan ajaran Islam dengan dongen ataupun materi pertunjukan semata. Hal inilah yang kemudian membuat beberapa ajaran Islam bercampur aduk dengan adat di beberapa wilayah khusunya di pulau Jawa.
    Agama Islam masuk melalui sistem dakwah yang damai dan dengan pendekatan budaya serta sistem kemasyarakat yang telah ada.
 
Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik, Sejarah Ummat Islam Indonesia. Jakarta: MUI, 1991.
Ambary, Hasan Mu’arif, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.
Arnold,  Thomas W., The Preaching Of Islam, terj. Jakarta: Penerbit Widiya, 1981.
Aydrus, Muhammad Hasan, Penyebaran Islam di Asia Tenggra, terj. Jakarta: Lentera: Lentera Bastarima, 1996.
Azra, Azyumardi, Renessaince Islam di Asia Tenggara. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999.
______________, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1998.
Candasasmita, Uka, Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Efendi, Fakhri Ali dan Bachtiar, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Islam Indonesia Masa Orde Baru. Bandung: Mizan, 1986.
Hasjmy, A, Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Indonesia. Bandung: al-Ma’arif, 1993.
_________, Dustur Dakwah. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Katimin, Politik Islam Indonesia, Bandung: Ciptapustaka Media, 2007
Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam, ter. Kieraha. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Riflefs, MC, History of Modern Indonesia. London: McMillan Education.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar