Minggu, 02 Februari 2014

Hubungan Hadis Dengan Alquran

A. Pendahuluan.
Alquran dan Hadis adalah rujukan pokok dalam agama Islam. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Alquran sebagai rujukan pertama berisikan petunjuk dan prinsip-prinsip yang bersifat umum dan universal yang perlu diterangkan lebih lanjut. Maka Hadislah sebagai sumber dan rujukan kedua untuk menjelaskan Alquran. Karena pada dasarnya, hanya dengan Hadislah kita dapat menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan baik dan benar.

Oleh sebab itu, maka Hadis sangat penting dikaji karena kedudukan dan fungsi sebagai pensyarah bagi Alquran, terutama bagi ayat-ayat yang bersifat mujmal, memberikan taqyid bagi ayat-ayat yang mutlaq, memberikan tahkim bagi ayat-ayat yang ‘amm, serta menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan oleh Alquran.
Berkenaan dengan hal tersebut, dalam makalah ini, penulis akan mencoba menguraikan tentang kedudukan dan fungsi Hadis terhadap Alquran, yang selanjutnya mencakup pengertian Hadis, Hadis sebagai sumber ajaran Islam, kedudukan Hadis terhadap Alquran, fungsi Hadis terhadap Alquran dan perbandingan Hadis dengan Alquran.

B. Pengertian Hadis.
Kata Hadis, yang berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti komunikasi, cerita, percakapan, baik dalam konteks agama maupun bukan agama, sejarah, peristiwa dan kejadian faktual. Sementara kata Hadis  sebagai kata sifat berarti al-jadid, yaitu yang baharu, lawan dari al-qadim yang berarti yang lama. Dengan begitu, dapat dipahami penggunakan kata al-Hadits di sini adalah untuk menunjukkan perbedaannya dengan Alquran yang bersifat qadim.
  Di dalam Alquran, terdapat 23 kali pengunaan kata  hadis dalam bentuk mufrad atau tunggal, dan 5 kali dalam bentuk jamak. Keseluruhannya adalah dalam pengertiannya secara etimologis di atas. Hal tersebut dapat dilihat dalam berbagai contoh berikut: 
1.    Pengertiannya dalam konteks komunikasi religius yang berarti wahyu atau Alquran:
 •   
Allah Telah menurunkan perkataan yang paling  (QS az-Zumar:23)
     
Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Qur'an). (QS al-Qalam: 44)

2.    Dalam konteks cerita duniawi atau cerita secara umum:
             
Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. (QS: al-An’am:68)

3.    Dalam konteks sejarah atau kisah masa lalu:
وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى
Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? (QS Thaha:9)

4.    Dalam konteks cerita atau percakapan aktual:
  •    
Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya (Hafshah) suatu peristiwa".(QS: at-Tahrim: 3)
    Jika kita perhatikan ayat-ayat tersebut di atas, maka akan kita jumpai pengetian kata Hadis secara etimologis yaitu: cerita, komunikasi, pesan, baik dalam konteks religius atau duniawi, dan untuk masa lalu atau masa sekarang.
Dari segi terminologi, dijumpai pendapat yang berbeda-beda di kalangan ulama. Hal in antara lain disebabkan karena perbedaan cara pandang yang mereka gunakan dalam melihat suatu masalah. Berikut ini dapat kita lihat perbedaan-perbedaan para ulama dalam memberikan definisi Hadis.
1.    Menurut Ulama Ahli Hadis
Banyak para ahli Hadis memberikan definisi yang berbeda redaksi tetapi maknanya sama, diantaranya :
•    Mahmud At-Thahaan menyebutkan bahwa Hadis adalah sesuatu yang datang dari Nabi SAW  baik berupa perkataan atau perbuatan dan atau persetujuan.
•    Ibnu Taimiyah memberikan batasan bahwa yang dinyatakan sebagai Hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Rasul saw. sesudah beliau diangkat menjadi rasul, yang terdiri dari perkataan, perbuatan dan taqrir. 
•    Syarah al- Bukhari seperti dikutip oleh M. Hasbi Ash Shiddieqy hadits adalah :“ segala ucapan Nabi, segala pebuatan beliau dan segala keadaan beliau”.”
•    Abdul Baqa menjelaskan bahwa kata Hadis adalah bentuk isim dari kata tahdis yang berarti pembicaraan, dan kemudian beliau mendefinisikan bahwa Hadis adalah ucapan, perbuatan atau penetapan yang di nisbatkan kepada Nabi SAW 
Dari definisi para ulama Hadis tersebut dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW yang terdiri dari perkataan, berbuatan, pernyataan, sifat serta keadaan Nabi SAW.

2.    Menurut Ulama Ushul Fikih
•    Menurut ulama ushul fiqh, yang dimaksud dengan Hadis adalah apa yang disebut mereka dengan Sunnah qawliyah, yaitu :
    ﺃﻗﻮﺍﻝﺍﻟﺮﺳﻮﻝﺻﻠﻰﺍﷲﻋﻠﻴﻪﻭﺳﻠﻢﻣﻤﺎﻳﺼﻠﻪﺃﻥﻳﻜﻮﻥﺩﻟﻴﻼﻟﺤﻜﻢﺷﺮﻋﻰ
Seluruh perkataan Rasul SAW yang pantas untuk dijadikan dalil dalam penetapan hukum syara’.

Pengertian para ulama ushul fikih diatas menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW  yang memiliki nilai hukum seperti kebiasaan sehari-hari atau adat-istiadat.
Ada beberapa istilah yang sering disinonimkan dengan pengertian Hadis. Beberapa istilah tersebut adalah:

    Sunnah.
Sunnah secara etimologis berarti :
الطريقة المستقيمة و السيرة المستمرة حسنة كانت أم سيئة
Jalan yang lurus dan berkesinambungan yang baik atau yang buruk.
Sunnah juga berarti sesuatu yang sudah biasa dilakukan atau yang telah menjadi tradisi. Bentuk jamak (plural) dari kata sunnah adalah as-sunan (ﺍﻠﺴﻨﻥ)
ﻟﺗﺗﺑﻌﻦﺴﻧﻦﻤﻥﻗﺑﻟﻜﻡﺷﺑﺮﺑﺸﺑﺮﺍﻮﺫﺭﺍﻋﺎﺑﺫﺭﺍﻉﺤﺖﻟﻭﺪﺧﻟﻮﺍﺤﺟﺮﺍﻟﻀﺐﻟﺪﺧﻟﺗﻤﻭﻩ
Sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan-perjalanan) orang yang sebelummu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga kiranya mereka memasuki sarang dlab (sejenis biawak) sungguh kamu memasukinya juga. (HR. Muslim)
Adapun defenidi Sunnah secara terminologis, para ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisinya tergantung kepada bidang yang ditekuninya. Ulama usul fikih mengemukakan definisi yang berbeda dengan yang diberikan oleh para ahli Hadis demikian juga ulama fiqih.
a.    Menurut ulama Hadis, pengetian Sunnah adalah:
كل ما أثر عن الرسول صلى الله عليه و سلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقية  أو سيرة سواء أ كان قبل البعثة كتحيثه فى غار حراء أم بعدها
Sunnah adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasul berupa perkataan, perbuatan, pengakuan (taqrir), atau keadaan akhlak atau keadaan fisik atau sejarah kehidupannya, baik itu sebelum diangkat menjadi rasul ataupun sesudahnya seperti tahannus yang beliau lakukan di Gua Hira.
Sunnah dalam pengertian ulama hadis di atas adalah sama dengan pengertian Hadis itu sendiri. Para ulama Hadis begitu luas dalam memberikan definisi sunnah karena memandang Rasul sebagai tauladan dan panutan.

b.    Menurut ulama usul fiqh sunnah adalah:
كل ما صدر عن النبى صلى الله عليه و سلم غير القرآن الكريم من قول أو فعل
Sunnah adalah seluruh apa yang berasal dari Rasul saw. baik perkataan ataupun perbuatan ataupun keputusan yang dapat dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara’.

c.    Menurut ulama fiqh, sunnah adalah:
ﻫﻲﻣﺎﺛﺒﺖﻋﻦﺍﻟﻨﺒﻰﺻﻠﻰﺍﷲﻋﻠﻴﻪﻭﺳﻠﻢﻭﻟﻢﻳﻜﻦﻣﻦﺑﺎﺏﺍﻟﻔﺮﺽﻭﻻﺍﻟﻮﺍﺟﺐ
Yaitu setiap yang datang dari Rasul SAW yang bukan fardu dan tidak pula wajib.
Berdasarkan definisi di atas, dapat dipahami bahwa sunnah dalam pandangan ulama usul hanya terbatas sesuatu yang berasal dari Rasul selain Alquran baik berupa perkataan atau perbuatan atau keputusan yang dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara’, adalah karena mereka memandang Rasul sebagai penetap hukum (syari’) yakni yang menetapkan atau merumuskan atau menjelaskan hukum bagi manusia.

    Khabar.
    Khabar menurut bahasa berati an-naba’ yaitu berita.  Sedangkan menurut istilah, ada tiga pendapat yang berbeda, yakni:
1.    Khabar sama pengertiannya dengan Hadis.
2.    Khabar berbeda pengertiannya dengan Hadis. Bila Hadis adalah segala sesuatau yang datang dari Rasulullah saw., maka khabar adalah berita yang datang dari selain beliau.
3.    Khabar mempunyai pengertian yang lebih luas dari Hadis. Bila Hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi, maka khabar adalah yang datang dari Rasul saw. dan dari selain beliau.

    Atsar.
Atsar secara etimologis berarti baqiyyat al-syay’, yaitu sisa atau peninggalan sesuatu.   Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan pengertian Atsar menurut bahasa yaitu bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, dan berarti nukilan (yang dinukilkan). Dari itu do’a yang dinukilkan dari Nabi SAW  dinamakan Do’a Ma’tsur.   Dan jejak langkah yang ditinggalkan seseorang juga dapat disebut sebagai atsar.
Sementera pengertian Atsar secara epistimologi menurut ulama salaf adalah riwayat yang berasal dari ulama salaf , sahabat, tabi’in, dan tabi’ittabi’in.  
Menurut jumhur ulama, atsar sama artinya dengan khabar. Secara istilah atsar merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in yang terdiri dari perkataan dan perbuatan.
  Pendapat lain mengatakan bahwa pengertian Atsar adalah:
ما أضيف إلى الصحابة و التابعين من أقوال أو أفعال
Segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin yang terdiri atas perkataan atau perbuatan.

C.    Bentuk – Bentuk Hadits
Secara garis besar hadits dibagi menjadi tiga bentuk yaitu : hadits qauli, hadits fi’li, dan hadits taqriri.
1.    Hadits Qauli
Yang dimaksud dengan hadits ini yaitu segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dengan kata lain, hadits tersebut berupa perkataan Nabi SAW yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa-peristiwa, dan kisah-kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syari’ah, maupun akhlak.
Contoh hadits qauli
ﻋﻦﺃﺑﻰﻫﺮﻳﺮﺓﺭﺿﻲﺍﷲﻋﻨﻪﻗﺎﻝﻗﺎﻝﺭﺳﻮﻝﺍﷲﺹﻡﻓﻰﺍﻟﺒﺤﺮﻫﻮﺍﻟﻁﻬﻮﺭﻣﺎﺆﻩﻭﺍﻟﺤﻞﻣﻴﺘﺘﻪ ﺃﺧﺮﺠﻪﺍﻷﺭﺑﻌﺔ
Dari Abi Hurairah r.a., dia berkata, bersabda Rasuluulah SAW tentang laut,”Airnya adalah suci dan bangkainya adalah halal.”

2.    Hadits Fi’li
Yang dimaksud dengan hadits fi’li, adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dengan kata lain, hadits tersebut berupa perbuatan Nabi SAW yang menjadi panutan prilaku para sahabat pada saat itu, dan menjadi keharusan bagi semua ummat untuk mengikutinya. 
Contoh hadits fi’li :
ﻮﺻﻠﻮﺍﻜﻤﺎﺭﺃﻳﺘﻤﻮﻧﻰﺃﺻﻟﻰ   ﺭﻭﺍﻩﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ
Dan shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.
Hadits fi’li dapat dibagi kepada beberapa bagian yaitu :
a.    Pekerjaan Nabi SAW yang bersifat gerakan jiwa, gerakan hati, gerakan tubuh, seperti bernafas, duduk berjalan, dsb. Perbuatan semacam ini tidak tersangkut paut dengan soal hukum dan tidak ada hubungannya dengan suruhan, larangan atau tauladan.
b.    Perbuatan Nabi yang bersifat kebiasaan, seperti cara-cara makan, tidur dan sebagainya
c.    Perbuatan nabi yang khusus untuk beliau sendiri, seperti menyambungkan puasa dengan tidak berbuka dan beristri lebih dari empat. Dalam hal ini orang lain tidak boleh mengkutiya
d.    Pekerjaan yang bersifat hukum yang mujmal, seperti: shalat dan hajinya
e.    Pekerjaan yang dilakukan terhadap orang lain sebagai hukuman : seperti menahan orang, atau mengusahakan milik orang lain
f.    Pekerjaan yang menujukkan kebolehan saja, seperti berwudlu dengan satu kali, dua kali dan tiga kali.
3.    Hadits Taqriri
Yang dimaksud dengan hadits ini ialah yang berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang datang atau yang dilakukan oleh para sahabatnya. Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan , apakah beliau membenarkan atau menyalahkannya.
Contoh hadits Taqriri, ialah sikap rasul membiarkan para sahabatnya dalam menafsirkan sabdanya tentang shalat pada suatu masalah. Seperti yang terjadi pada Mu'tazilah’az ibn Jabal, yang diceritakan dalam sebuah Hadis:
Bahwa sanya ketika Rasulullah SAW hendak mengutus Mu’az ibn Jabal ke Yaman, beliau bertanya kepada Mu’az, “Bagaimana engkau memutuskan perkara jika diajukan kepadamu ?” Maka Mu’az menjawab, “Aku akan memutuskan berdasarkan kepada kitab Allah (Alquran),” Rasul bertanya lagi, “ Apa bila engkau tidak menemukan jawabannya di dalam kitab Allah?, Mu’az berkata “Aku akan memutuskannya dengan Sunnah” Rasul selanjutnya bertanya, “Bagai mana kalau engkau juga tidak menemukannya di dalam sunnah dan tidak di dalam kitab Allah?, Mu’az menjawab “Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku.” Rasul SAW menepuk dada Mu’az seraya berkata, “Alhamdulillah atas taufik yang telah di anugerahkan Allah kepada utusan rasulNya.” 

D. Pengertian Alquran
Berbicara tentang pengertian Alquran, apakah itu dipandang dari sudut bahasa maupun istilah. Banyak para ulama berbeda pandangan dalam mendefinisikannya. Qara’a mempunyai arti mengumpulakan dan menghimpun, dan qiraah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan  yang terusun rapi. Quran pada mulanya seperti qiraah, yaitu masdar  dari kata qaraa, qiraatan  quranan ,Sebagaimana  firman Allah :
•       •  
17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
18.  Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
Disebutkan juga bahwa pengertian Alquran adalah
ﻫﻮﻜﺗﺎﺏﺍﻟﻣﺳﻠﻣﻳﻥ ״ ﺗﻧﺯﻳﻞﻤﻥﺍﻟﺮﺣﻣﻥﺍﻟﺮﺣﻳﻢ ﻛﺘﺎﺏﻔﺼﻟﺕﺁﻳﺎﺗﻪ ﻗﺮﺁﻧﺎﻋﺮﺑﻳﺎ ﻟﻗﻮﻡ ﻳﻌﻟﻤﻮﻥ״
Dia adalah kitab orang-orang Islam, diturunkan dari yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ayat-ayatnya jelas menggunakan bahasa Arab diperuntukkan bagi orang-orang yang mengetahui.
DR. Thameem Ushama mengatakan pengertian Alquran sebagai berikut : “The Qur’an is the literal word of Allah (s.w.t) revealed to the prophet Muhammad (s.a.a.s) as a universal message. It is complete and comprehensive guidance for the humanity.”
Imam ar-Raghib al-asfahani menyebutkan, “ Seorang ulama berkata, ‘ Penamaan kitab suci ini dengan nama Alquran tidak untuk kitab suci yang lain adalah karena kitab suci ini mencakup isi seluruh kitab suci agama (Agama Samawi) yg lain, bahkan mencakup kandungan ilmu. Pemilihan nama ini yang punya keistimewaan khusus merupakan isyarat yang jelas bahwa ummat Islam punya keistimewaan khusus, dimana ummat ini menjadikan Alquran sebagai standar hidupnya. 
Adapun pengertian Alquran menurut istilah yang telah disepakati oleh para ulama adalah “Kalam Allah yang bernilai mukjizat yang dturunkan kepada “pungkasan” para nabi dan rasul (Nabi Muhammad saw.) dengan perantaraan malaikat Jibril a.s,   yang tertulis pada mashahif,  diriwayatkan kepada kita secara mutawatir, yang membacanya dinilai sebagai ibadah yang di awali dengan surat al-Fatihah dan di tutup dengan surat an-Naas”

E. Perbandingan Hadis dengan Alquran.
Alquran dan Hadis merupakan sumber ajaran agama Islam, dan bahkan pada hakikatnya keduanya sama-sama berasal dari wahyu. Namun meski demikian, keduanya tidaklah persis sama, ada beberapa perbedaan-perbedaan. Beberapa perbedaan itu sendiri akan terlihat dengan jelas di dalam merumuskan pengertian Alquran itu sendiri.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Alquran itu adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad Saw. dengan bahasa Arab yang mengandung mukjizat meskipun dengan suratnya yang terpendek, membacanya adalah ibadah, dimulai dari surah al-Fatihah hingga surah an-Nas.
Sebuah pengertian yang lebih pendek diajukan oleh Subhi as-Shalih, yakni kalam Allah  yang mengandung mukjizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. secara mutawatir dan membacanya adalah ibadah.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keseluruhan Alquran diriwayatkan dari Rasul secara mutawatir, sementara itu tidak demikian halnya dengan Hadis.

F. Kedudukan Hadis Sebagai Sumber Ajaran Islam.
Para ulama sepakat bahwa Hadis merupakan sumber kedua ajaran agama Islam setelah Alquran.  Pendapat ini sepertinya didasarkan atas firman Allah swt.:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا(59)
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS an-Nisa’: 59).
Ditinjau dari segi wurud dan tsubutnya, Alquran bersifat qath’i, sedangkan Hadis, kecuali yang mutawatir adalah bersifat dzhanni. Berdasarkan hal tersebut, maka Alquran didahulukan dari Hadis.
Selain itu, untuk lebih rinci, ada beberapa alasan yang melatari pendahuluan Alquran dalam sumber ajaran agama dari Hadis. Beberapa alasan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1.    Hadis berfungsi sebagai penjelas bagi Alquran, dari itu tentu saja yang dijelaskan lebih diutamakan daripada penjelas tersebut.
2.    Para sahabat, bila menemukan masalah, maka mereka akan merujuk kepada Alquran terlebih dahulu, bila tidak ditemukan barulah mereka merujuk kepada Hadis.
3.    Hadis tentang Mu’adz yang secara terang menyatakan keutamaan kedudukan Alquran atas Hadis.
G. Fungsi Hadis Terhadap Alquran.

Hadis jika dibandingkan dengan Alquran, sebagian besar Hadis bersifat operasional, karena fungsi utamanya memang adalah sebagai penjelas terhadap ayat-ayat Alquran. Hal ini seperti yang dapat dipahami dari surah an-Nahl ayat 44:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (QS an-Nahl: 44).
Secara garis besar, ada tiga fungsi Hadis terhadap Alquran,  yaitu:
1.    Bayan Taqrir yakni menegaskan kembali keterangan atau perintah yang terdapat dalam Alquran, seperti keterangan Rasul saw. mengenai kewajiban salat, puasa, zakat dan haji yang termuat dalam Hadis:
بنى الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله و أن محمدا رسول الله و إقام الصلاة و إيناء الزكاة و صوم رمضان و حج البيت من استطاع إليه سبيلا
Islam dibangun atas lima pondasi, bersyahadat bahwa tiada tuhan selain Allah swt. dan Muhammad adalah utusanNya, mendirikan salat, memberikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan berhaji bagi yang mampu.
Hadis ini berfungsi menjelaskan kembali  ayat:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat (QS al-Baqarah: 83).
2.    Menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat Alquran yang datang secara mujmal, ‘amm dan mutlaq. Seperti yang dijelaskan Rasul saw. tentang tata cara pelaksanaan salat, dan waktu-waktunya. Dalam hal ini Hadis berfungsi sebagai bayan tafsir. Fungsi Hadis sebagai bayan tafsir terhadap Alquran dapat dibagi kepada tiga bentuk, yaitu:
a.    Menafsirkan serta memperinci ayat-ayat mujmal, contohnya seperti penjelasan Hadis Rasulullah Saw.  tentang pelaksanaan tata cara shalat:
....صلوا كما رأيتمونى أصلى
Dan salatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku salat  (HR Bukhari)
b.    Mengkhususkan penjelasan Rasul Saw. tentang ayat:
عن أبي هريرة رضى الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم  قال: القانل لابرث
Dari Ab­ Hurairoh r.a Rasulullah Saw. bersabda: pembunuh tidak mewarisi (HR Ibnu Majah).
c.    Memberikan batasan (taqyid) terhadap ayat-ayat Alquran yang bersifat mutlaq. Seperti Hadis yang memberikan penjelasan tentang batasan untuk melakukan hukuman potong tangan bagi pencuri yang di dalam Alquran disebutkan dengan mutlaq, yakni:
السارق و السارقة فاقطعوا أيديهما
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah  tangan keduanya…..
Ayat tersebut masih mutlaq, belum diberi batasan sampai mana yang harus dipotong. Maka hadist Nabi Saw. datang menjelaskan batasannya, yaitu dipotong hingga pergelangan tangan saja.
3.    Bayan tasyri’ yaitu menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan oleh Alquran. Sebagai contoh, Rasul mengharamkan mengumpulkan (menjadikan isteri sekaligus) antara seorang wanita dengan makciknya ketentuan tersebut tidak ada dalam Alquran, yang ada hanya karangan terhadap suami yang memadu isterinya dengan saudara perempuan sang isteri, sebagaimana terdapat dalam firman Allah swt. dalam surah an-Nisa: 23-24.
  •         •      •                                                    •  •                            •     
Artinya :
23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
24.  Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

E. Penutup.
    Daru uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Hadis merupakan sesuatu  yang disandarkan kepada Rasulullah Saw., baik perkataan perbuatan ataupun keputusan-keputusan beliau. Dan Hadis  dapat dibagi menjadi 3 yaitu Hadis Qouly, Hadis Fi’ly dan Hadis Taqriry.
    Ada beberapa istilah yang sering disinonimkan dengan pengertian Hadis. Yaitu Sunnah (kebiasaan) atau tradisi pada masa Nabi SAW, Khabar (berita) yang bersumber dari Nabi SAW dan para sahabat.
    Antara Alquran dan Hadis mempunyai hubungan yang sangat penting sebagai sumber hukum Islam. Alquran yang merupakan kalamullah yang diturunkan kepada Nabi SAW mengandung ayat-ayat yang berhubungan dengan aqidah dan syariat dan membutuhkan penjelasan yang terdapat dalam Hadis.
Secara garis besar, ada tiga fungsi Hadis terhadap Alquran, yaitu:
1.    Bayan Taqrir yakni menegaskan kembali keterangan atau perintah yang terdapat dalam Alquran.
2.    Menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat Alquran yang datang secara mujmal, ‘amm dan mutlaq:
a.    Menafsirkan serta memperinci ayat-ayat mujmal.
b.    Mengkhususkan penjelasan Rasul Saw. tentang ayat.
c.    Memberikan batasan (taqyid) terhadap ayat-ayat Alquran yang bersifat mutlaq.
3.    Bayan tasyri’ yaitu menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan oleh Alquran.

Daftar Pustaka

Al-Khatib, M. Ajjaj. As-Sunnah qabl at-Tadwin (Beirut: Dar al- Fikri, 1991)
Al-Kholidi, Sholah. Membedah Alquran, (Surabaya: Pustaka Progresif)
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Mabahits Fi Ulumil Quran terj. Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Quran (Jakarta: PT. Litera Antar Nusa, 2000)  
Al-Salih, Subhi. Mabahis fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al- ‘Ilm li al-Malayin, 1988)
Al-Salih, Subhi. Mabahis fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al- ‘Ilm li al-Malayin, 1988)
Al-Thahan, Mahmud. Taisir Mushthalah al-Hadits, (Beirut: Dar ats-Tsaqafah al-Islamiyah), tt.
Al-Zuhaili, Wahbah. Usul al-Fiqh al-Islami (Beirut:  Dar al- Fikr, 1986), juz I.
Ash Shiddieqy, M. hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits ( Jakarta : Bulan Bintang, 1954)
Ash-Shabuny, Muhammad Aly. Pengantar Studi Alquran (at-Tibyan), Terjemahan Oleh Moch.Chudlori Umar dan Moh. Matsna, ( Bandung: 1996)
Kamus “Al Munjid Fi al-Lughah Wa al-A’lam” (Beirut: Dar al-Musyriq, 1986)
Khon Abdul Majid. Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2008)
Matsna, Muhammad. Alquran-Qur’an-Hadis, (Semarang: Toha Putra, 2002)
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadits, ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001)
Ushama, Thameem. Methodologies of the QURANIC EXEGESIS, (Kuala Lumpur: Percetakan Zafar SDN. BHD., 1995)
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. (Jakarta:  PT. Mutiara Sumber Widya, 1998)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar