Rabu, 06 November 2013

TAKHRIJ HADIS DAN METODE-METODENYA

Pendahuluan
    Kredibilitas suatu hadis harus tetap disandarkan kepada standarisasi Rasulullah SAW. Fenomena ini dapat diketahui dengan cara menyebutkan sanad sebab keakuratan sanad suatu hadis sangat menentukan statuta serta kualitas dan sekaligus mempengaruhi kedudukannya sebagai sumber hukum Islam. Kejelasan matan dimaksud agar setiap pesan yang menjadi tema dari inti suatu hadis tersebut dapat diaplikasikan sesuai dengan harapan yang dimaksud oleh Rasulullah SAW. Kepopuleran seorang perawi merupakan gambaran yang sangat dominan dalam menentukan hukum apakah layak untuk dijadikan sebagai rujukan sebab kriteria perawi sangat eksis dalam melihat kapasitas hadis dimaksud.
    Tahkrij Hadis adalah penelusuran hadis sampai pada sumber aslinya hal ini merupakan suatu bagian dari kegiatan penelitian hadis Ilmiyah yaitu merujuk pada sumber primer secara langsung bukan pada sumber sekunder. Sumber primer itu seperti Sohih Bukhori, Shohih Muslim, Sunan Tirmizi, Sunan Abi Daud, Sunan Nasai,  Sunan Ibnu Majah, Musnad Imam Ahmad, Muatro Imam Malik, Mustadrok Imam Hakim dan Sunan Kubro Imam Baihaqi.
     Takhrij hadis penting dipelajari agar kita memperoleh pengetahuan bagaimana cara untuk sampai pada sumber asli dari sebuah hadis. Hal ini juga menghindari diri dari sikap taqlid buta.  Melalui pengetahuan tentang takhrij hadis ini sekaligus diketahui sanad dan matan dan rawi suatu hadis sehingga memudahkan untuk melakukan penelitian tentang kualitas suatu hadis.
    Pada makalah ini penulis akan memaparkan pembahasan tentang takhrij Hadis dan Metode-metodenya yang meliputi ; pengertian takhrij Hadis, tujuan dan manfaat takhrij hadis, kitab-kitab yang diperlukan dalam mentakhrij, serta cara pelaksanaan dan metode takhrij.

A. Pengertian Takhrij
    Takhrij menurut bahasa mempunyai beberapa makna. Yang paling mendekati di sini adalah berasal dari kata kharaja ( خَرَجَ ) yang artinya nampak dari tempatnya, atau keadaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj ( اْلِإخْرَج ) yang artinya menampakkan dan memperlihatkannya. Dan al-makhraj ( المَخْرَج ) artinya artinya tempat keluar; dan akhrajal-hadits wa kharrajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan hadits kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.
    Mahmud attahhan menjelaskan pengertian Takrij menurut bahasa  sebagai “Berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu kata”. Tahkrij sering dikatakan dalam beberapa arti :
1.    Al-Istimbat (hal mengeluarkan)
2.    Al-Tadrib (hal melasih)
3.    at-taujih (hal memperhadapkan)
    sedangkan tahkrij menurut istilah berbeda-beda menurut penuturan berbagai ulama. Abd. Yuhdi Abdul Qodir mendefenisikan takhrij sebagai “bahwa penulis menyebutkan hadis dengan sanad-sanadnya dalam kitab-kitabnya”.  Ibrohim abd. Fattah Halibah mengutib pendapat Al Manawi tentang defenisi takhrij sebagai berikut:
Mengembalikan hadis-hadis ketempat asalnya yang ditulis oleh ulama-ulama hadis dalam kitab jawami’, sunan dan musnad .
Sementara Mahmud at-Tahhan memberi defenisi sebagai berikut:
Menunjukkan letak hadis pada sumber aslinya yang lengkap dengan sanad-sanadnya kemudian menjelaskan status atau kualitas hadis jika diperlukan .
    Berdasarkan batasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Takhrij menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadis pada sumber aslinya yang mengeluarkan hadis tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.
    Dari defenisi diatas dapat kita lihat bahwa takhrij itu adalah menelusuri suatu hadis kesumber asalnya yaitu kitab-kitab Jami, sunan, dan musnad kemudian jika diperlukan menyebutkan kualitas hadis tersebut apakah sohih, hasan atau doif.

B. Tujuan Dan Manfaat Takhrij
Secara terminologis, men-takhrij berarti melakukan dua hal, yaitu :
Pertama, berusaha menemukan para penulis hadits itu sendiri dengan rangklaian silsilah sanad-nya dan menunjukannya pada karya-karya mereka.
Kedua, memberikan penilaian kualitas hadits.
Tujuan pokok men-takhrij hadits adalah : mengetahui sumber asal hadits yang di-takhrij dan juga untuk mengetahui keadaan hadits tersebut yang berkaitan dengan maqbul dan mardud-nya. Sementara untuk kegunaan takhrij hadits adalah :
1.    Memperkenalkan sumber-sumber hadis, kitab-kitab asal dari suatu hadis     beserta ulama yang meriwayatkannya.
2.    Menambah perbendaharaan sanad.Hadis melalui kitab-kitab yang ditunjuknya.
3.    Memperjelas keadaan sanad, sehingga dapat diketahui apakah Munqathi’,     Mu’dhal, atau lainnya.
4.    Memperjelas hokum Hadis dengan banyaknya riwayatnya, seperti Hadis     Dha’if melalui satu riwayat, maka dengan takhrij kemungkinan akan didapati     riwayat lain yang dapat mengangkat status Hadis tersebut kepada derajat yang     lebih tinggi.
5.    Mengetahui pendapat-pendapat para Ulama sekitar hukum Hadis.
6.    Memperjelas perawi Hadis yang samar, karena dengan adanya takhrij dapat     diketahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
7.    Memperjelas perawi Hadis yang tidak diketahui namanya melalui     perbandingan di antara sanad-sanad.
8.    Dapat menafikan pemakaian “an” dalam periwayatan Hadis oleh seorang     perawi mudallis. Dengan didapatinya sanad yang lain yang memakai kata     yang jelas kebersambungan sanad-nya, maka periwayatan yang memakai “an”     tadi akan tampak pula kebersambungan sanad-nya.
9.    Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.
10.    Dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karena mungkin saja     ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad     yang lain, maka nama perawi itu akan menjadi jelas.
11.    Dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.
12.    Dapat memperjelas arti kalimat asing yang terdapat dalam sanad.
13.    Dapat menghilangkan suadz (kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat     perawi yang lebih tsiqat) yang terdadpat pada suatu Hadis melalui     perbandingan riwayat.
14.    Dapat membedakan Hadis yang Mudraj (yang mengalami penyusupan     sesuatu) dari yang lainnya.
15.    Dapat mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dialami oleh     seorang perawi.
16.    Dapat mengungkap hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seorang     perawi.
17.    Dapat membedakan antara proses periwayatan yang dilakukan dengan lafaz     dan yang dilakukan dengan makna saja.
18.    Dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya Hadis melalui perbandingan     sanad-sanad yang ada.
19.    Dapat  menjelaskan sebab-sebab timbulnya Hadis melalui perbandingan     sanad-sanad yang ada.
20.    Dapat mengungkapkan kemungkinan terjadinya kesalahan cetak melalui     perbandingan-perbandingan sanad yang ada. 

C. Sejarah Ilmu Takhrij
    Ulama-ulama dahulu tidak memetingkan pada kaidah ilmu takhrij karena pengetahuan mereka pada hadis sangat luas dan hubungan mereka sumber asli sangat akrab dan kuat. Apabila mereka mau membuktikan kesahihan suatu hadis dengan spontan mereka bisa mencari dalam Kutub as-sittah bahkan di jilid beberapa terdapat hadis tersebut sehingga mudahlah bagi mereka mengetahui hadis yang didengar sumber aslinya.
    Era di mana para ulama-ulama menguasai sumber asli hanya beberapa abad. Para ulama selanjutnya mulai menemui kesulitan untuk mengetahui sumber suatu hadis yang terdapat dalam Kitab Fiqih Tafsir dan Tarikh maka muncullah segolongan ulama yang mulai melakukan Takhrij hadis terhadap karya-karya ilmu tersebut dan menjelaskan kedudukan hadis itu apakah statusnya shohih. Hasan atau doif.
    Di antara kitab-kitab takhrij yang pertama muncul adalah: Takhrij al-Fawaid al-Muntakhobah al-Shihah wa al-Ghoroib karya Abi Al-Ghoroib, Takhrij al-Fawaid al-Muntakhobah al-Shihah wa al-Ghoroib karya Abi Qosim al-Mahrowam dan kitab Takhrij Ahadits al-Muhazzab oleh Abu Ishak As Syirozi.
Kemudian pada masa selanjutnya, karya-karya dalam bidang ilmu takhrij hadis semakin meluas hingga mencapai puluhan. Sumbangan karya-karya tersebut tidak dapat dipungkiri sangat signifikan terhadap perkembangan ilmu-ilmu keIslaman lainnya.
    Mahmud at-Tahhan menyebutkan bahwa tidak diragukan lagi cabang ilmu takhrij ini sangat penting sekali bagi setiap ilmuan yang bergelut dibidang ilmu syariah khususnya bagi yang bergelut dibidang ilmu hadis dengan ilmu ini seseorang bisa memeriksa hadis ke sumber asalnya.
    Ismail Abd Wahid Makhluf dan Taufiq Ahmad Saliman menyebutkan tujuan ilmu takhrij sangatlah banyak, namun yang terpenting di antaranya.
1.    mengetahui sumber hadis dimana hadis tersebut didapati.
2.    untuk mengetahui status kualitas, apakah hadis itu shohih atau Hasan atau     doif.
M. Syuhudi Ismail menyebutkan sebab-sebab perlunya kegiatan takhrij hadis  sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui asal usul riwayat hadis yang diteliti
2.    Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadis yang akan di teliti.
3.    Untuk mengetahui ada atau tidak adanya Shahib dan Mutabi. Pada sanad yang     diteliti.
Abd. Muhdi Abdul Qodir menyebutkan tujuan takhrij adalah mengetahui sumber asal hadis dan kualitas hadis tersebut apakah bisa diterima atau tidak.  Sedangkan manfaat takhrij hadis banyak sekali diantaranya :
1.    Memperkenalkan Sumber-sumber hadis
2.    Menambah perbendaharaan sanat hadis melalui kitab-kitab yang ditunjukkan.
3.    Memperjelas keadaan-keadaan sanat sehingga dapat diketahui apakah hadis     tersebut manqothi, mudhol atau lainnya.

D. Kitab-kitab yang diperlukan dalam mentakhrij
    Seorang peneliti dalam melakukan takhrij hadis haruslah mempunyai kitab-kitab pedoman diantara kitab-kitab tersebut.
1.    Usul Takhrij oleh mahmud Attahhan.
2.    Hushul al-Tafrij oleh Ahmad Ibn. Muhammad Al Gharami.
3.    Turuq Takhrij oleh Abd Muhdi
4.    Methodologi Penelitian Hadi Nabi oleh Syuhudi Ismail
    Selain kitab-kitab diatas diperlukan juga bantuan kitab-kitab kamus mu’jam hadis dan mu’jam para perowi hadis diantara kitab-kitabnya :
1.    al-Mu’jam al-Mufharos li Alfazi Ahadis al-Nabawi oleh A.J. Wensinck
2.    Miftah Kunuz al-Sunnah oleh pengarang yang sama diterjemahkan oleh Muhammad Fuad Abd Baqi.
3.    Mausu’ah Athraful Hadis an-Nabawi oleh Zaglul.
Disamping itu diperlukan juga kitab yang memuat biografi para sahabat diantaranya:
1.    Al-Istiab oleh Ibnu Abd Barr
2.    Usul al-Ghabah oleh Abd Atsir
3.    Al-Ishobah oleh Ibn Hajar al-Asqolani.
4.    Tahdzib at-Tahdzib  karya Ibnu Hajar al-Asqalani. 
Kemudian juga diperlukan kita Tabaqot yaitu kitab-kitab yang membahas biografi para perawi hadis. Seperti al-Jarh wa at-Ta’dil.

E. Cara Pelaksanaan Dan Metode Takhrij
 Dalam melaksanakan takhrij ada lima cara yang dapat dijadikan pedoman yaitu:
1.    Takhrij menurut lafaz pertama matan hadis
2.    Takhrij menurut lafaz-lafaz yang terdapat dalam matan
3.    Takhrij menurut rawi pertama
4.    Takhrij menurut tema hadis
5.     Takhrij menurut status hadis
    Menurut ath-Thahhan, kitab yang paling baik adalah kitab karya al-Zailani yang berjudul Nash bar Rayah li Ahadits al-Hidayah, yang didalam kitab itu dijelaskan cara men-takhrij hadits yaitu :
•    Disebutkannya nash hadits yang terdapat dalaam kitab al-Hidayah (kitab yang di-takhrij-nya,karya al-Marginani)
•    Disebutkan siapa saja dari penyusun kitab-kitab hadits yang dinilai sebagai sumber utama dari hadist yang telah diriwayatkannya, dengan menyebutkan sanad-nya secara lengkap
•    Disebutkan hadits-hadits yang memperkuat hadits dimaksud, disertai     dengan menyebutkan pe-rawi-nya
•    Jika terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama, dikemukakannya     hadits-hadits yang dapat dijadikan pegangan bagi pihak yang berselisih
Dalam takhrij terdapat beberapa macam metode yang diringkas dengan mengambil pokok-pokoknya sebagai berikut :
 1. Metode Pertama, takhrij dengan cara mengetahui perawi hadits dari     shahabat
    Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama shahabat yang meriwayatkan hadits, lalu kita mencari bantuan dari tiga macam karya hadits :
•    Al-Masaanid (musnad-musnad) : Dalam kitab ini disebutkan hadits-hadits     yang diriwayatkan oleh setiap shahabat secara tersendiri. Selama kita telah     mengetahui nama shahabat yang meriwayatkan hadits, maka kita mencari     hadits tersebut dalam kitab al-masaanid hingga mendapatkan petunjuk     dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.
•    Al-Ma’aajim (mu’jam-mu’jam) : Susunan hadits di dalamnya berdasarkan urutan musnad para shahabat atau syuyukh (guru-guru) atau bangsa (tempat asal) sesuai huruf kamus (hijaiyyah). Dengan mengetahui nama shahabat dapat memudahkan untuk merujuk haditsnya.
•    Kitab-kitab Al-Athraf : Kebanyakan kitab-kitab al-athraf disusun berdasarkan musnad-musnad para shahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-athraf tadi untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap.
 2. Metode Kedua, takhrij dengan mengetahui permulaan lafadh dari hadits
    Cara ini dapat dibantu dengan :
•    Kitab-kitab yang berisi tentang hadits-hadits yang dikenal oleh orang     banyak, misalnya : Ad-Durarul-Muntatsirah fil-Ahaaditsil-Musytaharah     karya As-Suyuthi; Al-Laali Al-Mantsuurah fil-Ahaaditsl-Masyhurah karya     Ibnu Hajar; Al-Maqashidul-Hasanah fii Bayaani Katsiirin minal-    Ahaaditsil-Musytahirah ‘alal-Alsinah karya As-Sakhawi; Tamyiizuth-    Thayyibminal-Khabits fiimaa Yaduru ‘ala Alsinatin-Naas minal-Hadiits     karya Ibnu Ad-Dabi’ Asy-Syaibani; Kasyful-Khafa wa Muziilul-Ilbas     ‘amma Isytahara minal-Ahaadits ‘ala Alsinatin-Naas karya Al-‘Ajluni.
•    Kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan urutan huruf kamus, misalnya     Al-Jami’ush-Shaghiir minal-Ahaaditsil-Basyir An-Nadzir karya As-    Suyuthi.
•    Petunjuk-petunjuk dan indeks yang disusun para ulama untuk kitab-kitab     tertentu, misalnya : Miftah Ash-Shahihain karya At-Tauqadi; Miftah At-    Tartiibi li Ahaaditsi Tarikh Al-Khathib karya Sayyid Ahmad Al-Ghumari;     Al-Bughiyyah fii Tartibi Ahaaditsi Shahih Muslim karya Muhammad Fuad     Abdul-Baqi; Miftah Muwaththa’ Malik karya Muhammad Fuad Abdul-    Baqi.
3. Metode Ketiga, takhrij dengan cara mengetahui kata yang jarang       penggunaannya oleh orang dari bagian mana saja dari matan hadits
    Metode ini dapat dibantu dengan kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfaadzil-Hadits An-Nabawi, berisi sembilan kitab yang paling terkenal diantara kitab-kitab hadits, yaitu : Kutubus-Sittah, Muwaththa’ Imam Malik, Musnad Ahmad, dan Musnad Ad-Darimi. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis, yaitu Dr. Vensink (meninggal 1939 M), seorang guru bahasa Arab di Universitas Leiden Belanda; dan ikut dalam menyebarkan dan mengedarkannya kitab ini adalah Muhammad Fuad Abdul-Baqi.

 4. Metode Keempat, takhrij dengan cara mengetahui tema pembahasan hadits
    Jika telah diketahui tema dan objek pembahasan hadits, maka bisa dibantu dalam takhrij-nya dengan karya-karya hadits yang disusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul. Cara ini banyak dibantu dengan kitab Miftah Kunuz As-Sunnah yang berisi daftar isi hadits yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis berkebangsaan Belanda yang bernama Dr. Arinjan Vensink juga. Kitab ini mencakup daftar isi untuk 14 kitab hadits yang terkenal, yaitu :
•    Shahih Bukhari
•    Shahih Muslim
•    Sunan Abu Dawud
•    Jami’ At-Tirmidzi
•    Sunan An-Nasa’i
•    Sunan Ibnu Majah
•    Muwaththa’ Malik
•    Musnad Ahmad
•    Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi
•    Sunan Ad-Darimi
•    Musnad Zaid bin ‘Ali
•    Sirah Ibnu Hisyam
•    Maghazi Al-Waqidi
•    Thabaqat Ibnu Sa’ad
 5. Metode Kelima, takhrij dengan cara melalui pengamatan terhadap ciri-ciri     tertentu pada matan atau sanad
    Metode ini dilihat dari ciri-ciri tertentu dalam matan maupun sanad-nya (klasifikasi) maka akan ditemukan hadits itu berasal. Ciri-ciri yang dimaksud adalah ciri-ciri maudhuk, ciri-ciri hadits qudsi, ciri-ciri dalam periwayatan dengan silsilah sanad tertentu, dll.
Contoh Takhrij Hadits :

Berikut ini contoh takhrij dari kitab At-Talkhiisul-Habiir (karya Ibnu Hajar) :
Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,”Hadits ‘Ali bahwasannya Al-‘Abbas meminta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang mempercepat pembayaran zakat sebelum sampai tiba haul-nya. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan untuknya. Diriwayatkan oleh Ahmad, para penyusun kitab Sunan, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi; dari hadits Al-Hajjaj bin Dinar, dari Al-Hakam, dari Hajiyah bin ‘Adi, dari ‘Ali. Dan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari riwayat Israil, dari Al-Hakam, dari Hajar Al-‘Adawi, dari ‘Ali. Ad-Daruquthni menyebutkan adanya perbedaan tentang riwayat dari Al-Hakam. Dia menguatkan riwayat Manshur dari Al-Hakam dari Al-Hasan bin Muslim bin Yanaq dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan derajat mursal. Begitu juga Abu Dawud menguatkannya. Al-Baihaqi berkata,”Imam Asy-Syafi’I berkata : ‘Diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwasannya beliau mendahulukan zakat harta Al-‘Abbas sebelum tiba masa haul (setahun), dan aku tidak mengetahui apakah ini benar atau tidak?’. Al-Baihaqi berkata,”Demikianlah riwayat hadits ini dari saya. Dan diperkuat dengan hadits Abi Al-Bakhtari dari ‘Ali, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Kami sedang membutuhkan lalu kami minta Al-‘Abbas untuk mendahulukan zakatnya untuk dua tahun”. Para perawinya tsiqah, hanya saja dalam sanadnya terdapat inqitha’. Dan sebagian lafadh menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada ‘Umar,”Kami pernah mempercepat harta Al-‘Abbas pada awal tahun”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi dari hadits Abi Rafi’” [At-Talkhiisul-Habiir halaman 162-163]

DILEMA TAKHRIJ HADIS DI KALANGAN AKADEMISI MASA KINI
    Pada masa dahulu, banyak muhadis atau bahkan hâfiz yang hidup dalam satu masa. Mereka bukan saja hafal hadis, tetapi memiliki pengetahuan yang dalam tentang seluk beluk hadis beserta keadaan rangkaian rawinya. Mereka juga mengetahui sistematika penyusunannya, sehingga dengan mudah dapat mempergunakan suatu hadis pada saat diperlukan.
    Saat ini muhadis jarang ditemukan. Di antara muhadis yang hidup di masa sekarang dan baru saja wafat adalah muhaddits al–diyâr al–maghribiyyah, Abdul 'Azîz al–Ghumâri al–Husnî dan muhaddits al–diyâr al–syâmiyah, 'Abd Allâh al–Harari al–Habasyi. Al–Habasyi adalah seorang muhadis yang baru wafat pada tanggal 2 Ramadan 1429 H/ 2 September 2008 di usia 98 tahun. al–Habasyi, di usianya yang kurang dari 18 tahun sudah hafal kutub al–sittah, sanad dan matannya. Di masa hidupnya, al–Habasyi pernah men–tahdzîr dalam perdebatan dengan Nâsir al–Dîn Albânî agar tidak menyebut dirinya dengan gelar muhadis, sebab Albânî tidak hafal hadis sebagaimana umumnya para muhadis yang hafal hadis pada level tertentu. Albâni bersikeras bahwa dia adalah muhadis dan berkata, saya muhadis kitâbî dan bukan muhadis hifdzî.
    Argumentasi Nâsir al–Dîn al–Bânî dengan muhadis kitâbi jelas tidak dapat dibenarkan oleh ulamul hadis. Ini hanya sekedar menunjukkan, bahwa perbandingan antara al–Habasyi dan Albânî dapat memberikan pengertian bahwa bagi “awam” yang tidak hafal hadis dan ahwâl rijâl al–hadîts dengan sendirinya akan tergantung "alat bantu". Dan dalam konteks "alat bantu" ini, kamus hadis dan teknologi digita dapat digunakan sebagai alat bantu.
    Seorang awam dapat melacak keberadaan hadis melalui perkembangan teknologi digital secara lebih cepat dan luas; lebih cepat daripada menggunakan kamus hadis. Dengan demikian, maka cara men–takhrîj hadis (asal bisa mentakhrij) menjadi beragam, tergantung kemampuan orang yang melakukannya.
    Karena tingkat akurasi yang berbeda, maka ke-hujjah-annya di dalam syara’ pun seharusnya juga berbeda. Setidak-tidaknya, di antara “kerawanan” kedua alat bantu tersebut yaitu sulit-nya digunakan untuk merujuk hadis yang diriwayatkan secara maknawi secara pasti. Hal ini sebab kedua kamus tersebut sangat tergantung pada “entry kata" yang sama (keyword). Ini jelas dapat mengurangi kualitas suatu hadis, yang seharusnya mutawatir maknawi, menjadi sekedar sahih atau dari sahih li ghairihi dapat menjadi dha'if sebab tidak terlacak oleh "keyword" tersebut.
    Kerawanan lainnya yaitu: kitab–kitab hadis banyak jumlahnya dan menggunakan metode penulisan yang sangat beragam. Karena itu, sampai saat ini, belum ada satu pun kamus hadis yang mampu memberi petunjuk untuk mencari hadis yang dimuat oleh seluruh kitab hadis yang ada.
    Meskipun demikian, terbukukannya kitab–kitab hadis yang penyusunannya berdasarkan klasifikasi dan metode tertentu, sebenarnya sudah dapat memberikan petunjuk keberadaan hadis secara manual sesuai metode kitab hadis tersebut disusun. Misalnya, klasifikasi kitab-kitab hadis sebagai berikut:
a. Kitab–kitab yang disusun menggunakan metode perawi pertama, yaitu kitab–kitab hadis al–Masânid, al–Mu'jam, dan al–Athrâf. Penelusuran hadis–nya yaitu dengan mengetahui sahabat yang menjadi periwayat pertama hadis tersebut.
b. Kitab–kitab hadis yang matannya disusun secara tematik. Penelusuran hadis–nya yaitu melalui tema–tema suatu hadis disusun. Kitab–kitab dalam kategori ini yaitu: 1) Kitab hadis yang memuat seluruh masalah keagamaan, di antaranya: al–Jawâmi', al–Mustakhrajât 'ala Jawâmi', al–Zawâid, dan lain–lain. 2) Kitab hadis yang membahas sebagian besar masalah–masalah keagamaan, seperti kitab al–Sunan, al–Musannaf. 3) Kitab yang membahas masalah aspek tertentu, seperti al–Ajza', al–Targhîb wa al–Tarhîb, dan lain–lain.
c. Kitab–kitab yang disusun berdasarkan status yang dimiliki suatu hadis. Misalnya, pada kitab hadis qudsi atau maudû'. Apabila kualitas suatu hadis sudah diketahui apakah hadis qudsi atau hadis maudû', maka langkah selanjutnya adalah merujuk langsung kepada kitab–kitab hadis tersebut.
d. Kitab–kitab hadis yang disusun secara alphabetis seperti al–Jâmi' al–Shaghîr min Hadîts al–Basyîr, al–Jâmi' al–Kabîr, dan Asmâ' al–Matalib fi Hadîts Mukhtalif al–Marâtib. Penelusurannya yaitu dengan memperhatikan hadis berdasarkan urutan abjadnya dalam kitab–kitab tersebut.
    Bagi kaum awam yang tidak hafal hadis, merujuk kepada kitab–kitab tersebut secara manual jelas dianggap tidak praktis. Dan sebab non muhadis ingin men–takhrîj hadis, maka mereka sangat membutuhkan kitab–kitab kamus seperti Mausû'ah Atrâf al–Hadis al–Nabawî, al–Mu'jam al–Mufahrasy li Alfâz al–Hadîts al–Nabawî, dan Miftâh Kunûz al–Sunnah. Kitab–kitab ini menjadi kunci bagi kaum awam dalam merujuk pada suatu riwayat hadis yang terbukukan dalam kitab–kitab hadis.
    Penulis melihat, seharusnya dalam pengertian ini lah Syuhudi Ismail dalam bukunya "Cara Praktis Mencari Hadis" menyimpulkan bahwa metode takhrij hadis terbagi pada dua bagian. Pertama, takhrîj al–hadîts bi al–alfâz dengan merujuk kamus hadis al–Mu'jam al–Mufahrasy li Alfâz al–Hadîts al–Nabawî. Dan kedua, takhrîj al–hadîts bi al–maudû', dengan kitab yang menjadi rujukan adalah kitab Miftâh Kunûz al–Sunnah.
    Jelas, kesimpulan Syuhudi Isma'il ini tidak mutlak sebab al–hâfiz, dalam men-takhrîj tidak bergantung kepada kitab–kitab yang menjadi alat bantu ini. Para muhadis tidak membutuhkan metode ini. Karena itu, jika yang dimaksud Syuhudi Ismail ini adalah generalisasi, maka kesimpulan metodenya tersebut tidak dapat dibenarkan.
    Dalam hal ini, al–Hâfidz Muhy al–Dîn Yahya al–Nawawiy (w. 676) menjelaskan bahwa pada dasarnya kegiatan takhrîj dan menulis kitab hadis dianjurkan, tetapi hendaknya berhati–hati jika tidak ahli dalam hadis. Dan hendaklah dalam menulisnya ia menggunakan 'ibârât (ungkapan) yang jelas dan istilah yang lazim digunakan.

F. Penutup
Pada masa dahulu, banyak muhadis atau bahkan hâfiz yang hidup dalam satu masa. Mereka bukan saja hafal hadis, tetapi memiliki pengetahuan yang dalam tentang seluk beluk hadis beserta keadaan rangkaian rawinya. Mereka juga mengetahui sistematika penyusunannya, sehingga dengan mudah dapat mempergunakan suatu hadis pada saat diperlukan.
    Kenyataan bahwa saat ini sangat jarang atau hampir tidak ada ahli hadis yang mengkonsentrasikan diri menghapal sanad dan matan hadis merupakan imbas kebijakan masa lalu. Pada tataran tertentu, saya tidak melihat kenyataan tersebut sebagai sebuah problem, saya lebih melihat sisi lain terkait kurang berkembangnya benih-benih ahli hadis di Indonesia. Pendidikan formal dan non formal mulai tingkat bawah sampai perguruan tinggi belum mampu mewacanakan pentingnya pengetahuan terhadap seluk beluk hadis.
Ada perbedaan di kalangan ulama hadis dalam mendefenisikan Takhrij hadis, namun dapat disimpulkan bahwa takhrij hadis adalah menelusuri suatu hadis kesumber asalnya pada kitab-kitab Jami, sunan, dan musnad kemudian jika diperlukan menyebutkan kualitas hadis tersebut apakah sohih, Hasan atau doif.
    Beberapa kitab yang diperlukan dalam mentakhrij hadis banyak  yang tidak diketahui dan dipahami oleh para ulama masa kini. Sejak tahap awal seorang awam (non muhadis) melakukan takhrij hadis, sesungguhnya jalan itu tidak menjanjikan bagi “validasi kepastian”, sekuat apa pun orang berusaha, kecuali dia menjadi muhadis. Layaknya cerita orang buta yang mendeskripsikan bentuk gajah, ketidak mampuannya sebab kurang perangkatnya. Suatu keniscayaan, hanya jika ia memiliki mata, barulah dia dapat mendeskripsikan gajah atau jika ia diberi tahu oleh seseorang yang memiliki mata.
    Konteks mengembangkan ilmu takhrij Hadis itu, mungkin dunia akademik perlu orientasi ulang dalam kajian hadis. Misalnya, mengajarkan kerawanan-kerawanannya, mengajarkan kehati-hatian, dan tidak memutlakkan hasilnya. Atau berorientasi yang berbeda sama sekali. Seperti yang kita ketahui, bahwa tren “takhrîj” hadis baru berkembang pada pertengahan abad ke-7 H di kalangan para hufâdz seperti Ibn Hajar al-‘Asqalâni dan kita bukan muhadis.

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Abu Muhammad b. Hatim, Kitab Jarh wa at-Ta’dil, juz 1. Beirut: Daar Kutub Ilmiyah, t.t.
Asqolani, Ibnu Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, juz. 1. Beirut: Daar Shadir, 1325.
Halibah, Ibrohim Abd Fattah, Al-Qoul Badi’ fi Takhrij Ahadis Syafi’i. Kairo: Dar Arabiyah Muhammadiyah, t.th.
hair, Muhammad Abd Muhdi Abd, Turuq Takhrij Hadis Rasulullah SAW. Kairo: Darul I’tisom, t..th.
Syirazi, Abu Ishaq, Tabaqat al-Fuqaha’. Baghdad: Maktabah Nu’man al-A’zhami, 1352.
Syuhudi, Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Tahhan, Mahmud, Usul At-Takhrij Wadirasatul Asrid. Kairo: Maktabah al-Ma’arif lin nasr wat tauzi riadh, t.th.
Wahid Ismail Abd dan  Taufiq Ahmad Salim, Nazarat Fi Ilmi Takhrij. Beirut: t.p., 1988.
Wahid, Ramli Abdul, Studi Ilmu Hadis. Bandung: Citapustaka Media, 2005.
Wensick, A.J, al-Mu’jam al-Mufahras.  Leiden: Breil, 1962.
 Yuslem, Nawir, Ulumul Hadits. Jakarta: Mutiara Sumber Widiya, 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar