Rabu, 06 November 2013

Historiografi Arab Pra Islam “Al Ayyam”

PENDAHULUAN
    Sejarah ditulis untuk mengingat masa lalu, mengambil peringatan dan ibrah yang dapat disingkap melalui pembacaan komprehensif. Dalam lintasan waktu, Islam sebagai sebuah entitas religius dalam komunitas insani telah meninggalkan warisan panjang berupa historiografi.
    Historiografi, adalah tahap terakhir dalam penelitian sejarah. Secara literal historiografi berarti penulisan sejarah. Secara terminologis, historiografi didefinisikan sebagai rekonstruksi imajinatif terhadap masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan cara menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau tersebut.   Tahap historiografi ini dalam penelitian sosial pada umumnya barangkali identik dengan penulisan laporan penelitian.
Pada tahap historiografi ini perlu diperhatikan cara-cara sebagai berikut :
a.       Menyeleksi fakta yang relevan dan penting;
b.      Membuat urutan-urutan peristiwa (serialisasi);
c.       Menyusun fakta berdasar urut-urutan waktu (kronologi);
d.      Mencari hubungan sebab akibat dari peristiwa yang satu dengan lainnya (dekausasi); dan
e.       Mencari jalinan dari berbagai fakta yang ditemukan (imajinasi).

    Dalam penulisan sejarah, agar sesuai dengan pengertian sejarah yang sebenarnya, yaitu sejarah sebagai ilmu, terdapat pembatasan-pembatasan tertentu tentang peristiwa masa lampau itu. Menurut Taufik Abdullah, ada empat hal yang membatasi peristiwa masa lampau itu sendiri.  Pertama, pembatasan yang menyangkut dimensi waktu; Kedua, pembatasan yang menyangkut peristiwa; Ketiga, pembatasan yang menyangkut tempat; dan Keempat, pembatasan yang menyangkut seleksi.
    Penulisan sejarah adalah usaha rekonstruksi peristiwa yang terjadi di masa lampau. Penulisan ini bagaimana-pun baru dapat dikerjakan setelah dilakukan penelitian, karena tanpa penelitian penulisan menjadi rekonstruksi tanpa pembuktian. Baik dalam penelitian dan penulisan membutuhkan keterampilan. Dalam penelitian dibutuhkan kemampuan untuk mencari, menemukan, dan menguji sumber-sumber yang benar. Sedangkan dalam penulisan dibutuhkan  kemampuan menyusun fakta-fakta, yang bersifat fragmentaris itu, ke dalam suatu uraian yang sistematis, utuh, dan komunikatif. Ini yang mungkin tidak dilakukan Roorda’s sehingga apa yang ia tulis banyak sekali tidak ada kaitannya dengan sesuatu yang berlangsung / terjadi pada saat itu (sebagaimana dijelaskan oleh Nancy K. Florida).
    Historiografi adalah adalah ilmu yang meneliti dan mengurai informasi sejarah berdasarkan sistem kepercayaan dan filsafat. Walau tentunya terdapat beberapa bias (pendapat subjektif) yang hakiki dalam semua penelitian yang bersifat historis (salah satu yang paling besar di antaranya adalah subjektivitas nasional), sejarah dapat dipelajari dari sudut pandang ideologis, misalnya: historiografi Marxisme.
    Ada pula satu bentuk pengandaian sejarah (spekulasi mengenai sejarah) yang dikenal dengan sebutan "sejarah virtual" atau "sejarah kontra-faktual" (yaitu: cerita sejarah yang berlawanan -- atau kontra -- dengan fakta yang ada). Ada beberapa ahli sejarah yang menggunakan cara ini untuk mempelajari dan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan yang ada apabila suatu kejadian tidak berlangsung atau malah sebaliknya berlangsung. Hal ini mirip dengan jenis cerita fiksi sejarah alternatif.
    Historiografi  adalah merupakan hasil karya dari historiografer (sejarawan) zamannya yang sekaligus berkaitan erat dengan kebudayaan zaman itu. Dalam pengungkapan suatu peristiwa masa lampau, seorang sejarawan akan senantiasa bertolak dari pandangan yang terlahir dalam lingkungan kebudayaannya. Pertanyaan yang diajukan terhadap masa lampau, setidaknya adalah merupakan pertanyaan yang muncul dari realitas kebudayaan di mana sang sejarawan itu hidup. Dengan demikian corak dan bentuk historiografi yang dihasilkan akan sejalan dengan bentuk kebudayaan masyarakat yang menghasilkan.
    Islam sangat menghargai sejarah, bahkan ayat-ayat al-Quran yang merupakan kitab suci dan komponen introduksi fundamental bagi doktrin agama, mayoritas berisi kisah-kisah masa lalu, baik tentang para nabi, umat-umat beriman, kaum yang ingkar, bahkan penentang agama macam Fir’aun, Hamman dan Jaluth.
    Umat Islam telah mengalami kemajuan dalam penulisan sejarah, bahkan tidak ada bangsa lain yang menulis sejarah seperti halnya kaum muslimin. Para sejarawan muslim telah menulis ribuan buku dengan variasi judul dan isinya. Jumlah karya sejarah banyak sekali, sehingga tidak mungkin bisa dihitung.
    Bangsa Arab pra Islam dikenal dalam sejarah dengan sebutan Arab Jahiliyah. Istilah ini biasa diartikan sebagai masa kebodohan dan identik dengan kehidupan nomaden, barbar, dan sarat dengan peperangan dan pertumpahan darah. Bangsa Arab pra Islam merupakan suatu masyarakat primitif yang mempunyai kepercayaan serba dewa. Kehidupan mereka nomaden serta mempunyai  etnis dan genealogis tersendiri juga menghasilkan historiografi genealogis pula , mereka menyebutkan dengan  nasab.
    Karena masyarakat Arab pra Islam tidak mempunyai budaya tulis, maka sumber-sumber sejarah yang menjelaskan periode ini hanyalah riwayat, legenda, peribahasa, dan terutama syair-syair . Arab pra Islam terkenal dengan syair-syair yang menceritakan kisah-kisah peperangan gerilya, kehidupan digurun pasir yang tandus, pertumpahan darah karena masalah  lahan,  peternakan,  dan clin (antar suku). Sejarah orang-orang Arab  yang  dipenuhi
dengan kisah peperangan, perampokan, persengketaan, pembunuhan, ini yang disebut dengan ayyam al ‘Arab atau hari-hari orang Arab.

MENGENAL SEJARAH ARAB PRA ISLAM
    Bangsa Arab sebelum Islam biasanya disebut Arab Jahiliyah, bangsa yang bodoh dan tidak mengenal aksara. Akan tetapi walaupun bangsa Arab pra Islam disebut bangsa jahiliyah atau bangsa yang bodoh, namun mereka telah memiliki kemampuan yang tinggi terutama dalam kesusastraan. Terutama bangsa Arab bagian Utara dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam menggubah syair, dan syair-syair itu diperlombakan dan yang unggul di antaranya ditulis untuk digantung di Ka’bah. Melalui tradisi sastera tersebut diketahui bahwa peristiwa-peristiwa besar dan penting secara faktual ikut memberi pengaruh pada kehidupan mereka dan  mengarahkan perjalanan sejarah mereka. Nilai-nilai yang menyertai peristiwa-peristiwa penting itu mereka abadikan dengan berbagai cara, seperti kisah, dongeng, nasab, nyanyian, syair, dan sebagainya.
    Akan tetapi, bangsa Arab terutama Arab bagian Utara dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi dalam menggubah syair, dan syair-syair itu diperlombakan dan yang unggul diantaranya ditulis untuk digantung di Ka’bah. Melalui tradisi sastera tersebut diketahui bahwa peristiwa-peristiwa besar dan penting secara faktual ikut memberi pengaruh pada  dan mengarahkan perjalanan sejarah mereka. Nilai-nilai yang menyertai peristiwa-peristiwa penting itu mereka abadikan dengan berbagai cara, seperti kisah, dongeng, nasab, nyanyian, syair, dan sebagainya.
    Bangsa Arab sebelum Islam, hidup bersuku-suku (kabilah-kabilah) dan berdiri sendiri-sendiri. Satu sama lain kadang-kadang saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional. Yang ada pada mereka hanyalah ikatan kabilah. Dasar hubungan dalam kabilah itu ialah pertalian darah. Rasa asyabiyah (kesukuan) amat kuat dan mendalam pada mereka, sehingga bila mana terjadi salah seorang di antara mereka teraniaya maka seluruh anggota-anggota kabilah itu akan bangkit membelanya. Semboyan mereka “ Tolong saudaramu, baik dia menganiaya atau dianiaya “.
Pada hakikatnya kabilah-kabilah ini mempunyai pemuka-pemuka yang memimpin kabilahnya masing-masing. Kabilah adalah sebuah pemerintahan kecil yang asas eksistensi politiknya adalah kesatuan fanatisme, adanya manfaat secara timbal balik untuk menjaga daerah dan menghadang musuh dari luar kabilah.
Kedudukan pemimpin kabilah ditengah kaumnya, seperti halnya seorang raja. Anggota kabilah harus mentaati pendapat atau keputusan pemimpin kabilah. Baik itu seruan damai ataupun perang. Dia mempunyai kewenangan hukum dan otoritas pendapat, seperti layaknya pemimpin dictator yang perkasa. Sehingga adakalanya jika seorang pemimpin murka, sekian ribu mata pedang ikut bicara, tanpa perlu bertanya apa yang membuat pemimpin kabilah itu murka.
Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah system dictator. Banyak hak yang terabaikan. Rakyat bisa diumpamakan sebagai ladang yang harus mendatangkan hasil dan memberikan pendapatan bagi pemerintah. Lalu para pemimpin menggunakan kekayaan itu untuk foya-foya mengumbar syahwat, bersenang-senang, memenuhi kesenangan dan kesewenangannya. Sedangkan rakyat dengan kebutaan semakin terpuruk dan dilingkupi kezhaliman dari segala sisi. Rakyat hanya bisa merintih dan mengeluh, ditekan dan mendapatkan penyiksaan dengan sikap harus diam, tanpa mengadakan perlawanan sedikitpun.
Kadang persaingan untuk mendapatkan kursi pemimpin yang memakai sistem keturunan paman kerap membuat mereka bersikap lemah lembut, manis dihadapan orang banyak, seperti bermurah hati, menjamu tamu, menjaga kehormatan, memperlihatkan keberanian, membela diri dari serangan orang lain, hingga tak jarang mereka mencari-cari orang yang siap memberikan sanjungan dan pujian tatkala berada dihadapan orang banyak, terlebih lagi para penyair yang memang menjadi penyambung lidah setiap kabilah pada masa itu, hingga kedudukan para penyair itu sama dengan kedudukan orang-orang yang sedang bersaing mencari simpati.
    Ditilik dari silsilah keturunan dan cikal bakalnya, para sejarawan membagi kaum-kaum Bangsa Arab menjadi Tiga bagian, yaitu :
1. Arab Ba’idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bisa dilacak secara rinci dan komplit. Seperti Ad, Tsamud, Thasn, Judais, Amlaq dan lain-lainnya.
2. Arab Aribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ya’rub bin Yasyjub bin Qahthan, atau disebut pula Arab Qahthaniyah.
3. Arab Musta’ribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Isma’il, yang disebut pula Arab Adnaniyah.
    Saat Islam lahir dan bangkit, terdapat empat peradaban yang eksis saat itu, yaitu Byzantium di Eropa Timur dengan agama Cristio-Hellenistic, Persia di lembah Mesopotamia yang menganut Zoroaster (Majusi), India di Asia Tengah dengan Hiduisme-nya dan negeri Tiongkok di Asia Timur dengan filsafat Confusius. Gesekan-gesekan intelektual ini merupakan salah satu pemantik berkembangnya peradaban Islam di kemudian hari.
Dalam arasy historiografi, Islam mendapatkan kontribusi berarti dari warisan kuno budaya Arab berupa al-Anshab dan al-Ayyam. Dua bentuk pokok ini merupakan instrumen pewarisan turun-temurun cerita tentang kepahlawanan seseorang, kemenangan di medan perang serta tuturan dan sedikit catatan tentang silsilah keluarga.
    Secara umum, terdapat masalah yang dihadapi oleh historiografi masa awal Islam dan hingga kini belum tuntas. Antara legenda-legenda dan tradisi-tradisi populer Arab masa pra-Islam dengan sejarah yang relatif ilmiah dan eksak yang muncul pada abad kedua hijriyah, masih terbentang satu jurang yang belum dapat dijelaskan.
    Kemungkinan sebab terjadinya hal ini, ada dua pendapat. Pertama, para penulis pada masa itu mengikuti pola penulisan Buku Raja-raja (Khuday-Nama), yang ditulis oleh orang Persia. Kedua, kemungkinan hal ini muncul dari gabungan beberapa arus komposisi sejarah dan quasi sejarah.
Karena itu, perlu dikaji lebih lanjut tentang bentuk dasar historiografi Islam untuk dapat memahami konsepsi keilmuan sejarah dalam khasanah intelektual Islam. Sekaligus untuk menjembatani jurang catatan sejarah yang selama ini terbentang lebar.
    Sejarah penulisan sejarah Islam ternyata telah melalui proses yang sedemikian panjang dalam lintasan sejarah manusia. Dengan pedoman pada kitab suci al-Quran dan al-Hadits. Hadits sendiri memiliki disiplin keilmuan yang hampir sama dengan disiplin historiografi. Karena dalam al-Hadits, musti ada check and re-check bagi setiap statemen, bahkan terdapat penilaian bagi individu narator dan transmiter materi (perawi) yang disebut dengan al-jarh wa al-ta’dil.
    Bersamaan dengan pengembangan keilmuan internal, hitoriografi Islam terus berkembang melalui interaksinya dengan peradaban sekitar yang telah memiliki sejarah intelektual dan catatan historiografi cukup panjang. Di sinilah, sejarawan muslim menimba ilmu dan mengembangkan bentuk penulisan yang khas Islam; dengan spirit Islam dan materi-materi sekitar kaum muslimin.
    Warisan intelektual itu, hingga saat ini masih bisa dinikmati pada peminat sejarah. Sangat membantu bagi ilmuwan yang akan meperdalam historiografi Islam dengan berbagai bentuknya
    Pada masa Arab pra Islam belum dikenal istilah tulisan atau tulisan sejarah dengan pengertian sebenarnya. Sumber-sumber sejarah pada masa pra Islam selain dari sumber sastera, juga  banyak diperoleh dari peninggalan arkeologis.
    Tidak ada penulisan sejarah di masa lalu yang dapat lepas dari intervensi penguasa. Hampir seluruh catatan sejarah adalah cerita tentang kekuasaan, kemenangan perang dan kepahlawanan sang pendiri dinasti serta anak cucunya. Bahkan banyak terdapat biografi-biografi khusus yang menulis tentang raja-raja itu. Misalnya karya al-Qudla’i yang berjudul ‘Uyun al-Ma’arif. Maka tidak heran jika muncul adagium bahwa sesungguhnya sejarah adalah milik penguasa. Rakyat kecil maupun bawahan hanya menjadi footnote (catatan kaki) yang kadang malah tidak tertulis sama sekali. Namun, bagaimanapun, biografi dinasti dan penguasanya merupakan sebuah bentuk dasar historiografi Islam. 
    Dunia Arab pra Islam merupakan kancah peperangan terus menerus. Akibat peperangan yang terus menerus kebudayaan mereka tidak berkembang. Karena itu bahan-bahan sejarah Arab pra Islam sangat langka didapatkan di dunia Arab dan dalam bahasa Arab. Pengetahuan tentang Arab pra Islam diperoleh melalui syair-syair yang beredar di kalangan para perawi syair. Dengan begitulah sejarah dan sifat masyarakat Arab pra Islam dapat diketahui, antara lain bersemangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar dalam menghadapi kekerasan alam, dan juga dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan.
    Kisah-kisah kepahlawanan, biografi  raja-raja dengan keberhasilan ekspansi kekuasaannya selalu digambarkan pada peninggalan-peninggalan arkeologi. Atau kisah-kisah peperangan itu dimuat dalam bentuk karya sastra berupa kisah dan legenda. Tujuan utamanya adalah untuk membangga-banggakan satu kabilah dengan kabilah yang lain. Bahkan bagi kabilah yang memenangkan peperangan, mereka buat gubahan syair dan digantungkan di dinding Ka’bah.
    Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa penting bangsa Arab yang terekam dalam gubahan syair, legenda maupun prosa disebut al ayyam. Tradisi al ayyam ini sudah berlangsung sangat lama. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan adanya bagian-bagian sejarah tertua yang tertuang dalam Taurat yang juga dikisahkan oleh adab al ayyam.
    Tujuan historiografi Islam adalah untuk menunjukan perkembangan konsep sejarah baik di dalam pemikiran maupun di dalam pendekatan ilmiah yang dilakukannya disertai dengan uraian mengenai pertumbuhan, perkembangan, dan kemunduran bentuk-bentuk ekspresi yang dipergunakan dalam penyajian bahan-bahan sejarah. Perkembangan peradaban Islam merupakan pencerminan besar dalam sejarah. Beberapa hal yang mendorong perkembangan pesat bagi penulisan sejarah Islam antara lain adanya konsep Islam sebagai agama yang mengandung sejarah, dan adanya kesadaran sejarah yang dipupuk oleh nabi Muhammad. Perkembangan sejarah Islam terjadi dalam 2 tahap yaitu awalnya informasi disampaikan secara lisan, kemudian metode penyampaian lisan tersebut dilengkapi dengan catatan tertulis yang tidak dipublikasikan. 
    Namun, persoalannya, apakah bangsa Arab sebelum Islam itu meninggalkan karya-karya tulis sastera atau semacamnya, yang menggambarkan secara faktual masyarakatnya, baik masyarakat menetap maupun masyarakat nomad (Badui) ?
    Tidak ada jalan lain, untuk mengetahui secara mendalam sejarah perjalanan dan warisan asli penduduk Arab pada masa pra Islam (Jahiliyyah), perhatian harus diarahkan kepada tradisi lisan itu. Orang-orang Arab sebelum Islam memang telah mengenal tradisi yang menyerupai bentuk sejarah lisan itu. Itulah yang disebut dengan al Ayyam yang arti semantiknya adalah hari-hari perang.

PENULISAN SEJARAH AL AYYAM
Sejarah merupakan didiplin ilmu yang memiliki metode (mazhab) mantap, aspek penggunaan yang sangat banyak, dan memiliki sasaran yang mulia. Sejarah membuat kita faham akan hal ihwal bangsa-bangsa terdahulu, yang terefleksi diri dalam perilaku kebangsaan mereka. Sejarah membuat kita mengetahui biografi para nabi, serta negara dan kebijaksanaan para raja. http://danielyogya.blogspot.com/2008/11/historiografi-islam.html - _ftn1
Pada masa jahiliyah, belum dikenal apa yang dinamakan dengan tulisan sejarah dalam pengertian sebenarnya, termasuk kalangan penduduk negeri yang dianggap sudah berperadaban yang diduga bahwa mereka cukup mempunyai perhatian terhadap upaya mempertahankan dan menulis tentang kehidupan dan kemajuan yang mereka capai. Negeri-negeri yang lebih maju seperti Yaman, Kerajaan Hirah, kerajaan Ghassan, juga tidak mewariskan tulisan-tulisan sejarah. Oleh karena itu, ketika mereka berusaha menuliskannya pada masa Islam, yaitu ketika mempunyai minat untuk menuliskan sejarah mereka yang terlupakan ini, tulisan-tulisan itu banyak disusupi mithos dan dongeng. Tidak mungkin mempercayainya sebagai kebenaran secara keseluruhan.
Penulisan sejarah (historigrafi) membutuhkan sumber yang bergama, dan pengetahuan yang bermacam-macam. ia juga dibuthkan perhitungan yang tepat, dan ketekunan. Kedua sifat ini membawa sejarawan pada kebenaran, dan menyelamatkan mereka dari ketergelinciran dan kesalahan. Dalam sejarah Islam terdapat kisah israiliyyat dan merupakan suatu bahaya bagi kemurnian agama Islam. Berdasarkan hal itu maka kritik yang sering digunakan pada buku sejarah dan para sejarawan adalah banyaknya kisah tersebut dalam karya mereka.namun terlepas dari semuanya itu sejarah sesungguhnya tetap mendapat tempat yang amat penting dalam keilmuan Islam.
    Ayyam al Arab berasal dari bahasa Arab yang berarti perang-perang antar kabilah-kabilah Arab. Di kalangan masyarakat Arab pra Islam (Jahiliyah) sering terjadi konflik antar kabilah karena perselisihan dalam mencapai kepemimpinan, perebutan sumber-sumber air dan padang rumput untuk pengembalaan ternak. Konflik itu seringkali menyebabkan peperangan yang menumpahkan darah. Hari-hari peperangan itu dikenal dengan Ayyam al “arab (secara etimologis berarti hari-hari penting bangsa Arab). Disebut “hari-hari penting bangsa Arab” karena peperangan itu berlangsung di siang hari. Ketika malam tiba, peperangan dihentikan sampai fajar menyingsing. 
    Ayyam Al-Arab adalah peristiwa-peristiwa penting yang menimpa masyarakat Arab, dan Al-Ansab (genealogi) secara umum menjadi simbol kebanggan masyarakat Arab. Ayyam Al-Arab merekam peristiwa-peristiwa atau peperangan-peperangan yang pernah terjadi antar kabilah atau antar suku. Sedangakan Al-Ansab memuat silsilah keturunan, dan mereka merasa bangga apabila berasal dari keturunan yang terhormat. Dua jenis pengetahuan ini banyak tersimpan dalam karya sastra, baik berupa syair maupun prosa.
Dalam sejarah kesusasteraan Arab, munculnya prosa lebih awal dari pada syair, karena prosa tidak terikat dengan aturan-aturan sebagaimana yang ada dalam syair. Pernyataan ini berbeda dengan Thaha Husein dalam Ahmad Muzakki menyatakan sebaliknya, bahwa syair lebih dahulu dari pada prosa, karena syair terikat dengan rasa sastra dan imajinasi yang tinggi. Perkembangan ini baru berkembang dengan perkembangan setiap individu dan kelompok masyarakat. Sementara Ulama Lughah dan para kritikus sastra berpendapat bahwa keberadaan prosa lebih dulu dari pada syair. Karena prosa merupakan karya sastra yang bebas, tidak terikat (mthlaq), sedangkan syair adalah karya sastra yang terikat dengan aturan (muqayyad).
    Persengketaan itu menyebabkan seringnya terjadi perampokan dan penyerangan, memunculkan sejumlah pahlawan lokal, para pemenang dari suku-suku yang bersengketa, serta menghasilkan perang syair yang penuh kecaman di antara para penyair yang berperan sebagai juru bicara setiap pihak yang bersengketa. Meskipun selalu siap untuk berperang, orang-orang Arab Badui tidak serta merta berani mati. Jadi, mereka bukanlah manusia yang haus darah seperti yang  mungkin dikesankan dari kisah-kisah yang kita baca.  Ayyam al Arab merupakan cara alami untuk mengendalikan jumlah populasi orang-orang badui, yang biasanya hidup dalam kondisi semi kelaparan, dan yang telah menjadikan peperangan sebagai jatidiri dan watak sosial. Berkat Ayyam al Arab itulah pertarungan antar suku menjadi salah satu institusi sosial keagamaan dalam kehidupan mereka. 
    Syair-syair Arab yang terkenal pada zaman jahiliyah adalah syair al-mualaqat yang berbentuk qasidah panjang. Sebagian sastrawan Arab mengatakan bahwa qasidah yang dikodifikasikan oleh Hammad Al-Rawiyah di sebut dengan mu’allaqat, karena ia digantung pada dinding Ka’bah. Hal ini dilakukan karena qasidah tersebut mempunyai nilai-nilai yang agung, penting, dan berharga. Para sastrawan, kririkus sastra, dan sejarawan dalam memberikan penilaian terhadap keshahihan sanad dan matanya karya sastra pada prinsipnya mengikuti jejak atau metode seperti yang dikembangkan para ahli hadis, baik yang terkait dengan sanad atau matan. 
    Salah satu peperangan antara suku-suku badui yang paling awal dan paling terkenal adalah perang  Basus yang terjadi pada akhir abad ke kelima antara Banu Bakr dan keluarga dekat mereka dari Banu Taghlib di Arab sebelah Timur laut. 
    Secara lebih lengkap, perang-perang yang terkenal dalam legenda dan syair-syair Arab pra Islam adalah :
a.    Perang Al Basus terjadi sebelum Islam tepatnya di akhir abad kelima. Kisah legenda peperangan ini diabadikan dalam bentuk syair dengan judul al-Zayr Salim.
b.    Perang Dahis dan al Ghabra. Peperangan ini terjadi antara kabilah “Abas dan kabilah Zabyan, keduanya putra Baghidh ibn Rabats ibn Ghatfan.
c.    Yawm (Peperangan Fujjar, yaitu peperangan yang terjadi pada bulan-bulan Haram (Rajab, Zulqaidah, Zulhijjah, dan Muharram) antara kabilajh-kabilah di Hijaz.
d.    Peperangan yang lebih kecil yaitu Yawm al Khazaz yaitu perang antar kabilah Rabi’ah dan Yaman, Yawm Thakhfah perang antara kabilah al Munzir ibn Ma’ al Sama’ dan kabilah Yarbu, Yawm Uwarah I, dan Yawm Uwarah II, Yawm Zhuhr al Dahna, Yawm Kulab, Yawm Hawzah, Yawm al Liwa, dan lain-lain yang jumlahnya sangat banyak. 
    Kisah-kisah al ayyam ini terus berlangsung sampai awal kebangkitan Islam. Pada prinsipnya kisah al ayyam lebih merupakan karya sastera daripada sejarah. Kisah-kisah itu diriwayatkan terutama adalah untuk menghibur dan menimbulkan rasa gembira bagi para pendengar, disamping untuk tujuan pewarisan nilai-nilai tertentu. Namun hal itu tidak perlu menyebabkan kita mengingkari bahwa kisah-kisah ini mengandung unsur-unsur sejarah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa besar dan penting di atas.
    Secara umum, ciri-ciri khas al ayyam sebagai karya sastera yang mengandung informasi sejarah, di antaranya :
1.    Perhatian khususnya terletak pada kehidupan masyarakat kabilah. Kisah peperangan diturunkan secara lisan dalam bentuk prosa yang diselang selingi dengan syair. Syair itu mempunyai peran pokok karena memberikan dinamika dan pengaruh mendalam. Dalam perkembangan selanjutnya, syair-syair itu justru menjadi sumber sejarah (nasab) dan rujukan bahasa Arab sebelum Islam.
2.    Penggubah syair-syair yang terdapat dalam kisah-kisah al ayyam itu tidak dikenal lagi, sehingga riwayat tau kisah kabilah yang diturunkan secara lisan itu sudah menjadi milik bersama kabilah bersangkutan.
3.    Kronologi peristiwa-peristiwa peperangan sangat ruwet, karena itu tidak dapat dikatakan sebagai sebuah karya sejarah.
4.    Objektivitasnya diragukan karena ia digubah untuk tujuan memuliakan satu kabilah, merendahkan kabilah lain, dan menurunkan nilai-nilai sosial tertentu kepada pendengar. Dengan kata lain kisah al ayyam digubah justru untuk kepentingan fanatisme kabilah.
5.    Meskipun demikian, di dalamnya terdapat kebenaran faktual dan historis. 
    Penting diketahui  pula bahwa tradisi al ayyam masih tetap berlangsung pada awal kebangkitan Islam dan banyak mempengaruhi langgam penulisan sejarah Islam pada masa berikutnya.
    Peristiwa-peristiwa perang antar kabilah-kabilah Arab itu diabadikan dalam banyak gubahan syair atau kisah yang diselang-selingi syair, yang dimaksudkan untuk tujuan membangga-banggakan kabilah terhadap kabilah-kabilah lainnya. Syair atau kisah dalam bentuk prosa pada masa Arab pra Islam diwariskan secara turun temurun melalui lisan. Syair-syair dan prosa itu pada awal Islam dihimpun secara tertulis pada abad ke 2 Hijrah (ke 8 M) dalam buku-buku, terutama sastera.
    Kadang-kadang kisah peperangan itu dinamakan sesuai dengan nama lokasinya atau nama sumber air yang menyebabkan peperangan, seperti Yawm “Ayn Abagh atau perang/hari sumber air Abagh, Yawm Dzi Qar atau perang/hari Dzi Qar nama sebuah kampung dan Yawm Syi”ib Jabalah atau perang Jabalah yaitu nama sebuah kampung. Kadang-kadang hari-hari peperangan itu dinamakan juga dengan nama orang atau hewan atau apa saja yang menjadi latar belakang terjadinya peperangan itu, seperti Yawm al Basus yakni nama seorang wanita tua dan Yawm Dabis yakni nama kuda jantan atau Yawm al Ghabra’ nama unta betina.
    Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa penting bangsa Arab yang terekam dalam adab al ayyam ini menyatakan kepada kita bahwa tradisi al ayyam ini sudah berlangsung sangat lama. Hal itu ditunjukkan oleh kenyataan adanya bagian-bagian sejarah tertua yang tertuang dalam Taurat juga dikisahkan oleh adab al ayyam itu. Peristiwa itu kelihatannya pada mulanya lebih merupakan cerita legenda sebelum masuk kepada kisah-kisah historis. Dengan menunjuk kepada contoh-contoh yang terdapat di dalam Taurat itu, terlihat bagaimana pentingnya makna kesusasteraan al ayyam itu bagi bangsa Arab, baik dalam bentuk syair maupun dalam bentuk prosa. Akan tetapi, dari sana terlihat pula bahwa sastera al ayyam itu tidak disandarkan pada sumber-sumber tertulis.
    Meskipun al ayyam merupakan karya sastera yang mengandung informasi sejarah dan bertolak dari realitas, peristiwa-peristiwa yang direkam di dalamnya tidak sistematis, terputus-putus dan setiap potongan informasi berdiri sendiri, sama sekali mengabaikan waktu, tidak kronologis, tidak mempertimbangkan hukum kausalitas sejarah, apalagi teori-teori sejarah tertentu. Pada masa pra Islam, bangsa Arab tidak memiliki kalender yang tetap. Mereka memakai ingatan atau catatan sejarah yang berhubungan dengan kejadian penting di masa mereka. Misalnya, penduduk Hijaz dan sekitarnya, mencatat tanggal berdasarkan sebuah peristiwa al ayyam yang terkenal, seperti Perang Basus atau Perang Fujjar. Ketika peristiwa besar terulang kembali, peristiwa lama dilupakan, dan tahun kembali dimulai dari peristiwa yang baru. Oleh karena itu, menurut Muhammad Ahmad Tarhini, adanya kisah-kisah al ayyam itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa kesadaran sejarah sudah muncul di kalangan bangsa Arab sebelum Islam. 
    Tujuan historiografi Islam adalah untuk menunjukan perkembangan konsep sejarah baik di dalam pemikiran maupun di dalam pendekatan ilmiah yang dilakukannya disertai dengan uraian mengenai pertumbuhan, perkembangan, dan kemunduran bentuk-bentuk ekspresi yang dipergunakan dalam penyajian bahan-bahan sejarah. Perkembangan peradaban Islam merupakan pencerminan besar dalam sejarah. Beberapa hal yang mendorong perkembangan pesat bagi penulisan sejarah Islam antara lain adanya konsep Islam sebagai agama yang mengandung sejarah, dan adanya kesadaran sejarah yang dipupuk oleh nabi Muhammad. Perkembangan sejarah Islam terjadi dalam 2 tahap yaitu awalnya informasi disampaikan secara lisan, kemudian metode penyampaian lisan tersebut dilengkapi dengan catatan tertulis yang tidak dipublikasikan.    
    Sebagai hasil kegiatan sastera, kumpulan syair dan prosa yang diselang-selingi oleh syair yang bercerita tentang perang Bangsa Arab itu mempunyai ciri tersendiri, yang berbeda dengan syair-syair yang datang setelah masa Islam. Dilihat dari sisi ilmu bahasa Arab, syair-syair yang terdapat dalam ayyam al Arab mempunyai ciri-ciri yang membedakannya dari syair-syair yang datang kemudian. Ciri-ciri itu adalah : (1) al madh (pujian) yaitu memuji-muji kepahlawanan seseorang, terutama yang berasal dari kabilah penggubah, (2) al haja” (hinaan), yaitu merendahkan kabilah musuh, (3) al ghazl (rayuan), (4) fanatisme kabilah.

PENUTUP
    Satu-satunya keunggulan artistik bangsa Arab pra Islam adalah dalam bidang sastera. Pada bidang itulah mereka menuangkan ekspresi dan bakat-bakat terbaiknya. Kecintaan orang-orang Arab pra Islam terhadap syair merupakan salah satu aset kultural mereka. Dari sinilah diketahui historiografi masyarakat Arab Jahiliyah sebelum Islam.
    Penggalan sastera dalam bentuk puisi yang paling tua yang berhasil ditemukan ditulis sekitar seratus tiga puluh tahun sebelum hijrah yang mengisahkan perang Basus. Dari penggalan puisi itu kita melihat adanya sebuah perkembangan panjang dalam  berkespresi dan dalam mengkomunikasikan pesan lewat bahasa lisan yang akhirnya dituangkan dalam bentuk prosa.
    Para penyair Islam terdahulu masih memandang bahwa karya para penyair kuno (pra Islam) sebagai model karya yang keunggulannya tak tertandingi. Karya sastera yang mengandung unsur sejarah itu terus dilestarikan dalam ingatan, ditransmisikan melalui tradisi lisan dan akhirnya dicatat dalam bentuk tulisan pada abad kedua dan ketiga Hijrah. Penelitian kritik modern membuktikan bahwa beragam perbaikan, penyuntingan dan modifikasi telah dilakukan untuk disesuaikan dengan semangat historiografi Islam.
   
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik dan Abdurrachman Surjomihardjo (Ed), Ilmu Sejarah dan Historiografi : Arab dan Perspektif, Jakarta, PT. Gramedia, 1985

Gottschalk, Louis.  Understanding History : A Primer of Historical Methode, diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto dengan judul Mengerti Sejarah (Cet. IV), Jakarta, UI Press, 1985.

Hitti, K. Philip, History of The Arabs, diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi     Slamet Riyadi, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2005

Muzakki, Akhmad, Kesusasteraan Arab Pengantar Teori dan Terapan. Jogjakarta: Ar-Ruzz,     2006

Shiddiqie, Nourouzzama,  Pengantar Sejarah Muslim. Jakarta, Nur Cahaya, 1983

Umar, A. Mu’in, Historiografi Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1992

Yatim, Badri, Historiografi Islam. Jakarta: Logos, 1997

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II. Jakarta : Rajawali Pers, 1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar