Kamis, 25 Juli 2013

SEJARAH BERDIRINYA DINASTI BUWAIHI


PENDAHULUAN
Bersamaan dengan kekuasaan Nuh bin Nasr, Dinasti Saman terlibat konflik dengan orang-orangdari Suku Daylam di kota Al-Jibal, ( Ray ). Putra Nasr bin Ahmadbin Ismail Samani berambisi menguasai kembali wilayah Ray.Secara  de jure , kawasan Ray telah di kuasai oleh orang-orang Suku Daylam. Ternyata tidak mudah bagi Nuh bin Nasr untuk menaklukkan suku ini.Malah sebagian pasukannya sewaktu menyerbu Ray membelot berpihak kepada Suku Daylam.Rezim Saman pun kalah menghadapi suku ini.
Ibnu Abi As-Saj, Gubernur Azerbaijan, mengundurkan diri pada tahun 926 M. Bersama pasukannya, dia menuju ke Irak untuk menaklukkan gerakan ekstrimis Kaun Qaramitnah ( Syi` Zaidiyah ). Kekosongan kekuasaan ini dimanfaatkan dengan baik oleh Mardavij binZayyar. Tahun 927 M Mardavij berhasil menaklukkan Ray dan Isfahan.

Mardavij tidak sendirian dalam hal ini. Untuk membangun kekuatan militer yang tangguh, dia merekrut para nelayan dari tepi pantai Laut Kaspia. Mereka inilah yang dikenal sebagai Suku Daylam. Diantara mereka yang direkrut oleh Mardavij adalh Ali bin Buya, putra seorang nelayan dari klan Buwayihi. Dua saudara Ali, Hasan dan Ahmad turut juga bergabung. Bersama suku Daylam, Mardavij berhasil menaklukkan Persia pada tahun 932 M.
    Rupanya, keberhasilan merebut wilayah Persia lebih banyak didominasi oleh peran orang-orang Buwaihi. Wajar jika Ali bin Buya berambisi untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mardavij bin Zayyar. Setelah Mardavij meninggal dunia, dia tidak memiliki pengganti yang cukup cakap. Kesepakatan baik ini di manfaatkan oleh Ali bin Buya. Dia mengambil alih kekuasaan dengan amat mudah. Pasca meninggalnya Mardavij bin Zayyar, keudukan Ali bin Buya makin kokoh di Ray dan Persia.
    Ada beberapa riwayat tentang asal usul Dinasti Buwaihi. Pertama,  Buwaihi berasal dari keturunan seorang pembesar yaitu Menteri Mahr Nursi. Pendapat  kedua, mengatakan bahwa Buwaihi adalah keturunan Dinasti Dibbat, suatu dinasti di Arab.  Ketiga, Buwaihi adalh keturunan raja Persi. Dan  Keempat,  Buwaihi berasal dari nama seorang laki-laki miskin yag bernama Abu Syuja` yang hidup di negeri Dailam .  Negeri yang terletak di Barat Daya Laut Kaspia dan telah tunduk pada kekuasaan Islam sejak masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Nampaknya pendapat keempatlah yang di anggap mendekati .Dinasti ini berasal dari keluarga miskin . Sampai-sampai setelah berkuasa, Ahmad, slah satu penguasa Dinasti Buwaihi terus mengenang masa-masa pahitnya ddengan mengatakan, “ Aku pernah menjunjung kayu api di kepalaku “ .
    Buwaihi atau Abu Syuja “ mempunyai tiga orang anak laki-laki, yaitu Ali, Hasan, dan Ahmad. Ketiganya menjadikan lapangan ketentaraan sebagai mata pencaharian dan telah bergabung dengan tentara Makan bin Kali, salah seorang panglima terkenal di Negeri Daylam. Mereka telah membuktikan kecakapannya di dalam tugas masing-masing. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar Khattab, Daylam telah berada dalam kekuasaan orang Muslim dan tunduk pada pemerintahan Khalifah. Di propinsi Kaspia yang di huni Suku Daylam ini pun pernah di dartangi kalangan Syi`ah yang ketika itu sedang melarikan diri dari kerajaan Abbasiyah dan berhasil menjadikan warga Daylam memeluk Islam. Namun pada tahun 864, warga Syi`ah Daylam memproklamirkan kemerdekaan mereka dari Khalifah Abbasiyah, mengusr Gubernur Abbasiyah dan mendirikan sebuah negara merdeka.
    Makan bin Kali ialah panglima kedua di Daylam sesudah Laila bin An-Nu`man yang menjadi panglima pertama. Ketika Laila terbunuh waktu meminpin tentara, Zaidiyah menentang Raja Samaniyah. Makan telah mengambil tempatnya sebagai panglima yang pertama.Tetapi salah seorang bawahannya yang bernama Asfar bin Syiruwaih telah berhianat dengan dibantu oleh Mardavij dan saudaranya yaitu Wasyamkir.
    Ketiga anak Buwaihi ini akhirnya berpihak pada Mardavij, setelah Makan mengalami kekalahan. Namun sebelumnya, mereka pun meminta izin dulu kepada Makan, denga alasan meringankan beban Makan, dan akan membantunya kembali apabila kekuasaan telah pulih. Makan mengijinkan hal itu, begitu juga panglima-panglima lain mengikuti jejak mereka. Mardavij pun menyambutnya dengan senang hati. Dan masing-masing bekas panglima tentara Makan diserahi kekuasaan menjadi pemerintah di wilayah-wilayah yang di tundukkan oleh Mardavij. Ali bin Buwaih wilayah Karkh.begitu juga Hasan bin Buwaih dan saudaranya, Ahmad, diserahi tugas sebagai  pentadbir wilayah-wilayah lain yang  penting.
Pegawai-pegawai pemerintah yang baru itu telah berangkat ke wilayah Raiyi disertai oleh Wasyamkir bin Ziar dan Abu Abdullah Al- Amid, wazir kepada Mardavij, dan singgah di sana sebelum masing-masing menuju wilayah yang telah di tetapkan untuk tugas mereka. Pada waktu tersebut, Mardavij telah memikirkan kembali perkara pelantikan, lalu merasa menyesal menyerahkan wilayah-wilayah tersebut kepada bekas panglima-panglima Makan itu. Maka ia pun mengirim surat kepada Wasyamkir supaya menahan dulu ke tiga panglima tersebut di Raiyi. Tetapi surat itu sampai kepada Abu Abdullah Al- Amid lebih dulu. Setelah membaca isinya, Abu Abdullah segera menemui Ali bin Buwaih dengan sembunyi-sembunyi dan memintanya supaya segera berangkat ke wilayah Karkh yang akan di perintahnya. Pada keesokan harinya, baru Abu Abdullah menyerahkan surat itu kepada Wasyamkir, sementara Ali bin Buwaih telah berada jauh dalam perjalanannya menuju wilayah Karkh yang kemudian menjadi miliknya .
Pemerintahan Buwaihi didasarkan pada sistem kekeluargaan, yang satu sama lain saling menggakui daerah kekuasaan masing-masing, termasuk daerah yang dikuasai oleh saudara tertua, Ali, yang telah menguasai Isfahan ketika Mardavij terbunuh dan tak lama kemudian seluluruh Fars. Sedangkan Hasanmenguasai Privinsi Ray dan Jibal, sedang yang paling muda menguasai wilayah pantai selatan yaitu Provinsi Kirman dan Khuzistan.
Pada saat itu, keadaan di Baghdad semakin buruk Golongan mamalik dan Amir-amir Umara` tidak berhasil menjalankan pemerintahan dengan baik. Pada  tahun 334 H, panglima-panglima Baghdad telah menulis  surat kepada Ahmad bin Buwaih supaya dating ke Baghdad mengambil kekuasaan. Ahmad telah menanggapi permintaan itu, dan Khalifah Abbasiyah telah mengeluk-elukannya serta menjadikan Amir Umara dengan gelar Mu`iz ad-Daulah saudaranya, Ali, di beri gelar Imad ad-Daulah, dan Hasan diberi gelar Rukn ad-Daulah beberapa waktu kemudian Khalifah-khalifah Abbasiyah telah tunduk kepada Bani Buwaih, dan nasib dunia Islam berkaitan dengan golongan yang baru berkuasa itu. Sehingga pada zaman tersebut, Khalifah tidak mempunya kekuasaan dan pengaruhnya lagi.


Adapun Khalifah-khalifah Abbasiyah di zaman tersebut adalah : Al-Mustakfi, Al- Muti, At- Ta1tie, Al- Qadir dan Al-Qa`im.
Luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah dan kesulitan dengan wilayah provinsi menyebabkan disintegrasi pemerintahan tersebut. Di samping itu, sisterm pemerintaha Buwaihi yang disandarkan pada kekuasaan militer, memudahkan untuk menguasai Baghdad, bersama dengan menurunnya kekuatan militer di pemerintahan pusat.

A. DINAMIKA KEGAMAAN

Dalam hal keagamaan pada Dinasti Buwaihi, yang pertama muncul dalambenak adalah pertanyaan akan sekte Syi`ah yang dianut oleh Buwaihi. Hal ini muncul karena berbagai sekte Syi`ah sama berkembang dan mendapatkan dukungan pengawasnya. Namun demikian diasumsikan bahwa kalangan Buwaihi menganut sekte Zaidiyah mengikuti keyakinan Syi`ah yang dominant di tanah kelahiran mereka sedangkan menteri Mu`izz Al- Daulah secara jelas mendukung Syi`ah Dua Belas Imam. Walaupun toleransi keagamaan dikembangkan oleh pemerintah Mu`iz Al- Daulah misalnya menjalankan kebijakan konsilasi keagamaan antara Sunni dan Syi` ah – namun tetap saja terdapat riak-riak yang menggambarkan intoleransi.
    Ketegangan- ketegangan antar aliran memang sudah memburuk sebelum Buwaihi berkuasa. Dari sisi ini, maka tidak mengherankan jika kemunculan Buwaihi sebagai pengendali kekuasaan dinyatakan semakin mempersulit masalah. Salah satu contoh kondisi intoleransi ini adalah perampasan kekuasaan oleh golongan Sunni terhadap perkampungan Karkh yang Syi`ah dan ter jadi pada musim panas tahun 338 H / 949 M dan saat itu Mu`izz Al- Daulah  tidak berada  di ibukota.
Kerusuhan ini telah menelan banyak korban jiwa dan menyebar sampai ke perkampungan yang sebagian penghuninya adalah Syi`ah pada tahun 349 H / 960 M, perselisihan antar golongan ini menyebar sampai kedua sisi Sungai Tigris. Setahun setelah itu Al- Muhallabi melakukan tindakan untuk meredam kerusuhan tersebut ddengan mengerahkan prajurit-prajurit Dailami untuk menduduki pusat kerusuhan, dan membuang beberapa orang Hasymi yang terkemuka serta anggota-anggota milisi sipil       ( Ahadats ) ke Khuzistan dan Oman. Al- Muhallabi menunjukkan keseriusannya dalam menghadapi segala bentuk ekstrimisme dari golongan Sufi dan Syi`ah. Ia memerintahkan sejumlah orang untuk dipenjarakan dan dicambuk karena mempercayai divinitas Ibn Abi Al- Azaqir dan inkarnasi ` Ali Fathimah di dalam diri seorang lelaki dan perempuan dari kelompok mereka.
Berbagai fenomena sosial- keagamaan yang terjadi pada masa Buwaihi di Baghdad selama dekade ke dua dan ke tiga dari abad ke sepuluh memang ditindak keras. Tindakan tersebut antara lain :
1.    Al- Hallaj, seorang sufi-martir terkemuka, yang mengajarkan doktrin tentang peleburan dengan Tuhan dan pengungsian spiritual terhadap kewajiban-kewajiban keagamaan, termasuk haji, dihukum mati pada 992 M, dan tubuhnya digantung di salah satu tiang gantungan.
2.    Pada tahun 322 H/943 M dua orang sekretaris, Ibrahim bin Abi` Aun dan Muhammad bin ` Ali Al- Syalmaghani ( yang terakhir dikenal sebagai Ibn Abi Al-` Azair), dituduh tidak bermoral, banyak melakukan bid`ah, dan memercayai divinitas mereka sendiri dicambuk, dipancung, dan di gantung di tiang gantungan. Pada masa awal kemunculan Buwaihi Syi`ah Immamiyyah merupakan aliran Syi`ah yang berpengaruh di Irak dan Iran.
Ajarannya secara aktif dielaborasi oleh tokoh-tokohnya yang legendaries seperti :
1.    Al-Kulini ( atau Al- Kulaini ) yang wafat pada tahun 329 H/ 941 M.
2.    Ibn Babuya atau babawaih yang wafat pada tahun 381 h/991 M
3.    Al- Syaikh Al-Muftid-juga dikenal sebagai Ibn Al-Mu`allim-yang wafat pada tahun 413 H/1002 M. Walaupun ` Adud al-Daulah tampaknya lebih dekat kepada Syi`ah Immamiyyah ia memiliki toleransi yang tinggi dalam hal keagamaan.
Untuk menyesuaikan aliran yang dianut oleh bani Abbasiyah maka ` Adus al- Daulah mengundang Abu Bakr al- Baqillani seorang teolog ` Asy`ari yang terkenal ke Syiraz untuk mengajari putranya. Toleransi bahkan sampai menghasilakan “ sinkretisme”.
Hal ini dapat dilihat dari kebijakannya dengan mengancam akan memperlakukan orang-orang Syi`ah Qum dan Kufah sebagai orang-orang kafir jika mereka menolak melaksanakan shalat tarawih, suatu ibadah yang ditolak oleh syi`ah Immamiyyah. Sinar bintang syi`ah Immamiyyah  memudar pada masa pemerintahan Syaraf al- Daulah. Pada masa ini kaum Zaidiyyah tampil kembali ke posisi depan, dan kaum Zaidiyyah yang telah terdesak hingga ke Fars, kembali ke Baghdad. 
    
B. DINAMIKA SOSIAL POLITIK
    System pemerintahan Dinasti Buwaihi tidak independent seperti Dinasti Saman. Ali bin Buya masih mengakui otoritas Baghdad sebagai pusat kekuasaan Dinasti Abbasiyyah, sekalipun pada waktu itu sudah amat lemah. Ali bin Buya terus berusaha mendapat simpati dan dukungan politik dari Khalifah Al-Mustakfi (berkuasa 944-946 M)
Jabatan para penguasa Dinasti Buwaihi tidak lain sebatas gubernur, bukan khalifah. Ini jelas berbeda dengan status jabatan penguasa beberapa dinasti sebelumnya di Persia. Albert Hourani ( 2004) menjelaskan bahwa, para penguasa Dinasti Buwaihi banyak menyandang gelar Dinasti Persia Kuno. Seperti gelar “ Syahnansyah” ( Rajadiraja).
Penelitian arkeologis telah menemukan sebuah medali bertahun 969 M bahwa, para penguasa Dinasti Buwaihi menggunakan gelar “ Syahnansyah” ( Rajadiraja). Dengan demikian, Dinasti Buwaihi termasuk generasi penerus peradaban Persia Kuno, seperti halnya Dinasti Sama, yang bermaksud mengembalikan kejayaan orang-orang Arya.
Kekompakan tiga bersaudara, Ali, Hasan, Ahmad turut menentukan bagi keberhasilan ini dalam mengembangkan wilayah kekuasaannya. Dengan didukung oleh para tuan tanah dari Suku Arrajan di Persia, Ali dan saudara-saudaranya menancapkan kekuasaan di Ray dan Persia. Hingga pada tahun 945 M, dengan kekompakan tiga bersaudara ini, orang-orang keturunan Buwaihi berhasil menguasai seluruh Persia, Irak, Ray.
Oleh Al-Mustakfi, ketiga bersaudara keturunan klan Buwaihi ini mendapat beberapa gelar kehormatan : Ali bin Buya mendapat gelar Imad Ad- Daulah ( Tiang Negara ) ; Hasan bin Buya mendapat gelar Rukn Ad-Daulah ( Penopang Negara); dan Ahmad bin Buya mandapat gelar Mu`izz Ad- Daulah ( Penegak Negara ).
Wilayah kekuasaan Dinasti Buwaihi memang lebih menyerupai sebuah federasi ketimbang kerajaan. Kekuasaan Dinasti Buwaihi memang lain dengan kekuasaan orang-orang keturunan Saman Khuda (Dinasti Saman). Unit-unit kekuasaannya lebih dipusatkan di kta-kota besar. Seperti kekuasaan di Persia dipusatkan di kota Syitaz dan Isfahan. Kekuasaan di Ray dipusatkan di kota Al-Jibal. Dan, kekuasaan di Irak dipusatkan di kota Baghdad,Bashrah, dan Mosul.
Dalam perjalanan berikutnya, rezi Buwaihi terus mendapat tekanan politik dari orang-orang keturunan Saman Khuda. Setelah Ray dan Isfahan berhasil diambil-alih oleh orang-orang Buwaihi. Nuh bin Nasr, putra Nashr bin Ahmad bin Ismail Samani, berusaha merebut kembali wilayah kekuasaanya. Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Hasan bin Buya  ( Rukn Ad-Daulah) dengan pasukan Nuh bin Nasr. Pada peristiwa ini, pasukan Dinasti Saman justru memihak kepada orang-orang Buwaihi. Akibatnya Nuh bin Nasr kalah telak.
Pasca kekalahan menaklukkan wilayah Ray, Dinasti Saman berkoalisi dengan Dinasti Hamdan di Mosul. Nuh bin Nast meminta bantuan kepada para penguasa Mosul (Dinasti Hamdan ) lewat mediator Ibrahim bin Ahmad, pamannya sendiri. Hasilnya cukup memuaskan karena pada tahun 944 M, Dinasti Saman berhasil merebut kembali wilayah Ray. Ali bin Buya ( Rukn Ad- Daulah ), penguasa Dinasti Buwaihi di Syiraz memberikan dukungan kepada Abu Ali yang memberontak pada tahun 950 M.

C. KEMAJUAN YANG DICAPAI
    Pemerintahan Dinasti Buwaihi periode pertama di pegang oleh Mu`iz ad Daulah. Sejak zaman ini, otoritas kepemimpinan seorang khalifah sangat terbatas. Namun Buwaihi tidak berusaha melenyapkan kekhalifahan. Keberadaan khalifah hanya sebagai simbol untuk mendapat simpati public. Serta mengakui sebuah ide bahwa hak mereka untuk memerintah bergantung pada keabsahan khalifah .
    Pada masa ini dimulai perbaikan kerusakan-kerusakan yang diderita Baghdad dari kerusuhan-kerusuhan selama belasan tahun terakhir. Atas keberhasilan memulihkan situasi ini, Al- Mustakfi menyerahkan kekuasaan keuangan pemerintahan kepada Mu`iz dan nanti namanya dicetak pada mata uang logam .
    Mu`izz menurunkan Al-Mustakfi dari singgasana dan menggantinya dengan Al-Muti` yang memang sebelumnya telah menjadi saingn Al- Mustakfi. Tindakan ini lebih didasari keinginan untuk lebih menguasai pemerintahan, karena dalam hal ini Al-Mustakfi tidak sejalan dengan Mu`izz .
    Mu`izz memerintah lebih dari dua puluh tahun. Sementara saudara-saudaranya di timur memperluas daerah kekuasaan. Pada tahun 952 M, suatu usaha dari kaum Qaramitnah dan Omani untuk merebut Basrah, dipukul mundur oleh tentara buwaihi.
Pada pemerintahan Adud ad-Daulah mulai dilakukan upaya-upaya persatuan atas wilayah kekuasaan Irak,  Persia Selatan dan Oman. Dinasti Buwaihi periode ini telah menjalankan suatu kebijakan yang sangat ekspansionis, di Barat terhadap Hamdaniyah al-Jazirah dan Zijariyyah Thabaristan, Samanniyah Khurasan. Pada pemerintahan adud ad-Daulah inilah Dinasti Buwaihi di Baghdad mengalami masa keemasan, sebagai pusat dari pemerintahan Baghdad. Adud ad-Daulah berhasil mempersatukan semua pengusaha Buwaihiyah .
    Pemerintahan Adud ad-Daulah sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan berbagai disiplin ilmu. Kedekatannya dengan para ilmuwan saat itu menjadikan loyalitas mereka terhadap pemerintahan sangat tinggi. Istana pemerintahan pernah dijadikan sebagai tempat pertemuan para ilmuwan saat itu . Bahkan pada masa itu dibangun rumah sakit terbesar, yang terdiri dari 24 orang dokter, dan digunakan juga sebagai tempat praktek mahasiswa kedokteran saat itu.
    Sebagai penganut Syi’ah Dua Belas, Dinasti Buwaihi banyak menghidupkan syiar Syi’ah. Kendati mereka berbuat demikian, Khalifah Abbasiyah tetap dibiarkan meneruskan kepemimpinan simbolis bagi Umat Islam. Diantara tindakan penguasa Buwaihi yang menguntungkan kelompok Syi’ah ialah pengadaan upacara keagamaan Syi’ah secara publik, pendirian pusat-pusat pengajaran Syi’ah di berbagai kota, termasuk Baghdad, dan pemberian dukungan terhadap para pemikir dan penulis Syi’ah. Memang masa kekuasaan Dinasti Buwaihi adalah bersamaan dengan bermulanya masa “ketidakhadiran agung” (al-ghaibah al-kubra) Imam ke-12. Dan saat itu pula terjadi kristalisasi penting dalam periode pembentukan madzhab Syi’ah.
    Periode Buwaihi diwarnai dengan kegiatan penulisan. Para pemikir penting, disamping pakar-pakar teori Syi’ah sempat menuliskan ide-ide mereka. Bahkan Ibnu Sina (w 1037 M/428 H), seorang filosof dan dokter dari kepercayaan menjadi wazir oleh Syamsud Daulah (w. 1021 M / 412 H) yang berkuasa di Isfahan. Tercatat pula serentetan penulis kenamaan dari berbagai disiplin ilmu, umpamanya Ibnu an-Nadim (w. 995 M/ 385 H), seorang ensiklopedis dengan bukunya al-Fihris; Ibnu Miskawaih (w. 1030 M / 421 H), seorang filosof – sejarawan menulis Tajarib al-Umam; Abu al-Farah al-Isfahani (w. 967 M / 356 H), seorang sejarawan – sastrawan menulis al-Agani; dan Abu al-Wafa an-Nasawi, pakar matematik, memperkenalkan sistem angka India ke dalam Islam. Disamping itu, berbagai aktivitas ilmiah dan kemanusiaan juga digalakkan dengan dibangunnya peneropong bintang dan rumah-rumah sakit di berbagai kota .
    Sebagaimana telah dimulai pada masa-masa awal Dinasti Buwaihi dalam memperbaiki kerusakan perekonomian yang beberapa dekade sebelumnya mengalami kehancuran, berupa melakukan perbaikan beberapa saluran irigasi dan mengambil tanah-tanah yang ditinggalkan pemiliknya. Sistem administrasi keuangan sangat berkaitan erat dengan organisasi militer, seperti juga pada periode Muiz pertama kali berkuasa. Pemerintahan Adud didasarkan pada metode-metode birokratik perpajakan dan sejumlah pembayaran untuk kebutuhan istana dan militer. Staf pemerintahan pusat mengumpulkan pendapatan negara dari daerah-daerah kekuasaan dan membayar pejabat dan tentara yang mengabdi kepada negara secara kontan dengan pembayaran di muka. Konsep ini lazimnya disebut dengan distribusi igtha’, yaitu sebuah mekanisme untuk mensentralisasikan pengumpulan dan pengeluaran atas pendapatan negara dan pada dasarnya hak tanah iqtha’ hanya diberikan berdasarkan syarat-syarat pengabdian militer, dan hanya berlaku sebatas kehidupan orang yang sedang menjabat .

D. Dinamika Intelektual
    Sebagaimana dinamikan aspek kehidupan masyarakat Buwaihi yang lain, dinamika intelektualnya juga mayoritas dipromotori oleh individu-individu maupun lembaga-lembaga yang secara sukarela dan mandiri berkecimpung dalam bidang-bidang tertentu. Paparan berikut ini akan mengetengahkan individu-individu dan lembaga-lembaga yang berperan dalam dinamika intelektual. Salah satu lembaga keilmuwan yang hidup pada masa ini adalah Lembaga pendidikan Yahya ibn ‘Adi. Yahya ibnu ‘Adi yang nama lengkapnya adalah Abu Zakariya Yahya ibnu ‘Adi ibnu Hamid ibnu Zakariya al-Takriti al-Manthiqi adalah seorang penganut Kristen Jakobis yang lahir di kota Takrit pada tahun 893 M dan meninggal pada 13 Agustus 974 M. Yahya ibnu ‘Adi mengabdikan seluruh hidupnya dalam profesinya  sebagai penyalin naskah, suatu profesi yang diturunkan dari ayahnya. Ia merupakan pecinta ilmu pengetahuan dan selalu berupaya menyalin berbagai manuskrip termasuk kedokteran yang tidak pernah dipraktekkannya. Ia merupakan filosof yang memandang bahwa filsafat adalah sebuah teologi klasik. Ia memfokuskan diri pada filsafat al-Farabi mengenai agama yang memandang motif-motif keagamaan sebagai simbol-simbol kebenaran filsafat.
    Baginya gagasan teologis adalah perwujudan dari kebenaran filsafat . Lembaga ini berkonsentrasi pada bidang filologi dengan aktifitas-aktifitas penyalinan, penerjemahan, penyuntingan teks-teks filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan kuno. Pembelajaran dilakukan secara kelompok dengan metode diskusi dan ceramah atas materi teks dari sisi filsafat tanpa memfokuskan pada aliran-aliran tertentu. Pada masa pemerintaan Adud al-Daula (di Syiraz 949-979 dan di Baghdad 978-983) Fars dan Iraq diliputi oleh kedamaian dan keamanan sehingga perkembangan kebudayaan mencapai puncaknya. Adud al-Daula sendiri merupakan orang yang mencintai ilmu pengetahuan. Ia pernah memberikan beasiswa sebesar 50.000 dirham bagi orang-orang yang mampu menguasai tata bahasa yang disusun oleh Abu ‘Ali. Salah satu guru Adud al-Daula adalah seorang sufi ‘Abd al-Rahman penulis buku “al-Kitab al-Kawakib al-Tsabitah”.
Perhatiannya dalam ilmu pengetahuan juga diwujudkan dengan membangun perpustakaan yang luas di istananya di Syiraz dengan koleksi berbagai cabang ilmu pengetahuan. Penempatan dan penklasifikasian buku-buku disesuaikan dengan bidang ilmu pengetahuan masing-masing. Perpustakaan hanya dapat diakses oleh mereka yang menguasai ilmu pengetahuan. Kontribusi penting dalam periode Adud al-Daula adalah perkembangan astronomi, matematika, dan kedokteran.
    Dalam bidang astrologi dan astronomi dikenal ilmuwan-ilmuwan seperti:
a.    Syarif ibnu Al-A’lam yang telah menciptakan beberapa tabel astronomi yang telah digunakan selama tiga ratus tahun. Adud al-Daula sendiri selalu berkonsultasi dengannya untuk rencana dan program-programmnya.
b.    Abu Al-Qasim ‘Ubaid Allah yang juga menulis beberapa buku tentang astronomi dan astrologi.
c.    Abdul Fadl Ja’far seorang astrolog yang merupakan anak khalifah al-Muktafi.
Dalam bidang matematika dikenal antara lain:
a.    Abu al-Qasim al-Antaki. Karyanya antara lain adalah menulis uraian Euclid12 dan buku-buku aritmatikan termasuk metode-metode perhitungan aritmatika berikut:
•    Metode India dalam berhitung
•    Menghitung dengan jari tanpa pengurangan
•    Menghitung dengan jari tanpa media
•    Buku tentang kubus 13
b.    Abu Nasr al-Kalwadzani yang juga menulis metode berhitung sistem India.
    Dalam bidang kedokteran berbagai buku telah diterbitkan, sekolah-sekolah kedokteran juga didirikan di sekitar rumah sakit. Adud al-Daula juga mendirikan organisasi kedokteran yang dipimpin oleh Jibrail ibnu ‘Abdullah ibnu Bakhtisyu’ yang diberi gaji sebesar tiga ratus syaja’i (‘adudi) dirham per dwi bulan ditambah tiga ratus dirham sebagai tunjangan profesi. Jibra’il dikenal atas karyanya dalam bidang kedokteran atas terkenal thesisnya al-Kafi yang salah satu copy-nya dipersembahkan di Dar al-‘Ilmi di Baghdad.

    Dalam bidang sejarah dikenal Abu ‘Ali Miskawayh dengan karya monumentalnya Tajarib al-’Umam. Saat ini yang dapat diakses dari karya ini hanya bagian tahun 295 H dan 369 H. Kelebihan Abu ‘Ali Miskawayh dalam sejarah adalah kemampuannya menggambarkan karakter objek-objek sejarah dengan sempurna. Setelah Adud al-Daula meninggal digantikan oleh dua putranya Samsan al-daula dan Syaraf al-Daula. Syaraf al-Daula juga berperan sebagai pelindung ilmu pengeahuan. Ia mendirikan perpustakaan di Syiraz saat ia masih menjabat sebagai gubernur di Fars. Ia memiliki perhatian yang tinggi dalam bidang astronomi. Tidak mengherankan jika ia membangun observatorium di taman istananya di Baghdad untuk mengobservasi perubahan zodiak. Observatorium ini manajemennya diserahkan kepada Abu sahl Rustum al-Kuhi seorang ahli astronomi tetapi juga menguasai matematika. Dia melakukan dua eksperimen mengagumkan terhadap matahari yang kemudian ia jadikan teori skala dan Crab.
    Dalam bidang matematika ilmuwan yang sangat dikenal saat itu adalah Abu al-Wafa Muhammad al-Buzjani. Ia menulis uraian tentang karya aljabar al-Khawarizmi, Diophantos, Euclid (tidak terselesaikannya). Karyanya yang lain adalah:
1.    Tabel astronomi al-Zij al-Wadih.
2.    Manual aritmatika yang diperuntukkan bagi petugas pajak
3.    Kitab al-Kamil yang menurut George Sarton adalah versi sederhana dari Almagest. Dalam periode pemerintahan Baha’ al-Daula dari tahun 989 M sampai 1012 M semangat kebudayaan pendahulunya pada kadar tertentu tetap terpelihara walaupun tidak dalam perlindungan penguasa. Pada masa ini stabilitas negara sangat lemah untuk melakukan perlindungan kebudayaan dan keilmuwan. Namun demikian tetap juga muncul beberapa ilmuwan yang berkualitas tinggi.

D. Kemunduran Pemerintahan Dinasti Buwaihi
    Faktor-faktor yang menjadi penyebab mundurnya pemerintahan Buwaihi adalah:
1.    Sistem pemerintahan yang semula didasarkan pada kekuatan militer, belakangan diorganisir menjadi sebuah rezim yang lebih setia terhadap pimpinan mereka atas kekayaan dan kekuasaan daripada setia terhadap negara.
2.    Konsep ikatan keluarga yang menjadi kekuatan Dinasti Buwaihi pada masa-masa awal, tidak bisa dibina lagi pada masa-masa selanjutnya. Konflik antara anggota keluarga menjadikan lemahnya pemerintahan di pusat.
3.    pertentangan antara aliran-aliran keagamaan. Sebagaimana diketahui bahwa Dinasti Buwaihi adalah penyebar madzhab Syi’ah yang sungguh bersemangat, di balik kebanyakan rakyat Baghdad yang bermadzhab sunni. Pertentangan tersebut pada periode awal Dinasti tidak begitu nampak, terutama pada masa Adud ad-Daulah, kemudian mulai menajam kembali dan mengalami puncak pada akhir Dinasti Buwahi di Baghdad. Hal ini tidak terlepas dari peran dan kebijakan Khalifah al-Qadir yang mengepalai pertempuran Sunni melawan Syi’ah dan berusaha mengorganisir sebuah misi Sunni untuk menjadi praktek keagamaan. Melalui sebuah pengumuman yang resmi, ia menjadikan Hanbalisme sebagai madzhab muslim yang resmi .
4.    Kekalahan telak dari kaum Saljuk yang berakibat jatuhnya pemerintahan Dinasti Buwaihi ke tangan Tughril Beg, yang sekaligus mengakhiri masa pemerintahan Dinasti Buwaihi.
    Bagaimanapun keberhasilan Dinasti Buwaihi memang tidak bertahan lama. Sejak kematian Adud ad-Daulah pada tahun 983 (372 H) keutuhan keluarga Buwaihi mengalami erosi dan perpecahan. Ide kerjasama yang dikembangkan generasi pertama rupanya tidak mengakar, cabang-cabang keluarga tidak puas dengan otonomi yang dinikmati bahkan ada yang menginginkan kekuasaan tunggal atas seluruh Buwaihi. Mungkin tendensi demikian merupakan perkembangan natural dari upaya individu-individy Buwaihi dalam menghadapi perubahan dan tantangan eksternal. Misalnya pada perempat akhir abad ke-10, Dinasti Fatimiyah telah muncul sebagai ancaman langsung terhadap Buwaihi di barat dan selatan. Di Persia dan Arabia Timur ancaman masing-masing datang dari Samaniyah kemudian Gaznawiyah dan Qaramitah.
    Juga posisi wilayah Buwaihi yang strategis bagi perdangan antara timur dan barat serta selatan dan utara, kemudian telah dilemahkan oleh politik perdagangan Fatimiah yang agresif lewat Laut Merah. Peranan Teluk Persia yang pernah dominan menjadi semakin pudar. Kurang berkembangnya pertanian akibat sistem perpajakan yang tidak efisien dan eksploitatif, serta turunnya volume perdagangan jelas melemahkan sistem ekonomi Dinasti Buwaihi. Pada gilirannya kelemahan politik, ekonomi, sosial dan militertelah memudahkan bagi kekuatan-kekuatan baru seperti apra pemimpin lokal, dan Gaznawiyah kemudian Saljuk untuk merebut kekuasaan. Ray dan Jibal diduduki Mamud al-Gaznawi (1029/420 H); Fars diambilalih pemimpin Kurdi, Fadluyah (1056/488 H) dan Baghdad oleh Tugril Beg (1055/447 H)

PENUTUP

    Demikianlah sekilas tentang keberadaan dan kekuasaan Dinasti Buwaihi pada masa kekhalifahan Abbasiyah. Buwaihi yang merupakan salah satu Dinasti yang menguasai daerah Asfahan, Syiraz dan Kirman di Persia. Baghdad pun mereka kuasai sampai tahun 1055 M. Khalifah Bani Abbas tetap diakui, tetapi kekuasaan dipegang oleh penguasa-penguasa Buwaihi. Akhirnya kekuasaan Buwaihi dirampas oleh Dinasti Saljuk.

Lampiran: Nama-nama Raja Dinasti Buwaihi dan Masa Kepemimpinannya secara Lengkap: Tahun 320 – 454 / 932-1062 di Persia dan Irak.

1.    Garis di Fars dan Khuzistan
322/934    Imad ad-Daulah ‘Ali
338/949    ‘Adhud ad-Daulah Fana-Khusraw
372/983    Syaraf ad-Daulah Syirzil
380/990    Syamsyam Ad-Daulah Marzuban
388/988    Baha ad-Daulah Firuz
403/1012    Sultan ad-Daulah
412/1021    Musyarif ad-Daulah Hasan
415/1024    Imaduddin Marzuban
440/1048    Al-Malik Ar-Rahim Khusrau-Firuz
447-454 / 1055-1062 Fulad –Sutun (hanya di Fars)
Oleh    Kekuasaan di Fars ditumbangkan
Syabankaral    Pemimpin suku kurdi FadWuya

2.    Garis di Kirman
324/936    Muiz ad-Daulah Ahmad
338/949    ‘Adhud ad-Daulah Fana-Khusraw
372/983    Syamsyam Ad-Daulah Marzuban
402/1012    Qiwam ad-Daulah
419-440 / 1028-1048  Imaduddin Marzuban
Keturunan Saljuk dari Qawurd.   
3.    Garis di Jibal
320/932    Imad ad-Daulah Ali
335-366 / 947-977    Rukn ad-Daulah Hasan
(a) Cabang di Hamadan dan Ishfahan
366/977    Mu’ Ayyid ad-Daulah Buya
373/983    Fakhr ad-Daulah ‘Ali
387/997    Syams ad-Daulah
412-419/1021-1028    Sama’ ad-Daulah (dibawah kekuasaan raja
    Kakuyiyyah)
(b) Cabang di Ray
366/977    Farkh ad-Daulah ‘Ali
387-420/ 977-1029    Majd ad-Daulah Rustam

4.    Garis Irak
334/945    Muizz ad-Daulah Ahmad
356/967    Izz ad-Daulah Bakhtiyar
367/978    ‘Adhud ad-Daulah Fana-Khusraw
372/983    Syamsyain ad-Daulah Marzuban
376/987    Syaraf ad-Daulah Syirzil
379/989    Baha’ ad-Daulah Firuz
403/1012    Sulthan ad-Daulah
412/1025    Jalal ad-Daulah Syirzil
435/1044    Imaduddin Marzuban
440-447 / 1048-1055 Al-Malik ar Rahim Khusraw Firuz
Penduduk Saljuk atas Baghdad


DAFTAR PUSTAKA

Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006)
Philip K. Hitti, History of the Arabs, terj. R.Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi, 2006)
Taufik Abdullah, dkk. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hove, t.tahun).
M.A. Shaban, Islamic History; A New Interpretation, jilid 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1990).
Joel L. Kraemer, Renaissance
Joel L. Kraemer, Renaissance
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia
Mulfrodi, Ali. 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: Logos.
Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya: Jakarta: UI Press.
Harun Nasution (ed.), 1992. Ensiklopedi Islam, Jakarta: Djambatan.
Syalabi, A. 1993. Sejarah dan Kebudayaan Islam 3. Jakarta: Pustaka Alhusa.
Watt, Motgomery. Kejayaan Islam. Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis.
Beik, Muhammad Khudory. Tarik al-Imam al-Islami.
Hasan, Ibrahim. Tarikh al-Islam, juz III.
Lapidus, 1985. Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar