Rabu, 15 Mei 2013

QAT’I DAN ZANNI

A. Pendahuluan
Alquran  merupakan sumber utama dalam prosedur untuk melakukan istinbat (penetapan) hukum. Tanpa Alquran, tidak mungkin dipahami ajaran Islam secara keseluruhan dan hukum Islam secara partikular. Pembahasan tentang Alquran sebagai sumber utama hukum Islam adalah sesuatu yang seragam di dalam kitab-kitab usul fikih. Namun keseragaman ini menjadi sirna manakala pembahasan mulai memasuki persoalan-persoalan yang lebih detail, misalnya mengenai kedilalahan ayat-ayat Alquran sebagai hujjah di dalam kerangka istinbat hukum. Salah satu persoalan yang cukup rumit dan variatif  adalah terkait dengan permasalahan pengkategorian ayat-ayat Alquran ke dalam qat’i dan zanni.
Secara umum pengkategorian ini menjadi sangat penting di dalam menjadikan satu ayat sebagai dalil hukum. Hal ini terkait dengan persoalan penggunaan rasionalitas di dalam hukum. Apabila satu ayat dikategorikan qat’i, maka tingkat rasionalitasnya menjadi rendah. Sedangkan bila dikategorikan zanni, maka tingkat spekulatifnya menjadi tinggi.

Apabila diteliti dengan seksama, maka terlihat bahwa persoalan qat’i dan zanni ini merupakan persoalan pelik yang memerlukan pembahasan yang cukup panjang dan rumit. Ada kesan seolah-olah pengkategorian ini telah baku dan tidak berubah.
Makalah ini akan mencoba menguraikan pembahasan tentang qat’i dan zanni, dan beberapa pembahasan terkait dengan keduanya.

B. Pengertian Qat’i al-Dalalah dan Zanni al-Dalalah
Pada masa-masa awal pembentukan hukum Islam hingga  munculnya imam-imam mazhab tidak terdapat istilah qat’i dan zanni di dalam Alquran, sunnah, qaul sahabat dan qaul tabi’in. Istilah yang mungkin sepadan dengan itu ada dalam konteks ilmu tafsir, yakni ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih. Kategorisasi ayat kepada qat’i dan zanni merupakan teori para ulama usul fikih. Belum jelas siapa yang pertama kali memperkenalkan kategorisasi ini. Namun karena teori ini tidak pernah digugat, dugaannya adalah karena kemiripannya dengan kategori muhkam dan mutasyabih yang termaktub di dalam Alquran.
Cukup menarik bahwa pada era para imam mazhab tidak ditemukan istilah qat’i dan zanni di dalam literatur yang dapat dirujuk sebagai teori yang mereka kembangkan. Kenyataan ini seolah-olah menunjukkan bahwa kategorisasi ini muncul jauh setelah era imam mazhab dan semakin menguatkan dugaan sebagai hasil pemikiran ulama usul fiqih belakangan.
Sekilas, ketika diucapkan kata qat’i maka pemahaman yang muncul di benak pendengarnya adalah ”mutlak”. Sebaliknya kata zanni sekilas dapat dipahami sebagai relatif atau mengandung dugaan. Demikian katan qat’i dan zanni dipahami secara sekilas atau secara zahir. Dalam pemakaiannya sendiri, kedua lafaz ini pada umumnya berkaitan dengan kebenaran tentang sesuatu. Ketika tersiar sebuah kabar, maka kabar tersebut dipertanyakan kebenarannya apakah mutlak atau pasti (qat’i) atau hanya merupakan prasangka saja (zanni).
Dalam bahasa Arab sendiri kata qat’i berasal dari kata kerja qata’a yang berarti jazza (membagi dan memotong), abana (menjadikannya jelas), abtala (batal).  Qat’i sendiri merupakan sifat yang diambil dari kata qata’a tersebut. Unsur terpenting dari arti kata qata’a adalah terpisahnya sesuatu dari sesuatu, seperti sebuah bagian kayu terpisah dari bagian lainnya (terpotong), ibadah shalat terpisah dari rukun dan syarat (batal) dan kebenaran terpisah dari kebohongan (jelas). Karena itu, qat’i dapat dipahami sebagai sifat yang menunjukkan sesuatu yang jelas.
Sedangkan kata zanni merupakan kata turunan dari kata zanna yang berarti alima wa istayqana (mengetahui dan meyakininya).  Kata zanna dalam bahasa Arab tidak mengandung arti sebuah sangkaan yang diyakini akan sesuatu karena adanya bukti-bukti yang lebih kuat. Tingkat kadar keyakinan yang lebih rendah darizanni dalam bahasa Arab adalah wahm. Kata zanni merupakan kata sifat yang diambil dari kata kerja zanna. Karena itu dapat dikatakan bahwa secara bahasa zanni berarti kata sifat yang menunjukkan keyakinan yang lebih kuat dari wahm.
Sedangkan pengertian qat’i dan zanni secara syar’i atau sebagai istilah dalam kajian ini diteliti dari berbagai literatur usul fikih klasik dan kontemporer. Dapat dikatakan bahwa hampir setiap literatur usul fikih membicarakan konsep qat’i dan zanni. Oleh karena itulah agaknya upaya pendefinisian qat’i dan zanni mudah dilakukan. Paparan berikut akan mengemukakan definisi tersebut.
Definisi qat’i yang populer di kalangan ahli usul adalah apa yang dirumuskan oleh Abdul Wahhab al-Khallaf. Menurutnya qat’i al-dalalah ialah:
مادل علىمعنىمتعين فهم منه ولايحتمل تأويلاولامجال لفهم معنى غيره منه.
Artinya: “suatu (nash) yang menunjukkan kepada makna tertentu yang dipahami dari nas itu dan tidak mengandung kemungkinan ta’wil (interpretasi) serta tidak ada tempat peluang untuk memahami makna selain makna tersebut dari kata itu”.
Sementara itu Syekh Abu al-‘Ainin mendefinisikan qat’i al-dalalah sebagai berikut:
فطعى الدلالةهوالذى يدل على الحكم ولايحتمل غيره.
Artinya: “qat’i al-dalalah ialah suatu (nash) yang menunjukkan atas suatu hukum dan tidak mengandung kemungkinan makna yang lain”.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa qat’i al-dalalah ialah suatu nash yang menunjukkan kepada suatu makna tertentu dan tidak mengandung makna yang lain, selain makna yang tertentu itu. Oleh karena itu, tidak ada peluang untuk menginterpretasikannya kepada pengertian lain.
Nash yang zanni dalalahnya yaitu nash yang menunjukkan suatu makna yang dapat ditakwil atau nash yang mempunyai makna lebih dari satu, baik kerena lafazhnya musytarak ataupun karena susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, seperti dalalah isyarat-nya, iqtidha-nya dan sebagainya.  Misalnya adalah firman Allah swt.:
حرمت عليكم الميتة والدم.
Artinya: “diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah ….”. (Q.S. al-Maidah: 3).
    Lafaz “maytah” (bangkai) itu umum. Nash ini mempunyai kemungkinan pengertian: mengharamkan setiap bangkai dan ada kemungkiann untuk mentakhshiskan pengharaman itu dengan sesuatu selain bangkai lautan. Maka nash yang di dalamnya terdapat nash yang musytarak atau lafazh yang umum atau lafazh yang mutlak ataupun semisal ini, maka nash itu adalah zanni dalalahnya, karena ia menunjukkan kepada suatu makna dan mengandung kemungkinan pengertian lainnya.
    Sedangkan Zanni bermakna suatu ayat-ayat mengandung makna yang tidak pasti dan dapat menerima takwil. Demikianlah pendapat populer di kalangan mayoritas ulama.
    Apabila definisi-definisi qat’i dicermati secara mendalam, tampaknya masih terdapat kekurangjelasan tentang konsep qat’i dan zanni. Maksudnya, para ulama tidak begitu jelas merumuskan konsep-konsep tersebut. Ketidakjelasan itu karena adanya tiga kemungkinan konsep yang melekat pada definisi tersebut.
Pertama: yang qat’i itu sebuah lafaz nash dalam bentuk tunggal (lafaz tunggal).
Misalnya lafaz al-Nisf pada ayat: ولكم نصف ماترك ازواجكم atau lafaz Mi’ah pada ayat: فاجلدواكل واحد منهما ما ئة جلدة. Jika dipegangi rumusan qat’i seperti ini, maka tak syak lagi bahwa suatu lafaz yang mengandung satu makna tertentu dan tidak mengandung makna selainnya dipandang sebagai qat’i.
Kedua : yang qat’i itu suatu ayat yang terdiri dari susunan beberapa lafaz (dalam bentuk kalimat). Misalnya makna ayat:
السارق والسارقة فاقطعواأيديهما
Artinya: “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan keduanya ....”.
Makna ayat di atas secara pasti menunjukkan bahwa seorang pencuri dihukum potong tangan. Kepastian makna itu diperoleh dari ayat yang berbentuk kalimat, bukan lafaz tunggal.
    Jika diamati definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul, tampaknya yang qat’i itu bisa makna lafaz tunggal dan bisa pula makna ayat dalam bentuk kalimat yang mempunyai makna tertentu dan tidak mengandung interpretasi lain selain makna yang telah tertentu (pasti) tadi.
Ketiga : yang qat’i itu bukan makna lafaz tunggal atau makna kalimat, tetapi adalah makna menyeluruh dari sekian banyak ayat yang mengacu kepada satu makna yang saling mendukung, sehingga makna-makna yang terdapat dalam berbagai nash tersebut berakumulasi secara utuh pada satu gagasan tertentu.
    Jika rumusan definisi mengacu kepada wacana pertama, yakni bahwa yang qat’i itu adalah lafaz tunggal, maka wacana kedua dan ketiga menjadi terabaikan. Jika definisi qat’i hanya berpegang kepada wacana kedua, maka definisi qat’i menurut wacana ketiga terabaikan.
    Menurut pengertian yang ketiga ini, bahwa qat’i itu tidak dilihat dari sebuah lafaz tunggal saja atau sebuah ayat dalam bentuk kalimat saja, tetapi harus dilihat dari keseluruhan ayat-ayat alquran. Maksudnya keqat’ian hanya bisa dicapai melalui perpaduan ayat-ayat alquran yang memiliki makna yang sama atau saling mendukung. Pengertian qat’i sepeti wacana ketiga inilah yang dikedepankan oleh asy-Syatibi dalam karya monumentalnya al-Muwafaqat.
    Sebagai seorang pembaharu pemikiran ushul al-fiqh, Imam asy-Syatibi banyak mencurahkan perhatian terhadap konsep qat’i dan zanni. Kesadaran asy-Syatibi ini agaknya  muncul disebabkan karena formulasi ulama sebelumnya begitu jelas kaku dalam merumuskan dan memahami konsep qat’i dan zanni. Karena itu perlu diperjelas dan dipertegas dengan menggunakan kerangka pemikiran yang rasional.
    Menurut pendapat yang berkembang dan menjadi keyakinan para ulama ushul al-fiqh ketika itu, bahwa sebuah ayat yang berdiri sendiri dapat menjadi qat’i dengan sendirinya, sehingga tidak boleh menjadi sasaran ijtihad dan tidak boleh mengalami perkembangan interpretasi.
    Dengan adanya paradigma klasik seperti itu, gerak ijtihad terjerat oleh paradigma yang mereka rumuskan sendiri. Padahal perubahan sosial di masa asy-Syatibi demikian cepat. asy-Syatibi sendiri menghadapi perubahan-perubahan sosial yang demikian akseleratif. Dalam konteks seperti itulah muncul kesadaran keilmuan asy-Syatibi untuk merumuskan konsep qat’i dan zanni dalam wacana pemikiran ushul al-fiqh.
Di dalam hadis-hadis Nabi, terdapat qat’i al-dalalah. Misalnya:
لاضررولاضرار
Artinya: “Tidak memudaratkan diri dan tidak memudaratkan orang lain”. (H.R. Ahmad dan Tarmizi).
Jika suatu hadis berstatus mutawatir, maka ia kadang menjadi qat’i al-dalalah, sebab dasarnya adalah qat’i ats-tsubut. Keqat’ian al-dalalah itu terjadi apabila maknanya pasti dan tertentu serta  tidak mungkin punya makna yang lain. Sedangkan hadis masyhur dan hadis ahad masih diperselisihkan oleh ulama tentang kemungkinan keqat’ian atau kezannian dalalahnya.
    Namun demikian, kata al-Khallaf, dugaan (zhann) terhadap hadis masyhur dan ahad itu adalah dugaan yang kuat, karena kesempurnaan yang ada pada rawi, misalnya sifat adil dan dhabit, tsiqah, dll. Maka nilai kezannian ini dapat dijadikan sebagai hujjah dalam hal mengamalkan ajaran yang dibawa , tapi khusus dalam bidang hukum, bukan aqidah.  Jadi dari segi pengamalan (implementasi) maknanya, hadis ahad bisa dipakai dalam bidang ibadah dan mu’amalah, asalkan saja ia hadis shahih.
Nash-nash yang zanni al-dalalah adalah nass yang menunjukkan makna yang mungkin menerima ta’wil (interpretasi) atau dipalingkan dari makna asal kepada makna yang lain.
Abdul wahhab al-Khallaf merumuskan bahwa zanni al-dalalah ialah suatu nass yang menunjukkan kepada makna yang mengandung kemungkinan ta’wil atau dipalingkan dari makna asal kepada makna yang lain.
Kajian ats-tsubut adalah menyangkut validitas riwayat suatu nass. Oleh karena itu, semua nass Alquran semuanya qat’i ats-tsubut. 

C. Latar Belakang Timbulnya Konsep Qa’ti dan Zanni
Belum penulis temukan asal-usul timbulnya konsep qat’i dan zanni dan bagaimana ia berkembang. Akan tetapi penulis dapat memahami bahwa munculnya konsep qat’i zanni berhubungan dengan pembatasan terhadap keleluasaan menafsirkan Alquran dalam merumuskan mazhab hukum dan teologi. Konsep ini dibutuhkan agar dasar-dasar ajaran Islam tidak berbeda antara satu mazhab dengan mazhab lainnya. Akibat bila tidak dilembagakannya konsep qat’i dan zanni, adalah munculnya kesimpangsiuran dan keragaman dasar-dasar agama.

D. Klasifikasi Qat’i dan Zanni dan Diskursusnya
1. Qat’i
Qat’i terbagi dua: dari sudut datangnya atau keberadaannya dan dari sudut dalalahnya. Semua ayat Alquran itu merupakan qat’i al-tsubut. Artinya, dari segi "datangnya" ayat Qur'an itu bersifat pasti dan tidak mengalami perubahan. Tetapi, tidak semua ayat Qur'an itu mengandung qat’i al-dilalah. Qat’i al-dilalah adalah ayat yang lafaznya tidak mengandung kemungkinan untuk dilakukan penafsiran lain. Jadi, pada ayat yang berdimensi qat’i al-dilalah tidaklah mungkin diberlakukan penafsiran dan ijtihad, sehingga pada titik ini tidak mungkin ada perbedaan pendapat ulama. Sebagai contoh: Kewajiban shalat tidaklah dapat disangkal lagi. Dalilnya bersifat Qat’i, yaitu "aqimush shalat" Tidak ada ijtihad dalam kasus ini sehingga semua ulama dari semua mazhab sepakat akan kewajiban shalat.
Jadi, lebih ringkas, klasifikasinya adalah sebagai berikut:
•    Qat’i al-tsubut atau qat’i al-wurud: semua ayat Alquran dan Hadis mutawatir
•    Qat’i al-dilalah: tidak semua ayat Alquran dan tidak semua hadis mutawatir 
2. Zanni
Zanni juga terbagi dua: dari sudut datangnya dan dari sudut dalalahnya. Ayat Qur'an mengandung sejumlah ayat yang lafaznya membuka peluang adanya beragam penafsiran. Contoh dalam soal menyentuh wanita ajnabiyah dalam keadaan wudhu', kata "aw lamastumun nisa" dalam Alquran terbuka untuk ditafsirkan. Begitu pula lafaz "quru" (QS 2:228) terbuka untuk ditafsirkan. Ini yang dinamakan zanni al-dilalah. Dari segi wurudnya, semua ayat Alquran qat’i, bukan zanni.

E. Kemungkinan Pergeseran dalam Kategorisasi dan Pengaruhnya Terhadap Penafsiran Alquran
Dalam pandangan Syatibi, jarang sekali dalil-dalil syara’-bila dilihat secara berdiri sendiri (ahad)-yang  qat’i. Pandangan ini didasarkan kepada prinsip bahwa bila dalil-dalil syara’ itu ahad tentu ia tidak qat’i, melainkan bersifat  zanni. Penentuannya sangat bergantung kepada naql al-lughah dan pendapat-pendapat ahli nahwu . Syatibi bukan berarti menolak adanya ayat-ayat  qat’i dalam Alquran, tetapi ia sesungguhnya ingin menyatakan bahwa untuk sampai pada pengertian qat’i dalalah sebagai istilah yang populer dipakai mengalami suatu proses sehingga suatu hukum yang diangkat dari ayat-ayat itu pada akhirnya disebut  qat’i dalalah. Menurutnya, kepastian makna (qat’i dalalah) suatu nash berasal dari sekumpulan dalil zanni (ahad) yang semuanya mengandung kemungkinan makna yang sama sehingga satu sama lain saling mendukung dan memiliki kekuatan tersendiri.
Kekuatan dari himpunan dalil ini membuatnya tidak bersifat  zanni lagi. Ia menjadi semacam mutawatir maknawi. Inilah yang kemudian dinamakan  dalil-dalilqat’i dalalah .Sehubungan dengan itu, Syatibi mengemukakan contoh mengenai perintah sholat. Apabila perintah sholat dipahami hanya dari firman Allah yang potongannya berbunyi aqimu al-sholah, maka ia akan bersifat  dalil-dalil zanni.
Namun, karena didukung oleh sejumlah dalil lain yang menjelaskan adanya pujian dari Allah bagi orang yang melakukan sholat, celaan dan ancaman bagi yang meninggalkannya dan perintah kepada mukallaf melakukannya dalam keadaan bagaimanapun, baik ketika sehat atau sakit, damai atau perang serta dalil-dalil lain tentang sholat. Kumpulan nash yang semakna dengan ini secara keseluruhan kemudian disepakati ulama melahirkan ketentuan secara pasti (qat’i) tentang wajib sholat.
Dari penjelasan qat’i dalalah di atas, dapat diamati dari dua sisi, yaitu pertama, suatu lafal yang menunjukkan suatu makna yang jelas. Qat’i dalalah dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai berikut dalil-dalil suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian pengertian lain secara pasti. Al-Ghazali mengemukakan pendapat yang sama dengan ini, meskipun dalam rumusan yang berbeda. Menurutnya,  qat’i dalalah adalah suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat semenjak asalnya .
Dalam ide yang sama al-Ghazali pun menyatakan bahwa qat’i merupakan suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat karen didukung oleh dalil-dalil lain.  Dengan berpegang kepada pengertian qat’i bentuk kedua ini, cukup banyak ayat-ayat qat’i terdapat dalam Alquran. Pengertian qat’i ini pula yang banyak diuraikan dalam kitab-kitab ushul fiqh. Misalnya, Wahbah Zuhaily menyatakan bahwa  dalil-dalil qat’i dalalah ialah lafal yang terdapat di dalam Alquran yang dapat dipahami dengan jelas dan mengandung makna tunggal.  Dengan maksud yang sama Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan qat’i dalalah adalah suatu lafal yang dipahami darinya satu makna tertentu dan tidak mengandung kebolehjadian takwil serta tidak mengandung kemungkinan untuk dipahami makna lain selain yang ditunjukkan lafal tersebut. 
Beberapa definisi  qat’i dalalah di atas, menggambarkan bahwa suatu ayat disebut qat’i manakala dari lafal ayat tersebut hanya dapat dipahami makna tunggal sehingga tidak mungkin dipahami darinya makna lain selain yang ditunjukkan lafal itu. Dalam hal ini takwil tidak berlaku. Di antara ayat-ayat Alquran yang termasuk dalam kategori qat’i dalalah ialah ayat-ayat yang menyangkut ushul al-syariah yang merupakan ajaran-ajaran pokok agama Islam, yaitu ibadah seperti sholat, zakat dan haji, perintah menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, menegakkan keadilan dan kewajiban mensucikan diri dari hadas.
Di samping itu termasuk dalam kelompok ayat qat’i adalah ayat yang berbicara tentang akidah, akhlak dan sebagian masalah muamalat.  Penempatan ayat-ayat itu dalam kategori qat’i dalalah dilatar belakangi pertimbangan bahwa ajaran-ajaran yang dikandung ayat tersebut termasuk pokok-pokok agama (essensial) yang bersifat tetap dan tidak bersifat berubah, karena perubahan zaman dalam kehidupan manusia. Andai kata ayat-ayat itu termasuk dalam kategori zanni yang menjadi objek ijtihad tentu akan muncul ketidakstabilan dalam agama dan sangat mungkin mengalami perubahan-perubahan.
Beberapa contoh ayat-ayat qat’i dalam Alquran diantaranya mengenai sholat, zakat, puasa, haji, waris, hudud dan kaffarat. Mengenai sholat Allah berfirman “Dirikanlah sholat dan bayarkanlah zakat”. Dalam memerintahkan haji kepada muslim Allah berfirman “merupakan kewajiban manusia kepada Allah untuk melakukan ibadah haji bagi yang memiliki kemampuan”. Mengenai perintah puasa Allah berfirman “Diwajibkan atasmu berpuasa”.
Ketiga contoh ayat  qat’i di atas, tidak dapat sekaligus dipahami dari redaksi ayatnya, melainkan didukung oleh penjelasan ayat lain dan penjelasan dari Nabi sendiri baik melalui perkataan, perbuatan maupun sekaligus gabungan antara perkataan dan perbuatan Nabi sehingga tidak mungkin terdapat kebolehjadian makna lain. 
Contoh lain tentang ayat qat’i dapat diamati dalam firman Allah tentang warisan berikut “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak”. Begitu pula ayat qat’i ditemukan pula dalam kasus hukuman zina dalam firman Allah berikut “Perempuan yang berzina dan lakilaki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”.
Ayat qat’i lain yang dapat diangkat sebagai contoh adalah kaffarat sumpah seperti dalam firman Allah berikut “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari”.
Bilangan-bilangan dalam ketiga ayat di atas, bagian waris setengah bagi suami yang meninggal istrinya dan tidak punya anak, seratus kali dera bagi orang yang melakukan zina, dan puasa tiga hari untuk kaffarat sumpah mengandung hukum yang  qat’i dan tidak bisa dipahami dengan pengertian lain dari apa yang tertulis dalam ayat tersebut.
Dilatar belakangi ayat-ayat qat’i dalalah dari sisi lafaznya sehingga tidak mengandung kebolehjadian makna lain dari apa yang dikandung oleh lafal ayat itu, maka jelas peluang ijtihad tidak dimungkinkan pada setiap ayat yang qat’i dalalah. Mempertegas ketentuan ini para ulama merumuskan suatu kaedah fikih yang berbunyi “Tidak diperkenankan melakukan ijtihad ketika sudah ada ketetapan nash”.  Nash yang dimaksud dalam kaidah tersebut adalah nash yang qat’i dalalah. Dengan kata lain, ayat-ayat yang qat’i  dalalah tidak menjadi ruang lingkup ijtihad bagi para mujtahid.
Pengembangan makna yang terdapat pada ayat qat’i dapat dilakukan pada larangan mengucapkan kata kasar kepada orang tua karena dapat menyakiti hati dan perasaan mereka. Dalam kaitan ini, Allah berfirman: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa ayat qat’i dikembalikan kepada zat lafaz ayat Alquran itu, bukan karena ketidakmampuan manusia dalam memahaminya. Bila qat’i didasarkan atas pertimbangan ketidakmampuan manusia, menempatkan Alquran sebagai kitab petunjuk yang tidak relevan dengan kemampuan manusia. Ini merupakan suatu kemustahilan karena Alquran diturunkan Allah untuk dipahami dan dilaksanakan isi petunjuknya.
Pada dasarnya, qat’i merupakan akumulasi dari pemahaman dalil-dalil yang zanni. Artinya bahwa kumpulan ayat-ayat zanni yang mempunyai tunjukan yang sama menghasilkan sebuah pemahaman yang qat’i. alat yang biasa digunakan dalam melihat ayat zanni adalah kaidah bahasa, maqasid syariah dan hadis. Kesamaan dalil pada semua alat yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat zanni menghasilkan pemahaman terhadap ayat hingga disebut qat’i.
Zanni sendiri bisa berubah dari waktu ke waktu selaras dengan konteks bahasa dan maqasid syariah. Di sinilah peluang terjadinya pergesarn makna qat’i. meskipun secara tidak langsung, berubahnya dalil-dalil zanni dapat mengakibatkan berubahnya dalil-dalil qat’i.
Selain itu, sumber utama dan dasar yang digunakan dalam menafsirkan Alquran adalah akal, artinya perbedaan pemahaman terhadap ayat-ayat zanni dapat mengakibatkan perbedaan dalam kategorisasi zanni atau qat’i.
Adanya peluang terhadap berubahnya pemahaman terhadap ayat-ayat zanni dapat berakibat kepada berubahnya penafsiran Alquran. Seperti ayat yang menggunakan lafal-lafal majaz, bisa saja oleh penafsir lain tidak dianggap sebagai majaz.


F. Penutup
Qat’i dan Zanni pada dasarnya merupakan term ilmu usul fikih. Karena itu, konsep qat’i dan zanni pada dasarnya disediakan oleh ilmu tersebut. Qat’i berarti sebuah tunjukan pemahaman yang tidak boleh/mungkin ada arti atau makna lain yang berbeda dari sebuah nash. Sedangkan zanni adalah sebuah tunjukan yang mungkin ada beberapa pemahaman terhadap sebuah nash.
Karena itu, ayat-ayat qat’i dalam Alquran bisa didifenisikan sebagai ayat yang mempunyai tunjukan yang jelas, hingga tidak mungkin ada pemahaman lain yang berbeda terhadap ayat tersebut. Sedangkan ayat zanni adalah ayat yang mempunyai tunjukan yang mungkin atau bisa menghasilkan pemahaman berbeda.
Qat’i sendiri merupakan akumulasi dari zanni. Artinya bahwa berbagai penjelasan dari ayat-ayat zanni menghasilkan sebuah pemahaman terhadap sebuah ayat menjadi qat’i. Karena itu, kemungkinan perubahan pada ayat zanni sangat berpengaruh pada ayat-ayat qat’i dalam menafsirkan Alquran.
Belum penulis temukan asal-usul lahirnya konsep qat’i dan zanni, baik tentang latar-belakang dan perumusnya dengan lengkap. Akan tetapi dapat penulis simpulkan bahwa konsep ini lahir pada masa bervariasinya paham hukum Islam yakni pada abad 2 Hijriyah, hingga dibutuhkan sebuah pembatasan di mana tidak semua ayat dapat ditafsirkan dengan berbeda. Konsep tersebut dipergunakan untuk menjaga kejelasan dan keseragaman dasar-dasar agama.

Daftar Pustaka

Abu al-‘Ainin, Abu al-‘Ainin Badran. Ushul Fiqh al-Islamy. tp., t.t.
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Kairo : Dār al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
Gazali, Muhammad. Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul. Beirut: Dar Al-Arqom bin Abi Al-Arqom, t.t.
Ibn al-Atsir. an-Nihayah, Juz. II. Mesir: Dar al-Hayah al-Kutub al-‘Araby, t.t.
Khallaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Ushul Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam 1978.
Ma’luf, Louis. al-Munjid fi al-Lugah wa al-A’lam. Beirut: Dar Masyriq, 1987.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia, 2007.
Syatibi, Abu Ishak. al-Muwafaqat. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1994.
Tawilah, Abd al-Wahhab ‘Abd al-Salām. Mengungkap Berita Besar Dalam Kitab Suci, terj. Medan: Tiga Serangkai, 2005.
Thowil, Taufiq. Ususu al-Falsafah. Kairo: Daru al-Nahdhah Al-‘Arabiah, 1979.
Zarqa. Al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am, Jil. 1. Damsyiq: Dar al-Fikr, 1968.
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Hukum Syariah. Jakarta: DV Mas Agung, 1987.

1 komentar: