Rabu, 09 Januari 2013

PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM STUDI ISLAM

PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM STUDI ISLAM

A.  Pendahuluan
Pendekatan antropologi dalam mengkaji berbagai fenomena kehidupan masyarakat telah dilakukan para pengkaji sosila budaya diwilayah Barat, dan pada gilirannya pendekatan antropologi budaya dan sosial juga telah dimanfaatkan dalam mengkaji fenomena keagamaan.
Islam sebagai ajaran dan sebagai pemikiran telah mendorong lahirnya berbagai institusi atau kelembagaan dalam lingkungan masyarakat Islam yang pada masa berikutnya setelah melalui suatu proses membentuk prilaku dan fenomena-fenomena keagamaan yang merupakan bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat.

Pendekatan antropologi budaya dan sosial dapat digunakan dalam upaya mengkaji fenomena-fenomena keagamaan tersebut dengan tujuan untuk lebih dapat memahami perilaku ummat Islam dan dalam rangka pembangunan kehidupan beragama umat Islam itu sendiri. Namun dalam penerapannya perlu menyelaraskan pendekatan antropologi ini dengan nila-nilai yang dikandung Islam.



B.  Pengertian Antropologi
Istilah Antropologi berasal dari kata anthtopos dan logis, yang berarti manusia dan ilmu, Antropologi adalah istilah yang digunakan dalam cabang keilmuan yang membicarakan manusia. 1 Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, Antropologi disebut sebagai Ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaannya pada masa lampau.2
Koentjaraningrat menyebutkan pengertian Antropologi dalam bukunya Pengantar Antropologi sebagai berikut :
Antropologi atau “Ilmu tentang manusia” adalah suatu istilah yang pada awalnya mempunyai makna yang lain, yaitu “ilmu tentang ciri-ciri tubuh manusia”. Dalam fase ke tiga perkembangan antropologi, istilah ini terutama mulai dipakai di Inggris dan Amerika dengan arti yang sama seperti etnology pada awalnya. Di Inggris, istilah antropologi kemudian malahan mendesak istilah etnology, sementara di Amerika, antropologi mendapat pengertian yang sangat luas karena meliputi bagian-bagian fisik maupun sosial dari “ilmu tentang manusia” Di Eropa Barat dan Eropa Tengah istilah antropologi hanya diartikan sebagai “ilmu tentang manusia dipandang dari ciri-ciri fisiknya”.3

Dari uraian yang disebutkan di atas dapat disebutkan bahwa Antropologi ialah Suatu Ilmu yang mempelajari tentang manusia baik dalam hal-hal yang berkaitan dengan aspek fisik yakni: warna kulit, bentuk rambut, bentuk muka, bentuk hidung, tinggi badan maupun dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosialnya.





1   Soerjono Soekanto, Sosial Suatu Pengantar, (Jakarta ; CV. Rajawali, 1982), hlm
2 Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi    Kedua (Jakarta Balai Pustaka, Cetakan Kesepuluh, 1999), hlm 50
3  Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi. (Jakarta ; Rineka Cipta. 1996), hlm ; 18

C.  Antropologi Agama
Antropologi sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri, masa perkembangannya sebagaimana disebutkan Koentjaraningrat 4 berawal dari kedatangan orang-orang Eropa ke Benua Afrika, Asia dan Antartika, sebelum abad ke 18 M, hasil perjalanan mereka menuju berbagai wilayah dengan berbagai misi perjalanan yang terdiri dari para musafir, pelaut, pendeta, penyiar agama dan pegawai pemerintah jajahan mulai dikumpulkan dalam himpunan buku besar yang memuat deskripsi adat istiadat, susunan masyarakat, bahasa dan ciri-ciri fisik berbagai warna suku bangsa. Pengetahuan tentang ciri-ciri fisik ini kemudian dikenal dengan istilah etnografi.
Pada permulaan abad ke 19, perhatian terhadap pengetahuan tentang adat istiadat susunan masyarkat dan ciri-ciri fisik masyarakat diluar bangsa Eropa menjadi sangat besar, dan pada pertengahan abad ke 19 muncul berbagai buku karangan yang berisi etnografi berdasarkan evolusi masyarakat. Dengan munculnya berbagai karangan yang mengklarifikasikan bentuk warna kehidupan diseluruh dunia pada tahun 1860 an maka lahirlah ilmu antropologi yang bersifat akademikal.
Pada fase berikutnya, pada permulaan abad ke 20, Antropologi menjadi sangat penting bagi bangsa Eropa, bagi kepentingan jajahan, dan terutama di Inggris pada fase ini antropologi menjadi ilmu praktis. Pada fase tahun 1930 an ilmu Antropologi berkembang demikian luasnya baik dalam bahan kajian maupun metodologinya.
Apabila sejarah lahirnya antropologi ini dibandingkan dengan perjalanan seorang filosof muslim yang dikenal dengan nama Al-Biruni ( 973-1048 M ), yang
4   Ibid, hlm. 1-5
telah melakukan perjalanan ke Asia Selatan,  anak benua mendampingi Sultan Mahmud Al-Faznawi, selama di India – lebih kurang 13 tahun 5 ia mempelajari bahasa Sangsekerta, budaya India, agamanya, Geografi, Matematik, Astronomi (Ilmu Falak) dan Filsafat. Dari mempelajari bahasa, budaya, filsafat, agama dan berbagai ilmu pengetahuan selama di India, Al-Biruni menulis berbagai buku, antara lain: Tarikh al-Hind, al-Jamahir fi al-Jawahir, Tahqiq ma li al-Hind min Ma’qulah, Maqbulah fi al-Aql au Marzulah.6
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya model pendekatan antropologi dengan menggunakan pengamatan terlibat (participant observation) telah ditunjukkan oleh Al-Biruni dalam mengkaji bahasa, budaya dan agama masyarakat India, kehidupan ruhani dan intelektual mereka. Namun apakah sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Eropa pada saat mempelajari budaya masyarakat jajahannya untuk kepentingan kolonialisme, demikian juga dengan Al-Biruni dalam rangka kepentingan penyebaran ajaran Islam di India?
Pada dasarnya studi Agama telah dimulai sejak masa sebelum masehi, sebagaimana diungkapkan oleh Mircea Aliade. Di era Yunani7 pra Sokrates sudah lahir catatan dan laporan mengenai kehidupan keagamaan masyarakat Yunani. Namun secara aklamatif diakui bahwa studi agama modern didirikan oleh Friedrich Max Muller (1823-1900), yang memunculkan kajian metode perbandingan terhadap

5  Ahmad Amin, Husyain, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung : Pt. Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 164
6  Al-Biruni, Al-Falsafah Hindiyah, Ma’a Maqaranah bi Falsafah Yunani wa at-Tasauf al-Islam, Abdul Halim Mahmud dan Usman Abdul Mun’im Yusuf (Ed), (Ahmad Ali Mukhaimir, T.th), hlm : 4-7
7  Norma Permata, Ahmad (Ed), Metodologi Studi Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), hlm : 46
agama-agama yang kemudian dijadikan sebagai tonggak berdirinya studi agama sebagai sebuah disiplin keilmuan modern. Tradisi yang muncul dari kajian-kajian agama Muller, memiliki arah dua sisi ; pertama, kajian terhadap data sejarah agama-agama, dan kedua, kecendrungan kearah kajian struktur atau muatan dari kehidupan keagamaan itu sendiri.
Perkembangan berbagai kajian terhadap agama-agama memunculkan berbagai persoalan, salah satunya adalah tentang defenisi agama itu sendiri. Adanya perbedaan pendapat tentang defenisi agama melahirkan munculnya perbedaan pendekatan dalam upaya mengkaji dan meneliti tentang agama, bagi kelompok yang berpandangan bahwa aktivitas atau ekspresi keagamaan dipandang sebagai bentuk-bentuk dorongan fisiko-kultural manusia, melakukan pengkajian dengan pendekatan antropologi, hal ini karena antropologi merupakan ilmu yang mengkaji bentuk-bentuk kebudayaan manusia dalam pemikiran, tindakan maupun benda-benda.8
Dalam fase perkembangannya, antropologi agama terbagi pada beberapa aliran, diantaranya, aliran fungsional, aliran struktural dan aliran historis.9 Aliran fungsional atau fungsionalisme dengan tokohnya Brosnilaw Kacper (1884-1942) berpendapat bahwa suatu aspek kebudayaan, termasuk model-model keagamaan mempunyai fungsi dalam kaitannya dengan aspek lain sebagai kesatuan, dan juga berkeyakinan bahwa institusi-institusi atau lembaga-lembaga kebudayaan dan keagamaan mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat.
8   Ibid, hlm.22 
9   Herman Beck, Metode Penelitian Agama, (Yogyakarta : Pasca Sarjana IAIN Sumatera Utara Kalijaga, 1990), hlm.65. 
Penelitian dalam aliran fungsionalis ini bersifat longitudinal, bahkan bisa bertahun-tahun.10
Aliran struktural dengan tokohnya Clauda Levi Strauss (1908-1975), tidak begitu banyak melakukan penelitian lapangan, namun ia menganjurkan adanya dislansi, yakni mengambil jarak dari objek.11
Aliran historis, dengan tokohnya E.Evans Pritchard (1902-1973), mencirikan penggunaan hermeneutic, yakni melakukan penafsiran terhadap kata-kata dan istilah-istilah bahasa bangsa yang ditelitinya, disamping watak diakronisnya. Ciri-ciri antropologi historisnya adalah :
Seperti halnya sejarah, berusaha mengerti, memahami ciri penting suatu kebudayaan dan selanjutnya menerjemahkan ciri-ciri itu kedalam kata-kata atau istilah-istilah bahasa peneliti sendiri. Berusaha menemukan struktur yang mendasari masyarakat dan kebudayaannya dengan analisis-analisis yang dinamakan analisis struktural. Struktural masyarakat dan kebudayaan ini kemudian dibandingkan dengan struktur masyarakat dan kebudayaan yang berbeda.12

 Pengejawantahan dari ketiga ciri di atas dapat dilihat dari kebiasaan Pritchard dalam kerja lapangan dengan melaksanakan Partsipant Observation dan hidup bersama-sama dengan masyarakat yang menjadi sasaran penelitian berusaha berpikir seperti berpikirnya masyarakat yang diteliti dan senantiasa menafsirkan bahasa objeknya kedalam bahasanya sendiri dengan dengan mencari kemungkinan-kemungkinan penafsiran yang paling mendekati apa yang dimaksud oleh bahasa objek. Ciri penelitian ini juga menunjukkan adanya keharusan memahami asumsi-asumsi dari
10   Ibid, hlm.66-67 
11   Ibid, hlm.70
12   Ibid, hlm.69 
masyarakat yang menjadi objek penelitian.
Penelitian agama dengan menggunakan pendekatan antropologi pada dasarnya dengan menggunakan tehnik participant observation dengan melakukan berbagai interview secara mendalam dan berulang-ulang.

D.  Pendekatan Antropologi Dalam Penelitian Agama
Pendekatan secara etimologi berarti proses, perbuatan, cara untuk mendekati. Pendekatan antropologi adalah usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti13. Pendekatan dimaksud disini adalah cara yang pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
Antropologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri memiliki ruang lingkup dan lapangan penelitian yang luas, dan paling sedikit ada lima masalah penelitian atau objek studi antropologi, yakni :
1.    Sejarah asal dan perkembangan manusia
2.    Sejarah terjadinya aneka warna makhluk manusia dari sudut ciri-ciri tubuhnya
3.    Sejarah asal, perkembangan dan penyebaran aneka warna bahasa yang diucapkan manusia
4.    Perkembangan, penyebaran dan terjadinya aneka warna kebudayaan manusia

13    Tim Penyusunan Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,  Edisi Kedua, (Jakarta : Balai Pustaka, Cetakan Kesepuluh, 1999), hlm 218 


5.    Azas-azas kebudayaan dari manusia dalam kehidupan masyarakat masa kini.14
Pendekatan antropologi dalam meneliti dan mengkaji agama dapat dipahami sebagai upaya memahami agama melalui wujud prakteknya yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian pendekatan antropologi dalam mengkaji agama berarti menggunakan cara-cara yang digunakan oleh disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah dalam upaya memahami agama. Dalam hal penggunaan pendekatan antropologi untuk mengkaji agama. Profesor Lauri Honoko dalam Ahmad Norma Permata, menyebutkan :
Antropologi budaya masih menikmati posisi yang kuat dalam studi agama ilmiah, paling tidak berkaitan dengan teknik kerja lapangannya dan metode perbandingan budaya. Sebuah persimpangan muncul misalnya dalam signifikansi antara penelitian para antropolog mengenai keselarasan agama dengan hubungan manusia dan penghuni dunia lain dan hubungan manusia dengan masyarakat. Hubungan terakhir inilah yang menjadi sentral bahasan baik antropogi sosial maupun budaya….15

Agama sebagai objek emprik, tidaklah cukup untuk mengkajinya dengan hanya menggunakan satu jenis pendekatan, hal ini karena agama memiliki lapangan yang sangat luas, ada data keagamaan, pengalaman keagamaan dan ada realitas agama. Pengkajian terhadap agama memerlukan berbagai disiplin ilmu, hal ini karena mengkaji agama berarti melakukan objektivitasi terhadap pihak lain dan juga terhadap diri sendiri, dan pada misi lain agama dipahami sebagai suatu yang sacral, suci dan agung. Menempatkan suatu yang sacral dan suci pada posisi netral dapat dianggap merusak nilai-nilai agama itu sendiri.

14    Koentjaraningrat, Op-Cit, hlm.12
15    Norma, Permata Ahmad, Op-Cit, hlm.413.
Agama sebagai objek kajian, muncul sebagai fenomena yang kompleks dan tidak mudah untuk dirumuskan, karena itu sulit ditemukan kesepakatan dikalangan pengkaji keagamaan mengenai batasan agama, dimana pangkat dan ujungnya, ia meresap kedalam setiap wilayah kehidupan manusia, sehingga kajian agama selalu berhimpun dengan kajian-kajian bidang lain, karena itu pula pengkajian terhadap agama perlu memanfaatkan bantuan berbagai disiplin ilmu lain, seperti ilmu sosiologi, psikologi, antroplogi.
Agama menjadi salah satu bagian dari kajian antropologi, karena agama sebagai fenomena kehidupan yang menyatakan diri dalam sistem sosial budaya. Sebagai bagian dari sistem sosial budaya ia merupakan suatu yang berproses, seperti penerimaan konsep ke Esa-an Tuhan dalam satu persekutuan hidup masyarakat dapat dengan mudah diterima dan pada persekutuan hidup lain mendapat berbagai hambatan. Penerimaan konsep dalam satu persekutuan hidup akan didukung oleh nilai-nilai yang melekat pada sistem budaya masyarakat yang bersangkutan, dan ia terus berproses dan akan menunjukkan dinamika dari nilai-nilai budaya itu sendiri dan pada akhirnya akan sampai pada suatu keadaan yang telah menyatu dalam sistem prilaku sosial budaya dan dari sinilah antropologi dapat menyumbangkan peranan-peranan ilmiahnya.16
Agama sebagai fenomena kehidupan yang merefleksikan diri dalam sistem sosial budaya dan dalam bentuk prilaku berpola dapat dikaji dan diteliti melalui

16    Abdullah, Taufik dan Karim, M.Rusli, (ed), Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1989), hlm 7


pendekatan antropologi dengan menggunakan partisipant observation (pengamatan terlibat). Pendekatan ini sangat ditekuni para ahli antroplogi untuk memahami prilaku yang tak dapat diukir secara kuantitatif, karena dapat digunakan untuk memahami berbagai aspek prilaku manusia beragama secara kualitatif, sebagaimana halnya keimanan, keikhlasan, keakraban, dan lain-lain konsep yang dibangun dalam kehidupan manusia beragama dapat lebih dipahami sebagai realitas sosial.17
Dalam hal ini pendekatan antropologi ini sebagaimana disebut M.Dawan Rahardjo dalam Taufik Abdullah dan M.Rusli Karim, bahwa antropologi dalam kaitan ini lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan yang sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif yang biasanya digunakan dalam pengamatan sosiologi. Penelitian antropologi adalah dengan turun ke lapangan tanpa berpijak pada dasarnya sangat abstrak, sebagaimana yang dilakukan dalam bidang ekonomi dan sosiologi dengan mempergunakan model-model matematis.18
Dalam berbagai penelitian antropologi agama sebagaimana disebut Abuddin Nata, dapat ditemukan hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan miskin pada umumnya lebih berminat pada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat messinis yang menjanjikan adanya perubahan tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan, sedangkan

17    Abdullah, Taufik dan Karim, M.Rusli (ed), Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1989), hlm : 19
18     Abdullah, Taufik dan Karim, M.Rusli (ed), Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1989), hlm : 19
orang kaya lebih cenderung mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi karena akan menguntungkan pihak orang kaya. Sebagai contoh sebagaimana disebut Robert N. Bellah tentang adanya korelasi positif antara ajaran agama Tokugawa, yakni semacam pencampuran antara agama Budha dan Sinto pada era pemerintahan Meiji dengan semangat etos kerja orang Jepang modern.19

E.  Aplikasi Pendekatan Antropologi Dalam Mengkaji Islam dan Umat Islam
Agama sebagai salah satu objek kajian antropologi, dalam Islam dikenal dengan istilah din, yang mencakup pengertian ‘Keberuntungan’. ‘Ketundukan’, ‘Kekuatan yang mengadili’ dan ‘kecendrungan alami’. Istilah ini memiliki hubungan dengan istilah lain yang memiliki akar kata yang sama yaitu : dana (kondisi memiliki hutang), karena manusia memiliki hutang yang tak terhingga kepada Penciptanya berupa keseluruhan eksistensi. Orang yang berhutang disebut dain; memiliki kewajiban untuk membayar (dayyin). Pembayaran hutang melibatkan seluruh manusia, maka diperlukan adanya ketentuan (idanah) dan penilaian terhadap yang patuh dan yang tidak disebut daynunah. Semua ketentuan di atas hanya dapat dilaksanakan dalam masyarakat yang teratur (madinah) dan memiliki pemimpin (dayyan), dengan demikian agama adalah keseluruhan proses pemberadaban manusia (maddana), yang akan menghasilkan kebudayaan (ramaddun).20

19    Abdullah, Taufik dan Karim, M.Rusli (ed), Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1989), hlm : 7
20     Al-Attas, Syed Al-Naquib, Islam and Scularism, Penerjemah : Karsidjo Djojosuwarno, (Bandung : Pustaka, 1981), hlm : 72-74
Adapun pengaplikasian antropologi dalam mengkaji Islam dan ummat Islam adalah dalam makna menggunakan pendekatan antropologi budaya dan antropologi sosial dalam mengkaji fenomena keberagaman umat Islam. Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keagamaan lewat antropologi seperti halnya mendekati dan memahami “objek” agama dari berbagai sudut pengamatan yang berbeda-beda.21
Penerapan pendekatan antropologi dalam mengkaji Islam dan umat Islam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Clifford Greezt dalam karyanya The Religion of Java. Dalam karyanya tersebut Greezt melihat adanya klarifikasi sosial dalam masyarakat muslim di Jawa, antara santri, priyayi dan abangan.22
Melalui pendekatan antropologi sebagaimana disebut Abuddin Nata, sosok agama yang berada pada dataran emperik akan dapat dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan. Antropologi berusaha mengkaji hubungan agama dengan pranata sosial yang terjadi dalam masyarakat, mengkaji hubungan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Dengan menggunakan pendekatan antropologi dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan fenomena-fenomena keagamaan ternyata tidak berdiri sendiri dan tidak pernah










21    Abdullah, M.Amin, Op-Cit, hlm.26
22    Ibid, hlm. 32
terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Inilah makna pendekatan antropologi dalam memahami fenomena-fenomena keagamaan.23
Dari berbagai uraian di atas dapat dipahami bahwa pendekatan antropologi bisa dijadikan untuk mendukung penjelasan bagaimana fenomena-fenomena keagamaan dapat terjadi dan bagaimana keterkaitannya dengan jaringan institusi dan kelembagaan sosial yang mendukung keberadaannya.

F.  Penulis dan Karya Utama Dalam Kajian Antropologi Tentang Islam
Kajian tentang Islam dengan pendekatan antropologi diantaranya adalah apa yang dilakukan oleh Clifford Greezt dalam meneliti keberadaan umat Islam di Pulau Jawa pada tahun 50-an dan penelitian ini telah dituliskan dalam buku The Religion of Java.
Greetz dalam penelitiannya memandang masyarakat Jawa di Mojokuto sebagai suatu sistem sosial, dengan kebudayaan Jawanya yang akulturatif dan agama yang sinkritik, yang terdiri atas sub kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur sosial yang berlainan, yakni: Abangan (yang intinya berpusat di pedesaan), santri, (yang intinya berpusat di tempat perdagangan atau pasar) dan priyayi (yang intinya berpusat dikota, kantor pemerintahan).

23    Nata, Abuddin, Op-Cit, hlm345-346


Pada masyarakat Mojokuto yang penduduknya sembilan puluh persen beragama Islam, sesungguhnya memiliki variasi dalam kepercayaan, nilai dan upacara yang berkaitan dengan masing-masing struktur sosial tersebut.24
Adanya perbedaan lingkup ketiga struktur sosial tersebut dan adanya latar belakang sejarah kebudayaan yang berbeda yakni masuknya peradab Hindu dan Islam di Jawa, sebagaimana disebut Greezt dalam Abuddin Nata, telah melahirkan adanya Abangan yang menunjukkan pentingnya aspek-aspek animistik, Santri yang menekankan pentingnya aspek ajaran Islam dan priyayi yang menekankan aspek-aspek Hindu.25
Penelitian yang dilakukan Greezt sebagaimana disebut Abuddin Nata adalah penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini didasarkan pada data-data yang dihimpun melalui wawancara, pengamatan, survey dan Grounded Research yakni peneliti terlibat dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya.
Dengan demikian si peneliti tidak beranjak dari suatu teori atau hipotesa tertentu, ia turun kelapangan tanpa ada pra konsepsi terhadap fenomen keagamaan yang akan diamati.26
Kajian lain tentang Islam dengan menggunakan pendekatan antropologi adalah penelitian dengan judul: Mesjid dan Bakul Keramat: Konflik dan Integrasi dalam Masyarakat Bugis Amparita, M. Atho Mudzhar dalam bukunya : Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, menyebutkan bahwa penelitian dengan judul di
24   Ibid, hlm.348 
25   Ibid
26   Ibid, hlm.349
atas adalah penelitian agama sebagai gejala sosial dengan metode grounded research. Penelitian ini mempelajari bagaimana tiga kelompok keagamaan di mana orang-orang Islam, orang-orang Towano Tolitang dan orang-orang Tolitang Benteng di desa Amparita, Sulawesi Selatan, berinteraksi satu sama lain, kadang-kadang dalam bentuk kerja sama atau bahkan integrasi.
Hasil penelitian menunjukkan terjadinya konflik antara ketiga kelompok bermula dari soal keagamaan (upacara kematian tahun 1944), kemudian bertambah intensitas dan kompleksitasnya setelah kemasukan unsur politik (masa pemberontakan DI/TII 1951 dan pemberontakan PKI 1965), kemudian berbagai pranata sosial seperti perkawinan, pendidikan agama, aturan tentang makanan dan lain-lain berfungsi melestarikan konflik tersebut.27

G.  Gagasan Islamisasi Antropologi, Signifkansi dan Konstribusi Pendekatan Antropologi Dalam Studi Islam
Pada penghujung abad ke 14 Hijrah, pemikiran-pemikiran mengenai Islamisasi pengetahuan telah berkembang di kalangan cendikiawan muslim. Hal ini dimungkinkan karena semakin disadarinya ketimpangan-ketimpangan yang merugikan akibat terpisah dan terkotak-kotaknya antar ilmu pengetahuan dengan agama, antara lain dalam perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin lama semakin canggih, ternyata makin meninggalkan nilai-nilai etis dan agama.
26    Mudzhar, M.Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 57, 228, 229

Dimaksud dengan Islamisasi pengetahuan adalah mengislamisasikan disiplin-disiplin adalah dalam makna menghasilkan buku-buku pegangan pada level universitas dengan menuangkan kembali kira-kira dua puluh buah disiplin dengan wawasan Islam.28
Islamisasi pengetahuan sesuai dengan pengertian di atas, adalah tugas yang sangat berat yang harus dihadapi intelektual muslim, karena menuang kembali berbagai khasanah ilmu pengetahuan umat manusia menurut wawasan Islam, yakni: wawasan dari kehidupan, realitas dan dunia. Menuang kembali pengetahuan seperti dikehendaki Islam berarti memberi defenisi baru, mengatur data-data, memikirkan kembali jalan pemikiran, menghubungkan data-data, mengevaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan.
Ismail Raji Al-Faruqi menyebutkan bahwa sains-sains humanitas Barat terus berbicara tentang “manusia” dan “kemanusiaan” tetapi dalam pengertiannya yang romantis, karena istilah ini berarti “manusia Barat” dan “manusia Barat”, karena itu manusia yang berkulit “kuning”, “coklat” dan “hitam” yang ada di Asia, Afrika dan Amerika Selatan sebagai manusia yang boleh dijajah, diperas dan digunakan untuk kesejahteraan manusia-manusia Barat.29



28    Al-Faruqi, Ismail Raji, Islamisasi Pengetahuan¸ Anas Mahyuddin (Penerjemah), (Bandung Pustaka, 1984), hlm. 35
29       Ibid, hlm. 92
Dalam kajian sosial budaya, konsep etnosentrisme pada hakikatnya adalah memecah belah, karena dalam setiap group atau sub-group akan selalu ditemukan ciri-ciri yang menjadi bawaan kelompok, “fakta” ini dapat memberi landasan kepada satu kelompok yang kecil untuk menyatakan dirinya sebuah etnis-etnis yang mempunyai sebuah partikularisme yang lebih kuat, dengan demikian disamping memisahkan manusia Barat dengan manusia-manusia lainnya, juga menjadikan manusia-manusia Barat saling bermusuhan dan bersaing, masing-masing memperjuangkan “kepentingan nasionalnya”, seolah-olah kepentingan nasional itulah kriteria kebaikan dan kejahatan.30
Dalam bidang antropologi, “humanitas” berarti “etnisitas”. Kemanusiaan secara logika setara dan saling dapat dipertukarkan dengan kesukubangsaan. Pada dua abad terakhir, antropologi berhasil mencambuk bangun manusia kedalam gelepar kesadaran etnosentrisme, ini dilakukan dengan memilih satu demi satu kelompok yang etnis dan kemudian menyusun sebuah ideology dan axiologi yang didasarkan pada karakteristik bawaan kelompok, bukan mencari dan menekankan apa yang dimiliki manusia secara universal, ia mencari, membesar-besarkan bahkan mengembangkan sifat khas suatu kelompok etnis.31 Apa sebenarnya yang menjadi tujuan dari Greetz meneliti masyarakat Mojokuto dan menyimpulkan adanya tiga kelompok Islam dalam masyarakat Jawa?



30    Etnosentrisme adalah sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaan sendiri, yang biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan lain (Lihat : Tim Penyusun Kamus, Op-Cit, hlm. 271).
31   Al-Faruqi, Op-Cit, hlm. 93.
Apabila ditelusuri kembali peran yang dimainkan antropologi budaya dan sosial dalam mengkaji fenomena-fenomena yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat yang sedikit banyaknya memiliki keterkaitan dengan kepercayaan-kepercayaan dan institusi-institusi yang ada dalam masyarakat, maka peran pendekatan antropologi paling tidak memberi kontribusi dan bermanfaat untuk :
1.    Memahami fenomena keagamaan yang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari umat Islam
2.    Pemahaman yang tepat tentang ajaran agama dapat membangkitkan reaktualisasi ajaran-ajaran Islam
3.    Untuk dapat lebih memfungsikan peran agama dalam pembangunan secara nasional.
Disamping itu hasil penelitian dengan pendekatan antropologi ini, akan dapat membantu upaya pengembangan kehidupan beragama dan sekaligus membantu perencanaan pembangunan kehidupan beragama umat Islam.








DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik dan Karim, M.Rusli, (ed), Metodologi Penelitian Agama,    Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1989.

Ahmad Amin, Husyain, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Bandung : Pt. Remaja Rosdakarya, 2001.

Al-Biruni, Al-Falsafah Hindiyah Ma’a Maqaramah bi Falsafah Yunani wa at-Tasyauf al-Islam, Abdul Halim Mahmud dan Usman Abdul Mun’im Yusuf (Ed), Ahmad Ali Mukhaimir, T.th.

Al-Attas, Syed Al-Naquib, Islam and Scularism, Penerjemah : Karsidjo Djojosuworno, Bandung : Pustaka, 1981.

Al-Faruqi, Ismail Raji, Islamisasi Pengetahuan¸ Anas Mahyuddin Penerjemah, Bandung Pustaka, 1984.

Herman Beck, Metode Penelitian Agama, Yogyakarta : Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1990.

Mudzhar, M.Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001.

Norma Permata, Ahmad (Ed), Metodologi Studi Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000.

Soerjono Soekanto, Sosial Suatu Pengantar, Jakarta ; CV. Rajawali, 1982.
Tim Penyusunan Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,  Edisi Kedua, Jakarta : Balai Pustaka, Cetakan Kesepuluh, 1999. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar