Rabu, 09 Januari 2013

AL-FARABI DAN IBNU SINA : FILSAFAT EMANASI DAN JIWA

AL-FARABI DAN IBNU SINA : FILSAFAT EMANASI DAN JIWA

A.    PENDAHULUAN
Bermula dari pemikiran Filsafat Yunani yang diwarisi oleh Plato dan Aristoteles yang memberikan perhatian kepada jiwa lebih banyak daripada perhatian kepada badan. Sebab, menurut pandangan kedua filosof ini, hakekat manusia pada dasarnya adalah hewan yang berfikir dan berakal, dan yang membedakan manusia dengan hewan adalah bagian dari jiwa ini, yakni pikiran dan akal. Atas dasar ini pula, dalam filsafat manusia, manusia digolongkan dalam dua kelompok, yaitu orang-orang khusus (al-khashah) dan orang-orang kebanyakan (al-ammah). Orang-orang khusus ialah mereka yang mengasah akal dengan ilmu-ilmu teoritis, bukan dengan kepandaian-kepandaian praktis.

Atas dasar pemikiran filsafat itu, maka timbul pertanyaan klasik, Apakah manusia itu bisa dikatakan sebagai hewan yang berfikir ? Ternyata, Aristoteles adalah filosof Yunani yang berpandangan demikian, jika kita memahami pandangannya bahwa menurut tingkatan benda-benda yang hidup, jiwa itu terbagi dalam tiga bagian, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa hewan, dan jiwa yang berakal.
Nampak jelas, bahwa manusia adalah salah satu dari species yang termasuk dalam genus yang disebut hewan itu. Sebaliknya, Plato berpendapat lain, yang membagi jiwa manusia kedalam tiga bagian, yaitu keinginan (al-syahwah), emosi (al-ghadhab), dan berfikir (al-ta’aqqul). Akal menguasai keinginan nafsu dan emosi, sehingga dengan demikian tercapailah keutamaan yang pokok bagi manusia.
Dalam makalah kali ini, penulis ingin membahas beberapa pemikiran filosof Muslim, seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina tentang : Filsafat Emanasi dan Jiwa dalam hubungannya dengan konsep jiwa yang dibawa oleh Aristoteles dan Plato. Sebab, kehadiran pemikiran muslim awal tidak terlepas dari pengaruh filsafat Yunani. Sudah barang tentu, teori emanasi secara langsung akan terbahas pula dalam teori atau filsafat jiwa.
 AL-FARABI (874 M – 950 M / 260 H – 339 H )
Nama sebenarnya Abu Nasr Muhammad Ibnu Muhammad  Ibnu Tarkhan Ibnu Uzlaq Al Farabi . Beliau lahir pada tahun 874M (260H) di Transoxia yang terletak dalam Wilayah Wasij di Turki. Bapanya merupakan seorang anggota tentera yang miskin tetapi semua itu tidak menghalangnya daripada mendapat pendidikan di Baghdad.
Beliau telah mempelajari bahasa Arab di bawah pimpinan Ali Abu Bakr Muhammad ibn al-Sariy.
Al-Farabi terdidik dengan sifat qanaah menjadikan beliau seorang yang amat sederhana, tidak gilakan harta dan cintakan dunia. Beliau lebih menumpukan perhatian untuk mencari ilmu daripada mendapatkan kekayaan duniawi. Sebab itulah Al-Farabi hidup dalam keadaan yang miskin sehingga beliau menghembuskan nafas yang terakhir pada tahun 950M (339H).
Walaupun Al-Farabi merupakan seorang yang zuhud tetapi beliau bukan seorang ahli sufi. Beliau merupakan seorang ilmuwan yang cukup terkenal pada zamannya. Dia berkemampuan menguasai pelbagai bahasa.
Kemampuan Al-Farabi bukan sekadar itu, malah beliau juga memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam dalam bidang perubatan, sains, matematik, dan sejarah. Namun, keterampilannya sebagai seorang ilmuwan yang terulung lebih dalam bidang falsafah. Bahkan kehebatannya dalam bidang ini mengatasi ahli falsafah Islam yang lain seperti Al-Kindi dan Ibnu Rusyd.
Al-Farabi banyak mengkaji mengenai falsafah dan teori Socrates, Plato, dan Aristotle dalam usahanya untuk menghasilkan teori serta konsep mengenai kebahagiaan. Maka tidak hairanlah, Al-Farabi dikenali sebagai orang yang paling memahami falsafah Aristotle. Dia juga merupakan seorang yang terawal menulis mengenai ilmu logik Yunani secara teratur dalam bahasa Arab.
Meskipun pemikiran falsafahnya banyak dipengaruhi oleh falsafah Yunani tetapi beliau menentang pendapat Plato yang menganjurkan konsep pemisahan dalam kehidupan manusia.
Menurut Al-Farabi, seorang ahli falsafah tidak seharusnya memisahkan dirinya daripada sains dan politlk. Sebaliknya perlu menguasai kedua-duanya untuk menjadi seorang ahli falsafah yang sempurna.
Tanpa sains, seorang ahli falsafah tidak mempunyai cukup peralatan untuk diekspolitasikan untuk kepentingan orang lain. Justeru, seorang ahli falsafah yang tulen tidak akan merasai sebarang perbezaan di antaranya dengan pemerintah yang tertinggi kerana keduanya merupakan komponen yang saling lengkap melengkapi. Dalam hal ini beliau mencadangkan agar diwujudkan sebuah negara kebajikan yang diketuai oleh ahli falsafah.

FILSAFAT EMANASI DAN JIWA
Al-Farabi menyatukan ajaran Aristoteles dan Plato, kemudian dari masing-masing pendapat diambil sesuai dengan pemikirannya. Al-Farabi mampu mengemukakan konsepsi bahwa Allah itu ialah Yang Ada (Al-maujud) dan Yang Esa (al-wahid) dalam waktu yang sama. Yang Ada adalah suatu bentuk sifat dalam konsepsi Yunani yang merupakan inti dari filsafat Aristoteles; sedangkan Yang Esa adalah titik sentral filsafat Plotinus. Oleh karena itulah, al-farabi memahami filsafat sebagai ilmu tentang segala yang maujud sebagai maujud, mengikuti definisi Aristoteles.
Dalam penciptaan alam menurut Al-farabi, Tuhan tidak mencipta alam, akan tetapi sebagai penggerak pertama dari segala yang ada. Singkatnya, Tuhan mencipta sesuatu dari yang sudah ada dengan cara pancaran atau Emanasi. Maka, dunia ini bersifat azali tanpa permulaan dan bukan ciptaan. Ini terjadi karena proses emanasi
Dalam filsafat emanasi, al-Farabi mengatakan kalau Tuhan Pencipta alam semesta berhubungan langsung dengan ciptaannya, yang tak dapat dihitung banyaknya itu di dalam diri Tuhan terdapat arti banyak, zat yang di dalam diriNya terdapat arti banyak, tidaklah sebenarnya esa. Yang Maha Esa, agar menjadi esa, hanya berhubungan dengan yang esa
Yang Maha Esa berfikir tentang diriNya yang Esa, dan pemikiran merupakan daya atau energi. Karena pemikiran Tuhan tentang diriNya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang diriNya itu adalah Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa.
Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti banyak.
-    Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya sendiri.
-    Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama.
-    Akal II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam dan Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri dan menghasilkan planet-planet. Dengan demikian diperolehlah gambaran berikut:
-    Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus.
-    Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter.
-    Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars.
-    Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.
-    Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus.
-    Ak al VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri.
-    Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.
-    Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan Akal sejenisnya dan hanya menghasilkan bumi, roh-roh dan materi pertama menjadi dasar keempat unsur pokok : air, udara, api dan tanah.
Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui di zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan diurusnya .
Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang diwujudkannya. Akal dalam pendapat filsuf Islam adalah malaikat. Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam filsafat emanasi al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang banyak ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui Akal II, Akal II melalui Akal III dan demikianlah seterusnya sampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X.
Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi melalui Akal atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat arti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapat al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf Islam yang menganut paham emanasi.
Alam dalam filsafat Islam diciptakan bukan dari tiada atau nihil, tetapi dari materi asal yaitu api, udara, air dan tanah. Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakan sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada. Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan pemikiran Tuhan.
Karena Tuhan befikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula, apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim, dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari sinilah timbul pengertian alam qadim, yang dikritik al-Ghazali.
Adapun masalah ketuhanan, Al-Farabi menggunakan pemikiran aristotelis dan neo-platonisme, yakni Al Maujud Al Awwal sebagai sebab pertama bagi yang ada. Konsep ini tidak bertentangan dengan keesaan dalam ajaran Islam, dalam pembuktian dengan adanya tuhan, Al-Farabi mengenukakan dalil wajib Al Wujud dan mukmin Al Wujud. Menurutnya, segala yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada al ternatif yang ke tiga.
    Wajib al wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak. Ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia ada wujud yang sempurna selamanya dan tidak di dahului oleh tiada, jika wujud ini tidak ada, maka akan timbul kemustahilan, karena wujud lain untuk adanya tergantung kepadanya.
    Tentang sifat tuhan Al-Farabi sejalan dengan faham Mu’tazilah, yakni sifat tuhan tiada berbeda dengan subtansi-Nya. Orang beleh saja menyebut asmaul husna sebanyak yang diketahui, tetapi nama tersebut tidak menunjukkan adanya bagian-bagian pada zat tuhan atau sifat-sifat yang berbeda dari zat Nya. Bagi Al Farabi Tuhan adalah Aqal murni.
    Tentang penciptaan alam, Al-Farabi menggunakan teori neo-platonisme-monistik tentang emanasi. Filsafat yunani, seperti halnya Aristoteles, menganggap bahwa tuhan bukanlah penciptaan alam, melainkan penggerak pertama (prima causa) sedangkan dalam doktrin Mutakallimin, tuhan adalah pencipta (shani’, agent) yang menciptakan dari tiada menjadi ada sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Tuhan menciptakan  alam semenjak azali dengan materi alam berasal dari energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baru. Karena itu, menurut filsuf Kun tuhan yang termaktub dalam al qur’an ditujukan kepada syai’ bukan kepada la syai’


KONSEP JIWA
Adapun tentang jiwa, Al-Farabi juga di pengaruhi oleh filsafat plato, Aristoteles dan Plotinus. Jiwa bersifat rohani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan jiwa tidak berpindah-pindah dari satu badan kebadan lain.
    Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa khalidah dan jiwa fana. Jiwa khalidah adalah jiwa yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani, jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan, sedangkan jika fana adalah jiwa tidak mencapai kesempurnaan karena belum dapat melepaskan diri dari ikatan materi, ia akan hancur dengan hancurnya badan


B.    IBNU SINA ( 980 M – 1037 M / 370 H – 428 H )

Dunia Islam memanggilnya dengan nama Ibnu Sina. Namun di kalangan orang-orang Barat, ia dikenal dengan panggil an Avicenna . Ia merupakan seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter pada abad ke-10. Selain itu, Ia juga dikenal sebagai seorang penulis yang produktif, dan sebagian besar karyanya adalah tentang filsafat dan pengobatan.
Ibnu Sina termasuk diantara filosof Arab yang termasyhur di Barat , yang disebut juga Aristoteles baru. Kebesarannya sebagai tokoh filsafat pada masanya, terbukti ketika Al Ghazali melancarkan serangan terhadap kaum filosof. Al Ghazali tidak menemukannya tokoh filsafat dihadapannya sekalipun Inbu Sina . Dia juga mengembangkan filsafat yang sudah dimulai Al Farabi.
Ibnu Sina lahir pada tahun 370 H/ 980 M di Afsyanah, sebuah kota kecil di wilayah Uzbekistan saat ini. Ayahnya yang berasal dari Balkh Khorasan adalah seorang pegawai tinggi pada masa Dinasti Samaniah (204-395 H/819-1005 M).
Sejak kecil, Ibnu Sina sudah menunjukkan kepandaian yang luar biasa. Di usia 5 tahun, ia telah belajar menghafal Alquran. Selain menghafal Alquran, ia juga belajar mengenai ilmu-ilmu agama. Ilmu kedokteran baru ia pelajari pada usia 16 tahun. Tidak hanya belajar mengenai teori kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada orang sakit dan melalui perhitungannya sendiri, ia juga menemukan metode-metode baru dari perawatan .
Profesinya di bidang kedokteran dimulai sejak umur 17 tahun. Kepopulerannya sebagai dokter bermula ketika ia berhasil menyembuhkan Nuh bin Mansur (976-997), salah seorang penguasa Dinasti Samaniah. Banyak tabib dan ahli yang hidup pada masa itu tidak berhasil menyembuhkan penyakit sang raja.
Sebagai penghargaan, sang raja meminta Ibnu Sina menetap di istana, paling tidak untuk sementara selama sang raja dalam proses penyembuhan. Tapi Ibnu Sina menolaknya dengan halus, sebagai gantinya ia hanya meminta izin untuk mengunjungi sebuah perpustakaan kerajaan yang kuno dan antik. Siapa sangka, dari sanalah ilmunya yang luas makin bertambah.
Ibnu Sina selain terkenal sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama dan kedokteran, ia juga ahli dalam bidang matematika, logika, fisika, geometri, astronomi, metafisika dan filosofi. Pada usia 18 tahun, Ibnu Sina memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan.
Tak hanya itu, ia juga mendalami masalah-masalah fikih dan menafsirkan ayat-ayat Alquran. Ia banyak menafsirkan ayat-ayat Alquran untuk mendukung pandangan-pandangan filsafatnya.
Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun, ayahnya meninggal. Setelah kematian ayahnya ia mulai berkelana, menyebarkan ilmu dan mencari ilmu yang baru. Tempat pertama yang menjadi tujuannya setelah hari duka itu adalah Jurjan, sebuah kota di Timur Tengah. Di sinilah ia bertemu dengan seorang sastrawan dan ulama besar Abu Raihan Al-Biruni. Ia kemudian berguru kepada Al-Biruni.
Setelah itu Ibnu Sina melanjutkan lagi perjalanannya untuk menuntut ilmu. Rayy dan Hamadan adalah kota selanjutnya, sebuah kota dimana karyanya yang spektakular Qanun fi Thib mulai ditulis. Di tempat ini pula Ibnu Sina banyak berjasa, terutama pada raja Hamadan. Seakan tak pernah lelah, ia melanjutkan lagi pengembaraannya, kali ini daerah Iran menjadi tujuannya. Di sepanjang jalan yang dilaluinya itu, banyak lahir karya-karya besar yang memberikan manfaat besar pada dunia ilmu kedokteran khususnya.
Tentu tak berlebihan bila Ibnu Sina mendapat julukan Bapak Kedokteran Dunia. Karena perkembangan dunia kedokteran awal tidak bisa terlepas dari nama besar Ibnu Sina. Ia juga banyak menyumbangkan karya-karya asli dalam dunia kedokteran. Dalam Qanun fi Thib misalnya, ia menulis ensiklopedia dengan jumlah jutaan item tentang pengobatan dan obat-obatan. Ia juga orang yang memperkenalkan penyembuhan secara sistematis, dan ini dijadikan rujukan selama tujuh abad lamanya.
Ia adalah orang yang pertama kali merumuskan, bahwa kesehatan fisik dan kesehatan jiwa berada kaitan dan saling mendukung. Lebih khusus lagi, ia mengenalkan dunia kedokteran pada ilmu yang sekarang diberi nama pathology dan farmasi, yang menjadi bagian penting dari ilmu kedokteran. Selain The Canon of Medicine, ada satu lagi kitab karya Ibnu Sina yang tak kalah dahsyatnya. Asy-Syifa, begitu judul kitab karya Ibnu Sina ini.
Sebuah kitab tentang cara-cara pengobatan sekaligus obatnya. Kitab ini di dunia ilmu kedokteran menjadi semacam ensiklopedia filosofi dunia kedokteran. Dalam bahasan latin, kitab ini di kenal dengan nama Sanati.
Ibnu Sina wafat pada tahun 428 H/1037 M di kota Hamdan, Iran. Beliau pergi setelah menyumbangkan banyak hal kepada khazanah keilmuan umat manusia. Hampir sebelas abad sudah Ibnu Sina meninggalkan kita, tapi ilmu dan karyanya sampai sekarang masih berguna.

MENDAPAT BANYAK GELAR
Kebesaran nama Ibnu Sina terlihat dari beberapa gelar yang diberikan orang kepadanya. Di bidang filsafat ia mendapat gelar asy-Syaikh ar-Rais (Guru Para Raja)  . Dalam bidang filsafat, ia memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya mempengaruhi pandangan filsafatnya.



FILSAFAT EMANASI DAN JIWA
Al-Farabi orang Turki, dan Ibnu Sina adalah orang Parsi, suatu hal yang menunjukkan ciri modalnya kebudayaan Islam. Tujuan yang ingin dicapai dalam filsafatnya adalah mengenal hakekat-hakekat dari segala sesuatu dalam kadar yang mungkin dapat dicapai manusia. Baik para ahli pikir dan argumentasi maupun para ahli yang menggunakan cara intuisi (kaum Sufi) sama-sama dapat memperoleh hakekat yang tinggi. Puncak dari semua hakekat adalah mengenal Allah. Cara yang ditempuh ahli pikir adalah melalui logika, seperti yang dilakukan dalam hal mengisbatkan bahwa Allah adalah Wujud Wajib, sedangkan para ahli intuisi, yaitu jalan yang ditempuh oleh para Sufi, seperti : ” apabila iradah dan latihan kerohanian (riadhah) itu telah mencapai batas tertentu, datanglah kilasan-kilasan dan nur Al-Hak yang memberikan kelezatan, seakan-akan hal itu adalah kilasan-kilasan kilat yang memancar kepadanya kemudian menghilang “.
Menurut Ibn Thufail, dalam mengomentari pembicaraan ini, bahwa pengalaman-pengalaman kerohanian yang dituangkannya ini maksudnya ialah pengalaman-pengalaman yang dicapai melalui intuisi, bukan yang diperoleh melalui pengetahuan intelektual yang dicapai dengan silogisme, menyusun premis-premis dan mengambil kesimpulan-kesimpulan. Inilah yang membedakan para filosof di bagian Barat dunia Islam lebih cenderung kepada pemikiran intelektual daripada kepada pengetahuan intuitif.
Ibn Sina meninggalkan beberapa Syair yang mengungkapkan filsafatnya. Syair yang paling terkenal adalah syair mengenai jiwa (nafs) yang pembukaannya, antara lain berbunyi :Ia turun kepadamu dari tempat yang tinggi, Sangat halus, tetapi manja dan sulit.
Syair itu mengisyaratkan bahwa jiwa itu lain dari badan, dan adalah abadi ; ia mendiami badan ” untuk dapat mendengar apa yang belum didengarnya “; ” dan akan kembali membawa pengetahuan tentang semua yang tersembunyi “. Setelah ia menggunakan teori baru bahwa secara rasional semua yang maujud menjadi ” wujud wajib, wujud mungkin, dan wujud tidak mungkin (mustahil), maka ia membuktikan adanya Allah, bahwa Allah adalah wujud wajib. Alam semesta dengan seluruh bagiannya, dari wujud wajib sampai kealam elemen-elemen dan substansi pertama (hayuli). Pandangannya ini membuktikan bahwa Ibnu Sina telah menyatukan pendapat Aristoteles dan Plato .

Teori Jiwa dan Emanasi
Dari beberapa contoh pemikiran di atas, nampak jelas bahwa para filosof Muslim telah mewarisi dari orang Yunani dua teori mengenai Tuhan :
Pertama, teori Aristoteles, bahwa Tuhan adalah ” Penggerak yang tidak bergerak “, yakni sebab pertama dari gerak alam. Berkaitan dengan teori ini, Tuhan itu adalah ” maujud “, karena, metafisika Aristoteles adalah metafisika wujud, yaitu bahwa pembahasan tentang yang maujud sebagai yang maujud; maujud yang paling mulia adalah Maujud Mutlak : Allah. Menurut Aristoteles, Tuhan adalah maujud, tetapi sifat ini tidak termasuk dalam Asma al-husna yang tersebut dalam Al-Quran.
Kedua, yaitu teori Plotinus dan Neoplatonisme, yang memandang Tuhan sebagai Yang Esa (al-wahid) dan dari Yang Esa itu mengalir Akal Pertama (Nous), kemudian Jiwa Universal (Soul), lalu Alam Benda (Matters). Yang Esa (al-Wahid) dan Yang pertama (al-Awwal) termasuk asma al-husna.
Dalam teori Aristoteles, alam adalah kadim, sehingga akibatnya penciptaan (dari tidak ada) itu dinapikan; Tuhan hanya menggerakkan alam sebagai penggerak pertama saja. Ia adalah Penggerak Yang Tidak Bergerak. Sedangkan teori Plotinus adalah teori emanasi, yang memandang bahwa alam semesta terbit dengan sendirinya dari Tuhan, seperti cahaya terbit dari matahari, atau seperti air terbit dari mata air. Dengan demikian, Tuhan tidak berperan sebagai pecipta.
Ajaran Islam memisahkan antara Allah dan alam, dan pada dasarnya adalah teori creation ex nihilo, yakni bahwa alam pada mulanya tidak ada, kemudian ada dengan perintah Allah. Oleh karena itu, semua ulama berpendapat sama bahwa Allah adalah Pencipta. Dilingkungan para filosof Muslim, khususnya Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina mempunyai pendapat yang berbeda.
Ibnu Sina menyebut Allah ” Yang Wajib “, sedangkan Al-Farabi memilih sebutan ” Yang Pertama “. Oleh karena itu, sama halnya dengan Al-Kindi, Al-Farabi berpendapat bahwa alam ini adalah ” baharu “. Keduanya pun menyetujui teori emanasi Neoplatonisme tentang kejadian alam dan hubungan Khalik dengan makhluk. Dalam prinsip Aristoteles, Tuhan itu adalah Akal yang Berpikir, yang dinamakan Al-Farabi dengan sebutan Akal Murni.
Prinsip ini dikembangkan dengan teori emanasi Neoplatoniosme dan Plotinus. Akal murni itu esa adanya, dalam arti bahwa akal itu berisi satu fikiran saja, yakni senantiasa memikirkan dirinya sendiri. Jadi, Tuhan itu adalah akal yang aqik (berfikir) dan maqul (difikirkan). Dengasn ta’aqqul ini mulailah ciptaan Tuhan. Tatkala Tuhan memikirkan itu, timbullah suatu wujud baru atau terciptalah suatu akal baru yang dinamakan al-Farabi Al-aqlul awwal (akal pertama), begitu seterusnya sampai al-aqlul asyir (akal kesepuluh) tentang langit dan bulan.
Ibnu Sina dalam teori emanasinya (nadhariatul-faidl) mengadakan sintesis antara teori filsafat dengan teori ilmu kalam. Misalnya, teori Aristoteles yang berpendapat bahwa alam dunia adalah azali dan tidak ada dalil akal yang dapat membuktikan bahwa dunia kita ini ada permulaannya. Alam dunia dianggap abadi dan tidak akan binasa. Sebaliknya, menurut Islam, alam ini adalah baharu, fana, dan akan binasa. Oleh karena itu, Ibnu Sina berpendapat, bahwa terjadinya alam ini adalah dengan cara melimpah, seperti melimpahnya cahaya dari matahari atau melimpahnya panas dari api, hal mana sudah menjadi tabi’atnya. Berbeda dengan Aristoteles, Ibnu berpendapat bahwa alam ini bukan azali, tetapi didahului oleh keadaan tidak ada, yang berarti baharu. Teori emanasi yang digunakan Ibnu Sina adalah proses kejadian alam itu.
Menurut Ibnu Sina, alam semesta (selain Tuhan) sepenuhnya terdiri dari pelbagai peristiwa yang ditentukan dan dipastikan. Hanya Tuhan sajalah satu-satunya Zat yang tidak diakibatkan oleh sesuatu di luar diri-Nya. Tuhan adalah sebab pertama yang dari serangkaian sebab-akibat yang membentuk struktur realitas. Akan tetapi menurutnya, pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan ipso facto tentang segala sesuatu di luar diri-Nya, dan dengan mengetahui diri-Nya maka tidak pelak lagi mengetahui segala maujud di luar diri-Nya.
Bagi Ibnu Sina, Tuhan hanya tahu terhadap esensi-esensi (universal-universal), bukan pada maujud-maujud khusus karena yang khusus secara pasti diketahui secara inderawi.
Dalam teori emanasi, Ibn Sina berpendapat bahwa alam diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan ada bukan adanya alam dari ketidakadaan. Dengan kata lain dipahami bahwa alam ini adalah diciptakan. Seandainya alam diciptakan dari kondisi tidak ada maka maksud untuk mengatakan alam ini diciptakan tidak akan memenuhi syarat-syarat logika. Sesuatu ada secara logika haruslah berdasarkan kepada yang sudah ada. Empat aspek yang menjadi implikasi dari konsep penciptaan alam secara emanasi yang dikemukakan oleh filosof muslim, dalam hal ini khususnya Ibn Sina dan al Farabi menjadi sasaran kritik al Ghazali.
Bagi al Hujjat al Islam ini teori emanansinya Ibn Sina membawa implikasi kepada: Qadim-nya alam, menghilangkan kesan Tuhan sebagai pencipta, menempatkan Tuhan lebih rendah dari makhluk-Nya dan teori emanasi ini akan membawa kepada paham panteisme.
Qadim menurut penulis maqasid al falsifah ini diartikan ada sejak zaman tak bermula, bisa mengandung arti tidak diciptakan. Kalau alam tidak diciptakan, seperti pandangan kaum filosof, maka bisa berarti alam sendiri adalah pencipta. Bagi al Ghazali, Pencipta adalah sesuatu yang berasal dari tidak ada kemudian menjadi ada. Sedangkan bagi filosof, penciptaan bagi mereka hanya sebatas perubahan dari satu bentuk kepada bentuk lain.
Hal ini berakibat, menurut al Ghazali, filsafat Aristotelian yang dikembangkan oleh al Farabi dan Ibn Sina terbagi ketiga kelompok. Pertama, filsafatnya yang tidak perlu disangkal dengan arti dapat diterima, kedua, filsafatnya yang harus dipandang bid’ah (heterodoksi) dan ketiga filsafatnya yang harus dipandang kafir. Dalam bidang ketuhanan, tertulis dalam Tahafut al Falasifah, al Ghazali memandang para filosof ahli bid’ah dan kafir. Jelaslah bahwa teori emanasi Ibnu Sina mengikuti dan mengambil bahan-bahan dari teori Al-Farabi dan Neoplatonisme.
Ibnu Sina mengatakan bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi, ketika Allah wujud (bukan dari tiada) sebagai akal (‘aql) langsung memikirkan terhadap zat-Nya yang menjadi objek pemikiran-Nya, maka memancarlah Akal Pertama. Dari Akal Pertama ini memancarlah Akal Kedua, Jiwa Pertama, dan Langit Pertama. Demikianlah seterusnya sampai Akal Kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya, dan hanya menghasilkan Jiwa Kesepuluh, bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok: air, udara, api dan tanah.
Akal Pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian Ibnu Sina membagi objek pemikiran akal-akal menjadi tiga: Allah (Wajib al-wujud li dzatihi), dirinya akal-akal (wajib al-wujud li maghairihi) sebagai pancaran dari Allah,dan dirinya akal-akal (mumkin al-wujud) ditinjau dari hakikat dirinya.
-    Akal I (wajib al-wujud) menghasilkan Akal II dan Langit Pertama.
-    Akal II (mumkin al-wujud) menghasilkan Akal III dan bitang-bintang.
-    Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus.
-    Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter.
-    Akal V meghasilkan Akal VI dan Mars.
-    Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.
-    Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus.
-    Akal VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri.
-    Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.
-    Akal X menghasilkan Bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar darikeempat unsur (udara, api, air, dan tanah).
Emanasi Ibnu Sina juga menghasilkan sepuluh akal dan sembilan planet. Sembilan akal mengurusi sembilan planet dan Akal Kesepuluh mengurus bumi. Berbeda dengan al-Farabi, bagi Ibnu Sina masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal (imateri) tidak bisa langsung menggerakkan planet yang bersifat materi. Akal-akal adalah para malaikat, Akal Pertama adalah Malaikat Tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah Malaikat Jibril yang bertugas mengatur bumi dan isinya.
Akal manusia, meski tanpa bantuan wahyu, dapat tiba pada pengetahuan tentang Tuhan. Karena akal manusia merupakan bagian dari ‘akal ilahi’, maka orang yang mempunyai tingkat intelektual yang tinggi atau cerdas meniscayakan penemuan Tuhan melalui akalnya. Sepadan dengan ini, kebuntuan Einstein ketika menguraikan problematika fisik yang dianggap abstrak karena terus dia uraikan, berakhir dengan keyakinannya bahwa Tuhan itu memang ada.
Emanasi akal ini menjelaskan dua mata koin perhubungan; Tuhan dan manusia. Ilmu sejati, adalah ilmu yang mencari pengetahuan mengenai esensi segala hal yang berkaitan dengan asal-usul ilahiahnya. Mencari ilmu sama artinya dengan mencari Tuhan, terutama pada manusia sebagai ciptaan paling sempurna Konklusi ilmiah yang bersifat nisbi berurat akar pada kecerdasan intelektual .
Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi melalui Akal atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat arti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapat al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf Islam yang menganut paham emanasi.

Konsep Jiwa
Sedangkan tentang konsep jiwa, pada umumnya para filosof Muslim mengikuti aliran Aristoteles dalam hal jiwa manusia, yaitu berupa daya makan, daya indra, dan daya pikir, yang berbeda dengan Plato, bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu keinginan, emosi dan berfikir; akal menguasai keinginan nafsu dan emosi, sehingga dengan demikian tercapailah keutamaan yang pokok bagi manusia.
Menurut Ibnu Sina, manusia terdiri dari dua unsur : badan dan jiwa; jiwa berbeda dari badan dan terpisah darinya, lebih-lebih lagi setelah mati. Jiwa itu adalah substansi rohani, dengan argumentasi ” orang terbang ” di angkasa tanpa berjejak ke bumi, orang itu tidak akan merasakan sesuatu selain dirinya. Atas dasar argumentasi ini, jiwa itu adalah substansi immaterial.
Sama dengan al-Farabi, Ibnu Sina membagi jiwa kepada tiga bagian :
1.     Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak.
2.     Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan panca indra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra dalam yang berada di otak dan terdiri dari: i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra; ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari materi; iii. Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini; iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut; v. Indra pengingat yang menyimpan arti-arti itu.
3.     Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua: a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang. b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.

Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang akal teoritis kepada alam metafisik. Dalam diri manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting diantaranya adalah jiwa berpikir manusia yang disebut akal itu Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan arti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat dalam jiwa binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia teruskan akal teoritis akan berkembang dengan baik. Akal teoritis mempunyai empat tingkatan:
1.    Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi untuk menangkap arti-arti murni.
2.    Akal bakat, yang telah mulai dapat menangkap arti-arti murni.
3.    Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak menangkap arti-arti murni.
4.     Akal perolehan yang telah sempurna kesanggupannya menangkap arti-arti murni. Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan dimiliki filsuf-filsuf. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi .

KESIMPULAN

Menurut Al-Farabi, Filosof muslim pertama yang menyesuaikan antara filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme, atau antara filsafat wujud dan filsafat Yang Esa, maka dia berpendapat bahwa Allah adalah ” Maujud Yang Pertama “. Pengertian Yang Pertama adalah dasar pertama dari semua yang maujud dan sebab pertama bagi wujudnya.
Maujud pertama itu adalah sebab pertama dari wujud semua yang maujud. Adapun Ibn Sina menempuh jalan lain. Ia mengikuti Aristoteles dalam mendefinisikan metafisika sebagai ilmu mengenai yang maujud sebagai yang maujud, maujud pertama yang merupakan wujud wajib ialah Allah.
Ibnu Sina menyebut Allah ” Yang Wajib “, sedangkan Al-Farabi memilih sebutan ” Yang Pertama “. Oleh karena itu, sama halnya dengan Al-Kindi, Al-Farabi berpendapat bahwa alam ini adalah ” baharu “. Keduanya pun menyetujui teori emanasi Neoplatonisme tentang kejadian alam dan hubungan Khalik dengan makhluk.
Dalam prinsip Aristoteles, Tuhan itu adalah Akal yang Berpikir, yang dinamakan Al-Farabi dengan sebutan Akal Murni. Prinsip ini dikembangkan dengan teori emanasi Neoplatoniosme dan Plotinus. Akal murni itu esa adanya, dalam arti bahwa akal itu berisi satu fikiran saja, yakni senantiasa memikirkan dirinya sendiri.
Jadi, Tuhan itu adalah akal yang aqik (berfikir) dan maqul (difikirkan). Dengan ta’aqqul ini mulailah ciptaan Tuhan. Tatkala Tuhan memikirkan itu, timbullah suatu wujud baru atau terciptalah suatu akal baru yang dinamakan al-Farabi Al-aqlul awwal (akal pertama), begitu seterusnya sampai al-aqlul asyir (akal kesepuluh) tentang langit dan bulan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Proyek Pembinaan Prasarana Dan
Sarana PTA,  Jakarta, 1984

AnthonyFlew, A Dictionary Of Philosophy, New York: S. Martin S Press,
1979

Ahmad Syadali, dkk, Filsafat Umum,  Bandung, Pustaka Setia, 1999

Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam – cetakan. 4 Jilid 1, Jakarta, PT. Ichtiar
Baru van Hoeve, 1997

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam islam, Jakarta, Bulan
Bintang, 1973

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1991

Ibrahim Madkour, Filsafat Islam,  Jakarta, Rajawali, 1988, terjemahan
Yudian Wahyudi, dkk

Nur Ahmad Fadhil Lubis, Pengantar Filsafat Umum, Medan, IAIN Press,
2001

Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya, 1991

Teguh Santosa, Membincangkan Filosof Dan Teolog, Suplemen Pikiran
Rakyat, Teropong, 2006

1 komentar: