Kamis, 04 Oktober 2012

TAFSIR BI AL-MA’TSUR


    Makalah
A. Pendahuluan
            Perkembangan hidup manusia mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan akal pikirannya. Hal ini jelas mempunyai pengaruh dalam pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Pada abad pertama Islam, para ulama sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan sebagian para ulama bila ditanya mengenai satu ayat, mereka tidak memberikan jawaban apapun.[1]
            Namun pada abad-abad berikutnya, sebagain besar ulama berpendapat bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an selama ia memiliki syarat-syarat tertentu seperti: pengetahuan bahasa yang mencakup Nahwu, Sharaf, Balaghah, juga Ilmu Ushuluddin, Ilmu Qira’ah, Asbab al-Nuzul, Nasikh-Mansukh, dan lain sebagainya.

            Sejarah penafsiran Al-Qur’an dimulai dengan menafsirkan ayat-ayatnya sesuai dengan hadits-hadits Rasulullah Saw., atau pendapat para sahabat. Penafsiran demikian terus berkembang sehingga dengan tidak disadari telah bercampur dengan hal-hal yang berbau Israiliyat (kisah-kisah yang bersumber dari ahli kitab yang umumnya tidak sejalan dengan kesucian agama atau pemikiran yang sehat). Hal ini mengakibatkan sebagian ulama menolak penafsiran yang menggambarkan pendapat-pendapat penulisnya atau menyatukan pendapat-pendapat tersebut dengan hadits-hadits atau pendapat-pendapat para sahabat yang dianggap benar.
1
 
Demikianlah hingga kemudian muncul beraneka corak tafsir, ada yang berdasarkan nalar penulisnya saja, ada pula berdasarkan riwayat-riwayat, ada pula yang menyatukan antara keduanya. Persoalan yang dibahaspun bermacam-macam. Untuk  membatasi   bidang  kajian ini,  maka  makalah  ini  akan  membahas tentang
Tafsir bi al-Ma’tsur, yang meliputi pengertian, macam dan bentuknya, pandangan ulama tentang nilai Tafsir bi al-Ma’tsur, hubungan dan kedudukan Isra’iliyat dalam Tafsir bi al-Ma’tsur.

B. Pengertian Tafsir bi al-Ma’tsur
            Tafsir bi al-Ma’tsur menurut bahasa ‘Arab yaitu kata ‘Atsar yang berarti memindahkan berita atau yang dinukilkan/diriwayatkan, sedangkan menurut istilah seperti yang disebutkan oleh Manna Khalil adalah:[2]
هُوَالَّذِى يَعْتَمِدُ عَلَى صَحِيْحِ النُقُوْلِ بِالْمَرَاتِبِ الَّتِى ذُكِرَتْ سَابِقًافِيْ شُرُوْطِ الْمُفَسِرِ مِنَ تَفْسِرِالْقُرْاَنِ بِالْقُرْاَنِ, اَوْبِالسُّنَّةِ لأَنَّهَا جَاءَتْ مُبَيْنَةُ لِكِتَابِ اللهِ. اَوْبِمَا رُوِيَ عَنِ الصَّحَابِ لأَنَّهُمْ اَعْلَمُ النَّاسَ لِكِتَابِ اللهِ. اَوْبِمَاقَالَهُ كِبَارُ التَّابِعِيْنَ لأَنَّهُمْ تَلَقُّوْا ذَلِكَ غَالِبَا عَنِ الصَّحَابَةِ
            Artinya : “Tafsir bi al-Ma’tsur ialah tafsir yang berpegang kepada riwayat yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, atau dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan kitabullah,[3] atau dengan perkataan para sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka dari para sahabat”.
2
 
            Sedangkan menurut Muhammad ‘Ali Ash-Shabuni,  tafsir bi al-ma’tsur  ialah rangkaian keterangan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah atau kata-kata sahabat sebagai keterangan/penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan al-Sunnah. Dengan demikian tafsir bi al-Ma’tsur adalah tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Sunnah.[4]

Tafsir bi al-Ma’tsur adalah tafsir yang mencakup penjelasan terperinci dari sebuah ayat dengan ayat lain dalam Al-Qur’an (tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an), keterangan yang berasal dari Rasulullah Saw (tafsir al-Qur’an bi al-Sunnah), sahabat dan tabi’in berkenaan dengan penjelasan maksud Allah Swt yang terdapat dalam nash-nash kitab-Nya yang mulia.[5]
            Dari penjelasan di atas dapatlah dipahami bahwasanya tafsir bi al-Ma’tsur adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan ayat lain atau sunnah Rasulullah Saw. dan sebagian ulama berpendapat bahwa menjelaskan Al-Qur’an dengan perkataan para sahabat bahkan tabi’in masih termasuk tafsir bi al-Ma’tsur bahkan mereka memberi alasan karena para tabi’in langsung menerimanya dari para sahabat, dan tafsir bi al-Ma’tsur ini adalah merupakan jalan yang paling aman dari kesesatan dalam memahami Al-Qur’an.

C. Macam-macam dan Bentuknya
            Tafsir bi al-Ma’tsur merupakan penafsiran dengan menggunakan riwayat sebagai sumber pokoknya. Karena itu, tafsir ini dinamakan juga dengan tafsir bi ar-Riwayah (tafsir dengan riwayat) atau tafsir bi al-Manqul (tafsir dengan menggunakan pengutipan riwayat). Penafsiran corak ini dapat dibagi menjadi empat macam dan bentuknya yaitu:
  1. Panafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat yang lain. Ayat-ayat Al-Qur’an, menurut para ahli tafsir, saling menafsirkan antara sesamanya. Penafsiran satu ayat dengan ayat lainnya juga bermacam-macam, yaitu:
3
 
Pertama, ayat atau ayat-ayat lain menyebarkan apa yang diungkapkan pada ayat tertentu. Misalnya, kata-kata al-Muttaqin (orang-orang yang bertaqwa) dalam ayat 2 surat al-Baqarah, dijabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3, 4, 5) yang menyatakan:
الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلاة ومما رزقناهم ينفقون. والذين يؤمنون بما انزل اليك وما انزل من قبلك وبالأخرةهم يوقنون. اولئك على هدى من ربهم واولئك هم المفلحون.
Artinya: “Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka orang-orang yang beruntung”. (Q.S. Al-Baqarah : 3, 4, 5)
Kedua, ada informasi tertentu, misalnya tentang kisah Nabi Musa pada surah tertentu diungkapkan secara singkat, sementara pada surah lain secara panjang lebar. Dalam hal ini ayat-ayat yang panjang lebar menafsirkan ayat-ayat yang mengandung informasi yang lebih singkat.[6]
Ketiga, ayat-ayat yang mujmal ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mubayyan, ayat-ayat yang muthlaq ditafsirkan oleh ayat-ayat yang khas. Ringkasnya, ayat-ayat yang mengandung pengertian umum dan global ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mengandung pengertian khusus dan rinci.
Keempat, informasi yang terkandung dalam satu ayat kadang-kadang terlihat berbeda dengan informasi yang terdapat pada ayat-ayat lain. Penafsiran ayat-ayat itu dilakukan dengan mengkompromikan pengertian-pengertian tersebut.
  1. Penafsiran ayat Al-Qur’an dengan hadits Nabi Saw. Firman Allah dalam soal ‘amar ma’ruf nahi munkar:
4
 
 

والتكم منكم امة يدعون الى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون

عن المنكر واولئك هم المفلحون. (ال عمران : 104)
Artinya : “Dan hendaklah kamu suatu golongan yang menyeru kepada kebaikan dan menyuruh ma’ruf mencegah kemunkaran dan itulah mereka yang mendapat kemenangan”. (QS. Ali Imran: 104).

Sabda Nabi dalam soal tersebut sebagai berikut:
لِتَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَلِتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِا اَوِلْيَسْلُطْنَ اللهُ عَلَيْكُمْ شراركم فَيَدْعُوْا خِيَارَكُمْ فَلاَ يَسْتَجَابُ لَهُمْ
Artinya: “Hendaklah kamu menyuruh ma’ruf dan hendaklah kamu mencegah kemunkaran dan biarlah Tuhan mengeraskan atas kamu orang-orang yang jahat dari kamu, lalu berdoalah kamu orang-orang yang baik dari kamu tetapi tidak diperkenankan doanya”.[7]
  1. Penafsiran Al-Qur’an dengan pendapat sahabat
Diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur’an adalah Abu Bakar ra., Umar bin Khattab ra., Ali bin Abi Thalib ra., Abdullah bin Mas’ud ra., Ubay bin Ka’ab ra., Zaid bin Sabit ra., Abu Musa al-Asy’ari ra., Abdullah bin Zubair ra., Anas bin Malik ra., Abdullah bin Umar ra., Jabir bin Abdullah ra., Abdullah bin Amr bin Ashm ra., dan Aisyah ra. Cukup banyak riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada mereka tentu saja berbeda-beda tergantung kepada kekuatan keshahihan sanadnya.[8]
5
 
Contoh ayat yang dijelaskan dengan perkataan sahabat adalah surah al-Baqarah ayat 158:
إن الصفاوالمروة من شعائرالله فمن حج البيت أواعتمر فلا جناح عليه أن يطوفبهما ومن تطوع خيرا فإن الله شاكر عليم (158)
Artinya : “Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 158).
Mengenai ayat ini seorang kemanakan ‘Aisyah menanyakan kepadanya, maka ‘Aisyah ra. menjelaskan bahwa peniadaan dosa di sini dimaksudkan untuk penolakan terhadap keyakinan kaum muslimin bahi sa’i di antara Shafa dan Marwa termasuk perbuatan jahiliyah.[9] Sebagaimana hadis yang berbunyi sebagai berikut:
بدأبما بدأ الله الصفا. (رواه مسلم)
Artinya: Mulailah dengan apa yang dimulai oleh Allah yakni Shafa (HR. Muslim).
  1. Penafsiran ayat Al-Qur’an dengan pendapat tabi’in. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 26 sebagai berikut:
ان الله لابستحي ان يضرب مثلا مابعوضة فمافوقها. (البقرة : 26)
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. (Q.S. al-Baqarah : 26).
6
 
Menurut Hasan ‘Ibn Yahya, mengapa Allah menyebut nyamuk atau yang sebangsanya yaitu lalat dan laba-laba, kemudian orang musyrik berkata, Allah Swt

menyebut sebangsa lalat dan laba-laba, menurut ‘Ibn ‘Abbas ini adalah merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah Swt.[10]
Penafsiran ayat Al-Qur’an dengan pendapatnya para tabi’in setelah generasi para sahabat, mereka adalah orang yang mengetahui kandungan Al-Qur’an karena generasi tabi’in bergaul dengan para sahabat, pendapat mereka dipandang sangat membantu generasi selanjutnya dalam memahami Al-Qur’an. Perkembangan metode penafsiran ini dapat dibagi dua periode, yaitu periode lisan, ketika penafsiran Nabi Saw dan para sahabat disebarluaskan secara periwayatan, dan periode tulisan, ketika riwayat-riwayat yang sebelumnya tersebar secara lisan mulai dibukukan.[11]

D. Pandangan Ulama Terhadap Tafsir Bi al-Ma’tsur
            Para ulama sepakat bahwa tafsir bil-Ma’tsur, terutama tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan tafsir Al-Qur’an dengan sunnah, bisa diterima sebagai hujjah sebab tidak mengandung titik kelemahan ataupun keraguan, namun bila tafsir Al-Qur’an itu menggunakan sunnah dengan sanad, riwayat atau matan yang salah, maka tafsirannya tidak bisa diterima.
            Sedangkan tafsir Al-Qur’an dengan riwayat sahabat dan tabiin, maka para ulama tidak sepakat menerima karena didalamnya terdapat cacat dan kelemahan yang harus diperhatikan. Menurut al-Dzahabi, setidaknya ada tiga sebab masuknya cacat dan kelemahan kedalam tafsiran para sahabat dan tabiin.
  1. Banyaknya tafsiran palsu yang dinisbatkan kepada mereka.
  2. 7
     
    Masuknya Isra’iliyat.
  3. Dihapuskan sistem isnad sehingga tidak lagi diketahui dari siapa tafsiran itu diriwayatkan.[12]
Tafsir palsu terjadi antara lain adanya fanatisme golongan. Untuk memperkuat status golongannya mereka membuat tafsir Al-Qur’an yang dinisbahkan kepada Nabi melalui para sahabat dekat mereka. Golongan Syi’ah menisbatkan tafsir Al-Qur’an kepada Rasulullah melalui para imam ahlil bait, Khawarij  menisbahkannya kepada para sahabat mereka.
Tafsir yang paling banyak dipalsukan adalah tafsir Ali b. Abi Talib ra. dan Abdullah Ibnu Abbas. Dengan membuat tafsir yang dinisbatkan kepada mereka maka tafsir itu akan diterima sebagai hujjah.
Sebagai contoh adalah adanya, dua tafsir yang saling bertentangan tetapi keduanya dinisbatkan kepada Abdullah Ibnu Abbas yaitu anak (korban yang akan disembelih Ibrahim). Pada suatu riwayat anak itu adalah Ismail, tetapi anak itu adalah Ishaq.[13]
Sebaliknya bila sanad riwayat yang dipakai dalam menafsirkan Al-Qur’an tersebut bersambung kepada Rasulullah Saw, maka penafsiran itu tidak diragukan lagi kehujjahannya sama halnya dengan hadis-hadis marfu’ yang disandarkan kepada Rasulullah.
E. Kitab-kitab Tafsir bi al-Ma’tsur
            Beberapa kitab tafsir yang terkenal memakai metode bi al-Ma’tsur adalah:
  1. Jami’ul Bayan fi Tafsir al-Qur’an, karya Abu Ja’far Muhammad Jarir at-Tabari (w. 310 H/932 M).
  2. Bahr al-‘Ulum, karya Nasr b. Muhammad as-Samarqandi.
  3. 8
     
    Al-Kasyf wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an, karya Abu Ishaq al-Sa’labi.

  1. Ma’alim l-Tanzil karya Muhammad al-Husein al-Baghawi (w. 516 H/1122 M).
  2. Al-Muharrir al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz karya Abu Muhammad al-Andalusi.
  3. Tafsir al-Qur’an al-‘Azim karya Ibnu Katsir (w. 774 H/1373 M).
  4. Al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an karya Abu Zaid al-Sa’labi.
  5. Al-Dhurr al-Mansur fi al Tafsir bi al-Ma’tsur karya Jalaluddin as-Suyuti (w. 991 H/1505 M).

F. Hubungan dan Kedudukan Israiliyat dalam Tafsir bi al-Ma’tsur
            Para ulama berbeda pendapat mengenai status tafsir bi al-ma’tsur, ada yang mengatakan bisa menjadi hujjah dan ada yang tidak bisa menjadi hujjah. Ada beberapa hal yang menyebabkan tafsir bi al-Ma’tsur tidak bisa menjadi hujjah, yaitu:
  1. Adanya tafsiran palsu yang disandarkan kepada sahabat dan para tabi’in.
  2. Masuknya unsur-unsur cerita Israiliyat.
  3. Adanya Penghapusan Isnad, sehingga tidak diketahui dari siapa tafsir itu diriwayatkan.[14]
9
 
Mereka membuat tafsir Al-Qur’an yang menisbahkan kepada Nabi melalui sahabt dekat mereka, sementara golongan Syi’ah menisbahkannya Rasulullah melalui imam ahli bait. Penafsiran yang paling dipalsukan adalah terhadap ‘Ali bin Abi Thalib dan ‘Ibn ‘Abbas, karena mereka dari kalangan ahli bait, dengan menisbahkan tafsiran kepada mereka agar tafsiran tersebut dapat diterima sebagai hujjah.[15] Sedangkan masuknya cerita Israiliyat ke dalam tafsir para sahabat dan tabi’in, menurut ‘Ibn Khaldun kebanyakan dari kalangan bangsa ‘Arab, ketika mereka ingin mengetahui asal muasal kejadian rahasia alam dan lain-lain, dan mereka bertanya kepada kalangan ahli kitab, padahal pengetahuan ahli kitab hanya terbatas secara umum dan tidak diketahui secara pasti dari kitab mereka.[16]
Sedangkan dihapusnya sanad dalam tafsir Al-Qur’an menyebabkan sulitnya mencari otentitas riwayat. Hal ini terjadi pada masa tabi’in akibatnya terjadi penafsiran yang benar dan salah. Tentang tafsiran tabi’in sebagian ulama menolak untuk dijadikan hujjah sebab para tabi’in tidak mendengar langsung dari Rasulullah.[17] Contoh masuknya Israiliyat ke dalam tafsir ini adalah perbedaan pendapat tentang nama-nama Ashabul Kahfi dan warna kulit anjing mereka.[18]

G. Penutup
            Tafsir bi al-Ma’tsur merupakan usaha untuk menjelaskan Al-Qur’an bersumberkan kepada ayat-ayat lain yang berkenaan dengannya, atau kepada Hadis Rasulullah Saw., atau perkataan sahabat atau para tabi’in.
            Tafsir ini mempunyai beberapa keistimewaan seperti kesahihan penjelasannya bila dapat dibuktikan kesahihan sanad yang menghubungkannya kepada sumber asli, ketika memakai penjelasan yang bersumber dari selain Al-Qur’an  merupakan usaha untuk menjelaskan Al-Qur’an bersumberkan kepada ayat-ayat lain yang berkenaan dengannya, atau kepada Hadis Rasulullah Saw., atau perkataan sahabat atau para tabi’in.
10
 
            Tafsir ini mempunyai beberapa keistimewaan seperti kesahihan penjelasannya bila dapat dibuktikan kesahihan sanad yang menghubungkannya kepada sumber asli, ketika memakai penjelasan yang bersumber dari selain Al-Qur’an. Dalam memaparkannyapun, seorang mufassir akan terdorong untuk menjelaskan mata rantai riwayat tersebut hingga ke asalnya. Bila riwayat tersebut dapat dibuktikan berasal dari Rasul Saw., maka tidak diragukan lagi bahwa

memang seperti itulah yang diinginkan oleh ayat tersebut, karena memang salah satu fungsi hadis adalah penjelas Al-Qur’an.
            Namun meskipun demikian, ada juga beberapa kelemahan dalam tafsir bi al-Ma’tsur. Beberapa kelemahan yang sering dicermati oleh para pakar tafsir adalah masuknya Israiliyat ke dalam penjelasannya, berpeluang untuk memunculkan riwayat-riwayat palsu yang disandarkan kepada sahabat.
            Selain itu tampaknya, tafsir itu tentu saja akan bebrau klasik bila tidak dikombinasikan dengan analisa yang modern yang sehat, karena memang sumber awalnya adalah ayat Al-Qur’an dan riwayat dari Rasul hingga tabi’i.
            Tafsir bi al-Ma’tsur adalah salah satu metode penafsiran Al-Qur’an yang jikalau digunakan dengan benar tentu akan menghasilkan penjelasan dan kesimpulan yang benar.
11
 

DAFTAR PUSTAKA


‘Abdurrahman, Usul Tafsir wa Qawa’iduhu. Damaskus, Dar Nakhas, 1986.
Al-‘Arid, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akrom. Jakarta: Rajawali Press, 1992.
Al-Dzahabi, Muhammad Husein, At-Tafsir wa al-Mufassir. Kairo: Maktabah Wahbah, 2000.
Al-Farmawy, ‘Abd al-Hayy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu’i: Dirasat Muhajjiyah Maudu’iyah. t.p., 1997.
Al-Sabuni, Muhammad Ali, Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an. t.p., 1998.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
At-Tahhan, Mahmud, Tafsir Mustalah al-Hadis. Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979.
Al-Tabari, Muhammad Ibnu Jarir, Jami’ Ulama’ Bayan fi Ta’wil al-Qur’an. Beirut: dar Kutub al-Ilmiyah, 1992.
Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Riyadh: Mansurat al-Hadits, 1973.
Dzahabiy, Muhammad Husein, Al-Tafsir wa al-Mufassir. Kairo: Maktabah Wahbah, 2000.
Ensiklopedi Islam. Jilid V. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999.
Khaldun, ‘Abd al-Rahman Ibn, Muqaddimah Ibn Khaldun. Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
Shihab, M. Qurais, Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1994.
------------------------, Sejarah Ulumul Qur’an. (ed) Azyumardi Azra. Cet.II. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.


[1] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1994), h. 83.
[2] Manna al-Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Mansurat al-Hadits, 1973), h. 347.
[3] Ibid.
[4] Muhammad ‘Ali As-Shabuni, Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, (t.tp., 1998), h. 205.
[5] Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassir (Kairo: Maktabah Wahbah, 200), h. 112.
[6] Abd. Rahman al-‘Akh, ‘Ushul al-Tafsir wa Qawa’idhuhu, (Damaskus: Dar al-Nakhais, 1986), h. 115.
[7] Hasbi As-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 163.
[8] Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 472.
[9] Jalaluddin As-Syuyuti, Tafsir Jallain: Berikut ‘Asbabun Nuzul Ayat Surat al-Fatihah-Surat al-An’am, Terj. Mahyuddin Syat et.al. (Bandung: Sinar Baru, 1990), h. 83.
[10] Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jami’ al-‘Ulama al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmi, 1992), h. 214.
[11] ‘Abd al-Hayy al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i: Dirasat Muhajjiyah Maudhu’iyah (t.p., 1997), h. 20.
[12] Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassir, h. 157.
[13] ‘Abd al-Rahman Ibn Khaldun, Muqadimah Ibn Khaldun, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), h. 439.
[14] Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mafassir, h. 157.
[15] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Kairo: Syarikh al-Thiba’ah al-Faniyah, 1975), h. 203.
[16] ‘Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar la-Fikr, t.t.) h. 440.
[17] Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassir, h. 128.
[18] Manna, Mabahits, h. 349.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar