Kamis, 04 Oktober 2012

PENDEKATAN FENOMENOLOGIS DALAM STUDI ISLAM


Makalah

A. Pendahuluan
Mengkaji fenomena keagamaan berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupannya beragama. Ilmu pengetahuan social dengan caranya masing masing, atau metode, teknik, dan peralatannya, dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu,[1] sehingga dimungkinkan ditemukannya segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu, juga “makna terdalam dan substansi sejati” yang tersembunyi dibalik gejala tersebut. Hal ini sudah barang tentu berlaku juga untuk semua fenomena keberagamaan (religious phenomenon) manusia.

Dalam wacana studi agama kontemporer, fenomena keberagamaan manusia dapat dilihat dari berbagai sudut pendekatan. Ia tidak lagi hanya dapat dilihat dari sudut dan semata-mata terkait dengan normativitas ajaran wahyu meskipun fenomena ini sampai kapan pun adalah ciri khas daripada agama-agama yang  tetapi ia juga dapat dilihat dari sudut dan terkait erat dengan historisitas pemahaman dan interpretasi orang-perorang atau kelompok-perkelompok terhadap norma-norma ajaran agama yang dipeluknya, serta model-model amalan dan praktek-praktek ajaran agama yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Pada umumnya, normativitas ajaran wahyu dibangun, diramu, dibakukan, dan ditelaah  lewat  pendekatan  doctrinal-teologis,  sedang  historisme keberagaman manusia ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan sosial-keagamaan yang bersifat multi dan interdispliner, baik lewat fenomenologis berkembang sebagai metode untuk memakai fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena itu sendiri adalah segala sesuatu yang dengan sesuatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita, baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan, maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun yang berupa kenyataan.
Sebagai sebuah istilah,  fenomenologi pertama kali diciptakan pada tahun 1764 oleh ahli matematika dan filosof Swis-Jerman, Johann Heinrich Lambert. Ia menggunakan istilah ini untuk merujuk kepada hakikat ilusif dari pengalaman manusia dalam upaya untuk mengembangkan suatu teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan.
Menurut George W. F. Hege, sebagaimana dikutip oleh Moreau, fenomenologi secara terminologis adalah ilmu pengetahuan dengan sarana mana kita sampai kepada suatu pengetahuan absolute dengan jalan mempelajari cara-cara pikiran kita menampakkan diri kepada kita.
Sebagai metode, fenomenologi merupakan persiapan bagi setiap penyelidikan di bidang filsafat dan di bidang ilmu pengetahuan positif. Ia menyelidiki hal-hal hakiki yang penting bagi berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Berbeda dengan yang lain, Noerhadi Magetasari untuk sampai kepada pengertian fenomenologi memulai pernyataannya dari dua aspek telaah dalam ilmu pengetahuan, yaitu “gejala” dan “makna” yang terkandung di dalamnya.
Pendekatan fenomenologis dalam agama merupakan suatu pendekatan yanmg didesain sedemikian rupa yang berakar dari pendekatan filosofis sebagaimana diakui sendiri oleh Amin Abdullah, bahwa mencermati tata kerja metode fenomenologi, orang sulit menghindari kesan adanya pengaruh pendekatan filsafat terhadap metode pendekatan fenomenologi cukup berjasa dalam membuka wawasan dan cakrawala baru dalam mencari “esensi” keberagamaan manusia.[2]
 

B. Pengertian Fenomenologi dan Pendekatannya
            Istilah fenomenologi telah lama digunakan, sejak Lambert yang sezaman dengan Kant, juga Hegel, sampai Peirce, dengan arti yang berbeda-beda. Pada era Lambert fenomenologi diartikan sebagai ilusi atas pengalaman.[3]
            Kata “fenomena” dalam bahasa Inggris disebut phenomena atau phenomenon secara etimologis berarti perwujudan, kejadian, atau gejala.[4] Akan tetapi, pada medio abad XIX arti fenomenologi menjadi sinonim dengan fakta.[5]
            Pertama kali pada tahun 1764 ia menggunakan istilah ini untuk merujuk pada hakikat ilusif pengalaman manusia dalam upaya untuk mengembangkan suatu teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan.
            Akan tetapi mayoritas fenomenolog lebih cenderung mengatakan bahwa tokoh yang pertama kali menganggap fenomenologi sebagai sebuah wacana yang bersumber dari filsafat ilmu adalah Edmund Husserl (1859-1938). Karyanya yang berjudul Logische Unteruschungen (1900-1901) untuk pertama kali memuat rencana fenomenologi. Karyanya yang lain adalah Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanmenologischen Philosophie (1913) dan Farmale und Transendentals Logic (1929). Di dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa seorang fenomenolog harus secara sangat cermat “menempatkan fenomenologi harus secara sangat cermat” menempatkan di antara tanda kurung, kenyatan berupa dunia luar. Mulai tahun 1970-an fenomenologi mulai banyak digunakan oleh berbagai disiplin ilmu sebagai pendekatan metologik, dan mengundang kegiatan menerjemahkan karya-karya Husserl. Sejak tahun 1970 hingga sekarang, baik karya-karya Husserl. Sejak tahun 1970 hingga sekarang, baik karya-karya utamanya maupun artikel-artikel yang ditulis banyak diterjemahkan orang, dan tetap menjadi acuan utama pendekatan fenomenologi.[6]
            Lebih lanjut metode fenomenologi dikembangkan oleh Rudolp Otto, W. Brede Kristensen, Geradus van der Leeuw, dan Mircea Eliade, juga ditunjukkan gejala itu memberikan interprestasi terhadap gejala itu sehingga maknanya yang tadi tersembunyi dapat pula dipahami.[7]
            Pendekatan fenomenologis mula-mula merupakan upaya membangun suatu metodologi yang koheren bagi studi agama. Lebih lanjut Erricker menyatakan bahwa filsafat Hegel dapat menjadi dasar dibangunnya pendekatan ini. Dalam karyanya yang berpengaruh sebagaimana oleh Erricker- The Phenomenology of Spirit (1806). Hegel mengembangkan tesis bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan atas penampakan dan manifestasi (erschinungen). Tujuan Hegel adalah menunjukkan bagaimana karya ini membawa pada pemahaman bahwa seluruh fenomena dalam berbagai keragamannya, bagaimanapun juga didasarkan pda satu ensensi atau kesatuan dasar (geist atau spirit). Penekanan terhadap hubungan antara esensi  dan manifestasi ini menjadi suatu dasar untuk memahami bagaimana agama dalam keragamannya pada dasarnya mesti dipahami sebagai suatu entitas yang berbeda.[8]
C. Tokoh dan Karya Utama
            Untuk pertama kali, untuk melacak tokoh-tokoh yang berperan penting melahirkan fenomenologi dalam pengertiannya yang generik dan fenomenologi agama sebagai “anak kandung”nya, maka seyogianya dimulai dari filsof Swiss.[9]
            Jacques Waardenburgh, seorang pakar studi agama dari Belanda, bolehlah disebut di sini seorang fenomenolog karena prestasinya di bidang ini. Karya-karyanya yang utama adalah Religion between Reality and Ideas: A Century of Phenomenologie (1972), Research on Meaning of Religion (1973), dan The Category of Faith in Phenomenological Research (1975). Begitu pula halnya dengan Geo Widengrenn yang menulis buku terkemuka Religionsphenomenologie (1969).[10] Bukunya yang lain adalah Some Remark of Methods of Phenomenologie of Religions (1968). Kemudian karya-karya fenomenolog yang lain seperti Ninian Smart dengan bukunya The Phenomenon of Religion (1973), Gunter Lanzckowski dengan bukunya Einfuhrung in die Religionphenomenologie (1978), Fredrich Heiler dengan bukunya Erscheinungformen und Wesen der Religion (1961), Gustav Menshing dengan karyanya Structures and Pattern of Religion (1976).[11]
            Karya-karya Gerardus van der Leew yang paling berpengaruh di bidang ini adalah Religion in Essence and Manifestation: A study in Phenomenology (1963) terjemahan J.E. Turner dari Phenomenologie der Religion. Sedangkan karya Mircea Eliade yang menonjol dalam hal ini adalah The Sacred and The Profane: The Nature of Religion (1959) dan Patterns in Comparative Religion (1963).[12] Sedangkan karya W. Brede Kristensen yang terkemuka adalah The Meaning of Religions (1960).[13]
            Douglas Alien juga sesungguhnya telah menerbitkan sebuah buku tentang fenomenologi, tetapi itu merupakan kritik terhadap metode fenomenologi yang dikembangkan oleh Mircea Eliade. Buku tersebut adalah Structure and Creativity in Religion: Hermeneuties in Mircea Eliade’s Phenomenology and New Direction (1978). Atau pun kritik Philip C. Almond terhadap pemikiran filosofis Rudolf Otto: An Introduction to His Philosophical Theology (1984).[14]
            Edmund Husserl memproklamasikan filsafat fenomenologi, yaitu oleh Chantaphus de la Saussaye, ahli studi agama dari Belanda, dalam bukunya Lehrbuch der Religionsgechichte (1887). Namun dalam perkembangannya ia memang sangat dipengaruhi metode fenomenologi filosofis Husserlian, melalui apoche dan eidetic vision. Meski sempat dianggap metode paling memadai untuk mengkaji inti atau hakikat agama, metode ini dihujani kritik yang bertubi-tubi semenjak pasca perang dunia II, karena dianggap terlalu mereduksi hakikat agama kepada struktur pengalaman keagamaan yang platonis.[15]
            Dalam kerja penelitiannya, fenomenologi dapat mengacu pada tiga hal, yaitu: filsafat, sejarah, dan pada pengertian yang lebih luas. Dengan demikian “fenomenologi agama” dalam acuan yang pertama menghubungkan dirinya sebagai salah satu disiplin ilmu. Adapun acuan yang kedua memasukkan pendapat tentang sejarah agama. Dengan sendirinya mereka mempergunakan religi sederhana sebagai data, dan meletakkan ekspresi keagamaan dalam bentuk simbol seperti bentuk-bentuk upacara keagamaan sebagai fokus perhatiannya. Acuan ketiga adalah penerapan metode fenomenologi secara lebih luas. Metode ini biasa diterapkan dalam menelaah atau meneliti ajaran-ajaran, kegiatan-kegiatan, lembaga-lembaga, tradisi-tradisi, dan simbol-simbol keagamaan.[16]
            Ironisnya, dari sekian banyak pendekatan tokoh dan karya dalam bidang fenomenologi agama sebagai salah satu pendekatan alternative dalam bidang religionswissenschaft ini, secara keseluruhan yang disebutkan di sini adalah fenomenolog non-muslim. Tak banyak yang bisa dicatat dari peneliti kajian keagamaan dari kalangan muslim. Barangkali  yang memadai untuk disebutkan di sini adalah Joachim Wach, Charles J. Adam dengan karyanya Islamic Religious Tradition (1976) dan Sayyid Hossein Nasr yang mengarang sebuah buku di bidang fenomenologi yang berjudul Knowledge and The Sacred (1988).

D. Studi Agama dengan Pendekatan Fenomenologis
            Perkembangan studi agama dengan pendekatan fenomenologis dewasa ini mengalami kemajuan yang sangat signifikan.
Ake Hultzkrantz paling tidak menetapkan tiga poin siginifikansi fenomenologi dalam studi agama:
  1. Mencari bentuk-bentuk dan struktur agama-agama, dan akhirnya dari suatu agama tertentu. Para fenomenolog berusaha untuk mengidentifikasi komponen-komponen utama dalam bahan-bahan, struktur, (yang mungkin nampak sebagai fenomena yang independen atau sebagai hubungan antarfenomena) dan fungsi fenomena keagamaan.
  2. Berusaha memahami fenomena keagamaan yang bekerja dalam dua tingkatan, pertama, ia mencoba mencari tempat dari sifat bawaan keagamaan dalam suatu budaya, yaitu apa makna agama bagi orang-orang yang ada di dalam kebudayaan tersebut, kedua, ia melibatkan pemahaman umum terhadap elemen-elemen keagamaan dalam hubungan yang lebih luas, yaitu makna teoritisnya.
  3. Menyediakan suatu makna bagi sejarah agama-agama dengan cara menerangkannya bersama dan mengintegrasikannya. Fenomenologi agama menawarkan jalan keluar dari dilemma yang memberikan sebuah perspektif bersama bagi semua sejarawan agama, dan memberikan suatu kerangka kerja bagi riset baru yang menggusur gaya lama, sejarah agama yang berorientasi filologi, berupa studi terhadap situasi kegamaan masa kini, akulturasi keagamaan, dan kemunculan bentuk-bentuk keagamaan baru. Dengan demikian hanya dengan bantuan fenomenologi sejarah agama-agama dapat menjadi sebuah disiplin yang mampu menjangkau semua agama.[17]
Meskipun pendekatan ini (baca: fenomenologi agama) cenderung muncul belakangan dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan yang lain, seperti sosiologi agama, antropologi agama, psikologi agama, sejarah agama, dan lain-lain, akan tetapi ia memainkan peranan yang sangat penting dalam hal mengungkap makna perilaku keberagamaan manusia dan substansi dari agama-agama itu sendiri.
            Maksudnya sebuah fenomena keagamaan cuma bisa diketahui, bila ia dikaji sebagaimana ia muncul menjelma. Dalam suatu ekspresi keagaman, hal inilah yang harus dilakukan. Berupaya mengungkap esensi (wessen) di balik fenomena atau manifestasi (erschinungen). Maka fenomenologi agama adalah metode yang tepat untuk bidang ini, karena metode yang lain niscaya mengabaikan suatu element yang unik yang tidak bisa direduksi di dalamnya.
            Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keberagamaan  manusia lewat pintu masuk antropologi adalah seperti halnya kita mendekati dan memahami “object” agama dari sudut pengamatan yang berbeda. Dari situ akan muncul pemahaman sosiologis, historis, psikologis terhadap fenomena keberagamaan manusia. Namun diakui bahwa berbagai pendekatan tersebut tidak menyentuh esensi religiositas manusia itu sendiri. Para teolog khususnya kurang tertarik ketika menerima uraian atau masukan-masukan yang disumbangkan oleh pendekatan antropologis terhadap agama.
            Dengan demikian, kerjasama antara pendekatan antropologis, sosiologis, psikologis dan historis dengan pendekatan fenomenologis adalah saling melengkapi sehingga diharapkan dapat diperoleh gambaran yang utuh tentang keberagamaan manusia pada umumnya tanpa sedikitpun mengurangi apresiasi terhadap bentuk keimanan dan penghayatan keberagaman manusia.
            Kecenderungan beralihnya para teolog dan agamawan dari berbagai kalangan kepada fenomenologi agama tentunya tidak terlepas dari ketidakpuasan mereka terhadap hasil-hasil penelitian agama dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Dengan ungkapan lain bahwa pendekatan tersebut hanya melihat kulit luar keberagamaan manusia saja tanpa memasuki sisi internalitasnya.
            Pusat perhatian fenomenologi agama sebenarnya hanya terfokus kepada pencarian esensi, makna dan struktur fundamental dari pengalaman keberagamaan manusia. Di dalam pengalaman keberagamaan manusia tersebut terdapat esensi yang irridecible yang merupakan struktur fundamental keberagamaan manusia.
            Diakui bahwa keberagamaan manusia tidak akan dapat dilepaskan dari sesuatu yang suci. Itulah diantaranya yang merupakan struktur fundamental dan dianggap penting oleh pendekatan fenomenologi ketika menatap realitas keberagaman manusia. Dalam arti bahwa dalam setiap struktur fundamental pengalaman keberagamaan manusia terdapat hal-hal atau sifat-sifat dasar tersebut.

E. Problematika Pendekatan Fenomenologis dalam Studi Islam
            Kesulitan pertama yang dihadapi dalam upaya membangun suatu pendekatan metodologis alternatif yang berakar pada ontologi Islami terletak pada penyingkiran wahyu Tuhan dari wilayah ilmu. Benar bahwa penyingkiran ini memiliki asal-usul dalam batasan tradisi ilmiah Barat sebagai akibat dari konflik internal antara ke agamaan Barat dengan komunitas ilmiah. Juga benar bahwa dalam tradisi Islam, wahyu dan ilmu tidak pernah dipahami sebagai dua hal yang eksklusif. Namun seorang sarjana muslim hampir tidak pernah dapat mengabaikan fakta bahwa wahyu ketuhanan berada di luar aktivitas ilmiah modern.[18]
            Serangan gencar terhadap wahyu, yang membawa penyingkiran-nya dari upaya ilmiah Barat, terjadi melalui dua fase. Wahyu disamakan dengan metafisika yang tidak memiliki landasan dan menetapkannya sebagai suatu rival pengetahuan, dipertentangkan dengan pengetahuan yang dianggap benar oleh akal.[19]
            Penyingkiran Barat modern terhadap wahyu dari wilayah ilmu tidak didasarkan pada penolakan atas kenyataan bahwa wahyu Tuhan membuat pernyataan yang tidak jelas tentang watak realitas. Penyingkiran itu lebih didasarkan pada pernyataan bahwa hanya realitas empiris yang dapat dipahami. Karena realitas non-empiris (metafisis) tidak dapat diverifikasi melalui pengalaman, maka ia tidak dapat dimasukkan ke dalam wilayah ilmu.[20] Maka ditegaskan menurut Kant bahwa aktivitas ilmiah mesti dibatasi pada realitas empiris, karena akal manusia tidak dapat menentukan realitas absolut.
            Argumen di atas adalah argumen yang sederhana dan keliru, karena ia mengabaikan dan mengaburkan sifat dari bukti wahyu dan bukti empiris . Pertama, pengetahuan tentang realitas empiris tidak didasarkan pada pengetahuan yang dipahami secara langsung dan empiris dari lingkungan, tetapi pada teori-teori yang mendeskripsikan struktur dasar realita. Struktur itu tidak segera dapat dipahami oleh indera. Di samping itu, struktur eksistens empiris diinferensiasikan melalui penggunaan kategori-kategori yang diabstraksikan dari hal yan terindera, dan dimediasikan melalui kategori-kategori dan pernyataan-pernyataan rasional murni. Dengan menggunakan terminologi Lock, kita dapat mengatakan bahwa teori-teori yang kita gunakan untuk mendeskripsikan realitas empiris terdiri dari proposisi-proposisi kompleks yang diperoleh dengan mengkombinasikan sejumlah proposisi-proposisi sederhana. Oleh karena itu pemahaman kita tentang hubungan antara bumi dan matahari dimediasikan oleh konstruk mental, dan oleh karenanya sama sekali berbeda dari kesan singkat yang dipahami oleh indera.[21]
            Kedua, argumen di atas gagal melihat bahwa wahyu (paling tidak dalam bentuk final dan islami) mencari justifikasinya di dalam realitas empiris. Dari sudut pandang wahyu Tuhan, realitas empiris adalah manifestasi realitas transendental, dan oleh karenanya memiliki suatu makna hanya dalam kaitannya dengan yang transendental. Bahkan Alqur’an penuh dengan ayat-ayat (atau tanda) yang menyatakan kesalinghubungan antara yang empiris dan transendental.[22]
            Yang paling penting, wahyu menggarisbawahi pentingnya fakta bahwa yang empiris tidak memiliki makna ketika ia dipisahkan dari totalitasnya, seperti yang ingin diakui oleh ilmu Barat, melampaui batas-batas realitas empiris.[23]
            Dengan demikian, wahyu harus didekati bukan sebagai sejumlah pernyataan yang dapat diakses secara langsung, tetapi sebagai fenomena terberi yang terdiri dari tanda-tanda, dimana untuk memahaminya dibutuhkan interpretasi dan sistematiasasi yang konstan dan terus menerus. Bahkan Alqur’an menjelaskan dengan gamblang bahwa ia terdiri dari tanda (ayat) dimana pemahaman terhadapnya bergantung kepada proses pemikiran, kontemplasi dan penalaran.[24]
Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda bagi mereka yang mau berpikir (13:3)
Sesungguhnya Kami jelaskan beberapa ayat kepada mereka yang mengetahui (6:97).
            Penelitian di atas menggarisbawahi fakta bahwa untuk memahami kebenaran wahyu, orang harus mendekatinya dengan cara yang sama dengan pendekatan terhadap fenomena-fenomena sosial atau bahkan fenomena alam. Alasannya, kebenaran seluruh fenomena itu tergantung pada kemampuan teori-teori yang dibangun oleh para sarjana dan ilmuan berdasarkan data yang berasal dari fenomena itu dalam menghasilkan penjelasan yang memuaskan terhadap realitas yang dialami.[25]
            Penempatan wahyu sebagai fenomena, dan oleh karenanya sebagai sumber pengetahuan dapat dibenarkan dengan mengutip alasan lain. Kualitas bukti yang digunakan untuk memahami realitas (yakni untuk menunjukkan secara objektif) yang dideskripsikan oleh teori-teori empiris, tidak memiliki mutu yang lebih tinggi dari bukti yang digunakan memahami realitas yang dideskripsikan oleh wahyu. Dalam kedua kasus tersebut, eksistensi fenomena yang dipahami secara bersamaan dilahirkan di dalam kesadaran berbagai individu yang memiliki kesempatan untuk mengalami elemen-elemen dasar fenomena dari dekat. Berarti, sebagaimana fenomena sosial atau fisik dapat dipahami oleh orang-orang yang telah mengalami berbagai elemen-elemen yang menyusunnya, maka wahyu Tuhan juga dapat dipahami oleh orang yang memiliki pengalaman tentang kebenaran berbagai tanda yang menyusunnya. Dalam kedua kasus kebenaran tentang sesuatu yang diperoleh dengan serta merta, dipahami secara intuitif. Satu-satunya perbedaan bahwa realitas empiris yang dialami melalui indera dipahami melalui intuisi empiris, sementara realitas transendental yang dialami melalui wahyu dipahami melalui intuisi murni.[26]
            Benar, bahwa ilmu Barat, dimulai dari Kant membatasi intuisi kesatuan elemen-elemen yang dipahami dari suatu fenomena kepada intuisi empiris, dengan menolak bahwa elemen transendental dapat dipahami. Tetapi Kant, seperti telah kita lihat sebelumnya, mampu mencapai reduksi ini dengan menciptakan kebingungan tentang proses intuisi murni. Meskipun sekilas Kant tampak secara benar memahami intuisi sebagai “seluruh representasi … dimana tidak ada sesuatu apapun yang tergolong sebagai sensasi”, namun dia menegaskan bahwa penggunaan intuisi murni mesti dibatasi pada realitas empiris. Tetapi jika intuisi murni dipahami sebagai suatu hasil abstraksi berturut-turut dari representasi yang beragam yang diperoleh melalui intuisi empiris, membawa pada suatu intuisi tunggal, dimana seluruh konsep disatukan. Penolakan Kant untuk mengakui realitas transendental yang dipahami dengan intuisi murni adalah sesuatu yang arbitrer dan dogmatik.[27]

F. Signifikansi dan Kontribusi Pendekatan Fenomenologis dalam Studi Islam
            Sebagaimana dinyatakan oleh Kuntowijoyo bahwa kita butuh ilmu sosial profetik, yaitu ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa.[28] Yaitu ilmu sosial yang mampu mengubah fenomena berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Perubahan yang didasarkan pada tiga hal, yaitu cita-cita kemanusiaan, liberalisasi dan transendensi.
            Namun untuk mencapai perubahan tersebut, tidak bisa hanya mengandalkan fenomenologi saja, tetapi harus dibarengi dengan disiplin keilmuan lainnya. Misalnya antropologi. Melalui antropologi fenomenologis ini maka akan dapat dilihat hubungan antara agama dan negara.[29]

G. Penutup
            Pendekatan fenomenologi adalah sebuah pendekatan yang mengkaji fenomena keberagamaan sebagaimana ia muncul dan menjelma. Pendekatan ini lahir dari anggapan bahwa keberagamaan hanya dapat dipahami dengan utuh dengan mengkaji fenomena. Maka yang menjadi fokus pendekatan fenomenologis adalah apa yang esensial dalam kehidupan beragama.

DAFTAR  PUSTAKA


Connolly, Peter (Ed.) Aneka Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, Cet. I, Yogyakarta: LKIS, 2002
Echols, John dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet. XX., Jakarta: PT. Gramedia, 1992.
Hultkrantz, Ake. "The Phenomenology of Religion: Aims and Methods", dalam Temmos, Vol. 6, 1970.
Martin, Richard C. (Ed)., Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama., Terj. Zakiyuddin Bhaidawy, Cet. II, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002.
Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, Cet. II, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998.
Nata, Abuddin, Metodologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Permata, Ahmad Norma (Ed. dan pent), Metodologi Studi Agama, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Ridwan, M. Deden (Ed), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam; Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, Cet.I, Bandung: Penerbit Nuansa, 2001.
Soekanto, Soejono, Sosiologi; Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo  Persada, 1993.
ZTF, Pradana Boy (Ed. dan pent), Agama Empiris; Agama dalam Pergumulan Realitas Sosial, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Pustaka LP21F, 2002.


[1] Soejono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1993), hlm. 18.
[2] Ibid., hlm. 34. Baca juga pendapat Neong Muhadjir yang menyatakan bahwa sejak Edmund Husserl (1859-1938) arti fenomenologi telah menjadi filsafat dan metodologi berpikir. Lihat Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, Cet. II, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), hlm. 81. Bandingkan dengan A. Scott Moreau, “Fenomenologi Agama: Menelusuri Pengalaman Keberagamaan Manusia”, dalam pradana Boy ZTF (Ed. dan pent), Agama Empiris; Agama dalam Pergumulan Realitas Sosial, Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Pustaka LP21F, 2002), hlm. 23.
[3] Neong Muhadjir, Ibid.
[4] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet XX, (Jakarta: PT Gramedia, 1992), hlm. 427.
[5] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu. Senada dengan itu juga pendapat Moreau yang mengatakan bahwa menjelang pertengahan 1800-an, fenomenologi telah menjadi satu kata yang memiliki.
[6] Neong Muhadjir, Filsafat Ilmu.
[7] Noerhadi Magetsari, “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Ilmu Budaya”, dalam M. Deden Ridwan (Ed), Tradisi Baru Penelitian Agama Islam; Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, Cet. I, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2001), hal. 219.
[8] Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis”, dalam Peter Connoly (Ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, Cet. I (Yogyakarta: LKIS, 2002), hlm. 110.
[9] Frederick M. Denny, “Ritual Islam: Perspektif dan Teori”, dalam Richard C. Martin (ed). Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, Terj. Zakiyuddin Bhaidawy, Cet. II, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 105.
[10] Buku ini adalah yang paling substansi dan diakui secara luas. Ini mungkin cukup mengejutkan, mengingat bahwa Widengren adalah salah satu pendukung terkuat dari pendekatan “histori murni” dalam studi agama. Nampaknya bagi Widengren fenomenologi agama merupakan pasangan sistematis dari sejarah agama-agama. Kenyataannya, Bleeker menghargai karya ini sedemikian tinggi, sehingga ia berpikir tidak ada seorangpun dalam generasinya yang melampaui, baik dalam imajinasi maupun energi kreasi sebagaimana yang dimiliki Widengren dalam Religionsphenomenologie.
[11] Ibid., hlm. 331 – 339.
[12] Baca Ibid., hlm. 259 – 277.
[13] Joachim Wach, “Perkembangan dan Metode Studi Agama”, dalam Ahmad Norma Permata (Ed. dan pent), Metodelogi Studi Agama, Cet. 1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 200), hlm. 334.
[14] Ibid., hlm. 278
[15] Ahmad Norma Permata, “Kata Pengantar Editor”, dalam idem (Ed. dan pent), Ibid., hlm. 20.
[16] Ibid., hlm. 220.
[17] Ake Hultkrantz. "The Phenomenology of Religion: Aims and Methods", dalam Temmos, Vol. 6, 1970, hlm. 68-88.
[18] Lousy Safi, Sebuah Refleksi Perbandingan Metode Penelitian Islam dan Barat Ancangan Metodologi Alternatif, Terj. Imam Khoiri, (Jakarta: PT Tiara Wacana Yoga, 2001), hlm. 203.
[19] Ibid., hlm. 204.
[20] Ibid., hlm. 209.
[21] Ibid., hlm, 210.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Ibid., hlm. 211.
[25] Ibid.
[26] Ibid., hlm. 212 – 213.
[27] Ibid.
[28] Abuddin Nata, Metodologi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 55.
[29] Ibid., hlm. 37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar