Sabtu, 25 Agustus 2012

DINASTI UMAYYAH


A. Pendahuluan
Kalau kita menerima pendapat bahwa peperanganlah yang membentuk berdirinya Dinasti Umayyah, seperti yang banyak dikemukan para sejarawan, maka kita tidak akan mengetahui mengapa peperangan tersebut mampu memindahkan kekuasaan Khulafaur Rasyidin menjadi kekuasaan  Umayyah, memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Ada yang beranggapan bahwa kepribadian Muawiyah berperan besar dalam hal ini, akan tetapi sejarah tidak melihat bahwa sesorang tidak akan mampu merubah sebuah Negara dengan kepribadian dan kekuatannya. Kalau hal ini disebabkan karena kecerdasan Muawiyah maka sebenarnya Ali bin Abi Thalib lebih cerdas
daripadanya minimal tidak kalah kepandaiannya dengan Muawiyah, dengan demikian kecerdasan Muawiyah tidak mampu menghilangkan kekuasaan islam hanya karena kecerdasan.[1]
Setting cikal bakal dinasti ini bermula ketika Ali bin Abi Thalib dibaiat sebagai khalifah menggantikan kedudukan khalifah Usman bin Affan, salah satu kebijakan awal dan Ali adalah pengambil alihan tanah-tanah dan kekayaan negara yang telah dibagi-bagikan oleh Usman kepada keluarganya dan memecat gubemur-gubemur dan pejabat pemerintahan yang diangkat Usman untuk meletakkan jabatannya, namun Muawiyyah Gubernur Syiria menolak pemecatan itu sekaligus tidak mau membaiat Ali sebagai khalifah dan bahkan membentuk kelompok yang kuat dan menolak untuk memenuhi perintah-perintah Ali. Dia berusaha membalas kematian khalifah Usman, atau kalau tidak dia akan menyerang kedudukan khalifah bersama-sama dengan tentara Syiria. Desakan Muawiyyah akhirnya tertumpah dalam perang Shifrin[2] Dalam pertempuran itu hampir-hampir pasukan Muawiyyah dikalahkan pasukan Ali, tapi berkat siasat penasehat Muawiyyah yaitu Amr bin 'Ash, agar pasukannya mengangkat mushaf-mushaf Al Qur'an di ujung lembing mereka, pertanda seruan untuk damai. Bukan saja perang itu berakhir dengan Tahkim Shiffin yang tidak menguntungkan Ali, tapi akibat itu pula kubu Ali sendiri menjadi terpecah dua yaitu yang tetap setia kepada Ali disebut Syiah dan yang keluar disebut Khawarij. Sejak peristiwa itu, Ali tidak lagi menggerakkan pasukannya untuk menundukkan Muawiyyah tapi menggempur habis orang-orang Khawarij, yang terakhir terjadi peristiwa Nahrawan pada 09 Shafar 38 H, dimana dari 1800 orang Khawarij hanya 8 orang yang selamat jiwanya sehingga dari delapan orang itu menyebar ke Amman, Kannan, Yaman, Sajisman dan ke Jazirah Arab.[3] Namun begitu, kaum Khawarij selalu berusaha untuk merebut massa Islam dari pengikut Ali, dan Muawiyyah, sebab mereka yakin bahwa kedua pemimpin itu merupakan sumber dari pergolakan-pergolakan, mereka bertekad membunuh kedua pemimpin itu, namun hanya Ali yang terbunuh pada 20 Ramadlan 40 H di Masjid Kuffah pada saat Ali Shalat Subuh.
Setelah Ali meninggal, rakyat segera membaiat Hasan bin Ali sebagai Khalifah. Karena melihat banyaknya perselisihan diantara sahabat-sahabatnya dan melihat pentingnya persahabatan umat, maka Hasan bin Ali melakukan kesepakatan damai dan menyerahkan kekuasaan pemerintahannya kepada Muawiyyah pada bulan Rabiul Awal 41 H yang selanjutnya tahun itu disebut Aam Jama'ah atau tahun jamaah, karena kaum Muslimin sepakat menjadikan satu orang khalifah untuk menjadi pimpinan mereka yaitu Muawiyyah dari Bani Umayah.[4]
Dalam makalah ini akan dibahas tentang perkembangan Dinasti Umayyah, mencakup kemajuan yang dicapai terutama dinamika Politik, sosial dan ekonomi, intelektual dan keagamaan hingga dinasti ini mengalami keruntuhan.

B. Perkembangan dan Kemajuan Dinasti Umayyah.
Terbentuknya Dinasti Umayyah merupakan gambaran awal bahwa umat Islam ketika itu telah kembali mendapatkan identitasnya sebagai negara yang berdaulat, juga merupakan fase ketiga kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661 - 750 M). Perubahan yang dilakukan, tidak hanya sistem kekuasaan Islam dari masa sebelumnya (masa Nabi dan Khulafaurrasyidin) tapi juga perubahan-perubahan lain di bidang sosial politik, keagamaan, intelektual dan peradaban.[5]
 l. Dinamika Politik
Dalam awal perkembangannya, dinasti ini sangat kental diwarnai nuansa politiknya yaitu dengan memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus[6] Kebijakan itu dimaksudkan tidak hanya untuk kuatnya eksistensi dinasti yang telah mendapat legitimasi politik dari masyarakat Syiria, namun lebih dari itu adalah untuk pengamanan dalam negeri yang sering mendapat serangan-serangan dari rival politiknya.
Pemindahan sistem kekuasaan juga dilakukan Muawiyyah, sebagai bentuk pengingkaran demokrasi yang dibangun masa Nabi dan Khalifah yang empat. dari kekhalifahan yang berdasarkan pemilihan atau musyawarah menjadi kerajaan turun menurun (monarch/ heridetis)[7] Penggantian khalifah secara turun temurun dimulai dari sikap Muawiyyah yang mengangkat anaknya, Yazid, sebagai putera mahkota. Sikap ini dipengaruhi oleh keadaan Syiria yang menjadi wilayah kekuasaan selama dia menjadi gubernur dan memang bermaksud mencontoh monarchi heridetis di Persia dan kekaisaran Bizantium.
Pada masa Nabi dan khalifah yang empat, keanggotaan masyarakat secara umum dalam segala hal hanya dibatasi berdasarkan keagamaan, sehingga masyarakat secara garis besar terdiri muslim dan non muslim, dan dalam memperlakukan orang  Islam sebagai mayoritas dapat dibedakan menurut dua kriteria, pertama yang menjurus kepada hal-hal yang praktis dan seringkali diterapkan pada kelompok, dan kreteria kedua berupa tindakan pengabdian kepada masyarakat yang sifatnya tebih personal. Sebagai tambahan atas kedua kriteria itu, pada Dinasti Umayyah syarat keanggotaan masyarakat harus berasal dari orang Arab, sedangkan orang non Arab setelah menjadi Muslim harus mau menjadi pendukung (mawali) bangsa Arab. Dengan demikian masyarakt muslim pada masa Dinasti Umayyah terdiri dari dua kelompok, yaitu Arab dan Mawali.[8]
Dengan tatanan masyarakat yang homogin tersebut, menimbulkan ambisi penguasa dinasti ini untuk mempersatukan masyarakat dengan politik Arabisme,[9] yaitu membangun bangsa Arab yang besar dan sekaligus menjadi kaum muslimin. Usaha-usaha ke arah itu antara lain mewajibkan untuk membuat akte kelahiran masyarakat Arab bagi anak-anak yang lahir di daerah-daerah penaklukan, kewajiban berbahasa Arab bagi penduduk daerah Islam dan bahkan adat istiadat serta sikap hidup mereka diharuskan menjadi Arab.[10]

Kebijakan politik Dinasti Umayyah lainnya adalah upaya-upaya perluasan wilayah kekuasaan. Pada zaman Muawiyyah, Uqbah bin Nafi' berhasil menguasai Tunis yang kemudian didirikan kota Qairawan sebagai pusat kebudayaan Islam pada tahun 760 M. Di sebelah, Muawiyyah memperoleh daerah Khurasan sampai ke Lahore di Pakistan. Di sebelah barat dan utara diarahkan ke Bizantium dan dapat menundukkan Rhodes dan pulau-pulau lain di Yunani. Pada tahun 48 H, Muawiyyah merencanakan penyerangan laut dan darat terhadap Konstantinopel, tetapi gagal setelah kehilangan pasukan dan kapal perang mereka.[11]
Zaman Walid I, dengan dibantu tiga orang pimpinan pasukan terkemuka sebagai penaduduk yaitu: Qutaybah Sbin Muslim, Muhammad bin al Qasim dan Musa bin Nashir, ekspansi ke barat dan ke mencapai keberhasilan. Ekspansi ke barat dilakukan oleh Musa bin Nashir, berhasil menundukkan Aljazair dan Maroko, kemudian ia mengangkat Tariq bin Ziyad sebagai wakilnya untuk memerintah di daerah itu dan melakukan perebutan kekuasaan dalam kerajaan Gotia Barat di Spanyol untuk ditaklukkan, akhirnya Toledo ibukota Spanyol jatuh ke tangan pasukan muslim menyusul kota Seville, Malaga, Elvira dan Cordoua yang kemudian menjadi ibukota Spanyol Islam (al Andalus).[12]
Setelah menaklukkan Spanyol, Musa bin Nashir ambil bagian ke Spanyol dan melanjutkan ekspansinya dengan merampas Carmona, Cadiz di sebelah tenggara dari Calica di sebelah barat laut. Dia memutuskan untuk meneruskan ekspansinya ke sebelah selatan Perancis, namun ada kekhaiwatiran dari Walid I atas pengaruh Musa bin Nashir yang mungkin akan memproklamirkan seluruh negara yang ditaklukkan, maka Walid 1 memerintahkan untuk mangakhiri ekspansinya ke Eropa dan memanggil Musa dan Tariq ke Damaskus. [13]
Di masa Abdul Malik, Qutaybah diangkat oleh al Hajjaj bin Yusuf, gubernur Khurasan, menjadi wakilnya pada tahun 86 H.Bersama pasukannya, Qutaybah dapat menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Masarkand. Usaha ekspansinya ke Cina di urungkan, karena delegasinya disuruh kembali kepada pemimpinnya dengan saling tukar menukar cenderamata, Qutaybah menerima uang dan mencetak materai dengan bantuan pemuda kerajaan kemudian menjelajahi kekuasannya dan pulang ke Merv, ibukota Khurasan.[14]
Muhammad bin Qasim dipercaya oleh al Hajjaj untuk menundukkan India. Pada tahun 89 H, ia menuju ke Sind dan mengepung pelabuhan Deibul di muara sungai Indus, kemudian tempat itu diberi nama Mihram. la memperluas penaklukannya hingga ke Maltan sebelah selatan Punjab dan Brahmanabat.[15]
Dibidang pemerintahan, dinasti membentuk semacam Dewan Sekretaris Negara (Diwan al Kitabah) yang terdiri dari lima orang sekretaris yaitu : Katib ar Rasail, Katib al Kharraj, Katib al Jund, Katib asy Syurtah dan katib al Qadi.[16] Untuk mengurusi administrasi pemerintahan daerah di angkat seorang Amir al Umara (Gubemur Jenderal) yang membawahi beberapa amir sebagai penguasa satu wilayah.
Pada masa Abdul Malik bin Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan, oleh empat departemen pokok (diwan) yaitu :
a.       Kementerian Pajak Tanah (diwan al kharraj)  yang bertugas mengawasi departemen keuangan
b.      Kementerian Khatam (diwan al khatam)  yang bertugas merancang dan mengesahkan peraturan/ordonansi pemerintah
c.       Kementerian surat menyurat (diwan al rasail) dipercaya untuk mengontrol permasalahan  di daerah-daerah dan semua komunikasi dari gubernur-gubernur Kementerian urusan perpajakan (diwan al mustagallat).[17]

2. Dinamika Ekonomi
Kemenangan-kemenangan yang diperoleh umat Islam secara luas itu, menjadikan orang-orang Arab bertempat tinggal di daerah penaklukan dan bahkan menjadi tuan-tuan tanah.[18] Kepada pemilik tanah diwajibkan oleh Dinasti Umayyah untuk membayar pajak tanah, namun pajak kepala hanya berlaku kepada penduduk non muslim sehingga mengakibatkan banyaknya penduduk yang masuk Islam, akibatnya secara ekonomis penghasilan negara berkurang, namun demikian dengan keberhasilan Dinasti Umayyah menaklukkan Imperium Persia beserta wilayah kepunyaan Imperium Byzantium, sesungguhnya kemakmuran bagi Dinasti ini melimpah ruah yang mengalir untuk kas negara.[19] Kebijakan Dinasti di bidang ekonomi lainnya adalah menjamin keadaan aman untuk laiu lintas darat dan laut, lalu lintas darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera, keramik, obat-obatan dan wewangian, sedangkan lalu lintas laut ke arah negeri-negeri belahan untuk mencari rempah-rempah, bumbu. kasturi, permata, logam mulia, gading dan bulu-buluan.[20]Keadaan demikian membuat kota Basrah dan Aden di teluk Persi menjadi lalu lintas perdagangan dan pelabuhan dagang yang ramai, karena kapal-kapal dagang dibawah lindungan armada Islam yang menuju ke Syiria dan Mesir hampir tak pernah putus. Perkembangan perdagangan ini telah mendorong meningkatnya kemakmuran Dinasti Umayyah.
Pada masa khalifah Abdul Malik, telah dirintis industri kerajinan tangan berupa tiraz (semacam bordiran) yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian khalifah dan para pembesar pemerintahan, format tiraz bertuliskan lafaz"La Ilaaha Ilia Allah". Guna memperlancar produktifitas pakaian resmi kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik kain, dan setiap pabrik diawasi oleh Sahib at Tiraz yang bertujuan mengawasi tukang emas dan penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka.[21]

3. Dinamika Sosial
Pada masa Dinasti Umayyah, bangsa Arab mendapatkan posisi terhormat daiam masyarakat. Pada umumnya, bangsa Arab merupakan tuan tanah hasil rampasan perang. Adanya dua kelompok masyarakat yang membangun Daulat Umayyah yakni bangsa Arab dan non-Arab, berpengaruh positif pada motivasi orang-orang non-Arab untuk memeluk agama Islam. Kebijakan ini juga berpengaruh pada perkembangan dan perluasan pemakaian bahasa Arab dengan cepat.
Salah satu permasalahan yang pantas disebutkan pada masa pemerintahan Bani Umayyah adalah munculnya penolakan para sahabat terhadap sikap Mua'wiyah yang mengubah sistem sukses khalifah dari pemilihan terbuka menjadi kerajaan yang mewariskan tahta kepada keturunan raja.
Pada dasarnya, sikap penolakan ini merupakan sikap politik para sahabat yang dipandang mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat Muslim saat itu. Akibat dari tidak digubrisnya penolakan tersebut oleh khalifah, para sahabat pun mengambil sikap untuk meninggalkan ibu kota dan memilih mengasingkan diri ke daerah terpencil.
Meski demikian, dengan bantuan para ulama yang masih memihak kepada pihak kerajaan, masyarakat menerima keputusan Mua'wiyah yang menetapkan anaknya sebagai penggantinya sebagai khalifah.

4. Intelektual dan Keagamaan
Di zaman pemerintahan Abdul Malik terdapat banyak bahasa yang digunakan dalam administrasi, seperti bahasa Persia, Yunani dan Qibti, namun atas usaha Salih bin Abdur Rahman, sekretaris al Hajjaj, ia mencoba menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa administrasi dan bahasa resmi di seluruh negeri sehingga perhatian dan upaya penyempurnaan pengetahuan tentang bahasa Arab mendorong lahirnya ahli bahasa yaitu Sibawaihi dengan karya tulisnya al Kitab menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab.
Dalam daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat kebudayaan yaitu Yunani Iskandariyah. Antiokia, Harran dan Yunde Sahpur yang semula dikembangkan oleh imuwan-ilmuwan Yahudi, Nasrani dan Zoroaster Khalifah Khalid bir'i Yazid bin Muawiyyah yang seorang orator dan berpikiran tajam berupaya menerjemahkan buku-buku tentang astronomi, kedokteran dan kimia.
Khalifah Walid bin Abdul Malik memberikan perhatian kepada bimarstan, yaitu rumah sakit sebagai tempat berobat, perawatan orang sakit dan studi kedok-teran yang berada di Damaskus, sedangkan khalifah Umar bin Abdul Aziz menyuruh para ulama secara resmi untuk membukukan hadits-hadits Nabi, dan selain itu ia bersahabat dengan ibn Abjar, seorang dokter dan Iskandariah yang kemudian menjadi dokter pribadinya.[22]
Para ilmuwan yang berasal dari agama lain, meski ada yang beralih agama kepada Islam dan ada yang masih tetap bertahan dalam agamanya, diantaranya Yahya al Diamsyqi seorang pejabat di masa Abdul Malik bin Marwan, penganut Kristen fanatik yang berusaha mempertahankan akidahnya. Dengan metode logikanya ia mempertahankan "al masih sebagai Tuhan yang ke dua”.[23] Dari sikap mereka mendorong umat Islam menyelidiki keyakinannya dan mempelajari logika untuk mempertahankan Islam sekaligus untuk mematahkan hujjah mereka, kelompok ini kemudian dianggap sebagai golongan rasionalis atau kelompok Mu'tazilah.[24]

Pengaruh lain dan ilmuwan kristen itu adalah penyusunan ilmu pengetahuan secara sistematis, selain itu berubah pula sistem hafalan dalam pengajaran kepada sistem tulisan menurut aturan-aturan ilmu pengetahuan yang berlaku. Pendukung dalam pengembangan ilmu adalah golongan non Arab dan telaahnya pun sudah meluas sehingga ada spesialisasi ilmu menjadi : ilmu pengetahuan bidang agama, bidang sejarah, bidang bahasa dan bidang filsafat.[25] Ilmuwan itu antara lain Sibawaihi, al Farisi, al Zujaj (ahli nahwu), al Zuhpy, Abu Zubair, Muhammad bin Muslim bin Idris dan Bukhari Musiim (ahli Hadits) dan Mujahid bin Jabbar (ahli tafsir).

5. Dinamika lembaga pendidkan dan Ilmu Pengetahuan
Pada periode Dinasti Umayyah belum ada pendidikan formal. Putra khalifah Bani Umayyah biasanya akan "disekolahkan" ke badiyah, gurun suria, untuk mempelajari bahasa Arab, dan mendalami puisi. Kesanalah Muawiyah mengirimkan putranya yang kemudian menjadi penerusnya, yazid. Masyarakat luas memandang orang yang dapat membaca dan menulis bahasa aslinya, bias menggunakan busur dan panah, dan pandai berenang sebagai seorang terpelajar. Orang semacam itu disebut dengan al-kamil, yang sempurna. Setelah masa Abd al-malik, seorang guru (mu'addib) biasanya seorang mantan budak dan beragama Kristen merupakan figur penting istana. Guru para putra khalifah ini menerima perintah dan ayah murid-muridnya," mengajarkan mereka berenang dan membiasakan mereka untuk tidak banyak tidur.
Masyarakat luas yang hendak memperoleh pendidikan, dalam pengertian masa itu, akan menggunakan mesjid untuk mempelajari Alquran dan hadis. Karena itu, guru-guru paling pertama dalam islam adalah para pembaca alquran (qurra) pada awal 17 HI u 638 M. Khalifah Urnar mengirimkan para qurra ke berbagai tempat, dan meninstruksikan agar masyarakat belajar kepada mereka di mesjid setiap hari jumat. Umar II mengutus Yazid abi Habib ke Mesir sebagai hakim agung, yang diriwayatkan merupakan orang pertama yang menjadi guru disana.
Pada masa penaklukan arab di asia barat, ilmu pengetahuan Yunani tidak lagi berjaya, ia lebih merupakan sebuah tradisi yang dilestarikan oleh para praktisi dan komentator tulisan Yunani atau Suriah. Sebagai salah satu dari beberapa ilmu yang kemudian banyak berhutang pada penemuan arab, ilmu kimia, seperti halnya ilmu pengobatan, merupakan salah satu disiplin ilmu yang paling awal dikembangkan. Khalid putra khalifah umayyah kedua dan seorang filsuf (hakim) keluarga marwan menurut fihrist (sumber informasi tertua dan terbaik), merupakan orang islam pertama yang menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan ilmu kimia, kedokteran dan astrologi.

6. Dinamika Arsitektur
Arsitektur orang arab asli hanyalah yang terdapat di Yarnan. Menurut ibnu al-faqih menara mesjid Umayyah di Damaskus secara eksplisit mengatakan bahwa pada mulanya menara itu merupakan menara jam milik katedral Santo Yahya. Sementara di mesir menurut riwayat menara mesjid mulai diperkenalkan oleh gubernur Muawiyah yang membangun menara dikeempat sudut mesjid Amr di Fushan.
Selain tempat-tempat ibadah, Dinasti Umayyah hanya meninggalkan beberapa monument arsitektur. Bangunan yang paling penting di antaranya adalah istana-istana padang pasir yang didirikan oleh putra mahkota keluarga khalifah. Di ibukota sendiri, pada saat ini tidak ada yang tersisa dari bangunan megah Qashar al-khadra, istana raja yang terletak berdampingan dngan mesjid besar juga tidak ada bekas sama sekali dari kediaaman al-hajjaj di Wasit yang namanya identik dengan istana khalifah al-qubbah al-khadra.

7. Dinamika Senirupa dan Musik
Gambaran paling awal dari seni rupa islam adalah lukisan di Qushayr Amrah yang menampilkan Karya para pelukis Kristen, Pada dinding tempat peristirahatan dan pemandian al walid I di Transyordania terdapat enam raja. Sementara perkembangan musik biasa dikatakan bahwa pada masa pra islam, orang arab memiliki beragam jenis lagu seperti lagu kemenangan, lagu perang, keagamaan dan cinta jejak-jejak himne keagamaan primitip masih terlihat pada talbiyah ritual haji.
Orang arab selatan juga memiliki jenis lagu dan instrument musik tersendiri yang belum banyak kita ketahui, tapi kita masih ragu apakah fenomena itu turut membentuk sebagian khsanah musik arab utara dan orang arab islam atau tidak. Masyarakat pra islam di Hijaz menggunakan tambur segi empat dan semling sebagai alat musik utama. Ada juga alat musik tiup dari kayu yang disebut naya (seruling tiup vertical) yang berasal dari Persia. Pada dinasti Umayyah kebebasan seni musik dengan alunan lagu dan nada-nada membuat para ulama berkali-kali mengemukakan keberatan dengan menganalogikan musik dan lagu dengan minuman arak dan brtaruh yang merupakan kesenangan yang terlarang. Mereka mengutip hadsi Nabi yang menempatkan hura-hara itu sebagai sarana paling ampuh bagi iblis untuk menyesatkan manusia. Pada masa Umayyah ini juga para seniman diagung-agungkan dan dijunjung tinggi oleh masyarakat sehingga pengaruh mereka tidak bias diredam hanya oleh serangan vebal.

C. Prestasi Dinasti Umayyah
1. Bidang Fisik
Dalam pembangunan fisik, pada Diansti Umayyah telah didirikan pos-pos yang pada pemerintahan sebelumnya tidak ditemukan. Lebih lengkapnya, dapat dikatakan bahwa beberapa prestasi Dinasti Umayyah dalam pembangunan fisik adalah sebagai berikut:
1.      Membangun pos-pos serta menyediakan kelenokapan peralatannya.
2.      Membangun jalan raya.
3.      Mencetak mata uang.
4.      Membangun panti asuhan.
5.      Membangun gedung pemerintahan.
6.      Memblingun mesjid.
7.      Membangun rumah sakit..
8.      Membangun sekolah studi kedokteran.[26]   



2. Perluasan Wilayah Kekuasaan.
Dalam hal perluasan wilayah, Dinasti Umayyah menjaiankan ekspansi sebagai berikut:
1.      Menguasai Tunis pada tahun 760 M di bawah pimpinan Uqbah bin Nafi'.
  1. Menguasai Khurasan hingga Lahore di sebelah Timur.
  2. Menguasai Bizantium.
  3. Menguasai Rhodes dan pulau-pulau kecil lainnya di Yunani.
  4. Di sebelah Barat, Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Aljazair dan Maroko.
  5. Selanjutnya, Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Andalusia yakni Toledo, Sevilla, Malaga, Elvira dan Cordova.
  6. Penaklukkan yang sama berlanjut hingga ke Cadiz dan Calica.
  7. Menaklukkan Baikh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Samarqand.
  8. Menaklukkan India, hingga ke Brahmanabat.[27]

D.  Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Umayyah
Dinasti yeng didirikan oleh Muawiyyah bin Abu Sofyan ini, dari beberapa khalifah yang memegang kekuasaan, hanya beberapa orang saja yang dianggap berhasil dalam menjalankan roda pemerintahannya antara lain : Muawiyyah bin Abu Sofyan, Abdul Malik bin Marwan, al Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Maiik, selain mereKa itu merupakan khalifah yang lemah. Dinasti ini mencapai puncaknya pada masa al Walid I bin Abdul Malik dan kemudian akhirnya menurun dan kekuasaan mereka direbut oleh Bani Abbasiyah pada tahun 750 M.[28]
Diantara faktor penyebab keruntuhan Dinasti Umayyah ini, menurut Hasan Ibrahim Hasan adalah :
1.    Pengkatan Dua Putera Mahkota
Perubahan sistero kekuasaan, dari sistem demokrasi kepada monarchi yang dirintis Muawiyyah bin Abu Sofyan, berakibat pada tumbuhnya bibit permusuhan dan persaingan diantara sesama anogota keluarga dinasti dan ditambah dengan langkah pengangkatan dua putera mahkota yang diberi mandat, agar putera mahkota yang kedua sebagai pelanjut sesudah yang pertama, hal itu dilakukan khalifah Marwan bin al Hakim dengan mengangkat Abdul Malik bin Marwan dan Abdul Aziz, berikutnya adalah Abdul Malik mengikuti jejak mendiang ayahnya dengan mengangkat puteranya, yatu al Walid dan Sulaiman. Langkah ini tidak hanya menjadi permusuhan dan persaingan diantara sesama anggota keluarga tetapi juga merembet masuk di lingkungan para panglima dan pejabat.[29]

2. Munculnya Fanatisme Suku
Setelah Yazid bin Muawiyyah meninggal, fanatisme suku menyebar di tengah-tengah kabilah Arab namun belum sampai membahayakan kekuatan Bani Umayyah dari rongrongan kakuatan lain yang menginginkan kehancurannya sebagai pemegang supremasi politik umat Islam.
Kondisi tersebut masih dapat dikendalikan terlebih dengan tampilnya Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah, ia seorang yang saleh dan adil. Dalam masa pemerintahannya diisi dengan memperbaiki kerusakan yang dilakukan oleh para khalifah Bani Umayyah sebelumnya, sehingga legalitas kepemimpinannya diakui dan diterima oleh semua pihak yang tidak mengakui pemerintahan Bani Umayyah. la terbebas dari fanatisme suku, karena ia tidak mengangkat seorang menjadi gubernur melainkan berdasarkan kecakapan dan keadilan yang dimiliki oleh yang bersangkutan.[30]
Namun ketika Umar bin Abdul Aziz wafat, dan kekhalifahan dipegang Yazid bin Abdul Malik, saat itu fitnah dan perselisihan diantara bangsa Arab utara (Arab Mudhar) /suku Qais dengan Arab selatan (Arab Yaman)  /bani Kalb memanas, yang kemudian terjadi perang Murj Rahith,[31] yang mengkibatkan terbunuhnya al Mulahhab bin Abu Shufrah dari Arab Yaman, ia seorang yang telah mengabdi seluruh hidup dan potensinya pada Bani Umayyah, yaitu pembelaannya dalam perang al Azariqah menghadapi kaum khawarij, berjuang memerangi penduduk Khurasan dan al Khazar serta orang-orang Turki. Sepeninggal al Mulahhab, tampillah puteranya yang menjadi perhatian dan tumpuhan pihak Arab Yamani untuk merongrong kedaulatan Dinasti Umayyah. Namun demikian Bani Umayyah sekali waktu berpihak kepada Arab Qais dan dilain waktu kepada Arab Yaman.
Fanatisme suku dapat dilihat ketika Yazid bin Abdul Malik mengangkat saudaranya yaitu Maslamah sebagai gubernur wilayah setelah mereka berjasa menumbangkan pemberontakan putera al Mulahhab, dan juga mengangkat Umar bin Kubairah yang berasal dari suku Qais.
Ketika Yazid wafat dan saudaranya yaitu Hisyam naik tahta maka khalifah baru menilai bahwa posisi orang-orang Qais dalam pemerintahan sudah terlalu kuat, dan hal ini, menurut Hisyam adalah membahayakan kelangsungan pemerintahan Bani Umayyah, kemudian ia mengambil tindakan dengan cara mengenyahkan orang-orang Qais dari kekuasaan dan balik berpihak kepada unsur Yamani, ini dimaksudkan agar kadua unsur tersebut berimbang.[32] Untuk itu ia mengangkat Khalid bin Abdullah al Qasari sebagai gubernur Irak, dan juga mengangkat saudara Khaiid yaitu Asad sebagai gubernur Khurasan. Dengan demikian kekuatan unsur Yamani kembali berperan dan kekuatan unsur Qaisi melemah, kemudian orang-orang dan unsur Yamani berkesempatan menumpahkan balas dendam mereka kepada orang-orang dari unsur Qaisi.
Demikianlah fanatisme suku yang telah mencabik-cabik Dinasti Umayyah. sehingga negara menjadi ajang bagi tumbuhnya beragam fitnah dan kerusuhan dan kemudian keruntuhan dinasti ini teriadi.

3. Terlena Dalam Kemewahan
Pola hidup sebagian khalifah Dinasti Umayyah yang sangat mewah dan senang berfoya-foya sebagai warisan pola hidup para penguasa Bizantium adalah faktor lain yang telah menanam andil besar bagi keruntuhan dinasti ini. Yazid bin Muawiyyah adalah seorang khalifah dari Dinasti Umayyah sangat terkenal sebagai pengagum berat wanita, memelihara para penyanyi wanita, memelihara burung buas, singa padang pasir dan seorang  pecandu minuman karas.
Prilaku Yazid bin Abdul Malik juga tidak lebih baik dari Yazid bin Muawiyyah, ia adalah pemuja wanita dan penggemar pesta pora. Begitu pula dengan puteranya yaitu al Walid, ia seorang khalifah yang sangat senang dengan kehidupan serba mewah dan terlena dengan romantika asmara.[33]
 4. Fanatik Arab
Dinasti Umayyah adalah muni daulat Arab, sehingga ia sangat fanatik kepada bangsa Arab dan kearabannya. Mereka memandang orang non Arab (mawali) dengan pandangan sebelah mata, sehingga menimbulkan fitnah diantara sesama kum Muslimin, disamping itu pula telah membangkitkan nasionalisme di dalam Isiam. Bibit daripada geraka tersebut adalah anggapan bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang paling utama dan mulia dan bahasa Arab adalah bahasa yang paling tinggi dibanding dengan yang lain.
Tindakan diskriminatif tersebut telah membangkitkan kebencian kaum mawali kepada Bani Umayyah, akhirnya sebagai kaum tertindas mereka selalu mencari waktu yang tepat untuk melampiaskan kebenciannya. Mereka menggabungkan diri dengan al Mukhtar dan kaum khawarij untuk bersekutu dan ditambah dengan propagandis kaum abassi untuk memberontak dan menggulingkan Dinasti Umayyah.[34]

Sekutu tersebut melakukan gerakan oposisi terhadap Dinasti Umayyah dengan pimpinan Muhammad bin Ali dan kemudian dilanjutkan kedua puteranya yaitu ibrahim dan Abu Abbas yang didukung oleh masyas-akat pendukung Ali di Khurasan. Di bawah pimpinan panglimanya yang tangkas, yaitu Abu Muslim al Khurasani, gerakan ini dapat menguasai wilayah demi wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah dan bahkan dalam partempuran di Zab Hulu sebelah Mosul, Marwan II. khalifah terakhir Dinasti Umayyah dapat dikalahkan, Marwan II di bunuh di Mesir pada bulan Agustus 750 M dan berakhirlah kekuasaan Dinasti Umayyah di Damaskus.

E. Penutup
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah inilah Selain pemindahan ibukota pemerintahan dari Madinah ke Damaskus, juga perubahan sistem ketatanegaraan dari sistem demokrasi ke monarchi, yang ditandai dengan pengangkatan Yazid bin Muawiyyah menjadi pimpinan pemerintahan sehingga dapat bertahan hingga 90 tahun. Dengan kebijakan penaklukan wilayah (futuhat) maka kekuasaannya menjadi luas dan bahkan sampai menyamai dua imperium Persia dan Bizantium, dan selain itu juga dengan dinamika keagamaan dan intelektualnya sehingga mampu mendorong tokoh ulama dan intelektual. Namun karena kondisi internal dan ditambah kondisi eksternal terutama dari rival politiknya yang mengharuskan Dinasti Umayyah ini mengalami keruntuhan.
Potensi perpecahan antara suku etnis dan kelompok politik yang tumbuh semakin kuat, menjadi sebab utama terjadinya gejolak politik dan kekacauan yang  mengganggu stabilitas negara. Keadaan ini semakin runyam ketika mereka dihadapkan pada suksesi kepemimpinan. Tidak adanya aturan yang pasti dan tegas tentang peralihan kekuasaan secara turun temurun yang menimbulkan gangguan yang serius di tingkat Negara. Muawiyah telah mengantisipasi masalah itu dengan menunjuk putranya sebagai penggati dirinya, tetapi prinsip senioritas kesukuan Arab klasik dalam persoalan kepemimpinan menjadi ganjalan terbesar yang menghalangi ambisi seorang ayah yang ingin menyerahkan kedaulatan kepada anaknya.


DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad, Dhuha al Islam. Kairo :Maktabah al Nahdah.1972

Al-Isy, Yusuf, Dinasti Umawiyah., terj. Iman Nurhidayat dan Muhammad Khalil. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2007

Hasyimi, Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta : Bulan Bintang.1972

Hasan, Ibrahim, Hasan, Sejarah Dan Kebudayaan Islam.terj.Jahdan Ibn Human. Yogyakarta : Kota Kembang. 1995

K. Hitti, Philip, Dunia Arab. terj. Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P Sihombing. Bandung : Sumur Bandung. Tt.

Maryam, Siti (Ed), Sejarah Peradaban Islam Dan Masa Klasik Hingg'a Modern, Yogyakarta: SPI Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2002.

Nasution, Harun,  Islam Ditinjau: Dari Berbagai Aspeknya. I Jakarta : UI Press. 1978.

Osman, A. Latif, Ringkasan Sejarah.. Jakarta: Widjaya, 1951.

Sunanto, Musyrifah, Sejarah islam Klasik. Jakarta : Prenada Media. 2003.

Souyb, Jousouf. Sejarah Daulat Umayyah. Jakarta: Bulan Bintang. 1977.

Usairi, Ahmad, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Hingga Abad XX.  Jakarta : Akbar Media Sarana. 2003.

Watt, Mountgomery. W., Pergolakan Pemikiran politik Islam. Jakarta : Bennabi Cipta. 1985.


[1] Yusuf al-Isy. Dinasti Umawiyah, terj. Iman Nurhidayat dan Muhammad Khalil (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2002), h. 158.
[2] Hasan Ibrahim Hasan. Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj, Jahdan Ibn Human (Yogyakarta; Kota Kembang. 1995), h.62

[3]  Ahmad al-Usairi. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. (Jakarta: Akbar Media Sarana, 2003), h.176.
[4] Ibid. h.177
[5] Siti Maryam (Ed), Sejarsh Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hsngga Modern, (Yogyakarta: SPI Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2002). h.79
[6] Ibid.h.79
[7] Hasan Ibrahim Hasan, sejarah Dan Kebudayaan Islam, h.63
[8] W. Montgomary Watt. Pergolakan Pemikiran politik  Islam, (Jakarta,Bennabi Cipta,1985) h.67
[9] Siti Maryam (Ed) Sejarah Peradaban Islam, H. 88
[10] W.Montgomery Watt, Pergolakan Pemikiran Politik Islam, h.72
[11]  Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, h 95
[12] Ibid, h. 84- 58.
[13] Philip.K.Hitti, Dunia Arab, terj. Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P Sihombing (Bandung Sumur Bandung.tt) h.85
[14] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, I, (Jakarta, UI Press, 1978), h.61
[15] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudaan Islam, h.83
[16] A. Hasymy. Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1975) h.151
[17] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h.95
[18] Siti Maryam, Sejarah Peradaban Islam, h.88
[19] Ibid, h.92
[20] Ibid, h.91
[21] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Dan Kebudayaan, h.448
[22] Hj.Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta, Prenda Media, 2003) h.40
[23] Ahmad Amin, Dhua al Islam, h.264.

[25] Hj. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik,h.42
[26] Jousouf Souyb, Sejarah Umayyah (Jakarta : Bulan Bintang, 1977). H.236
[27] A.Latif Osman,Ringkasan Sejarah (Jakarta : Widjaya, 1951), h.99.
[28] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, h.62
[29] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h.111
[30] Ibid, h.112
[31] Ibid.h.114
[32] Ibid.h.114
[33] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, h.121
[34] Ibid, h.123

Tidak ada komentar:

Posting Komentar