Selasa, 07 Agustus 2012

DAULAH ABBASIYAH (KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN)


A. Pendahuluan
            Kecemerlangan Daulah Abbasiyah merupakan bukti sejarah perjalanan ummat Islam  dalam membuktikan dirinya sebagai Rahmatan li al-‘Alamin. Eksistensinya selama ± 524 tahun (750-1258 M), menyumbangkan peradaban yang cemerlang bagi kelangsungan hidup ummat manusia. Seluruh perhatian tertuju ke kota Bagdad yang merupakan pusat pemerintahan Daulah Abbasiyah.
Pada masa awal pertumbuhan Daulah Abbasiyah, khalifah yang menjabat sangat konsisten dalam mengemban tugasnya mengatur pemerintahan. Posisi khalifah sebagai tokoh politik dan keagamaan merupakan hal yang mendasar dalam mewujudkan kesatuan dan persatuan Daulah Abbasiyah. Daerah-daerah kekuasaan yang mencapai daratan Afrika dan Eropa taat dan patuh berintegrasi dengan kebijaksanaan pemerintahan yang berpusat di Baghdad.  

Akan tetapi pada masa berikutnya terjadilah gejolak yang berakibat kehancuran. Inilah ketentuan bahwa kejayaan itu ada batasnya, masa keemasan  Daulah Abbasiyah yang notabenenya adalah Islam, sampai pada apa yang disebutkan Allah Swt dalam Alquran :

Artinya :         Dan masa (kejayaan/Kehancuran) itu kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikannya gugur (sebagai syuhada). Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. (Q.S.Ali Imran: 140)
 Kemunduran dan kehancuran Daulah Abbasiyah disebabkan berbagai polemik dan faktor-faktor yang berasal dari kalangan pemerintahan sendiri dan dari luar pemerintahan Daulah Abbasiyah, yang awalnya  hanya masalah yang kecil namun lambat laun menjadi besar sehingga menjadi bom waktu bagi Daulah Abbasiyah. Yang pada akhirnya bangsa Mongol berhasil menumbangkan sang raksasa peradaban dengan memporak porandakan Baghdad yang merupakan pusat pemerintahan Daulah Abbasiyah.


B. Fakror-faktor Kemunduran dan Kehancuran Daulah Abbasiyah

1.   Faktor Internal
      a. Perbedaan Paham Para Ahli Teologi
                  Kehidupan intelektual di zaman Daulah Abbasiyah diawali dengan berkembangnya perhatian pada dua sumber utama dalam Islam yaitu Alquran dan Hadis. Dari dua sember utama inilah lalu lahir berbagai ilmu seperti halnya teologi. Teologi yang merupakan ilmu yang membahas tentang Tuhan, dan juga kedudukan manusia dalam kekuasaan mutlak Tuhan seperti kebebasan berkehendak, kedudukan akal dan lain-lain. Persoalan ini  melahirkan para ahli dengan berbagai ragam perbedaan-perbedaan pendapat mereka.
            Terbukti bahwa keberadaan berbagai macam pemikiran yang melahirkan aliran-aliran keagamaan menimbulkan polemik internal pada Pemerintahan Daulah Abbasiyah. Masing-masing para ahli dan ulama mengklaim bahwa pemikirannya adalah yang paling benar untuk dijadikan ideologi dalam pemerintahan. Seperti konflik yang terjadi antara Syi’ah dan Sunni. Pada masa Khalifah al-Mutawakkil (847-861M.)[1], beliau memerintahkan agar makam Husein di Karbela dihancurkan. Namun anaknya al-Muntashir (861-862 M.)  kembali memperkenankan orang Syi’ah  menziarahi makam Husein tersebut.[2]  Bahkan al-Muntashir turut membantu dalam pembunuhan ayahnya (al-Mutawakkil) agar dia dapat menduduki jabatan khalifah. Namun baru 6 bulan dia menjadi khalifah, ia mati diracun oleh para jenderalnya sendiri.[3]    
            Demikian juga aliran Muktazilah yang pernah menjadi ideologi pemerintahan pada masa al-Makmun, Khalifah ke tujuh Daulah Abbasiyah.[4] Muktazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bidah oleh golongan salaf. Pada masa al-Mutawakkil, aliaran Muktazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan digantikan oleh aliran Salaf. Akan tetapi pada masa pemerintahan dipimpin oleh Bani Buwaih (945-1055 M)[5] Muktazilah kembali menjadi ideologi negara. Dan pada periode berikutnya ketika pemerintahan dikuasai oleh suku Seljuk (1055-1258 M)[6], Aliran Asy’ariyah menjadi ideologi pemerintahan setelah menyingkirkan aliran Muktazilah dengan dukungan para penguasa yang berpaham Asy’ariyah.
            Demikian juga konflik yang terjadi antara orang beriman dengan golongan Zindiq (Tidak Bertuhan) berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti  polemik tentang ajaran sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di antara kedua belah pihak.[7]
           
b. Perebutan Kekuasaan Di Pusat Pemerintahan
                     Sudah menjadi kewajiban bahwa setiap kekuasaan akan dipimpin oleh orang-orang yang berpengaruh secara bergantian, baik secara konstitusional ataupun pemberontakan bahkan pemaksaan. Daulah Abbasiyah, yang berkuasa sampai 5 abad, tak terlepas dari suksesi khalifah yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan dalam mengembangkan pemerintahan.
                     Pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah perebutan kekuasaan secara mencolok terlihat pada periode kedua dan seterusnya. Disini tidak ada usaha untuk merebut jabatan kekhalifahan dari Bani Abbas, yang ada adalah usaha merebut kekuasannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap di pegang oleh Bani Abbas. Hal ini terjadi karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi.
                     Secara umum kekuasaan Daulah Abbasiyah dapat dibagi menjadi lima periode[8], yaitu :
1.   Periode Pertama (750-847M) disebut periode pengaruh Persia pertama
      Masa ini diawali sejak Abu Abbas menjadi khalifah (132H/750M)dan berlansung selama satu abad hingga meninggalnya khalifah al-Wasiq (232H/847M). Masa ini dianggap sebagai masa keemasan Daulah Abbasiyah karena keberhasilannya dalam memperluas wilayah kekuasaan.
2.   Periode Kedua (847-945M) disebut masa pengaruh Turki pertama
      Masa ini diawali dengan meninggalnya khalifah al-Wasiq, digantikan oleh al-Mutawakkil sampai masa pemerintahan al-Muktakfi. Disini orang-orang Turki menguasai posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Mereka awalnya dibawa oleh khalifah al-Mu’tasim. Namun selanjutnya mereka pertama menjadi pasukan militer. Setelah Khalifah al-Mutawakkil meninggal, para jendral yang merupakan orang Turki berhasil mengontrol pemerintahan.
3.   Periode Ketiga (945-1055M) kekuasaan Abbasiyah berada dibawah suku Buwaih.
      Ketika Daulah Abbasiyah di kuasai oleh para pengawal yang berasal dari bangsa Turki, suku Buwaihi diminta untuk membantu menyelamatkan posisi khalifah yang saat itu hanya sebagai simbol saja karena kekuasaan sepenuhnya di tangan orang-orang Turki. Dalam situasi ini khalifah al-Muktakfi meminta bantuan kepada Ahmad bin Buwaihi seorang panglima besar suku Buwaihi untuk menyelamatkan kedudukan khalifah. Setelah berhasil memerangi orang-orang Turki beliau bukannya menyelamatkan khalifah akan tetapi membutakan mata khalifah dan mengangkat al-Muti sebagai khalifah. Dari sinilah awal periode Buwaihi dimulai. Pada masa ini jabatan khalifah hanya sekedar boneka karena secara de facto kepala pemerintahan berada di tangan para Amir al-Umara (Panglima Besar)
4.   Periode Keempat  (1055-1194M) Kekuasaan Abbasiyah berada di bawah dinasti Saljuk ; periode ini kadang disebut pengaruh Turki kedua.
      Seljuk merupakan nama keluarga penguasa  suku Oghuz di Turki[9]. Mereka berhasil mengambil alih kekuasaan di Baghdad melalui melaui tiga orang putra Seljuk yaitu: Musa, Mikail, dan Arslan serta dua orang putra Mikail yang bernama Tugril Beg Muhammad dan Chaqri Beg Dawud. Pada awalnya mereka hanya sebagai tentara bayaran khalifah namun karena kecemerlangan prestasi dan pengaruh terhadap para prajurid istana mereka berhasil mengambil alih kekuasaan di Bagdad dan menjadikan khalifah di bawah komando mereka. Khalifah hanya memiliki wewenang dalam urusan keagamaan saja.
5.   Periode Kelima (1194-1258M) Abbasiyah terbebas dari pengaruh suku-suku lain tapi kekuasaannya hanya efektif di kota Baghdad saja.
Perebutan kekuasaan yang terjadi diantara keluarga bani Abbas melibatkan suku-suku non arab. Awal peristiwa ini terjadi pada periode kedua dimana pergantian khalifah terjadi dengan membunuh khalifah sebelumnya. Seperti ketika Abdullah (al-Makmun) membunuh khalifah sebelumnya (abangnya) yaitu Muhammad (al-Amin). Mereka adalah dua putra mahkota dari Harun al-Rasyid.  

      c. Gaya Hidup Mewah Para Penguasa
         Puncak keemasan Daulah Abbasiyah terjadi pada periode pertama, kalaupun ada konflik politik yang terjadi tidaklah berakibat fatal bagi integritas pemerintahan karena para khalifah sebagai kepala pemerintahan dapat menyelesaikannya secara bijaksana. Masa keemasan ini terjadi dengan berkembangnya peradaban dan kebudayaan serta ilmu pengetahuan.
Pada periode selanjutnya terjadilah perubahan kebiasaan para khalifah ke arah kehidupan yang serba mewah dan  berfoya-foya bahkan cenderung mencolok. Gaya hidup ini ditiru oleh para pejabat dan keluarga istana.
Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki untuk mengambil alih kendali pemerintahan.[10] Dan secara bergantian kendali pemerintahan di pegang oleh suku-suku non arab yang bukan dari keturunan Bani Abbas.
            d.  Dinasti-dinasti kecil yang Memerdekakan Diri (Disintegrasi)
            Berbagai kemelut yang terjadi di dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah, menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Perekonomian negara mengalami penurunan karena tidak seimbangnya pendapatan negara dengan pengeluaran yang disebabkan oleh para pejabat yang bergaya hidup mewah serta kurangnya pendapatan pajak dari daerah.
            Kondisi ini memberi peluang  kepada tentara profesional yang berasal dari suku non arab mengambil kendali pemerintahan. Sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka. Silih berganti mereka mengendalikan pemerintahan selama ± 400 tahun. Hingga akhirnya kelemahan pemerintahan terjadi yang menyebabkan terjadinya disintegrasi dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah.
            Situasi ini menyebabkan lahirnya pemimpin yang berupaya mendirikan kerajaan baru di daerahnya dan terlepas dari pengaruh Abbasiyah seperti Daulah Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko.[11] Selain itu  gubernur yang awalnya merupakan jabatan yang diberikan khalifah, karena kedudukannya semakin kuat sementara khalifah di pusat pemerintahan semakin lemah, mengambil kesempatan untuk membuat kerajaan sendiri.
            Disintegrasi memuncak pada daulah Abbasiyah ketika para khalifah menjadi boneka dalam tangan tentara pengawal. Daerah-daerah yang jauh letaknya dari pusat pemerintahan di Damaskus dan di Bagdad melepaskan diri dari kekuasaan khalifah di pusat dan bermunculanlah dinasti-dinasti kecil.
            Golongan Syi’ah yang pada mulanya sekutu Bani Abbas, mulai melancarkan aksi penentangan terhadap pemerintahan.
Di tahun 869 M timbul pemberontakan kaum Zanj di bawah pimpinan Ali Ibn Muhammad. Kaum Zanj adalah budak-budak yang didatangkan dari Afrika untuk bekerja di pertambangan di Irak. Dari tahun 870 M sampai 883 M kekuasaan Bani Abbas dikacau oleh pemberontakan Zanj ini.[12]
            Gerakan lain adalah gerakan Qaramitah yang dimulai tahun 874 M oleh Hamdan Qarmat, seorang penganut faham Syi’ah Ismailiyah di Irak.  Mereka membentuk negara merdeka di Teluk Persia, yang kemudian menjadi pusat kegiatan mereka dalam menentang pemerintahan Daulah Abbasiyah. Di tahun 930 serangan mereka meluas sampai ke Mekkah. Sewaktu pulang mereka membawa lari al-Hajr al-Aswad  yang dikembalikan baru 20 tahun kemudian.[13]   
            Setelah Qaramitah dilanjutkan oleh gerakan Hasyasyin (Assassins) yang dipimpin oleh Hasan Ibn Sabbah. Ia menjadikan Alamut di sebelah selatan Laut Kaspia sebagai basis serangan terhadap Daulah Abbasiyah di Bagdad. Mereka terkenal keras dan kejam, serta tidak segan-segan melakukan pembunuhan terhadap para musuh mereka.
            Berikut ini beberapa kerajaan yang melepaskan diri dari Kekuasaan Daulah Abbasiyah :[14]
1.   Yang berbangsa Persia
      a.   Thahiriyah di Khurasan (205-259H/820-872M)
      b.   Shafariyah di Fars (254-290H/868-901M)
      c.   Samaniyah di Transoxania (261-389 H/873-998 M)
      d.   Sajiyyah di Ajerbaijan (266-318 H/878-930 M)
      e.   Buwaihiyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447 H/932-1055 M)

2.   Yang Berbangsa Turki
      a.   Thuluniyah di Mesir (254-292 H/837-903 M)
      b.   Ikhsidiyah di Turkistan (320-560 H/932-1163 M)
      c.   Ghaznawiyah di Afganistan (351-585 H/962-1189 M)
      d.   Dinasti Saljuk (429-700 H/1037-1299 M)

3.   Yang Berbangsa Arab
      a.   Idrisiyah di Maroko (172-375 H/788-985 M)
      b.   Aghlabiyah di Tunisia (184-289 H/800-900M)
      c.   Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H/825-898 M)
      d.   Alawiyah di Tabaristan (250-316 H/864-928 M)

4.   Yang Mengaku dirinya sebagai Khalifah
      a.   Umawiyyah di Spanyol
      b.   Fatimiyah di Mesir
      c.   Idrisiyah di Marokko
            Berdirinya  dinasti-dinasti tersebut dilatar belakangi oleh adanya persaingan antara suku-suku  dan bangsa-bangsa terutama antara Arab, Persia dan Turki. Disamping itu ada juga pengaruh paham keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi’ah, ada pula yang Sunni.  Munculnya banyak dinasti  seperti cendawan di musim hujan merupakan gejala yang akhirnya melemahkan posisi Khalifah di pusat pemerintahan.

            e.  Kemerosotan Ekonomi
            Sejalan dengan kemunduran di bidang politik, Daulah Abbasiyah juga mengalami kemerosotan di bidang ekonomi. Pada periode awal Daulah Abbasiyah adalah kerajaan yang kaya dan yang masuk lebih besar dari dana yang keluar sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Yang berasal dari Pajak daerah kekuasaan dan pajak hasil bumi.
            Setelah khalifah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun, sementara pengeluran meningkat lebih besar. Hal ini disebabkan oleh makin sempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi pemberontakan yang mengganggu perekonomian, dan banyaknya dinasti-dinasti yang memerdekakan diri sehingga mereka tidak lagi membayar pajak ke pemerintahan.         
            Faktor-faktor internal ini lebih banyak berperan sebagai faktor penyebab kehancuran kekhalifahan ketimbang faktor eksternal. Serangan bangsa Mongol kendati begitu dahsat  nyatanya cuma berperan sebagai senjata  pamungkas yang meruntuhkan kekhalifahan.

2. Faktor Eksternal
a. Perang Salib
            Terjadinya perang salib adalah dipicu oleh rasa kebencian ummat kristen kepada ummat Islam. Puncak kebencian itu adalah ketika Daulah Abbasiyah di kuasai oleh bani Seljuk. Ketika Bani Seljuk berhasil merebut Bait al-Maqdis dari dinasti Fatimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan beberpa peraturan bagi ummat kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan ini dirasakan sangat menyulitkan mereka. Maka untuk mengambil kembali keleluasaan untuk berziarah ke tanah suci mereka itu, pada tahun 1095 M Paus Urbanus II berseru kepada ummat kristen di eropa supaya melakukan perang suci. Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang Salib.
            Disebutkan bahwa Hulagu Khan sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen, Gereja-gereja kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam. Tentara Mongol setelah menghancur leburkan pusat-pusat  Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.[15]         
            Akibat dari perang salib ini adalah kerugian yang dialami ummat Islam besar sekali karena perang salib terjadi di wilayah kekuasaan ummat Islam. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik ummat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian, mereka bukannya bersatu tapi malah terpecah belah. Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Daulah Abbasiyah di Baghdad.

b. Serangan Bangsa Mongol        
            Bangsa Mongol berasal dari daerah pegunungan Mongolia, yang membentang dari Asia Tengah sampai ke Siberia Utara, Tibet Selatan, dan Manchuria Barat serta Turkistan Timur. Nenek Moyang mereka bernama Alanja Khan, yang mempunyai dua putra kembar, Tatar dan Mongol. Kedua putra itu melahirkan dua suku bangsa besar, Mongol dan Tartar. Mongol mempunyai anak bernama Ilkhan, yang melahirkan keturunan pemimpin bangsa Mongol di kemudian hari.[16]
            Sebagai mana biasanya bangsa nomad, bangsa Mongol mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan berani menghadapi maut dalam mencapai keinginannya. Akan tetapi mereka sangat patuh kepada pimpinannya. Mereka menganut agama Syamaniah menyembah binatang-binatang dan sujut kepada matahari yang sedang terbit. Mereka menjadikan posisi wanita sama dengan laki-laki dalam tugas di medan perang.
Kemajuan bangsa Mongol secara besar-besaran terjadi pada masa kepemimpinan Yasugi Bahadur Khan. Diantara para pemimpin bangsa Mongol yang berpengaruh adalah :
                                        Yasuki Bahadur Khan


 


                                                                 Timujin
                    (yang mendapat gelar Jengis Khan/Raja Yang Perkasa)
Kemudian membagi wilayah kekuasaan kepada 4 putranya
                                                                                   
                          Juchi          Chagatai              Ogotai        Tuli
Tuli menguasai Khurasan, karena kerajaan-kerajaan Islam sudah terpecah belah dan kekuatannya sudah lemah. Tuli dengan mudah dapat menguasai Irak. Ia meninggal tahun 654 H/1256 M dan digantikan oleh putranya Hulagu Khan.
            Pada tahun 656H/1258M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad, khalifah al-Mu’tashim, penguasa terakhir Daulah Abbasiyah di Baghdad betul-betul tidak mampu membendung tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Pada saat krisis tersebut wazir khalifah Abbasiyah Ibnu al-Aqlami ingin mengambil kesempatan denganmenipu khalifah. Ia mengatakan kepada khalifah:”Saya telah menemui mereka untuk perjanjian damai. Raja Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr putra khalifah. Dengan demikian Hulagu Khan akan menjamin posisimu. Ia tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap sultan-sultan Seljuk.[17]
            Maka khalifah al-Mu”tashim yang dalam posisi terdesak menerima usulan tersebut. Ia dan rombongan berangkat menemui Hulagu Khan dengan membawa barang-barang berharga untuk diserahkan. Akan tetapi sambutan Hulagu Khan diluar dugaan. Khalifah dan rombongan bukannya disambut dengan baik melainkan dibunuh dengan cara kepala mereka dipenggal secara bergiliran.
            Kota Baghdad di jarah dan dibakar mayoritas penduduknya termasuk keluarga khalifah dibantai habis. Bau busuk  yang keluar dari mayat-mayat yang tidak dikubur dan bergeletakan di jalanan membuat Hulagu Khan mesti menarik diri dari kota itu selama beberap hari.[18]
Dengan pembunuhan yang kejam ini , berakhirlah kekuasaan Abbasiyah  di Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah. Akan tetapi walaupun sudah hancur Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun sebelum melanjutkan gerakannya ke Mesir dan Syiria.

c.  Pengaruh Bangsa Turki dan Persia dalam Pemerintahan
Daulah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan Orang-orang Persia. Persekutuan ini dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Daulah Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah Daulah Abbasiyah  berdiri, Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Bahkan mereka lebih mengutamakan orang-orang Persia ketimbang orang Arab karena Bangsa Arab ketika Umayyah berkuasa merupakan golongan kelas satu dan mereka terpecah belah dengan adanya kesukuan.
Pada Daulah Abbasiyah timbul berbagai fanatisme bangsa-bangsa untuk menguasai pusat pemerintahan karena pada awal pemerintahan kekuasaan Daulah Abbasiyah sangat luas. Selain itu angkatan bersenjata yang direkrut dari bangsa lain (Arab, Turki, Persia) awalnya membantu khalifah merebut kekuasaan dari pengaruh salah satu suku/bangsa yang menguasai pemerintahan Abbasiyah, serta untuk membantu menjalankan pemerintahan dan memperluas wilayah, akan tetapi mereka malah menguasai pemerintahan bahkan jabatan khalifah mereka jadikan hanya mencakup urusan keagamaan. Selain menjatuhkan martabat khalifah keadaan ini juga membutuhkan biaya yang sangat besar yang ditanggung oleh kas negara.
Setelah al-Mutawakkil naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Daulah Abbasiyah sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Selanjutnya direbut oleh Bani Buwaih, Kemudian Bangsa Persia dan terahir Suku Seljuk.






C. Penutup
Pemerintahan Daulah Abbasiyah yang berkuasa ± 524 tahun (750-1258 M) mengalami masa kemajuan dan jauh dari konflik pada masa pertama yaitu ketika para pemimpinnya dapat menjalankan roda pemerintahan dengan bijaksana sehingga gejolak politik yang terjadi dapat diselesaikan dengan cara yang bijaksana.
Pada periode ke dua dan seterusnya, banyak terjadi gejolak politik yang ternyata tak dapat diselesaikan oleh para khalifah. Faktor internal dan eksternal yang terjadi menimpa Daulah Abbasiyah seperti perbedaan paham teologi Perebutan kekuasaan yang terjadi antara orang-orang Arab, Turki, Persia tidak hanya melemahkan pemerintahan akan tetapi akibat yang lebih buruk adalah terjadinya desintegrasi kekuasaan yang mengakibatkan melemahnya pengaruh kekuasaan.
Dalam posisi yang semakin melemah maka bangsa Mongol dengan mudah menjatuhkan kedigjayaan Daulah Abbasiyah dengan cara yang sangat tragis dan menyedihkan. Yang akhirnya menenggelamkan masa kejayaan Islam.










DAFTAR PUSTAKA

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya ; Jilid I, UI Press, Jakarta, 1985

Taufik Abdullah, Dkk., Ensiklopedi Tematis Duania Islam : Khilafah, PT Ichtiyar Baru Van Hoeve, 2003.

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008.

Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam : Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, Grasindo, Jakarta, 2002

Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2008

Phili K.Hiti,History Of The Arabs, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2006

Ahmad Syalabi,Sejarah Kebudayaan Islam,Terj. M.Labib Ahmad, Pustaka al-Husna Baru, Jakarta, 2003



[1]Taufik Abdullah, Dkk., Ensiklopedi Tematis Duania Islam : Khilafah, PT Ichtiyar Baru Van Hoeve, 2003, h.84.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, h.83.
[3]Taufiq Abdullah, Dkk., Ibid., h. 99.
[4] Badri Yatim, Ibid., h 84
[5] Taufiq Abdullah, Dkk., Ibid., h. 84.
[6] Ibid., h.85
[7] Badri Yatim, Ibid., h 83
[8] Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam : Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, Grasindo, Jakarta, 2002, h.72.
[9]Ibid., h.85
[10] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2008, h.137
[11] Badri Yatim, Ibid.,h.64
[12] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya ; Jilid I, UI Press, Jakarta, 1985, h. 75
[13]  Ibid,. h. 76
[14]  Badri Yatim, Ibid., h. 65
[15]Ibid., h.85
[16]Ibid., h. 111
[17] Ibid., h.114
[18] Phili K.Hiti,History Of The Arabs, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2006, h.620

Tidak ada komentar:

Posting Komentar