Jumat, 18 Mei 2012

STUDI ALQURAN

Makalah


A. Pendahuluan
Alquran merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan Allah kepada rasulnya yang terakhir yaitu Nabi Muhammad saw. Sekaligus sebagai mukjizat yang terbesar diantara mukjizat-mukjizat yang lain. Turunnya Alquran dalam kurun waktu  23 tahun, dibagi menjadi dua fase. Pertama diturunkan di Mekkah yang biasa disebut dengan ayat-ayat Makiyah. Dan yang kedua diturunkan di Madinah disebut dengan ayat-ayat Madaniyah.
Alquran sebagai kitab terakhir dimaksudkan untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia (hudan linnas) sampai akhir zaman. Bukan cuma diperuntukkan bagi anggota masyarakat Arab tempat dimana kitab ini diturunkan akan tetapi untuk seluruh umat manusia. Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang luhur yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dalam berhubungan dengan Tuhan maupun hubungan manusia dengan sesama manusia lainnya dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Fazlur Rahman mengemukakan tentang tema-tema pokok yang terkandung dalam Alquran yang meliputi : tentang Ketuhanan, kemanusiaan (individu/masyarakat), alam semesta, kenabian, eskatologi, setan/kejahatan dan masyarakat muslim.[1]
Menurut Ahmad Van Denffer pendekatan terhadap Alquran itu dapat dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu :
Pertama : Menerima Alquran lewat membaca dan mendengarnya.
Kedua :Memahami pesan-pesan yang dikandung Alquran dengan cara menghayati, dan kemudian mengkaji makna yang dikandungnya.
Ketiga   : Menerapkan pesan-pesan yang dibawa Alquran lewat pelaksanaan, baik dalam kehidupan pribadi ataupun  kehidupan masyarakat yang kita jalani[2]
Dan cabang yang dikenal dengan nama “ulumul quran” tersebut dapat kita pergunakan untuk mencapai pada tahapan yang kedua, yaitu memahami pesan-pesan dari Alquran lewat pemahaman terhadap nash dan suasana ketika ayat-ayat tersebut diwahyukan.

B. Pengertian Alquran dan Wahyu
1. Pengertian Alquran
Berbicara tentang pengertian Alquran, apakah itu dipandang dari sudut bahasa maupun istilah. Banyak para ulama berbeda pandangan dalam mendefinisikannya. Qara’a mempunyai arti mengumpulakan dan menghimpun,  dan qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan  yang terusun rapi. Quran pada mulanya seperti qira’ah, yaitu masdar (infinitive) dari kata qara’a, qira’atan  qur’anan,[3] Sebagaimana  firman Allah :


Artinya :Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah  mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya, Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah  bacaannya itu. (Al-Qiyamah : 17-18)
Adapun pengertian Alquran menurut istilah yang telah disepakati oleh para ulama adalah “Kalam Allah yang bernilai mukjizat yang dturunkan kepada “pungkasan” para nabi dan rasul (Nabi Muhammad SAW) dengan perantaraan malaikat Jibril AS, yang tertulis pada mashahif, diriwayatkan kepada kita secara mutawatir, yang membacanya dinilai sebagai ibadah yang di awali dengan surat al-Fatihah dan di tutup dengan surat an-Naas”[4]
2. Pengertian Wahyu
Alquran dengan wahyu memiliki kaitan yang erat, karena Alquran merupakan wahyu Allah yang telah disampaikan kepada nabi Muhammad SAW, sebagaimana Allah telah menyampaikan wahyu kepada rasul sebelumnya.
Arti kata wahyu sebagaimana dikatakan wahaitu ilaih dan auhaitu, bila kita berbicara kepadanya agar tidak diketahui orang lain. Wahyu adalah isyarat yang cepat. Itu terjadi melalui pembicaraan yang berupa rumus dan lambang, dan terkadang melalui suara semata, dan terkadang pula melalui isyarat dengan sebagian anggota badan.[5]
Sementara itu menurut pendapat lain yang mendefinisikan  wahyu dari segi bahasa (etimologi) maupun secara istilah (terminology) adalah sebagai berikut : Bahwa wahyu secara semantic diartikan sebagai isyarat yang cepat (termasuk bisikan di dalam hati dan ilham), surat, tulisan, dan segala sesuatu yang disampaikan kepada orang lain untuk diketahui. Sedangkan menurut istilah adalah pengetahuan seseorang di dalam dirinya serta diyakininya bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, baik dengan perantaraan atau tanpa suara maupun tanpa perantaraan.[6].

C. Asal-Usul Studi Quran Pada Masa Muslim Periode Pertama
Pada masa turunya Alquran ditengah-tengah bangsa Arab dengan segala aktifitas kebudayaan mereka, setiap ayat diturunkan Allah tidak dipahami sebagai kalimat-kalimat yang berdiri sendiri, melainkan berkaitan langsung dengan kenyataan-kenyataan yang mereka hadapi sehari-hari, sehingga untuk memahami isi kandungan dari ayat tersebut hampi-hampir tidak ditemukan masalah-masalah yang serius. Selain itu para sahabat nabi, adalah orang-orang yang pintar, sehingga mereka mampu memahami dan mencerna kesusasteraan yanag bermutu tinggi dari Alquran.
Dan jika mereka mendapaatkan suatu ayat yang sukar untuk dimengerti, maka mereka menanyakan langasung kepada nabi. Jadi praktis pada masa rasulullah dan masa berikutnya (pada masa generasi sahabat nabi) tidak ada kebutuhan sama sekali untuk menulis atau mengarang buku-buku tentang ilmu-ilmu Alquran
Disamping telah terpenuhinya pemahaman mereka terhadap wahyu yang diturunkan, nabi sendiri juga telah melarang para sahabatnya untuk menulis sesuatu selain yang bukan Alquran, seperti sabdanya : “Jangan kalian menulis sesuatu tentang diriku selain Alquran, siapa yang menulis tentang diriku selain Alquran, hendaklah menghapusnya”. Larangan beliau ini didorong karena kekhawatiran akan terjadinya percampuran dengan hal-hal yang bukan Alquran.[7]
Pada masa rasulullah hingga masa khalifah Abu Bakar dan Umar ibn Khattab, naskah-naskah yang ditulis oleh para sahabvat yang ditugaskan nabi, dikumpulkan menjadi satu dan disimpan. Dan ilmu Alquran masih disampaikan melalui lisan. Baru setelah pemerintahan Usman ibn Affan, di mana pada saat itu bangsa Arab telah membuka diri dengan bangsa-bangsa lainnya, barulah naskah-naskah itu dikeluarkan untuk ditulis ulang dan disusun kembali dan kemudian dikirimkan kebeberapa daerah di luar Arab.[8]
Naskah Alquran yang baru disusun ulang itu dijadikan naskah standar (induk), yang kemudian dikenal dengan mushaf al-ustmani. Dengan demikian khalifah Usman telah meletakkan dasar-dasar ilm rasm Alquran (ilmu tentang bentuk tulisan alquran atau ilm rasam al-Usamani (ilmu tentang bentuk tulisan Alquran yang disetujui Usman), suatu cabang ulumul quran dari segi penulisannya.[9]
Selanjutnya pada pemerintahan Ali ibn Abi Thalib, dimunculkannya ilmu tentang alaquran yang mengkaji dari segi tata bahasanya (ilm I’rab alquran). Hal ini disebabkan adanya pengrusakan-pengrusakan terhadap kaidah bahasa arab yang dilakukan oleh orang-orang Asing, sehingga dikhawatirkan akan menjalar kepada bahasa alquran yang natabene bahasa arab. Untuk itu beliau memerintahkan Abul Aswad Ad-Duwali untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab guna memelihara kemurnian alquran (dari segi tata bahasa) dari permainan dan kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang yang jahil.[10]
Setelah masa Khulafaurrasyidin, maka muncullah ilmu-ilmu yang membahas tentang alquran yang dimunculkan oleh para tabi’ dan tabi’in, pada sudut pandang (bahasan) yang beraneka ragam. Ada yang membahas tentang penafsiran ayat-ayat yang menghapus dan dihapus oleh ayat yang lain (ilm nasikh wal mansukh) dan lain sebagainya. Kemudian setelah itu datanglah masa pembukuan/penuliasan cabang-cabang ulumul quran. Adapun cabang ulumul quran yang pertama kali dibukukan adalah Tafsir Alquran. Sebab Tafsir Alquran ini dianggap sebagai induk dari ilmu-ilmu alquran lainnya.[11]

C. Pendekatan-pendekatan Dalam Studi Quran
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Alquran, pemakalah ingin menguraikan secara ringkas tentang pendekatan-pendekatan dalam studi Alquran, antara lain adalah sebagai berikut :
a. Pendekatan Kebahasaan (analisis bahasa)
Telah disepakati oleh semua pihak, bahwa untuk memahami isi kandungan Alquran dibutuhkan pengetahuan Bahasa Arab. Dan untuk memahami arti suatu kata dalam rangkaian redaksi satu ayat, seseorang terlebih dahulu harus meneliti apa saja pengertian yang dikandung oleh kata tersebut. Kemudian menetapkan arti yang paling tepat setelah memperhatikan segala aspek yang berhubungan dengan ayat tadi.[12]
Dengan kata lain, bahwa seseorang yang ingin meneliti tentang ilmu-ilmu Alquran harus mengetahui betul tentang kaedah-kaedah bahasa Alquran itu sendiri dalam hal ini adalah Bahasa Arab, sehingga ia mampu memahami isi yang terkandung dalam ayat tersebut.
b. Pendekatan Korelasi antar ayat dengan ayat lain (anlisis ayat per-ayat)
Memahami pengertian suatu kata dalam rangkaian satu ayat, tidak dapat dilepaskan adari konteks kata tersebut dengan keseluruhan kata-kata dari ayat tadi.[13] Maksudnya adalah pemaknaan suatu ayat tidak akan sempurna jika tidak diikuti oleh makna ayat sebelum atau sesudahnya. Dengan demikian terjadinya hubungan sebab akibat antara suatu ayat dengan ayat lainnya baik sebelum maupun sesudahnya.
c. Sifat Penemuan Ilmiah
Hasil pemikiran seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik itu yang berasal dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar dirinya. Dengan begitu pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalamannya. sehingga memaksa pemahaman redaksi Alquran menjadi berbeda-beda.
Berkenaan dengan pendekatan ini, Qurais Shihab mengemukakan pandangannya bahwa, apa yang dipersembahkan para ahli dari berbagai disiplin ilmu, sangat bervariasi dari kebenarannya. Seseorang bahkan tidak dapat mengatas namakan Alquran dalam kaitan dengan pendapatnya, jika pendapat tadi melebihi kandungan redaksi ayat-ayat. Tetapi hal Ini bukan berarti seseorang dihalangi untuk memahami suatu ayat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Hanya selama pemahaman tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip ilmu tafsir yang telah disepakati.[14]

D. Metodelogi dan Corak Tafsir dalam Studi Alquran

Selanjutnya dalam pembahasan ini juga akan diuraikan secara singkat tentang metode-metode dalam mengkaji (studi) terhadap kandungan Alquran. Setidaknya ada empat metode penting dalam mengkaji isi kandungan Alquran yang dikemukakan oleh para ahli yaitu : 1. Metode Tahlily (Analisis ayat per-ayat). 2. Metode Ijmaly (secara global). 3. Metode Muqarin (perbandingan). Dan 4 Metode Mudhu’i / Tematik (bertolak dari tema tertentu).[15]
1. Metode Tahlily (analisis ayat per-ayat)
Dari keempat metode yang dikemukakan adi atas, metode tahlily merupakan salah satu metode yang paling popular selain metode maaaaaaauadhu’ia/tematik yang sering digunakan oleh para mufassir untuk mengkaji isi kandungan Alquran.
Adapun pengertian metode tahlily adalah metode yang “mufassirnya” berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya dengan memperhatikan, runtutan ayat-ayat Alquran sebagaimana yang tercantum dalam mushaf.[16]
Metode tafsir tahlily ini memiliki aspek-aspek yang sangat luas dan menyeluruh, di dalam melakukan penafsiran, mufassir harus dapat memberikan perhatian di segala aspek yang terkandung dalam ayata yanga ditafsirkannya, dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat.
Metode ini juga digunakan oleh sebagian besar mufassir pada masa lalu dan masih terus berkembang pada massa sekarang. Diantara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini, ada yang ditulis dengan sangat panjang, seperti kitab tafsir karya Al-Alussi, Fakhr al-Din al-Razi dan Ibn Jabir al-Thabari. Ada yanag sedang, seperti kitab tafsir Imam al-Baidhawi dan Naisaburi, dan ada pula yang ditulis dengan ringkas tetapai jelas dan padat, seperti kitab tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din Suyuthi dan Jalal al-Din al-Mahalli, dan kitab tafsir yang ditulis Muhammad Farid Wajdi.[17]
Dilihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi (corak) yang terdapat dalam metode tahlily ini, paling tidak ada tujuh corak tafsir yang dapat dikemukakan, antara lain :
1. Tafsir bil Ma’tsur
Yaitu, metode tafsir dengan menggunakan riwat sebagai sumber pokoknya. Dengan demikian tafsir ini juga disebut dengan bi riwayah atau tafsir bil mangqul (tafsir yang menggunakan pengutipan). Penafsiran dalam caorak ini juga dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu :
  1. Penafsiran ayat dengan ayat lain.
  2. Penafsiran ayat Alquran dengan Hadits Nabi
  3. Penafsiran ayat Alquran dengan pendapat para sahabat.
  4. Penafsiran ayat Alquran dengan pendapat para tabai’in.
2. Tafsir bi ra’yi
Yaitu, penafsiran yang di lakukan dengan menetapkan rasio sebagai titik tolak. Tafsir corak ini dinamakan juga dengan tafsir bi ijtihad (tafsir dengan menggunakan ijtihad), karena tafsir model ini didasari atas hasil pemikiran seorang mufassir. Oleh karenaitu, bila dibandingkan dengan tafsir bi ma’tsur, tafsir ini lebih memungkinkan terjadinya perdebatan-perdebatan penafsiran antara satu mufassir dengan mufassir lainnya. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika dikalangan para ulama ada yang menolak tafsir model ini. Karena mereka berpendapat bahwa pemikiran seseorang dapat dipengaruhi oleh hawa nafsunya.
3. Tafsir adabi ijtima’i
Yaitu, corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat Alquran berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya Alquran, kemudian mengaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat Islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat.
4. Bercorak Fikih
Yaitu, tafsir yang berorientasi atau memusatkan perhatian pada fikih (hukum Islam). Dengan demikian, mufassir dalam corak ini biasanya adalah seorang ahli fikih yang berupaya menafsirkan ayat-ayat Alquran  dalam akaitannya dengan persoalan-persoalan hokum Islam.
5. Bercorak Tasawuf
6. Becorak Filsafat
7. Bercorak Ilmiah (ilmu pengetahuan)

2. Metode Ijmali (global)
Pengertian  metode ijmali adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan mengemukakan makna global.
Dengan menggunakan metode ini, mufassir menjelaskan makna ayat-ayat Alquran secara global (garis besar). Sistimatikanya harus mengikuti urutan surah-surah Alqauran sehingga maknanya dapat saling berhubungan dalam menyajikan maknaa-makna ini, mufassir mengemukan ungkapan-ungkapan dari Alquran itu sendiri dengan menambah kata-kata atau kalimat penghubung sehingga memudahkan para pembaca untuk memahaminya.
Adapun kitab tafsir yang disusun menurut metode ini antara lain, tafsir Alquranul Karim (Muhammad Farid Wajdi) dan Al-Wasith (Karya Tim Lembaga Penelitian)
3. Metode Muqarin (Perbandingan)
Metode tafsir ini menggunakan perbandaingan yaitui dengan membandingkian antara ayat Alquran satu dengan ayat yang lainanaya dan membandingkan antara ayat Alquran dengan hadits, serta membandingkan antara mufassir satu dengan mufgassir lainnya.
Perlu digaris bawahi, bahwa membandingkan ayat Alquran dengan ayat lainnya dalam metode ini, hanya sebatas pada persoalan redaksinya saja dan bukan terletak pada bidang pertentangan makna seperti yang dibahas pada ilmu nasikh dan mansukh.
4. Metode Maudhu’i / Tematik
Metode ini memiliki dua bentuk, yaitu :
  1. Membahas suatu surah Alquran secara menyeluruh, memperkenalkan dan menjelaskan maksi=ud-maksud umum dan khususnya secara garis besar dengan cara menghubungkan ayar satu dengan ayat yang lain, atau antara pokok satu dengan pokok masalah lain. Dengan metode ini surat tersebut tampak dengan metodenya yang utuh, teratur, cermat, teliti dan sempurna.
  2. Menghimpun dan menyusun ayat-ayat Alquran yang memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan di bawah satu bahasan tema tertentu. Melalui kajian seperti ini mufassir mencoba menetapkan pandangan Alquran yang mengacu pada tema tertentu dari berbagai macam tema yang berkaitan dengan alam dan kehidupan. Upaya tersebut pada akhirnya dapat mengantarkan mufassir kepada kesimpulan yang menyeluruh tentang masalah tertentu menurut pandangan Alquran, bahkan dengan menggunakan metode ini, mufassir dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas dalam benaknya dan menjadikan permasalahan tersebut sebagai tema-tema yang akan dibahas dengan tujuan menemukan pandangan Alquran mengenai hal tersebut.
Demikianlah metode-metode serta corak yang ada dalam mengkaji studi tafsir yang merupakan ainduaak dari ilmu-ilmu Alquaran lainnya yang terhimpun dalam satu bahasan yaitu ulumul quran.[18]

E. Perkembangan Studi Quran pada Masa Selanjutnya
Perlu diketahui bahwa perkembangan studu Alquran ini telah melalui beberapa fase/masa perkembangan yang sejalan dengan perkembangan agama Islam. Di awali pada masa nabi Muhammad SAW. Dan kemudian diikuti oleh para sahabat terdekat (Khulafaurrasyidin) serta diperluas oleh tabi’i dan tabi’u at-tabi’in serta diteruskan oleh para ulama yang terbagi dalam beberapa fase yaitu :
a.Fase pertama (masa hidupnya Nabi SAW hingga abad 11 Hijrah)
Pada masa ini perkembangan studi Alquran sudah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya. Bahwa keadaan studi Alquran pada saat itu masih dalam perumusan yang dipelopori oleh para sahabat Nabi SAW.
b.Fase kedua (abad III dan X Hijrah)
Pada masa ini, kajian studi quran sudah mulai berkembang yang ditandai dengan banyaknya ulama yang mengkhususkan kajian studi alquran pada satu pokok pembahasan, seperti pembahasan tentang asbabun nuzul, nasikh dan mansukh, gharibil quran dan ilmu-ilmu lainnya yang menyangkut tentang alquran. Tidak ketinggalan pembahasan terhadap tafsir alquran pada masa ini juga telah menjamur.
Dengan meluasnya pengkajian terhadap studi alquran maka para ulama alquran pada saat itu bersepakat untuk menggabungkan seluruh kajian-kajian mereka dalam satu bentuk pembahasan yang dinamakan dengan Ulumul Quran. Terlebih lagi pada abad V!! Hijrah, dimana pada masa ini muncul istilah Ulumul Quran yang mudawwan (terpadu). Maksudnya adalah Ulumul Quran yang sistematis, ilmiah, dan integrative yang perkembangannya disempurnakan oleh seorang ulama Al quran pada abad X Hijrah yang bernama Imam Asy-Syuyuthi.
c. Fase ketiga (abad XV! Hijrah / abad modern)
Setelah wafatnya Imam As-Syuyuthi (911 H), perkembangan studi Al-quran mengalami kemundurun, yaitu dengan terhentinya gerakan penulisan Ulumul Quran. Baru setelah abad XV! Hijrah atau abad modern gerakan penulisan dan pengkajian tersebut muncul dan berkembang kembali. Hal ini ditandai dengan banyak bermunculan ulama yang mengarang Ulumul Quran dan menulis kitab-kitabnya, baik tafsir maupun macam-macam kitab Ulumul Quran lainnya.
Diantara para ulama yang menulis Tafsir / Ulumul Quran pada abad modern ini adalah sebagai berikut :
Ad-Dahlawi ; al- Fauzul Kabir fi Ushulit Tafsir
Thahir al-Jazari ; at-Thibyan Fi Ulumul Quran
Abu Daqiqah ; Ulumul Quran
M. Ali Slamah ; Minhaajul Furqan Fi Ulumul Quran
Muhammad Bahist ; Nuzulul Quran ‘ala Sab’ati Ahrufin
Dan lain sebagainya.[19]

F. Studi Quran Dikalangan Orientalis
Orientalis berasal dari kata “Orient” yang mengandung pengertian “timur”, kata-kata tersebut berarti ilimu-ilmu yang berhubungan dengan dunia timur.[20] Orang-orang yang mempelajari budaya timur dari segala aspeknya disebut orientalis atau ahli ketimuran. Orientalis adalah suatu gaya berfikir yang berdasarkan pada perbedaan ontologis dan epistimologis yang dibuat antara timur dan barat.[21]
Secara defenisitif orientalis ialah segolongan sarjana barat yang mendalami bahasa-bahasa, budaya, politik, etnis dunia timur, sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya.[22]
Boleh jadi motivasi awal orang –orang barat mempelajari Islam, tidaklah untuk menyerang Islam. Mungkin saja pada awalnya mereka benar-benar mempelajri Islam sebgai suatu ilmu. Namun akhirnya orientalis toh tetap saja membawa bau sentiment barat (baca: Kristen) terhadap Islam. Sehingga jadilah kajian-kajian orientalis merupakan syubhat-syubhat yang menimbulkan keragu-raguan dikalangan muslimin terhadap ajaran Islam, beberapa serangan mereka terhadap Islam antara lain :
Menghujat Alquran
Dalam banyak penelitian mereka, para orientalis menyebarkan berbagai subhat batil seputar Alquran. Seorang orientalis bernama Noeldeke dalam bukunya, Tarikh Alquran, menolak keabsahan huruf-huruf pembuka dalam banyak surat Alquran dengann klaim bahwa itu hanyalah simbol-simbol dalam beberapa teks mushaf yang ada pada kaum muslimin generasi awal dahulu, seperti yang ada pada teks mushaf Utsmani. Ia berkata bahwa huruf Mim adala simbol untuk mushaf al-Mughirah, huruf Ha adalah simbol untuk mushaf Abu Haurairah, huruf Nun untuk mushaf Ustman. Menurutnya simbol-simbol itu secara tidak senganja dibiarkan pada mushaf-mushaf tersebut, sehingga pada akhirnya terus melekat pada mushaf Alquran dan menjadi bagian dari Alquran hingga kini.
Berkaitan dengan sumber penulisan Alquran, kaum orientalis menuduh bahwa isi Alquran berasal dari ajaran Nsrani, seperti tuduhan Brocelman. Sedangkan Goldziher menuduhnya berasal dari ajaran Yahudi. Kauam orientalis yakin bahwa Alquran adalah buatan Muhammad. Orientalis Gibb dalam bukunya, Al-Wahyu Al-Muhammadi, berkata bahwa Alquran hanya buatan orang tertentu, yaitu Muhammad yang hidup dilingkungan khusus, yaitu dikalangan Makkah sehingga kehidupan beliau terwarnai oleh apa yang beliau ungkapkan.

G. Kritik Analisis Terhadap kajian Orientalis
 Ternyata tidak semua orientalis, mempunyai pemikiran sama,dimana mereka mempelajari Islam untuk menyerang Islam itu, tetapi justru banyak diantara mereka juga yang membela Islam, seperti William Montogomery Watt, yang diklaim sebagai orientalis objektif dan paling simpatik terhadap Islam, berpendapat bahwa kebenaran kenabian Muhammad didasarkan  pada fakta sejarah umat Islam sendiri. Bagi Watt, pesan-pesan (massage) wahyu Nabi Muhammad telah mengantarkan komunitas umat Islam berkembang sejak masa kerasulan Muhammad hingga sekarang, umat Islam menaati ajaran, merasakan kepuasan dan kebahagiaan, serta menjadi saleh dan taat dalam keislamannya, meskipun hidup dalam lingkungan yang sulit. Ia menyatakan,
“These point lead to the conclusion that the view of reality presented in the Quran is true and from God, and that therefore Muhammad is genuine prophet.”
(Hal-hal tersebut mmenghasilkan konklusi bahwa pandangan tentang realitas yang terkandung dalan Alquran adalah benar dan bersumber dari Tuhan. Dengan demikian, Muhammad adalah nabi yang sesungguhnya).[23]
Hal senada diungkapkan pula oleh G. Margolioth (1858-1940)
“Adapun Alquran menempati kedudukan yang maha penting dalam barisan agama-agama yang besar di dunia. Meskipun umurnya yang relative muda, ia mempunyai bagian dalan ilmu kitab yang pernah mencapai keberhasilan, yang belum pernah dicapai sebelumnya. Alquranlah yang telah mengubah cara berfikir dalam lingkaran manusia dan membawa anjuran tentang peradaban tinggi dan menggerakkan bangsa Arab yang sedang dalam alam gulita menjadi suatu bangsa yang gagah berani. Alquranlah yang telah membawa bangsa itu (Arab) masuk ke medan pemuka agama yang berdasar politik, sehingga dapat membangun sebuah organiasasi Islam yang mengagumkan.”[24]
Sekalipun pada akhir kalimat dari kutipan di atas, Margoliuth memberikan papandangan subjektif, yaitu memandang Islam sebagai “agama yang berdasar politik” dan secara implisit  mengidentikkan Alquran sebagai kitab suci orang Arab, pada beberapa bagian, ia mengakui bahwa Alquran mempunyai peranan penting dalam sejarah umat manusia dan telah membuktikan dirinya sebagai penggerak peradaban manusia.
Dari masa ke masa, Alquran juga diposisikan sebagai sebuah teks petunjuk dan tata aturan tindakan bagi berjuta-juta manusia yang ingin hidup di bawah naungannya dan mencari makna kehidupan di dalamnya. Alquran membentuk pemikiran mereka dan mengalir ke dalam literature dan wacana keseharian.
Dalam ungkapan singkat, William A. Graham berkomentar bahwa Alquran merupakan “A Canonical writing is something people ready and study, ascripture something people live by and for” (sebuah teks resmi aturan agama yang daibaca dan dipelajari masyarakat, sekaligus sebagai naskah yang menjadi landasan kehidupan dan tujuan masyarakat).
Nur Fadhil A. Lubis menyebutkan bahwa sebagian besar universitas di Amerika Serikat, juga hampir menyeluruh  di universitas Barat, mempunyai program khusus Quranic Studies sejajar dengan Bible Studies dan studi kitab suci lainnya. Dari seluruh bagian kajian keislaman, tidak ada yang lebih sensitive bagi peneliti non-Muslim daripada anlisis-analaisis Alquran.[25]
Dalam wacana orientalis, studi kritis Alquran merupakan “menu utama”, sekaligus merupakan kajian paling sensitive disbanding dengan kajian lainnya. Para orientalis menaruh perhatian terhadap studi kritis Alquran dalam berbagai aspek, dari teks Alquran sendiri hingga terjemahan Alquran. Di dunia ini ada lebih dari 600 terjemahan Alquran dalam berbagai bahasa.
Ketertarikan umat Islam dalam kajian Alquran sejak masa awal hingga masa kini jelas tidak banyak mengundang pertanyaan yang bernada sinis, bahkan dipandang sebagai suatu keharusan, sebab Alquran merupakan kitab utama dan menjadi pegangan hidup dalam menjalankan agama. Sebaliknya, pertanyaan atau bahkan kecurigaan sering dialamatkan  kepada para orientalis ketika umat Islam menghadapai fenomena bahwa para sarjana Barat yang notanene-nya non-muslim.



                                        

                              Penutup
Alquran merupakan kitab yang berisikan kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril yang didalamnya berisikan petunjuk-petunjuk kepada seluruh umat manusia.
Untuk memahami petunjuk-petunjuk tersebut dengan benar, maka diperlukannya berbagai macam ilmu yang membahas / mengkaji alquran itu yaitu Ulumul Quran, didalamnya memuat seluruh bahasan tentang alquran mulai dari tafsir alquran yang merupakan induk dari segala macam kajian mengenai alquran sampai pada ilmu bacaan alquran, yang semuanya itu bertujuan untuk membela serta mempertahankan kesucian alquran itu sendiri dari segala macam bentuk gangguan yang tidak mengiginkan kesuciannya.







                                












DAFTAR PUSTAKA

Amanah, H.St. Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir, Semarang: Asy-Syifa, 1994
Al-Qattan, Manna’ Khalil. Mabahits fi Ulumil Quran, terj. Mudzakkir AS, Studi Ilmu-Ilmu Quran, Jakarta: PT. Litera Antar Nusa, 2000.
Asmuni, M. Yusran, Dirasah Islamiah I (Pengantar Studi Alquran Hadits Fiqh dan Pranata Sosial), Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1997.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, At-Tibyan fi Ulumil Quran, terj. Muhammad Qadirun Nur, Jakarta: Pustaka Amani, 2001.
As-Shalih, Subhi. Mabahits fi Ulumil Quran, terj. Membahas Ilmu-ilmu Alquran, Jakarta: Fustaka Firdaus, 1985.
Djalal, Abdul. Ulumul Quran, Surabaya: Dunia Ilmu,2000
D.S. Margoliouth, Mohammed and The Rise of Islam, New York: Book for Librarian Press, 1975.
Mansyur, Kahar.Pokok-Pokok Ulumul Quran, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Nata, Abudin. Metodelogi Studi Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2000.
Shiddieqy, T. M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran/Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Shihab, Quraish. Membumikan  Alquran (Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat), Bandung: Mizan, 1994.
                          , dkk. Sejarah dan Ulumul Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Watt, W.Montogomery, Islam and Critianity Today:London: Routledge & Kegan Paul, 1983.


                [1] M. Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah I (Pengantar Studi Alquran Hadits Figh dan Pranata Sosial), PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1997, hlm.43
                [2] Ahmad Van Denffer, Ilmu Alquran Pengalaman Dasar Terj.A. Nashir Budiman, CV. Rajawali, Jakarta, 1988, hlm. 10
                [3] Manna’ Khalil al-Qattan, 1973, Mabahits Fi Ulumil Quran (terj. Mudzakir AS,2000, Studi ILmu-Ilmu Quran), PT. Litera Antar Nusa : Jakarta.
                [4]Muhammad Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan Fi Ulumul Quran (Trj. Muhammad Qadirun Nur, 2001. Ikhtisar Ulumul Quran Praktis), Pustaka Amani : Jakarta, hlm.3.
                [5] Manna al-Qattan, hlm. 36.
                [6] Qurais Shihab dkk, 200, Sejarah dan Ulumul Quran, Pustaka Firdaus : Jakarta, hlmn. 48
                [7] Subhi As-Shalih, 1985, Mabahits Fi Ulumul Quran, hlm. 144.
                [8] Penulisan ulang ini bertujuan untuk meredakan perselisihan antar kaum muslimin tentang Alquran, selain itu muncul kekhawatiran akan lunturnya keistimewaan-keistimewaan orang Arab Asli, lihat Abdul Djalal, Ulumul Quran, hlm. 29
                [9] Qurais Shihab, Sejarah dan Ulumul Quran, hlm. 43.
                [10] Abdul Djalal, Ulumul Quran, hlm. 29.
                [11] Ibid, hlm. 31.
                [12] Qurais Syihab, 1994, Membumikan Alquran (Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat), Mizan : Bandung, hlm.105
[13] Ibid, hlm. 108
[14] Ibid, hal. 107-109
                [15] Abudin Nata, 2000, Metodelogi Studi Islam, Rajagrafindo Persada : Jakarta, hlm. 69.
                [16] Qurais Shihab, Membumikan Alquran, hlm. 86
                [17] Qurais Shihab, Sejarah dan Ulumul Quran, hlm.174.
                [18] Lihat, Qurais Shihab dkk, Sejarah dan Ulumul Quran, hlm. 172-174.
[19] Lihat Abdul Djalal, Ulumul Quran, hlm. 41-41.
[20] A. Hanafi, Orientalisme ditinjau dari kacamata Agama, (Alquran dan Hadits), Pustaka Al-Husna, hal. 9.
[21] Zulfran Rahman, Kajian nSunnah nabi SAW Sebagai Sumber Hukum Islam, CV Pedoman Ilmu Jaya, Kerinci, hlm. 135.
[22] Ibid, hlm. 135
[23] W. Montogomery Watt, Islam and Cristianity Today: A Contribution to Dialogue (London, Boston : Routledge & Kegan Paul, 1983), hlm. 61.
[24] D.S. Margolioutth, Mohammed and The Rise of  Islam (Freeport, New York: Book for Librarian Press, 1975), hlm. 45-46.
[25] Nurfadhil A. Lubis, Kecenderungan Kajian Islam di Amerika Serikat, Sebuah Survey Kepustakaan, Dalam Jurnal Ulumul Quran nomor 4 vol. IV, 1993 hlm68-84.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar