Kamis, 24 Mei 2012

MUHAMMAD SEBAGAI PEMIMPIN NEGARA


Makalah

           

“Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada suri teladan yang baik bagimu yang mengharap rahmat Allah dan  kedatangan hari kiamat dan banyak menyebut Allah.”  [Al Ahzab:21]. [1]

Itulah firman Allah yang menyatakan kemuliaan Nabi Muhammad Saw.

Kepemimpinan Nabi Muhammad Saw, tidak sebatas urusan agama semata, akan tetapi beliau juga pemimpin sebuah negara yang mempunyai wilayah kekuasaan, rakyat, dan sistim ketatanegaraan. Berbeda dengan nabi-nabi sebelumnya. Sebut saja nabi Musa As, sebagai contoh. Beliau diutus hanya untuk urusan agama, sehingga ketika nabi Musa wafat, atau menyelesaikan tugas kerasulannya, umat yang ditinggalkan tidak mengerti bagaimana mengatur sebuah negara.

Sir George Bernard  Shaw pernah mengatakan bahwa : jika ada agama yang akan menguasai Inggris atau Eropa dalam abad mendatang mungkin itu adalah Islam. Muhammad adalah orang yang mengagumkan dan pantas disebut Penyelamat Manusia (the Savior of Humanity). [2]

Sebagai pemimpin negara, Nabi tidak pernah melakukan tindak kekerasan. Bahkan dalam menjalankan misi keagamaan perjuangan Nabi sebagai pemimpin negara bukanlah pedang yang menyebarkan Islam. Tapi kepedulian, keberanian, dan keimanan Nabi kepada Tuhan yang menyebabkan itu. Ketika saya menutup buku jilid  kedua dari Kisah Nabi Muhammad, saya menyesal karena tidak ada lagi yang dapat dibaca. Dan memang Muhammad yang kala itu pengikutnya hanya istri dan keponakannya, Ali, tidaklah mungkin bisa menyebarkan Islam dengan pedang. Karena kepribadiannya dan kebenaran Islamlah maka orang-orang berbondong memeluk Islam. Jika pun ada perang, maka itu tak lebih dari membela diri sebagaimana diketahui bahwa 3 perang besar pertama seperti perang Badar, Uhud, dan Khandaq terjadi di kota tempat tinggal ummat Islam di Madinah ketika mereka diserang kaum kafir Mekkah bersama sekutunya. Begitu pula perang Mu’tah terjadi di tanah Arab ketika tentara Romawi yang beragama Kristen menyerang untuk menghancurkan Islam.

Michael H Hart dalam buku 'The 100, A Ranking of the Most Influential Persons In History,' menempatkan Nabi Muhammad dalam urutan pertama 100 orang paling berpengaruh di dunia mengalahkan Isaac Newton, Paulus, dan Yesus. Menurut Michael H Hart, kebanyakan dari orang-orang  besar yang ada dalam bukunya menjadi besar karena kebetulan lahir di negara-negara maju yang jadi pusat peradaban dunia. Bahkan tanpa ada mereka pun tetap saja negara-negara tersebut akan maju dan akan ada banyak orang yang akan menggantikannya untuk memimpin kemajuan tersebut. [3]

Tidak sulit untuk diyakini dan dipahami bahwa nabi Muhammad Saw, seorang Rasul Allah kepada manusia, jin dan malaikat, berdasarkan nash-nash yang Qath’i (pasti), baik keterangan Alquran maupun hadits-hadits shahih, dan tidak perlu diragukan dan diperdebatkan. Siapa saja yang meragukan kerasulannya dapat diamputasi dari agama Islam (murtad). Akan tetapi membuktikan bahwa nabi Muhammad Saw, adalah seorang negarawan (statesman) melahirkan pandangan yang berbeda di kalangan Islam. Setidaknya ada 3 (tiga) kelompok pemikiran dalam persoalan ini.

            Pertama : Kelompok yang memandang Islam agama yang sempurna, mengatur semua aspek kehidupan manusia, Alquran sebagai sumber hukum mengungkap segala persoalan, menjawab segala tantangan, mulai dari persoalan kecil hingga masalah yang besar termasuk di dalamnya persoalan politik dan Ketatanegaraan. Dan praktek kandungan Alquran telah dilaksanakan oleh nabi selama 23 tahun, sehingga nabi Muhammad adalah sebagai Alquran yang hidup, dan intisari akhlaknya yang amat agung itu adalah Alquran. Aisyah Radiallahu’anha ketika ditanya tentang akhlak nabi Saw., beliau menjawab adalah akhlak beliau Alquran. (Al Hadits)

            Dan praktek kenegaraan yang dijabarkan oleh nabi adalah membangun negara Madinah dan pemerintahannya, dan dilanjutkan oleh penerus beliau 4 (empat) khalifah yang terkenal (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) yang dikenal dengan panggilan Khulafaurrasyidin Ahmadiyyin (Pemimpin yang cerdas dan mendapat petunjuk). Sejatinya Islam adalah agama yang sempurna termasuk sistim politik dan Ketatanegaraan, maka tidak perlu bagi umat Islam mengimport sistim politik Barat yang sangat kental dengan sekularismenya. Kelompok yang pertama ini dikembangkan oleh tokoh muslim yang populer diantaranya, Sayyid Qutub (pengarang Tafsir Zhilal Alquran), Hasan Al Banna, Abul A’la Almaududi, dan lain-lain, bahkan mayoritas ulama-ulama Islam berpikiran yang sama seperti ketiga tokoh tersebut.

            Kelompok Kedua : Pemikiran yang memandang Islam tidak mempunyai sistim politik yang baku. Nabi Muhammad diutus ke permukaan bumi ini bukan untuk berpolitik tetapi semata-mata membawa wahyu dari Allah Swt, agama tidak ada hubungannya dengan urusan-urusan duniawi termasuk Khulafaurrasyidin (Khalifah yang empat) hanya merupakan kerajaan duniawi yang tidak berdasarkan agama. Khulafaurrasyidin hanya merupakan raja-raja Arab yang bertugas untuk menaklukkan dan menjajah negara-negara lain. Pemikiran-pemikiran yang aneh ini dikembangkan oleh Syekh Ali Abdul Raziq yang pernah menjabat hakim agama dan ulama Al Azhar Mesir. Sebuah karyanya sangat kontroversial adalah : “Al Islam wa Ushul al Ahkam” dan sepemikiran dengan Ali Abdul Raziq adalah Prof. Dr. Thaha Husin, yang terkenal dengan fatwanya yang “nyeleneh” bahwa Al-quran tidak fasih karena banyak terjadi pengulangan kata yang sama di dalam kitab suci itu.

            Kelompok Ketiga : Kelompok ini memandang Islam tidak menyiapkan sistim politik yang baku dan , akan tetapi tidak pula membiarkan uamt Islam tanpa ada pedoman dalam mengatur negara, Islam hanya menyediakan seperangkat tata nilai, selanjutnya boleh dikembangkan selama tidak keluar dari koridor Islam. Oleh sebab itu tidak ada salahnya bagi uamt Islam menginport sistim Barat. Sistim demokrasi : selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Pemikiran ini dikembangkan oleh tiga tokoh terkenal yaitu Muhammad Husein Haikal, Syekh Muhammad Abduh, Iqbal, dan lain-lain. Di antara ketiga kelompok pemikiran di atas, adalah yang lebih aman dan lebih selamat kelompok pertama bahwa Islam agama yang lengkap mengatur urusan agama dan dunia. Oleh sebab itu orang-orang beriman diajak untuk masuk ke dalamnya secara totalitas.

            Kesempurnaan Islam terlihat jelas kepada praktek kehidupan nabi Saw dalam menjalankan agama dan mengatur negara, masyarakat dan keluarganya. Dan dalam konteks bernegara, Rasul Saw, tidak meminta-minta kekuasaan, karena pada hakikatnya kekuasaan adalah pemberian Allah Swt. (QS. 3 : 26).

            Kepemimpinan Rasul Saw, dalam mengatur negara baru terlihat ketika beliau berada di Madinah, atas permintaan orang-orang Madinah kepada nabi Saw, ketika peristiwa Baitul ‘Aqabah pertama sebanyak 12 orang datang ke aqabah (tidak berapa jauh dari tempat pelontaran jumrah ‘aqabah ± 150 meter) menyatakan diri masuk Islam dan siap mematuhi segala perintah nabi, dan 1 tahun berikutnya datang sebanyak 72 orang lagi, masuk Islam dan sekaligus mengajak nabi Muhammad Saw, untuk pindah ke kota Madinah. Peristiwa ini dikenal dengan Bai’ah ‘Aqabah kedua.

            Kedua peristiwa penting ini, menjadi catatan sejarah awal kekuasaan Rasul Saw, dalam membangun negara Madinah, atas permintaan penduduk Madinah, bukan dengan cara “berjualan politik” seperti yang terlihat dalam fenomena politik sekarang ini. Dan yang paling mengagumkan dalam kedua perjanjian itu bahwa inti dari kesepakatan tersebut tidak berbenturan dengan teori politik modern yang dibanggabanggakan oleh masyarakat sekarang, yaitu melakukan “kontrak sosial” dengan calon pemimpin. Bukankah diantara butir-butir perjanjian ‘Aqabah pertama dan kedua tersebut yang notabenenya berhubungan erat dengan kontrak sosial, penduduk Madinah merelakan diri mereka untuk dipimpin dan merelakan sebahagian hak mereka untuk diserahkan kepada nabi Saw, dan sebagai konpensasinya Rasul Saw, berkewajiban melindungi rakyat Madinah dan itu adalah sebagian dari tugas dan kewajiban kepala negara dan merupakan embrio berdirinya negara Islam Madinah.

Periode Kepemimpinan nabi Muhammad sebagai Kepala Negara

1. Periode Makkah

            Rasulullah saw. lahir dan berkembang di Mekkah yang masyarakatnya sedang mengalamai masa transisi yang hebat dalam berbagai bidang, seperti sosial, agama dan politik. Ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad pada umumnya merupakan keinginan untuk memperbaiki dan menyelamatkan masyarakat Mekkah dalam menjalani masa transisi ini.
            Dalam faktanya, Muhammad saw. tidak bisa menjalankan dakwahnya secara efektif yang membuahkan hasil yang memuaskan. Beberapa kondisi ikut melatari ketidak efektifan dakwah Muhammad di Mekkah. Penganut yang berhasil dipengaruhi oleh Muhammadpun tidak seberapa jumlahnya karena memang beliau tidak bisa melaksanakan dakwahnya secara terang-terangan.
            Ada beberapa fase yang dijalani oleh nabi Muhammad dalam memulai dan mengembangkan ajaran yang beliau bawa.
            Fase Dakwah Sembunyi-sembunyi.
            Pada fase ini Rasul hanya mengajak kerabat-kerabatnya untuk ikut memelukm agama Islam yang beliau bawa. Mereka diseru untuk meyakini ajaran-ajaran pokok yang terkandung dalam wahyu yang ia terima.
            Pada fase ini, beliau berhasil mengajak beberapa orang untuk memeluk agama Islam, seperti Istrinya, Ali b. Abi Thalib, Zaid, Abu Bakar. Tidak lama setelah mereka menganut agama Islam, barulah kemudian beberapa orang dengan jumlah yang lebih banyak mau menerima ajakan Muhammad untuk memeluk agama Islam.4
            Fase Dakwah Terang-Terangan.
            Ada dua fase yang dijalani oleh Rasulullah pada saat itu, yang pertama adalah menjalankan dakwah dengan mengajak kerabatnya dengan terang-terangan. Setelah menerima perintah untuk berdakwah secara terang-terangan kepada kerabatnya, maka Rasulpun lalu menyeru mereka di bukit Shafa.5
            Fase selanjutna adalah menyeru tidak hanya kerabatnya akan tetapi semua orang. Fase ini dimulai dengan turunnya ayat Alquran surah al-Hijr; 94. Setelah turunnya ayat ini, mulailah Rasulullah saw. menyerukan agama Islam kepada semua orang, hingga penduduk luar Mekkah yang datang untuk mengunjungi Ka’bah.6
            1. Dinamika Keagamaan
Sebelum Islam, ada keberagaman kepercayaan yang berkembang ketika itu, ada yang menyembah berhala. Namun kepercayaan yang terkenal adalah penyembahan terhadap berhala (paganisme). Penyembahan terhapap berhala itu sendiri mulanya adalah kebiasaan dari orang-orang yang pergi keluar kota Makkah, mereka selalu membawa batu yang diambil dari sekitar Ka'bah. Mereka mensucikan batu dan menyembahnya di mana mereka berada. Lama kelamaan, dibuatlah patung yang disembah dan mereka berkeliling mengitarinya. Hala ini mereka lakukan karena rasa hormatanya kepada  Ka'bah. 10 Akhirnya mereka sendiri memindahkan patung itu disekitar Ka'bah yang berjumlah mencapai 360 buah.7
Ada pendapat lain juga yang mengatakan bahwa ajaran penyembahan terhadap berhala ini dibawa oleh 'Amar bin Luhay al-Khuza'i, orang pertama sekali yang membawa patung ke Ka'bah. Luhay membawa patung itu dari penduduk  Syam yang menyembah berhala dan ia menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik  dan benar. Sebab menurutnya Syam adalah tempat para Nabi dan Rasul dan tempat turunnya Kitab, maka kemudian ia meminta satu patung untuk dibawa pulang ke Makkah dan diletakkan di Ka'bah patung itu diberi nama Hubal. Luhay sendiri terkenal sebagai orang yang suka melakukan kebaikan dan suka menolong orang lain. Sehingga orang Arab menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang disegani, Dan semua ajaranya diikuti oleh banyak orang. Orang Hijaz juga banyak yang mengikuti ajaran ini Karena mereka manganggap bahwa, orang Arab adalah pengawas Ka'bah dan penduduk tanah suci.8
Tradisi keagamaan bangsa Arab terhadap penyembahan berhala yang diciptakan oleh Luhay ini kemudian menjadi kepercayaan mayoritas kepercayaan orang Arab. Sementara orang mengira apa yang dibuat Luhay adalah sesuatu yang baru dan baik serta tidak merubah ajaran Nabi Ibrahim. Di antara ekspresi dari aktualisasi penyembahan berhala tersebut adalah:9
1.      Mereka mengelilingi berhala sambil membaca mantra, meminta pertolongan dari segala kesulitan dan berdoa untuk memenuhi segala keinginan mereka.
2.      Menunaikan ibadah haji dengan mengelilingi Ka'bah dan berhala sambil menunduk dan sujud dihadapannya tanpa berbusana.
3.      Memberikan korban berupa penyembelihan hewan piaraan.
4.      Memberi sajian makanan dan minuman yang khusus untuk siguguhkan kepada berhala, sebagai rasa syukur atas keberhasilan panennya.
5.      Bernazar untuk menyembelih hewan atau memberuikan sajian jika keinginannya terwujud.
Tetapi adapula yang masih menganut dengan agama Masehi dan Yahudi. Agama Masehi ini banyak dianut oleh penduduk yang banyak berasal dari Yaman, Najran dan Syam. Sedangkan agama Yahudi banyak dianut oleh para imigran dari Yasrib. Di samping itu ada pula agama Majusi yang dianut oleh orang Persia.
Hamka menambahkan ada juga yang menganut agama Nabi Ibrahim, yang menurutnya kepercayaan terhadap agama Nabi Ibrahim itu dapat dibagi dua: Pertama, tetap menganut apa yang diterimanya dari Nabi Ibrahim, tidak dirobahnya. Kedua, ajaranya ditambah dengan beberapa tambahan namun ajarannya tetap dinamai juga dengan agama Nabi Ibrahim.10
 Salah satu dari tradisi masyarakat Arab ketika yang juga merupakan sikap keberagamaan adalahb bila seseorang hendak mengambil sesuatu keputusan. Maka ia berlindung dan memohon kepada bantuan mangkuk undian, lalu undi itupun dilakukan. Jika yang kelauar adalah yang bertuliskan "ya", maka ia berangkat dan sebalikknya jika yang keluar "tidak", maka keberangkatannya dibatalkan.12
Enggan menganut agama Islam yang dibawa olehg Muhammad, sebab mereka berangagapan bahwa hal itu  akan meruntuhkan tradisi-taradisi mereka dan dasar-dasar kehidupan mereka, khusunya dalam bidang keagamaan.
Selain itu, yang patut kita sebutkan disini adalah bahwa masyarakat Mekkah menyepakati diadakannya masa haram, masa ini dikhususkan untuk beribadah tahunan, menziarahi Ka’bah. Hal ini memberikan keuntungan bagi para pedagang Mekkah, karena selain menjadi tempat ibadah tahunan, juga menjadi sarana perdagangan. Selain itu ternyata masa haram ini dipergunakan untuk menyelesaikan persengketaan antara klan.
Pada saat kondisi keberagamaan yang seperti itulah kemudian nabi Muhammad muncul dengan membawa sebuah ajaran baru bagi Masyarakat Mekkah. Ajaran baru tersebut tentu saja tidak mendapatkan penerimaan yang baik di Mekkah. Muhammad harus berjuang ekstra keras untuk mendakwakan ajaran yang beliau emban tersebut.

Jahiliyah

Jahiliyyah, yaitu zaman kegelapan atau kebodohan dalam hal moral dan etika, bukan dalam hal lainnya seperti ekonomi perdagangan dan sastra. Sebab, dalam hal perekonomian dan sastra bangsa Arab telah mencapai perkembangan yang pesat. Makkah bukan saja menjadi pusat perdagangan lokal, tetapi menjadi jalur perdagangan dunia yang terpenting. yang menghubungkan antara Utara (Syam) dan selatan (Yaman) antara Timur (Persia) dan Barat (Abensia dan Mesir).  

2. Dinamika Intelektual

Yang paling pantas disebutkan dalam bidang intelektual maysrakat Mekkah pada saat munculnya Islam adalah sastra. Dalam bidang sastra, mereka sangat menaruh perhatian terhadap sastra, dan para sastrawan diakui kredibilitas oleh bangsa Arab ketika itu.13
Mereka sangat memuliakan sastrawan, dengan syair itulah mereka dapat melepaskan sedu-sedan yang tertahan  yang menggelora dalam jiwa terutama sebagai motivasi ketika berada di medan peperangan. Ahli syair mendapat kedudukan tertinggi di dalam kabilahnya. Bahkan ketika itu seni sastra terutama yang berbentuk puisi berkembang dengan subur meskipun orasi juga sangat dikenal. Dan biasanyan para pujangga itu mengadu kebolehan mereka dalam menggubah pusis di pasar-pasar sebagai pusat keramaian ketika itu, seperti pasar Ukaz.  Dan di antara puisi yang menjadi pemenang ketika itu sebagai penghormatannya puisinya digantungkan di dinding Ka'bah. Puisi itu akan terus bertahan sampai ada yang menandingi keindahan puisi tersebut.
3. Dinamika Sosial

            Sistem Keluarga Masyarakat Mekkah

Muhammad datang dan ditugaskan untuk menyeru masyrakat yang pada umumnya mengenal sistem keluarga patriarkhal yang sungguh kental, keluarga mereka terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya. Keluarga-keluarga ini bersatu untuk menghasilkan kerjasama yang saling menguntungkan yang biasanya berdasarkan nasab yang kemudian disebut dengan klan. Masyarakat Mekkah lebih tertarik dengan sistem kolektifitas dalam beberapa hal termasuk keamanan pribadi. Mereka relatif tidak mengenal konsep pribadi. Mereka sangat tergantung kepada klan masing-masing. Seorang individu bertanggung jawab atas klannya, penganiayaan terhadap seorang anggota klan berarti juga penganiayaan terhadap klan. Tidak ada balas dendam pribadi pada umumnya, tetapi pembalasan tindak aniaya dilakukan oleh klan.14 Seorang yang tidak bernaung di bawah sebuah klan tidak mendapat tempat di Mekkah.
Setiap klan biasanya dipimpin oleh seorang syaikh yang dianggap paling bijak, kaya dan banyak berderma. Biasanya setiap anggota klan yang ingin bertindak dalam beberapa bidang tertentu meminta saran pemimpin klan. Dari beberapa pernyataan ahli-ahli sejarah, kami berpendapat bahwa memang orang-orang Arab adalah orang yang mempunyai kesetiaan lebih tinggi kepada pemimpinnya dibanding dengan orang-orang selain mereka pada saat itu.15
Hukum tentang status keluarga dan pribadi tampaknya sudah mengakar kuat dalam masyarakat Mekkah, yang berasal dari sistem Arab purba.16 Sistem keluarga yang ada pada masyarakat Arab hanya berlaku untuk anggota klan.  Hingga diantara klan-klan yang terjadi perselisihan biasanya diangkat seorang hakim. Klan yang bersengketa tersebut memberikan jaminan untuk menaati keputusan sang hakim, baik dengan jaminan materi ataupun dengan janji.17
Rasulullah saw. tidak bisa berbuat banyak untuk merubah keadaan ini ketika beliau berada di Mekkah, meski tentu saja dalam kalangan intern masyarakat muslim yang pada saat itu masih sangat sedikit sekali, prilaku-prilaku yang tidak sesuai dengan ajaran Islam telah mulai ditinggalkan.
Wanita Dalam Masyarakat
Pada umumnya, bukan hanya di Mekkah, wanita tidak diberi peran signifikan terhadap kehidupan bermasyarakat. Mereka diperlakukan tidak seperti wanita pada masa modern ini. Tampaknya hal ini merupakan bias dari sistem patriarkhal yang dianut oleh masyarakat Arabia, dalam hal ini masyarakat Mekkah.18  Kemungkinan besar, wanita tidak mendapatkan warisan dari ayahnya. Seorang ayah bisa saling bertukar putri dengan ayah lain untuk dinikahi.           
Pelecehan terhadap wanita dalam masyarakat Mekkah tergambar jelas dalam prilaku sosial, pernikahan, pengontrolan harta dan pembunuhan bayi perempuan. Dalam pernikahan meskipun mereka mengenal mahar, tapi ternyata sang ayahlah yang menerima mahar tersebut, merupakan adat yang tidak tercela untuk mengawini wanita lalu menceraikannya dan mengawininya kembali dengan semena-semena, atau menikahi wanita sebanyak yang mereka suka.19 Sedangkan dalam pengontrolan harta, wanita sama sekali tidak mempunyai hak. Meskipun harta tersebut merupakan milik pribadi si perempuan. Dehumanisasi perempuan yang paling jelas tergambar dalam pembunuhan bayi perempuan, karena anggapan bahwa mempunyai anak perempuan adalah aib.20
 Menurut Marshall Hodgson, di samping kondisi-kondisi di atas, ada juga beberapa trend yang berlaku dalam masyarakat wanita Mekkah, yakni kebiasaan memakai cadar sebagai simbol dari kehormatan wanita. Beberapa wanita yang tidak bisa diperlakukan seperti wanita lain, atau wanita yang ingin menyatakan dirinya sebagai wanita terhormat biasanya memakai cadar sebagai simbol.21
Perbudakan
Memang ada beberapa trend yang sedang dipraktekkan oleh mayoritas bangsa diseluruh dunia. Selain polygami, mungkin perbudakan adalah hal yang lebih signifikan untuk disebutkan sebagai salah satu ciri peradaban manusia pada masa kuno. Baik di Asia,  maupun Eropa perbudakan adalah hal yang sering ditemui.
Dalam masyarakat Mekkah, seorang yang tidak mempunyai klan akan dijadikan budak. Klan yang kalah dalam perang juga akan bernasib serupa.
Orang-orang yang mempunyai budak berkuasa penuh atas tenaga, hidup dan mati seorang budak.22 Budak wanita bisa diajak tidur oleh tuannya, tanpa memperdulikan hak-hak si wanita bahkan ketika ternyata mereka hamil karena hubungan intim tersebut. Anak seorang budak secara otomatis menjadi budak yang dimiliki oleh tuan yang memiliki ibu mereka.23
4. Dinamika Hukum
            Ketiadaan organisasi politik yang berkuasa penuh atas masyarakat Mekkah mengakibatkan ketiadaan sistem hukum yang dianut dan berlaku secara universal. Ketiadaan hukum ini tentu saja mengakibatkan ketiadaan peradilan tetap. Tapi meskipun demikian, tidak mesti lantas hukum pribadi berlaku pada masyarakat Mekkah.
Dalam menyelesaikan persengketaan, biasanya hakim yang diangkat memutuskan berdasarkan sunnah atau tradisi yang sudah berlaku di kalangan mereka dan dianggap dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Sistem sunnah sangat kental dalam masyarakat Mekkah, dengan begitu dapat dipastikan bahwa seorang hakim yang ditunjuk adalah orang yang menguasai dengan baik sunnah-sunnah yang berlaku di kalangan mereka.
Keputusan akhir hakim ini bukan saja menjadi keputusan untuk kedua belah klan yang bersengketa, akan tetapi juga akan menjadi acuan bagi mereka yang bersengketa pada kemudian hari. Dengan begitu posisi hakim ini bukan hanya sebagai pemutus perkara tapi juga merupakan penfasir terhadap hukum yang berlaku bagi masyarakat.23
Konsep Sunnah Di Mekkah
            Ada suatu kecenderungan yang akan didapatkan dalam masyarakat Mekkah pada masa Rasulullah saw., yakni pengakuan seluruh masyarakat akan tradisi yang mengatur seluruh aspek kehidupan sosial mereka.
Sunnah di sini bukanlah Sunnah Nabawiyah, akan tetapi kebiasaan-kebiasaan dan adat yang berkembang di Mekkah. Sistem sunnah yang berkembang di Mekkah pada masa Rasulullah adalah mutlak kebiasaan yang disetujui oleh semua klan-klan yang dianggap mempunyai otoritas yang kuat. Sunnah sangat berperan dalam membentuk sistem sosial, politik dan hukum yang berlaku di kalangan masyarakat Mekkah.
            Dengan mempergunakan kebiasaan dan keyakinan yang sudah kenal ini, Nabi menginginkan sunnah ini tidak lagi merupakan sunnah masyarakat pra-Islam. Dengan begitu ada keinginan dalam diri beliau untuk memurnikan sunnah-sunnah yang sudah berlaku. Sunnah inipun dimodifikasi dengan kesetiaan kepada Muhammad SAW., meskipun tentu saja ini masih bisa diterapkan pada kalangan pengikutnya saja.
            Menurut Joseph Schacht, konsep sunnah inilah yang menjadi ukuran penolakan bid’ah dalam Islam pada awalnya, hingga munculnya gerakan ‘kembali kepada sumber awal’ pada masa Syafi’i.24
5. Dinamika Ekonomi
Mata Pencaharian dan Perdagangan
Mayoritas masyrakat Mekkah Apda masa Rasulullah saw. hidup dengan berdagang dan beternak, beberapa bagian kecil hidup dari hasil  usaha lain seperti pengerajin patung dan sastra.
Masyarakat Mekkah, khususnya yang berdiam di pinggiran kota diakui sebagai masyarakat pastoral (pengembala), baik ternak piaraan milik sendiri ataupun menggembalakan ternak orang lain. Muhammad sendiri pada awalnya adalah seorang pengembala sebelum ia kemudian bertemud dengan Khadijah.
Sementara masyrakat kota lebih cenderung dengan usaha berdagang, mereka berdagang tidak hanya di kawasan Mekkah, tapi juga hingga ke negeri Syam yang saat itu merupakan area perdagangan internasional. Abu Sufyan dan Abdullah b. Abdul Muthalib adalah dua orang pedagang yang sering berpergian keluar kota.
Salah satu bidang yang mendapat perhatian besar dari Nabi dan layak disebutkan disini adalah perdanganan. Seperti disebutkan sebeelumnya  bawha Mekkah adalah kota yang memikat bagi para pedagang dari banyak penjuru Arabia maupun luar Arabia. Masyarakat Mekkah diakui sebagai pedagang eceran yang handal dibandingkan dengan masyarakat lain kala itu. Perdagangan menjadi sangat esensial dan diberi apresiasi lebih oleh masyarakatnya.
Kebanyakan aristokrat Mekkah pada masa Rasulullah saw. adalah para pedagang yang handal selain dari mereka yang mengusai dan dipercayai dalam bidang agama, sebut saja Utsman b. Affan, Abu Sufyan, Abu Bakar dan lain sebagainya.
Akan tetapi perdangan di Mekkah pada priode kemunculan Islam tidaklah mempunyai aturan yang jelas, sehingga seseorang yang bisa memaksakan jumlah keuntungan terhadap orang lain, bisa mewujudkan keinginannya.
            Perdagangan di Mekkah memang berkembang dengan pesatnya. Hal inilah yang kemudian sangat berpengaruh kepada kebijakan-kebijakan Muhammad  pada masa kepemimpinannya di Madinah, di kala beliau mempunyai akses dan kekuasaan yang lebih untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Pada masa selanjutnya, yakni di Madinah, banyak peraturan yang ditetapkan dalam maslah ini meskipun tidak terperinci, tapi merupakan semangat moral dalam berdagang. Pengharaman riba yang sekilas tampak serupa dengan jual-beli adalah merupakan semangat moral untuk tidak menindas dan mengambil keuntungan dari penderitaan dan kesempitan seseorang.
6. Dinamika Politis.
Kekuasaan yang diakui di masyarakat Mekkah terbagi kepada dua macam, kekuasaan ekonomi dan politis dan kekuasaan keagamaan. Kontrol atas ekonomi dan politis ini dipegang oleh klan Umayyah, meskipun tentu saja termodifikasi oleh klan-klan lain, sementara kontrol atas agama dipegang oleh Bani Hasyim.
Ada sebuah persaingan antara kedua klan besar Mekkah ini, klan Umayyah tidak akan mau tunduk dalam kontrol Bani Hasyim dan sebaliknya. Adalah hal yang wajar bila kemudian Muhammad ditentang secara habis-habisan oleh klan aristokarat Mekkah, hal ini dapat dijelaskan bahwa Muhammad memang berasal dari Bani Hasyim. Hal ini pulalah yang akan menjelaskan bagaimana kemudian pada peristiwa penaklukkan Mekkah, Muhammad saw. memberikan jaminan keamanan bagi orang yang berlindung di rumah Abu Sufyan yang saat itu merupakan pemimpin klan Umayyah.
Tapi hal itu tentu saja tidak bisa menjelaskan bagaimana kemudian kerabat Nabi sendiri malah menentang ajaran yang dibawa oleh Muhammad. Sepertinya, penentangan yang dilakukan oleh kerabat nabi ini hanya merupakan pengaruh dari ketakutan akan kehilangan kuasa kontrol agama yang dimiliki oleh Bani Hasyim, selain juga tentu saja mereka akan sangat malu kepada nenek moyang mereka.
Beberapa pergolakan politis terjadi pada masa Islam priode Mekkah, karena memang kelompok Muhammad telah berubah menjadi dan dipandang sebagai kekuatan politik baru yang masih berkembang. Kekuatan politik yang telah ada, seperti Bani Umayyah tentu saja harus menemukan cara untuk memusnahkan atau menghambat perkembangan kekuatan baru tersebut. Dalam usaha itu, usaha untuk membunuh pemimpin kekuatan politik tersebut sering dilakukan meskipun gagal, boikot, penolakkan massal terhadap Rasul dan lain sebagainya.
Perkiraan mereka bahwa dengan menekan aktivitas dan kehidupan pemimpin tersebut akan menghambat laju pertumbuhan kekuatan politis tersebut. Pada saat mereka sadar bahwa penekanan individual itu ternyata tidak terlalu membuahkan hasil yang memuaskan, merekapun beralih kepada penekanan yang lebih menyeluruh terhadap semua kelompok masyarakat. Dalam sejarah kita sering mendapatkan fakta sejarah tentang boikot kaum Quraisy terhadap kaum muslimin, boikot politis ini juga berimplikasi terhadap munculnya boikot ekonomi dan sosial seperti larangan bertransaksi dengan pengikut Muhammad dan larangan menikah dengan mereka.
Puncak pergolokan politis ini kemudian mengakibatkan kelompok Muhammad harus meninggalkan Mekkah untuk beberapa saat lamanya. Hijrah ini tidak hanya tercatat sekali saja, akan tetapi beberapa kali dan hingga kelompok Muhammad akhirnya setuju dan memutuskan untuk meninggalkan Mekkah menuju Madinah untuk membangun sebuah kekuatan baru dan segar di tanah Madinah.
Pada periode Makkah umat Islam belum memulai kehidupan bernegara dan Nabi sendiri pada waktu itu tidak bermaksud mendirikan suatu negara. Misi Nabi selama di Makkah terbatas pada usaha-usaha sebagai berikut :

Pertama : mengajak manusia agar meyakini bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah Yang Maha Esa, percaya kepada malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian.

Kedua : mengajarkan kepada manusia nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi agar mereka tidak tertipu oleh godaan hidup duniawi yang menyilaukan.

Ketiga : mengajak manusia untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt agar mereka mendapat rahmat-Nya.[5]

            Meskipun di Makkah aktifitas Nabi sebagai pemimpin negara tidak terlihat jelas, namun dasar-dasar kehidupan sosial kemasyarakatan sudah diajarkan oleh Nabi. Inilah modal dasar untuk membentuk satu kekuatan baru dalam bentuk negara setelah tatanan hidup masyarakat Islam di Makkah dibentuk dengan aturan-aturan Islam.

2. Periode Madinah
            Saat hijrah ke Madinah, ia mengubah situasi politik dan sosial yang selama puluhan tahun dipenuhi oleh persaingan antar suku yang didominasi suku Aus dan Khazraj.[6] Salah satu cara yang ia gunakan untuk mencapai kondisi ini adalah penandatangan perjanjian kesepakatan yang dikenal dengan nama Piagam Madinah, sebuah dokumen yang berisikan peraturan-peraturan mengenai kehidupan sosial antar semua elemen masyarakat di sana. Hasilnya adalah terbentuknya sebuah komunitas yang bersatu di Madinah dibawah pimpinannya.
            Pada periode Madinah inilah Nabi benar-benar  menempati posisi tidak hanya sebagai pemimpin agama tetapi sebagai kepala pemerintahan.Badri Yatim menjelaskan bahwa  setelah tiba dan diterima penduduk Madinah, Nabi resmi menjadi pemimpin penduduk kota itu. Babak baru dalam sejarah Islam pun dimulai. Pada masa di Madinah inilah Islam benar-benar menjadi saztu kekuatan politik.[7]
            Langkah awal yang dilakukan Nabi di Madinah adalah  memberikan ketenangan jiwa bagi seluruh penduduk kota itu. Semua golongan, termasuk Muslim, Yahudi dan penganut Paganisme diberi kebebasan yang sama dalam melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Mereka diberi kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat serta kebebasan dalam mendakwahkan setiap agamanya.
            Langkah selanjutnya adalah membina persaudaraan yang sejati di antara orang-orang Muslim dengan tujuan menghilangkan benih-benih permusuhan antara kabilah yang pernah tersemai di hati mereka di masa-masa sebelum Islam. Adapun terhadap golongan non-Muslim, khususnya kaum Yahudi, Nabi membuat perjanjian tertulis dengan mereka. Isi perjanjian itu terutama menitik beratkan persatuan kaum muslimin dan kaum Yahudi, menjamin kebebasan beragama bagi semua golongan, menekankan kerjasama, persamaan hak dan kewajiban di antara semua golongan dalam mewujudkan pertahanan dan perdamaian, dan mengikis segala bentuk perbedaan pendadpat yang timbul dalam kehidupan bersama. Perjanjian ini dibuat pada tahun pertama hijrah, sebelum terjadi perang Badar dan dikenal dengan nama Piagam  Madinah. [8]
            Dengan adanya piagam tersebut, secara bertahap Nabi dapat mengorganisasikan penduduk Madinah yang heterogen itu menjadi suatu masyarakat yang tertib dan teratur, masyarakat yang di dalamnya terdapat satu system hubungan tertib social yang mencakup semua kelompok untuk hidup bersama dan bekerjasama dalam satu wilayah tertentu. Sebelumnya masyarakat Arab tidak pernah hidup sebagai satu komunitas antar suku dengan suatu kesepakatan. Untuk membentuk masyarakat demikian, mesti ada hokum dan undang-undang, aturan-aturan moral dan agama, serta kekuasaan yang mengikat para anggotanya.[9]
            Menurut penulis bahwa dasar pertama yang ditegakkannya adalah Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan di dalam Islam), yaitu antara kaum Muhajirin (orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah) dan Anshar (penduduk Madinah yang masuk Islam dan ikut membantu kaum Muhajirin).  Nabi SAW mempersaudarakan individu-individu dari golongan Muhajirin dengan individu-individu dari golongan Anshar.
Misalnya, Nabi SAW mempersaudarakan Abu Bakar dengan Kharijah bin Zaid, Ja'far bin Abi Thalib dengan Mu'az bin Jabal. Dengan demikian diharapkan masing-masing orang akan terikat dalam suatu persaudaraan dan kekeluargaan. Dengan persaudaraan yang semacam ini pula, Rasulullah telah menciptakan suatu persaudaraan baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan keturunan.
            Dasar kedua adalah sarana terpenting untuk mewujudkan rasa persaudaraan tsb, yaitu tempat pertemuan. Sarana yang dimaksud adalah masjid, tempat untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT secara berjamaah, yang juga dapat digunakan sebagai pusat kegiatan untuk berbagai hal, seperti belajar-mengajar, mengadili perkara-perkara yang muncul dalam masyarakat, musyawarah, dan transaksi dagang.
            Nabi SAW merencanakan pembangunan masjid itu dan langsung ikut membangun bersama-sama kaum muslimin. Masjid yang dibangun ini kemudian dikenal sebagai Masjid Nabawi. Ukurannya cukup besar, dibangun di atas sebidang tanah dekat rumah Abu Ayyub al-Anshari. Dindingnya terbuat dari tanah liat, sedangkan atapnya dari daun-daun dan pelepah kurma. Di dekat masjid itu dibangun pula tempat tinggal Nabi SAW dan keluarganya.
            Dasar ketiga adalah hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, disamping orang-orang Arab Islam juga masih terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad SAW mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka.
            Perjanjian tersebut diwujudkan melalui sebuah piagam yang disebut dengan Msq Madnah atau Piagam Madinah. Isi piagam itu antara lain mengenai kebebasan beragama, hak dan kewajiban masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban negerinya, kehidupan sosial, persamaan derajat, dan disebutkan bahwa Rasulullah SAW menjadi kepala pemerintahan di Madinah.
            Timbul pertanyaan, apakah organisasi masyarakat Madinah di masa Nabi itu telah memenuhi kriteria sebagai sebuah negara ?
            Secara leksikal, negara mengandung arti : 1) organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat, 2) kelompok social yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisir di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga beerhak menentukan tujuan nasionalnya. [10]
            Definisi lain tentang negara dikemukakan oleh Maclver bahwa negara adalah suatu bentuk persekutuan dalam wilayah kekuasaan tertentu dengan tujuan menyelenggarakan ketertiban masyarakat berdasarkan system hokum yang diselenggarakan oleh pemerintah.[11]
            Dalam hokum internasional, negara sebagai kesatuan politik sekurang-kurangnya harus memiliki empat unsure yaitu :
1.      penduduk yang tetap
2.      wilayah tertentu
3.      pemerintah ; dan
4.      kemampuan mengadakan hubungan dengan negara-negara lain.[12]
            Ibnu Abi Rabi’ menyebutkan paling sedikit ada lima unsur yang harus  dimiliki oleh negara, yaitu wilayah, penduduk, pemerintah, keadilan, dan adanya pengelolaan negara.   Sedangkan menurut Al Mawardi juga menyebutkan lima unsur pokok dalam suatu negara yaitu 1) agama sebagai landasan negara dan persatuan rakyat, 2) wilayah, 3) penduduk, 4) pemerintah yang berwibawa, dan 5) keadilan atau keamanan. [13]
            Pada prinsipnya semua rumusan di atas memiliki kesamaan, yakni sama-sama memandang wilayah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa negara adalah lembaga sosial yang dibentuk manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang vital. Suatu negara paling sedikit harus memiliki tiga unsur yakni ; wilayah, penduduk dan pemerintahan. Dari ketiga unsur tersebut terlihat  bahwa pemerintah merupakan unsur yang terpenting dari suatu negara. Alasannya, sekalipun telah ada sekelompok individu yang mendiami suatu wilayah, belum juga dapat diwujudkan suatu negara jika tidak terdapat segelintir orang yang berwenang mengatur dan menyusun hidup bersama.
Dalam konteks masyarakat Madinah yang dibentuk dan dipersatukan oleh Nabi, ketiga unsur tersebut terlihat secara nyata. Pertama : masyarakat tersebut memiliki
wilayah tertentu yakni Madinah. Kedua ; semua golongan ada dalam masyarakat (Muslim – Yahudi – dan orang-orang musyrik) mengakui dan menerima Nabi Saw sebagai pemimpin dan pemegang otoritas politik yang sah dalam kehidupan mereka. Ketiga ; golongan-golongan yang ada memiliki kesadaran dan keinginan untuk hidup bersama dalam rangka mewujudkan kerukunan dan kemashlahatan bersama. Keinginan itu tertuang dalam perjanjian tertulis.
          Nabi Muhammad saw, tidak hanya berperan sebagai pembaharu masyarakat, tetapi beliau juga sebagai pendiri sebuah bangsa yang besar. Pada tahap awal, Nabi saw, berjuang mendirikan sebuah kebangsaan dengan menyatukan para pemeluknya, lalu beliau merancang sebuah kekuasaan (imperium) yang dibangun berdasarkan kesepakatan dan kerjasama berbagai kelompok terkait. Pada saat awal ini Nabi saw, berhasil mendirikan sebuah negara Madinah, yang semula terdiri dari kelompok masyarakat yang heterogen yang satu sama lainnya saling bermusuhan.
           Maka masyarakat Madinah menjadi bersatu dalam kesatuan negara Madinah. Lalu Nabi Muhammad saw menyampaikan beberapa ketentuan hukum yang memberlakukan semua kelompok tersebut dalam kedudukan yang sama, tidak mengenal perbedaan kedudukan karena nasab, kelas sosial dan lain-lain.
Administrasi Pemerintahan Pada Masa Nabi Muhammad SAW
               Kekuasaan tertinggi pemerintahan Islam bersandar pada kekuasaan Allah swtyang  senantiasa menurunkan wahyu Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad saw. Hukum-hukum Allah (syariat Islam) sebagaimana yang terkandung di dalam Al-Qur'an, berlaku bagi seluruh ummat Islam, termasuk bagi Nabi yang menjabat sebagai penguasa
negeri Islam. Dalam urusan-urusan yang tidak ditetapkan oleh Al-Qur'an, maka keputusannya berada di tangan Nabi.
                Dalam urusan tersebut, kedudukan Nabi Muhammad saw adalah sebagai kepala pemerintahan. Jadi Nabi menjabat peran atau fungsi ganda yaitu sebagai fungsi kenabian dan fungsi kepemerintahan. Sekalipun Nabi menjabat otoritas tertinggi, namun beliau sering mengajak musyawarah para sahabat untuk memutuskan masalah-masalah penting.
               Langkah kebijakan yang pertama kali dilakukan Nabi Muhammad saw di Madinah  adalah membangun masjid, yang dikenal sebagai Masjid Nabawi, yang merupakan pusat kegiatan pemerintahan Islam. Selain sebagai tempat ibadah, masjid juga berfungsi untuk kantor pemerintah pusat dan peradilan.
Perjanjian dan perjamuan para delegasi asing, penetapan surat perintah kepada para gubernur dan pengumpulan pajak diselenggarakan di masjid.
               Sebagai hakim, Nabi memeriksa dan memutuskan suatu perkara di masjid. Nabi  Muhammad saw merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan kepada masyarakat  Arab sistem pendapatan dan pembelanjaan pemerintahan.[14]
               Beliau mendirikan lembaga kekayaan masyarakat di Madinah. Lima sumber utama pendapatan negara Islam yaitu Zakat, Jizyah (pajak perorangan), Kharaj (pajak tanah), Ghanimah (hasil rampasan perang) dan al-Fay' (hasil tanah negara). Zakat merupakan kewajiban bagi setiap muslim atas harta kekayaan yang berupa binatang ternak, hasil pertanian, emas, perak, harta perdagangan dan pendapatan lainnya yang diperoleh seseorang.
               Jizyah merupakan pajak yang dipungut dari masyarakat non muslim sebagai biaya  pengganti atas jaminan keamanan jiwa dan harta benda mereka.  Pnguasa Islam wajib mengembalikan jizyah jika tidak berhasil menjamin dan melindungi jiwa dan harta kekayaan masyarakat non muslim.
               Kharaj merupakan pajak atas kepemilikan tanah yang dipungut kepada setiap
masyarakat non muslim yang memiliki tanah pertanian.
               Ghanimah merupakan hasil rampasan perang yang 4/5 dari ghanimah tersebut
dibagikan kepada pasukan yang turut berperang dan sisanya yaitu 1/5 didistribusikan untuk keperluan keluarga Nabi, anak-anak yatim, fakir miskin dan untuk kepentingan umum masyarakat.  al-Fay' pada umumnya diartikan sebagai tanah-tanah yang berada di wilayah negeri yang ditaklukkan, kemudian menjadi harta milik negara. Pada masa Nabi, negara mempunyai tanah-tanah pertanian yang luas, yang hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum masyarakat.
Nabi Muhammad saw merupakan pimpinan tertinggi tentara muslim.
               Beliau turut serta dalam peperangan dan ekspedisi militer. Bahkan Nabi memimpin beberapa perang besar seperti perang Badar, Uhud, Khandaq, Hunayn dan dalam penaklukkan kota Makkah. Peperangan dan ekspedisi yang lebih kecil diserahkan kepada para komandan yang ditunjuk oleh Nabi. [15]
Nabi Muhammad saw selalu mendorong masyarakat untuk giat belajar.
               Setelah hijrah ke Madinah, Nabi mengambil prakarsa mendirikan lembaga pendidikan. Pasukan Quraisy yang tertawan dalam perang Badar dibebaskan dengan syarat setiap mereka mengajarkan baca tulis kepada sepuluh anak- anak muslim.   Semenjak saat itu kegiatan belajar baca tulis dan kegiatan pendidikan lainnya berkembang dengan pesat di kalangan masyarakat.
               Ketika Islam telah tersebar ke seluruh penjuru jazirah Arabia, Nabi mengatur
pengiriman guru-guru agama untuk ditugaskan mengajarkan al-Qur'an kepada masyarakat suku-suku terpencil.




























DAFTAR LITERATUR

Al Qur’ al Karim
Afzalur Rahman, Muhammad Sebagai Pemimpin Militer, Yogyakarta : LKIS, 1997
Aws, The Encyclopaedia of Islam,  Leiden : E.J. Brill, 1978
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995Watt al-
George Bernard Shaw, The Genuine Islam, Vol. 1, No 8, 1936
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta : UI Press, 1985
Michael H. Hart, The 100, A Ranking of the Most Influential Persons In History, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Terjemahan H.Mahbub Djunaidi, Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1982
Musdah Mulia, Negara Islam, Pemikiran Politik Husein Haikal, Jakarta : Paramadina, 2001
Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2001
Robert M. Meclver, The Modern State, London : Oxford Universiti, 1980





                [1] Q.S. Al Ahzab/33:21
                [2] George Bernard  Shaw , “The Genuine Islam,”  Vol. 1, No. 8, 1936, h. 13
                [3]  Michael H Hart , The 100, A Ranking of the Most Influential Persons In istory, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, (Jakarta :  Dunia Pustaka Jaya, 1982), h. 1  
                4 Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988) h. 84.

5 Ibnu Atsir, al-Kamil fi at-Tarikh (Beirut: Daar Ashwar, 1965), jil 2, h. 60.
6 Ali Mufrodi, Op cit, h. 8-9.

7 Di antara ke-360an berhala itu ada empat buah berhala yang terpenting: (1) Hubal, yang dianggap sebagai Dewa yang terbesar, terbuat dari batu akik warna merah, (2) Lata, Dewa tertua terletak di Thaif, (3) Uzza, terdapat di bawah Hubal dan (4) mant yang terletak di Yasrib.

8 Ali Mufrodi, Ali Mufrodi, Islam di Kawasan, h. 8-9.
9 Muhammad Haikal, Sejarah Hidup Nabi Muhammad  (Jakarta; Lintera Antar Nusa, 2003). h. 7
10 Hamka, Sejarah Umat Islam, Cet  VII (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 106.
12 Shafiyurrahman al-Mubarak, Sirah Nabawiyah, terj. A. Mas'udi  (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997), h. 49.
13 Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab  (Jakarta: Logos, 1997), h. 8-9.
14 Dari sini dapat difahami kenapa para musuh Muhammad SAW. tidak berani membunuh beliau ketika di Mekkah.
15 Anda bisa merujuk Engineer, Ali Ashgar, The Original And Development Of Islam (New Delhi: Sangam Press, 1980), hal. 17-20, selain setia, berani dan ksatria orang-orang Arab juga gemar menyetir syair orang lain dalam perkataannya, hal ini memungkin tradisi penghapalan Hadist Nabi menjadi lebih mudah dan masuk akal.
16 Joseph Schacht, An Introduction To Islamic Law (Inggris: Oxford Press, 1971),  hal. 6.
17 Abdul Azis Dahlan, et. al, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta; Ichtiar Baru van Hoeven, 1999),  jil. IV. hal. 1185
18 Budhy Munawwar Rachman, Islam Pluralis (Jakarta; Paramadina, 2001),  hal. 392
19 Abdul Nashir, Polygami Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial Dan Perundang-undangan, terj. Chadijah (Jakarta; Bulan Bintang, 1976),  hal. 25.
20 John. L. Esposito, Ensiklopedi Dunia Islam Modern, terj Eva (Mizan; Bandung, 2002) jil. IV,  hal. 311. lihat juga K. Ali, A Study  Of Islamaic History (Delhi: Idarah Adabiyat Delli, 1980),  hal.  21.
21 Marshall Hodgson, The Venture Of Islam (Chicago: Chichago University Press,  1974), jil. I, hal 338.
22 K. Ali, A Study, hal. 21.
23 Ahmad Syalabi, Islam DalamTimbangan,, terj. Abu Laila (Bandung: Ma’arif, 1982),  hal. 298
23 Joseph Schacht, An Introduction,  hal. 9.
24 Joseph Schacht, An Introduction, hal. 28.
                [5] Musdah Mulia, Negara Islam, Pemikiran Politik Husain Haikal, (Jakarta : Paramadina, 2001), h. 180
                [6] Watt. al-Aws; Encyclopaedia of Islam, (Leiden : E.J. Brill, 1978), h. 58
                [7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, h. 25
                [8] Musdah Mulia, Negara Islam, Pemikiran Politik…. h. 186
                [9] Ibid, h. 187
                [10] Pusat Bahasa DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2001), h. 777
                [11] Robert M. Maclver, The Modern State, (London : Oxford Universiti, 1980), h. 22
                [12] Musdah Mulia, Negara Islam, Pemikiran Politik….h. 189
                [13] Ibid, h.189
                [14]  Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta : UI Press, 1985, cetakan kelima). H. 103
                [15] Afzalur Rahman, Muhammad Sebagai Pemimpin Militer, (Yogyakarta : LKIS, 1997), h. 56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar