Kamis, 26 April 2012

ALIRAN PENULISAN SEJARAH MASA AWAL ISLAM (Aliran Madinah)


Makalah
Pendahuluan

Perkembangan sejarah kalangan kaum muslimin sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu keagamaan lainnya. Ilmu pengetahuan keagamaan yang pertama kali berkembang adalah ilmu hadis. Perkembangan ilmu hadis inilah sebagai cikal bakal penulisan sejarah. Dari penulisan hadis-hadis Nabi itu para sejarawan memperluas cakupannya sehingga membentuk sastu tema sejarah tersendiri.
Salah satu aliran penulisan sejarah yang munsul di Madinah yang kemudian disebut dengan aliran Madinah, yaitu aliran sejarah ilmiah yang mendalam, yang banyak memperhatikan al-maghazi dan al-sirah al- Nabawiyah yang berjalan diatas pola metode ilmu hadis yang sangat memperhatikan sanat.
Makalah ini akan mengulas tentang tokoh-tokoh yang menulis sejarah yang beraliran Madinah dan cirri-ciri penulisannya.


Aliran Madinah

1. ‘Abdullah ibn al-Abbas, Sa’id ibn al-Musayyab, Aban Ibn ‘Usman ibn ‘Affan, Syurahbil ibn Sa’ad dan ‘Ashim ibn ‘Umar ibn Qatadah al-Zhafari.

Jasa tiga tokoh pertama dalam bidang penulisan sejarah dalam Islam, pada dasarnya, terletak pada riwayat-riwayatnya yang masih merupakan embrio dari kajian sejarah dalam Islam. ‘Abdullah ibn Al-Abbas (w. 78 H) dalam lapangan ilmu keagamaan, di samping dikenal sebagai ahli hadis, fiqih dan tafsir yang sangat luas pengetahuannya, dia juga dikenal sebagai memiliki pengetahuan tentang sejarah, ayyam al-arab, nasab, syair dan bahasa. Al-thabari meriwayatkan daripadanya peristiwa-perisriwa yang berkenaan dengan Bangsa Arab al-Ba’idah (yang sudah punah), al-Isra’iliyyat, dan tentang al-maghazi (perang-perang yang dipimpin Rasulullah saw.). dia tidak meninggalkan karya tulis, tetapi ucapan-ucapannya banyak dicatat oleh murid-muridnya. Oleh karena itulah, penulisan riwayat-riwayat ibn ‘Abbas ini dapat dikatakan sebagai awal penulisan sejarah dikalangan Bangsa Arab.[1]
Sama dengan ibn ‘Abbas, Sa’id ibn al-Musayyab (13 – 94 H/634 – 713 M) adalah juga seorang ahli fiqih yang mempunyai banyak pengetahuan tentang sejarah. Pengetahuannya yang luas tentang sejarah diakui oleh al-Zuhri. Konon dia telah menulis beberapa makalah lepas tentang kehidupan Nabi Muhammad saw. Dan tentang ekspansi Islam. Hal itu diketahui melalui kutipan-kutipan al-Thabari di dalam karya sejarahnya yang terkenal.[2] Sedangkan Aban ibn “Ustman ibn ‘Affan (wafat antara tahun 95 – 105H/713 – 723 M) dinilai sebagai lambang dari pemisahan antara ilmu hadis dan kajian al-maghazi, tema pertama sejarah Islam.[3]
Syurahbil ibn Sa’ad (w. 123 H)[4], di samping dikenal sebagai seorang perawi hadis, juga dikenal sebagai sejarawan muslim generasi pertama, yang banyak memiliki pengetahuan tentang al-sirah dan al-maghazi. Sebagaimana para pendahulunya, dia tidak meninggalkan karya sejarah, tetapi keterangan tentang sejarah yang berasal dari padanya diperoleh dari para ahli ahli dan peraawi hadis. Namun, berbeda dengan Ibn ‘Abbas dan Sa’ad ibn al-Musayyab, Syurahbil ibn Sa’ad lebih dikenal sebagai sejarawan dari pada sebagai perawi hadis. Dia dianggap sebagai orang yang tahu tentang perang-perang Nabi saw. (al-maghazi), orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinahbersama Nabi Muhammad saw., dan orang-orang yang terlibat dalam Perang Badar dan Perang Uhud. Dia juga menulis nama-nama para sahabat yang hijrah dari Mekah ke Habasyah (Ethiopia) pada tahun 615 M. Meskipun karyanya tidak ditemukan lagi, kandungannya sudah dilestarikan oleh para sejarawan yang mengutipnya.
Sebagaimana Syurahbil ibn Sa’ad, ‘Ashim ibn ‘Umar ibn Qatadah al-Zhafari (w. 120 H/737 M) adalah seorang tokoh sejarah aliran Madinah yang memiliki pengetahuan luas tentang al-maghazi dan al-sirah. Riwayat-riwayatnya dalam hal itu banyak dikutip oleh para sejarawan sesudahnya, seperti ibn Ishaq dan al-Waqidi. Demikian luasnya pengetahuannya dalam hal tersebut, sampai-sampai ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz, khalifah Bani Umayyah memerintahkannya untuk mendirikan majelis ilmu di Maslid Damaskus dimana dia memberikan kuliah tentang al-maghazi dan riwayat hidup para sahabat.[5]

2. ‘Urwah ibn Zubayr ibn al-‘Awwam

‘Urwah ibn Zubayr ibn al-‘Awwam[6] adalah satu generasi dengan Syurahbil ibn Sa’ad dan ‘Aban ibn ‘Utsman ibn ‘Affan. Dibandingkan dengan sahabat segenerasinya itu, menurut ‘Abd al-‘Aziz al-Duri, perannya dalam menumbuhkan ilmu sejarah dalam Islam lebih mendasar.
‘Urwah adalah seorang tokoh suku Quraisy. Ayahnya bernama al-Zubayr ibn al-‘Awwam dan ibunya bernama Asma’ bint Abi Bakr. ‘Aisyah adalah bibinya dari garis ibunya. Khadijah binti Khuwaylid adalah neneknya. Ia bersaudara dengan ‘Abdullah ibn al-Zubayr. Dan istrinya, Umm Yahya adalah puteri bungsu dari al-Hakam ibn Abi al-‘Ash, tokoh terpandang bangsa Quraisy pada masanya. ‘Urwah sangat bangga dengan garis keturunannya, baik dari garis ayahnya maupun garis ibunya. Garis keturunan itu mempunyai pengaruh terhadap pembawaan dirinya serta hubungannya dengan riwayat-riwayat yang dihasilkannya.
Terdapat perbedaan mengenai tahun kelahirannya. Beberapa kalangan yang berwewenang mengatakan bahwa dia dilahirkan pada tahun 22 atau 26 atau 29 H. Salah satu riwayat mengatakan bahwa dia dilahirkan pada tahun 23 H/643 M. Hal ini tampaknya merupakan perhitungan yang lebih seksama, sesuai dengan riwayat lain yang menyatakan bahwa dia berusia tigabelas tahun pada waktu terjadinya perang Jamal (Unta) pada tahun 36 H. Hal tersebut ditunjang dengan pernyataan ‘Urwah sendiri yang menyatakan bahwa dalam perjalanannya menuju pertempuran, waktu itu ia kembali karena usianya masih belia. Tentang tahun wafatnya terdapat beberapa riwayat. Al-Thabari menetapkan bahwa ia meninggal tahun 94 H, demikian pula ibn Sa’ad dan rekan-rekannya. Menurut ibn Qutaybah dan ibn Khalikan, dia meninggal tahun 93 H. Namun riwayat yang paling tua dan paling dapat dipercaya adalah tahun 94 H/712 M.
‘Urwah tumbuh dewasa dan belajar di Madinah. Dia kemudian tinggal di Mesir selama 7 tahun antara tahun 58 dan tahun 65 H, dan menikah di sana. Dia sering mengunjungi Damaskus. Aspirasinya berbeda dengan ayah dan dua orang saudaranya, ‘Abdullah dan Mush’ab. Dalam hal ini dia berkata, “saya ingin bersikap zuhud terhadap dunia, agar memperoleh surga di akhirat. Saya juga ingin menjadi ulama tempat orang menimba ilmu”.[7] Hal ini tercermin juga dalam kehidupannya. ‘Urwah menghabiskan seluruh hidupnya untuk belajar dan mengajar. Dia meriwayatkan hadis dan ilmu dari ilmuan-ilmuan besar Madinah. Dia adalah salah seorang dari tujuh pakar fiqih di Madinah pada masanya dan salah seorang yang paling menonjol dalam bidang hadis.[8]
Sebelum mendalami tentang sejarahnya, perlu dijelaskan bahwa ia memiliki hubungan dengan Bani Umayyah. Dia mengenal ‘Abd al-Malik pada masa mudanya di Madinah dan sudah biasa bertemu dengannya di Masjid Nabawi. ‘Urwah mengunjungi ‘Abd al-Malik di Damaskus, ketika yang terakhir ini sudah menjadi khalifah. Setelah saudaranya, ‘Abdullah ibn al-Zubair meninggal, dia datang mengunjungi Khalifah al-Walid. Dia menemui kesulitan untuk menghadap penguasa-penguasa Bani Umayyah yang berkedudukan di Damaskus. Riwayat menunjukkan bahwa tidak ada tanda-tanda orang-orang Damaskus menghormati ilmunya dan dia sangat hati-hati waktu berhubungan dengan mereka. Hal ini dibuktikan oleh kenyataan ketika pihak penguasa Bani Umayyah bertanya kepadanya tentang peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan tugas Nabi. Dia menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam bentuk sejarah. Sebagaian di antaranya telah sampai kepada kita melalui al-Thabari. Risalah-risalah itu merupakan bahan sejarah yang paling tua yang sampai kepada kita dan merupakan bagian-bagian yang paling dipercaya.
‘Urwah tidak membatasi bahasannya pada al-maghazi, tetapi juga mengangkat masa al-Khulafa’ al-Rasyidun. Hal ini sangat jelas dalam berbagai kutipan dari karyanya yang sampai kepada kita.
Dari tulisan-tulisannya, sulit untuk merekontruksi gagasannya tentang sejarah masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, karena dia tidak menuangkan peristiwa-peristiwa secara rinci, kecuali tentang Perang Riddah. Berkenaan tentang Perang Riddah sendiri, ia tampaknya tetap menggunakan pola penulisan al-machazi. Yang mungkin dilakukan adalah usaha merekonstruksi gagasannya tentang al-maghazi.
Dari tulisan-tulisannya itu tampaknya ‘Uewah menulis tentang al-maghazi-nya secara berurutan mulai dari turunnya wahyu, mulainya dakwah, hijrah ke Habasyah, hijrah ke Madinah kemudian dilanjutkan dengan aktivitas-aktivitas di Madinah seperti ekspedisi ‘Abdullah ibn Jahsy, Perang Badar, Perang Qainuqa’, Perang Khandaq, Perang Bani Quraizhah, Perjanjian Hudaibiyah, ekspedisi Mu’tah, penaklukan kota Makah, Perang Hunayn, Perang al-Tha’if, beberapa surat yang dikirim Nabi, dan hari-hari terakhir hayat Rasulullah.[9]
Riwayat-riwayatnya itu tampaknya hanya terperinci dalam hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa penting. Beberapa peristiwa hanya disinggung dalam isyarat belaka. Pada bagian lain, dapat disaksikan bahwa antara satu peristiwa dengan peristiwa lain disajikan secara berhubungan, seperti hubungan antara penaklukan kota Makah dengan perjanjian Hudaybiyah. Sementara itu, Perang Uhud sendiri tidak diriwayatkannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ‘Urwah sudah memulai karya tentang al-maghazi. Bahkan karyanya itu tidak terbatas pada persoalan-persoalan al-maghazi (perang), tetapi juga sudah memasuki aspek-aspek al-sirah (riwayat hidup Nabi), sejak turunnya wahyu sampai wafatnya Nabi.
Oleh karena itulah, al-Sakhawi[10] di dalam karyanya mengisyaratkan adanya kajian tentang al-maghazi oleh ‘Urwah. Pendapat ini dikuatkan oleh Haji Khalifah yang mengatakan bahwa ‘Urwah adalah sejarawan muslim pertamayang mengarang al-maghazi. Namun yang jelas adalah bahwa ‘Urwah sudah melakukan kajian tentang al-maghazi akan tetapi gagasannya tentang al-sirah belum jelas.
‘Urwah adalah seorang perawi hadis yang dapat dipercaya, dan dia dalam menuliskan berita-berita sejarah itu menggunakan metode hadis. Kedudukan sosialnya telah memudahkan untuk mendapatkan riwayat-riwayat dari sumbernya. Kita juga mendapatkan adanya isnad dalam riwayat-riwayatnya, tetapi dalam riwayat-riwayatnya yang lain tidak digunakan isnad. Dalam surat-suratnya kepada ‘Abd al-Malik ibn Marwan, ‘Urwah menggabungkan sejumlah hadis kedalam bentuk ringkasan tunggal bersambung dan bentuk laporannya itu tidak menyajikan isnad. Pada masa itu kaidah-kaidah isnad memang belum dirumuskan dengan jelas dan riwayat yang langsung diriwayatkan oleh tabi’in, khususnya dalam peristiwa sejarah, dinilai sebagai riwayat yang dapat dipercaya.
Di samping laporan lisan, ‘Urwah juga mempunyai perhatian terhadap dokumen tertulis, terbukti dengan ditulisnya beberapa surat Rasul ke berbagai tempat dan ini merupakan aspek penting dalam penulisan sejarah. Dia juga mengaitkan peristiwa-peristsejarah dengan nash-nash alquran yang berisi atau ada kaitannya dengan peristiwa sejarah itu.
Riwayat ‘Urwah dinilai otentik, karena diriwayatkan  dari sumbernya yang dapat dipercaya, seperti ‘Aisyah, keluarga al-Zubayr, Usamah ibn Zayd, ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash, Abu Dzar.
Dalam beberapa riwayatnya, ‘Urwah menampilkan beberapa syair yang diucapkan oleh orang-orang yang terlibat di dalam peristiwa bersangkutan. Hal ini dianggap wajar, sesuai dengan lingkungan kota Madinah, karena syair adalah unsure asasi dalam kebudayaan dan penulisan Arab.
Gaya tulisan ‘Urwah mudah dimengerti, hidup dan runtut, jauh dari sikap berlebihan (mubalaghah) atau usaha mempengaruhi pembaca. Ketika memulai suatu riwayat, dia biasanya menuliskan tentang latar belakang peristiwa itu dengan mengaitkan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya atau yang sedang terjadi. Demikianlah, ketika ia menulis tentang Perang Badar ia menyebutkannya sebagai awal peperangan antara kaum muslimin dan kaum quraisy, dan ketika ia menulis tentang hijrah ke Habasyah ia juga menyebutkan perkembangan hubungan antara kaum muslimin dengan kaum quraisy sejak awal dakwah dilakukan Nabi, dan ketika ia menuliskan tentang hijrah ke Madinah dia juga menggambarkan dengan hidup tentang hubungan peristiwa itu dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya secara runtut dan tidak terpitus.[11]
Sangat jelas bahwa penulisan sejarah bermula dan sangat erat hubungannya dengan ilmu hadis, bahkan dapat dikatakan bahwa sejarah merupakan cabang atau bagian dari ilmu hadis tersebut. Langgamnya juga menggunakan langgam hadis. Dari tulisan-tulisannya, gagasan sejarah dibalik kajian ini adalah pemaparan tantang keadaan, peristiwa-peristiwa penting sejarah dalam kehidupan Nabi dan kaum muslimin pertama. Dalam hal ini ada gagasan tentang pentingnya pengetahuan tentang al-sirah dan tentang pengalaman-pengalaman umat Islam. Dapat disimpulkan pula bahwa pertanyaan-pertanyaan penguasa Bani Umayyah tentang al-maghazi tidak terbatas menjadi perhatian penuntut ilmu, tetapi juga menjadi cerminan akan kecendrungan social dan budaya.
Apa yang dilakukan ‘Urwah ini sangat besar nilainya, karena dia telah menegakkan tonggak kajian sejarah, ketika dia mengumpulkan sejumlah besar hadis sejarah dalam al-maghazi. Dia telah meletakkan dasar-dasar kajian ini dan telah pula mencetuskan gagasan sejarah yang sangat berpengaruh. Apa yang sudah dimulai ‘Urwah ini kemudian disempurnakan oleh al-Zuhri.


3. Muhammad ibn Muslim ibn ‘Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H/742 M)

Kebangkitan aliran sejarah di Madinah, menurut ‘Abd al-‘Aziz al-Duri, bagaimanapun tidak bisa dilepaskan dari Abu Bakr Muhammad ibn Muslim ibn ‘Ubaydillah ibn Syihab al-Zuhri (selanjutnya disebut al-Zuhri), karena dialah yang menempatkan sejarah pada landasan yang jelas dan menggambarkan orientasi studi sejarah.[12] Di samping itu, kajian tentang al-Zuhri ini semakin penting untuk menentukan apakah prinsip-prinsip al-maghazi berasal dari cerita-cerita rakyat sebagaimana dipandang oleh sebagian orang ataukah berasal dari kajian yang sesungguh-sungguhnya yang dilakukan oleh para ahli hadis dan murid-muridnya.
Al-Zuhri wafat pada 17 Ramadhan 123 H/742 M. para sejarawan berbeda pendapat tentang kelahirannya. Menurut al-Wakidi dan al-Zubayr ibn Bakar, dia wafat dalam usia 72 tahun. Oleh karena itu diperkirakan dia lahir pada tahun 51 H/671 M.[13]
Al-Zuhri adalah salah seorang tokoh besar ilmu hadis dan ilmu fiqih. Di antara guru-gurunya adalah Sa’id ibn al-Musayyab, Aban ibn ‘Utsman, ‘Udaydillah ibn ‘Abdillah ibn Qutaybah dan ‘Urwah ibn al-Zubayr. Dia dikenal sebagai orang yang sangat kuat ingatannya. Yang lebih penting lagi adalah bahwa ia menuliskan riwayat-riwayat yang diterimanya dari guru-gurunya, yang dimaksudkan untuk membantu menguatkan ingatannya itu. Tulisan-tulisannya itulah yang mnyebabkan ia dipandang lebih tinggi dari ulama generasinya.
Dalam bidang al-maghazi, al-Zuhri terutama bersandar pada riwayat-riwayat yang diterimanya dari guru yang lama digaulinya, ‘Urwah ibn al-Zubayr. Dia membahas wilayah kajian yang sangat luas di Madinah dari hadis-hadis Rasulullah dan para sahabat Nabi saw. Hal itu sangat dimungkinkan oleh kedudukan sosialnya yang tinggi, di samping kekuatan ingatannya dan tulisannya tersebut. Dia tidak hanya membatasi diri untuk manggali hadis dari para muhaddisin, tetapi dia juga mengorek pengetahuan dari siapa pun yang menurutnya dapat memberikan informasi yang dapat dipercaya tentang suatu hal, baik kaum tua maupun kaum muda. Oleh karena itulah mendatangi banyak sekali forum pengkajian dan mendatangi para ulama ke rumahnya masing-masing. Demikian tekunnya dalam menuntut ilmu, sampai-sampai para ulama sezaman dan yang datang sesudahnya memujinya sebagai lautan ilmu keislaman yang tak pernah kering ditimba.
Al-Thabari menyatakan bahwa al-Zuhri adalah orang pertama yang meletakkan dasar ilmu maghazi (perang-perang Rasulullah), sejarah Quraisy dan Anshar, yang mengarang sejarah Rasulullah dan para sahabatnya.
Jelas bahwa kajian al-Zuhri berkenaan dengan kehidupan Rasulullah. Dia memulai dengan sebagian peristiwa sebelum Islam dan sebagian lagi berhubungan dengan Rasulullah di Makah dan sesudahnya di Madinah. Dalam tulisannya itu, ia sudah menggunakan istilah al-maghazi untuk menyebut perang-perang Rasulullah dan al-sirah untuk menyebut riwayat hidup Nabi Muhammad saw. Namun, hal itu belum tentu menunjukkan bahwa dialah yang pertama kali menggunakan kata tersebut.
Informasi tentang maghazi (perang-perang Nabi) yang ditulis oleh al-Zuhri tidak ditemukan lagi, kecuali kutipan-kutipan yang terdapat di dalam kitab-kitab sejarah karya ibn Ishaq, al-Waqidi, al-Thabari, al-Baladzuri dan Ibn Sayyid al-Nas.
Al-Zuhri adalah orang pertama yang membuat kerangka jelas bagi penulisan al-sirah (riwayat hidup Nabi saw), dia telah menggariskan dengan jelas sehingga para sejarawan yang datang sesudahnya tinggal menyempurnakan kerangka itu dengan terinci. Dalam hal ini dia juga memulai penulisan al-maghazi atau al-sirah dengan materi-materi yang berhubungan dengan kehidupan Muhammad sebelum diangkat menjadi Nabi atau Rasul dan ada kemungkinan dia juga memberikan silsilah keturunannya. Setelah menyebutkan tanda-tanda kenabian, dia beralih kepada turunnya wahyu pertama kemudian tentang peristiwa-peristiwa penting pada periode Makah dan setelah itu hijrah dan peristiwa-peristiwa penting pada periode Madinah sampai wafatnya Rasulullah.[14]
Tampaknya al-Zuhri memperhatikan rangkaian dan kronologis sejarah dan dia juga sudah mencantumkan tahun kejadian sejarah itu. Pencantuman tahun kejadian ini sangat membantu untuk merekontruksi kerangka buku karangan al-Zuhri.
Pada dasarnya, pendekatan al-Zuhri dalam penulisan sejarah ini adalah pendekatan ilmu hadis. Perhatiannya adalah terletak pada usahanya untuk mendapatkan riwayat hadis, termasuk di dalamnya riwayat sejarah. Dia berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan ilmu merupakan kepentingan social dan agama, selain merupakan perbuatan taqwa. Dengan aktivitas ilmiahnya itu ia mendapatkan posisi social yang tinggi.
Adapun metode yang digunakannya dalam menilai hadis dan riwayat disandarkan pada metode isnad. Dalam hal isnad ini, dia dipandang sebagai seorang yang sangat kuat, tetapi kadang-kadang ia merasa cukup dengan meriwayatkan hanya dari satu orang tabi’in. langkah penting al-Zuhri dalam periwayatan peristiwa-peristiwa sejarah ini adalah penggunaan isnad kolektif, yaitu dengan mengumpulkan beberapa riwayat dalam kisah yang runtut, yang dikemukakan oleh para perawi. Di samping itu, dia juga banyak menyebutkan ayat-ayat al-quran yang berhubungan dengan peristiwa sejarah.
Dalam riwayat-riwayat sejarahnya, tampak sekali bahwa al-Zuhri berpandangan dinamis ketika membahas tentang perang-perang Nabi. Gagasan fatalistik tidak dominant. Demikianlah yang terlihat ketika ia berusaha menguraikan pandangannya tentang Perjanjian Hudaybiyah. Sehingga dapat dikatankan bahwa riwayat-riwayat al-Zuhri, umumnya memberikan informasi faktual dengan langgam yang jelas, sederhana dan terfokus. Tidak banyak dalam tulisannya itu unsur-unsur mubalaghah, melebih-lebihkan. Umumnya informasi sejarahnya itu bersumber dari hadis-hadis. Sementara itu, ia berpendapat bahwa cerita rakyat hanyalah hiburan belaka. Meskipun demikian, unsur-unsur cerita rakyat juga tersisipkan di dalam tulisan-tulisan sejarahnya itu, seperti simpatinya Heraklius terhadap agama Islam, peringatan yang didengar olek Kisra dan rincian tentang peristiwa Suraqah. Sementara dalam tulisannya tentang para Nabi sebelum Muhammad, terlihat bahwa unsure Israilliyat banyak mempengaruhinya dan itu bersumber dari Ka’ab al-Ahbar. Sebagai mana halnya gurunya ‘Urwah ibn al-Zubayr, al-Zuhri juga kadang-kadang menyisipkan syair di dalam tulisan-tulisan sejarahnya dan itu dianggap wajar pada masanya, karena syair merupakan unsure penting dalam budaya Arab ketika itu. Namun syair-syairnya tidak menunjukkan bahwa ia terpengaruh pada syair-syair yang termuat dalam al-ayyam.
Kajian sejarah al-Zuhri tidak terbatas pada al-maghazi, tetapi juga meliputi al-ansab (nasab, garis keturunan). Dia juga menulis tentang nasab Mudhar, tetapi tidak sampai selesai. Dia juga menulis tentang peristiwa-peristiwa pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, seperti pemilihan Abu Bakr sebagai khalifah, kebijaksanaan politik ‘Umar ibn al-Khattab, kekhalifahan ‘Ustman ibn ‘Affan, pengumpulan dan penulisan al-Quran, kritik-kritik terhadap ‘Utsman, pengaruh buruk dari Marwan ibn al-Hakam, akhir masa kekhalifahan ‘Utsman, pemilihan ‘Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah, peristiwa perang Jamal, perang Shiffin antara ‘Ali dan Mu’awiyyah, tahkim (arbitrase), kekuasaan Mu’awiyah, hubungan Hasan ibn ‘Ali dengan penduduk Kufah, dan mundurnya Hasan dari kekhalifahan. Namun, al-Zuhri tidak membahas tentang masa Bani Muawiyah. Tentang pemerintahan Bani Umayyah ini hanya sedikit sekali menjadi perhatiannya.
Bagian dari kajian al-Zuhri ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap pengalaman umat merupakan faktor lain yang menentukan dalam pertumbuhanpenulsan sejarah. Prinsip musyawarah mufakat, munculnya kekuatan politik dan polemic tentang kejadian masa lalu, khususnya tentang “fitnah” , masalah khilafah (apakah melalui pemilihan atau pewarisan), problema administrasi, khususnya penataan gaji dan perkantoran, semuanya menuntut kejelasan melalui kajian-kajian sejarah. Dalam hal ini, misalnya al-Zuhri menjelaskan kepada umat bahwa Nabi tidak menunjuk seseorang yang akan menjadi pemimpin penggantinya setelah Nabi Muhammad wafat, yang menunjukkan bahwa kepemimpinan ditentukan oleh pemilihan dan bukan dengan pewarisan. Demikian pula halnya dengan persoalan-persoalan lain seperti peristiwa terbunuhnya ‘Utsman ibn ‘Affan, Perang Jamal dan Perang Shiffin adalah persoalan lain yang perlu diambil hikmahnya. Dalam kajian-kajian terhadap peristiwa ini, tampak bahwa al-Zuhri bersikap netral dan objektif, tidak berpihak pada salah satu golongan yang bertikai. Meskipun ia untuk beberapa lama bekerja di istana Bani Umayyah di Damaskus, pandangan-pandangan sejarahnya tidak terpengaruh oleh perkembangan politik pada masa itu. Ia tetap merupakan seorang cendikiawan yang kritis.

4. Musa ibn ‘Uqbah (w. 141 H/758 M)

Musa ibn ‘Uqbah adalah murid al-Zuhri. Dia adalah seorang ulama yang menguasai banyak ilmu keagamaan Islam, tetapi dia lebih terkenal sebagai seorang yang banyak memiliki pengetahuan tentang al-maghazi.[15] Imam malik ibn Anas[16] berkata: “Kalau ingin menimba ilmu tentang al-maghazi, maka timbalah dari Musa ibn ‘Uqbah, karena al-maghazi yang paling shahih pada masa itu adalah al-maghazi-nya Musa ibn ‘Uqbah”. Pujian senada juga dinyatakan oleh al-Sakhawi. Sebagaimana gurunya, al-Zuhri, dia dengan ketat berpegang pada metode isnad dan penanggalan kronologis peristiwa. Karyanya tidak ditemukan lagi, tetapi beberapa bagian daripadanya dapat dijumpai dalam karya-karya Muhammad ibn Sa’ad (al-Thabaqat) dan karya al-Thabari yang banyak mengutip daripadanya tentang al-sirah, Khulafa’ Rasyidun dan Bani Umayyah.

Penutup

Umat Islam telah mengalami kemajuan dalam penulisan sejarah, bahkan tidak ada bangsa lain yang menulis sejarah seperti halnya kaum muslimin. Para sejarawan muslim telah menulis ribuan buku dengan variasi judul dan isinya. Jumlah karya sejarah banyak sekali, sehingga tidak mungkin bisa dihitung. Suburnya penulisan sejarah menimbulkan aliran-aliran penulisan di awal masa kebangkitan Islam. Setiap aliran menggunakan metode dan tema yang berbeda. Aliran Madinah, misalnya mengembangkan penulisan sejarah bertolak dari penggumpulan hadits-hadits Nabi SAW.

Daftar Pustaka

Tarhini, Muhammad Ahmad, al-Mu’arrikhul wa al-Tarikh ‘ind al-Arab­, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991
al-Silmi, Muhammad ibn Shamil al-‘Alyani, Manhaj Kitabah al-Tarikh al-Islam Ma’a Dirasat li Tathawwur wa Manahij al- Mu’arrikhin Riyadh: Dar Thibah, 1986
Ibn Sa’ad, Syurahbil” dalam HA Hafizh Dasuki (Ed.), Ensiklopedi Islam, Suplemen 1 Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, cetakan pertama
al-Duri, ‘Abd al-Aziz, Bahs fi Nasy’ah ‘Ilm al-Tarikh ‘ind al-Arab, Beirut: Dar al-Masyriq, 1986
Yatim, Badri, Historiografi Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
al-Sakhawi, Syams al-Din Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman, al-I’lan bi al-Tawbikh li Man Dzamm al-Tarikh, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun.



[1] Muhammad Ahmad Tarhini, al-Mu’arrikhul wa al-Tarikh ‘ind al-Arab­ (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991), h. 42
[2] Ibid., h. 42 – 43
[3] Ibid., h. 43
[4] Muhammad ibn Shamil al-‘Alyani al-Silmi, Manhaj Kitabah al-Tarikh al-Islam Ma’a Dirasat li Tathawwur wa Manahij al- Mu’arrikhin (Riyadh: Dar Thibah, 1986), h. 298-299; dan “Ibn Sa’ad, Syurahbil” dalam HA Hafizh Dasuki (Ed.), Ensiklopedi Islam, Suplemen 1 (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, cetakan pertama), h. 215-216
[5] Muhammad Ahmad Tarhini, al-Mu’arrikhul wa al-Tarikh ‘ind al-Arab­ (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991), h. 47
[6] ‘Abd al-Aziz al-Duri, Bahs fi Nasy’ah ‘Ilm al-Tarikh ‘ind al-Arab (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h. 61-77
[7] Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 60
[8] Ibid., h. 60
[9] Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 61
[10] Syams al-Din Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi, al-I’lan bi al-Tawbikh li Man Dzamm al-Tarikh (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), h. 159.
[11] Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 63
[12] ‘Abd al-Aziz al-Duri, Bahs fi Nasy’ah ‘Ilm al-Tarikh ‘ind al-Arab (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h. 78-102
[13] Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 64
[14] Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 66
[15] Muhammad Ahmad Tarhini, al-Mu’arrikhul wa al-Tarikh ‘ind al-Arab­ (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991), h. 49-50
[16] Pendiri Mazhab Maliki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar