Jumat, 27 Januari 2012

AL-JAM'IYAH AL-WASHLIYAH


Makalah           


A. PENDAHULUAN
            Al-Jam’iyatul Washliyah adalah sebuah organisasi Islam yang bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan. Organisasi ini sangat aktif menyiarkan agama Islam melalui pendidikan, termasuk madrasah dan sekolah, untuk meningkatkan pendidikan masyarakat. Organisasi ini lahir pada tanggal 30 November 1930, sebelum Indonesia merdeka. Pada awalnya organisasi ini kurang berkembang, namun setelah Indonesia merdeka perkembangannya sangat pesat hampir menjangkau seluruh pelosok kepulauan di Indonesia.
            Semua keberhasilan organisasi ini merupakan hasil aktivitas Al-Jam’iyatul Washliyah yang digerakkan dengan penuh semangat dan keuletan oleh pelajar-pelajar Maktab Islamiyah Tapanuli, suatu pendidikan agama di Medan. Kemajuan Al-Jam’iyatul Washliyah pada masa selanjutnya adalah hasil jerih payah dan perjuangan pada masa lalu.

B. LATAR BELAKANG
            Sejak perkebunan karet dan teh dibuka di Sumatera Timur pada abad ke-19, daerah ini menjadi daerah migrasi. Para migran ini dapat dibagi atas 2 kelompok, yakni bangsa asing dan pribumi. Migran asing 12,2%, sedangkan migran pribumi terdiri dari suku jawa 52,3%; mereka ini sebagai pekerja kuli di perkebunan, suku batak toba 4,4%, Mandailing 3,5%, Minangkabau 3,0%, suku lainnya 1,0% - 2,0% dan prnduduk asli 34%[1]. Sekalipun jumlah migran dari Mandailing dan Minangkabau tidak begitu besar bila dibandingkan dengan migrant suku Jawa, tetapi ternyata mereka ini lebih terampil dan mempunyai bekal pengetahuan sekurang-kurangnya untuk hidup mereka sendiri, sehingga pengaruh mereka lebih menonjol daripada penduduk asli.
            Adapun motivasi migran ini semuanya untuk mencari nafkah di tempat baru, karena daerah Sumatera Timur merupakan daerah yang lebih membuka kemungkinan bagi mereka dalam mencari nafkah hidup. Para migran tersebut di atas ada yang berperan sebagai ulama. Pada mulanya mereka ini mengajar terbatas pada kalangan sendiri, kemudian meluas pada penduduk setempat.
            Pada tahun 1918 di Medan berdiri sebuah Maktab/Madrasah yang diberi nama Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT)[2]. Maktab ini didirikan atas inisiatif masyarakat Mandailing (Tapanuli Selatan) yang bertempat tinggal di Medan. Maktab ini merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang bersifar formal, yang pertama di Medan. Sebelum ini lembaga pendidikan hanya bersifat non-formal[3].
            Sistem belajar di MIT hampir sama dengan sistem belajar di pesantren yakni lebih mengutamakan perkembangan daya ingatan karena setiap pelajaran harus dihafal[4]. Setelah MIT berjalan 10 tahun yaitu pada tahun 1928 murid-murid MIT dari kelas tertinggi membentuk sebuah perhimpunan pelajar yang disebut “Debating Club” dipimpin oleh Abdurrahman Syihab[5]. Tujuan perhimpunan pelajar ini mula-mula mengadakan diskusi mengenai pelajaran-pelajaran saja. Kemudian juga membicarakan masalah sosial bahkan mengenai masalah adanya paham baru yang muncul di kalangan masyarakat, yaitu paham Muhammadiyah yang berdiri di Medan pada tahun 1928. Pada umumnya masyarakat di Sumatera Timur bermazhab Syafi’i, tetapi muncul golongan masyarakat yang tidak terikat pada salah satu mazhab, yang dikenal dengan Kaum Muda. Golongan ini hanya memakai sumber hukum dari Alquran dan Hadis. Mereka menolak taqlid (mengikuti pendapat dari ulama fiqih)[6].
            “Debating Club” ingin berperanserta untuk menghadapi masalah tersebut di atas dan mencoba menjadi penengah. Oleh karena itu mereka memperluas bentuk perhimpunannya, dengan melebur dirinya menjadi sebuah organisasi yang disebut Al-Jam’iyatul Washliyah. Organisasi ini bermazhab Syafi’i[7], berdiri tahun 1930. Sekalipun Al-Jam’iyatul Washliyah berpegang pada mazhab syafi’i, namun bermazhab bukan penghambat untuk maju. Hal ini tercermin dari aktivitas organisasi yang mengutamakan pendidikan, baik formal yang membuka madrasah dan sekolah, maupun non-formal melalui tabligh. Organisasi ini aktif terutama di Sumatera Utara dalam memasukkan orang-orang Batak menjadi Islam dan dipandang sebagai organisasi yang mampu bersaing dengan kalangan missionaries Kristen di daerah tersebut[8].
            Jika melihat aktivitas Al-Jam’iyatul Washliyah seperti diuraikan di atas, walaupun ia berpegang teguh dan mengikuti salah satu mazhab (syafi’i), namun juga mau menerima model pendidikan Barat agar dapat mengikuti perkembangan zaman.

C. SIMBUL AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
            Bulan dan Lima Bintang
1. Bulan Terbit
            Artinya: Mengisyaratkan bulan purnama raya yang selagi memancarkan cahayanya di alam dunia ini yaitu peringatan kepada sekalian alam ini bahwa agama Islam akan berkembang meratai seluruh penjuru alam
2. Lima Bintang Bersatu
            Artinya: Sebagai sinar yang merupakan sendi kebenaran agama Islam dengan rukun yang lima, terutama sekali sembahyang yang lima waktu, sebagai fondamen yang kokoh menyinari rohani dan jasmani untuk menunaikan perintah Ilahi mencapai kemuliaan dunia dan akhirat.
3. Warna Putih
            Arinya: Keimanan orang yang mukmin itu, sebagai cahaya bulan yang baru terbit: warnanya bersinarkan cahaya yang terang benderang; dan apa bila ia timbul mulai memancarkan cahayanya meskipun hujan dan awan serta angin badai yang keras, cahayanya itu tidak akan lenyap tetap bersinar sehingga sampai kepada saat yang penghabisan.
4. Dasar yang Berwarna Hijau
            Artinya: Tiap-tiap orang mukmin itu wajib suci; hati, rohani, jasmani serta budi pekertinya; lemah lembut mencapai kemuliaan dan perdamaian yang kekal dimuka bumi ini.
            Adakah tidak engkau lihat sesungguhnya Allah telah menurunkan dari langit akan air, maka jadilah bumi hijau?
5. Cahaya Bulan dan Bintang
            Artinya: Agama Islam dan kaum Muslimin, sebagai pedoman petunjuk keselamatan di daerah dan di lautan, dengan jalan lemah lembut; cahaya mana? Ialah cahaya yang tak dapat dilindungi dan ditutupi oleh apapun juga. Ibarat air yang berjalan meratai bumi, lambat laun ia akan meratai bumi seluruhnya.
            Dan ialah Allah yang telah menjadikan bagi kamu akan beberapa bintang supaya kamu dapat petunjuk dalam kegelapan darat dan laut[9].

            Visi Al-Jam’iyatul Washliayh adalah cara pandang yang jauh ke depan organisasi ini harus dibawa agar dapat eksis, antisipatif dan inovatif. Sedangkan misi organisasi ini adalah (1) untuk meningkatkan iman, ilmu dan amal. (2) menjalin kerjasama dengan setiap organisasi Islam untuk memajukan Islam. (3) melindungi anggota dimanapun ia berada dari keterbelakangan di segala bidang, gangguan dan ancaman. (4) memberikan kontribusi dalam upaya menciptakan ketertiban bangsa dan umat Islam dengan damai, adil dan sejahtera. (5) menyelenggarakan koordinasi dan kerjasama dengan sesama warga Al-Washliyah dan dengan organisasi lainya termasuk pemerintah[10].
            Tujuannya adalah untuk melaksanakan tuntutan agama Islam sekuat tenaga.
            Para pendiri Al-Jam’iyatul Washliyah, mereka dikenal sebagai orang-orang yang bekerja keras, wara’, memiliki pengetahuan Islam secara mendalam dan memiliki semangat juang yang tinggi serta keikhlasan rela berkorban sebagai mana dianjurkan dalam ayat Alquran surat ash-Shaff: 11. nama-nama para pendiri tersebut adalah: (1) H. Abdurrahman Syihab, (2) H. Muhammad Arsyad Thalib Lubis, (3) H. Ismail Banda, (4) H. Adnan Nur Lubis[11].

D. ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
v  ANGGARAN DASAR AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
Fasal 1. NAMA DAN KEDUDUKAN
Fasal 2. AZAS
Fasal 3. TUJUAN
Fasal 4. USAHA
Fasal 5. ANGGOTA
Fasal 6. HAK SUARA
Fasal 7. BERHENTI JADI ANGGOTA
Fasal 8. SUSUNAN PIMPINAN
Fasal 9. MUKTAMAR
Fasal 10. CABANG DAN RANTING
Fasal 11. PENGHASILAN
Fasal 12. MENGUBAH ANGGARAN DASAR
Fasal 13. ANGGARAN RUMAH TANGGA
Fasal 14. HAK PENGURUS BESAR
Fasal 15. MEMBUBARKAN
Fasal 16. PUSAKA.

v  ANGGARAN RUMAH TANGGA AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
Fasal 1. ANGGOTA DAN KEWAJIBAN
Fasal 2. PENGURUS BESAR DAN DEWAN FATWA
Fasal 3. AL-WASHLIYAH PUTRI
              AL-WASHLIYAH PEMUDA
Fasal 4. PIMPINAN TERTINGGI
Fasal 5. MAJELIS PENGURUS BESAR
Fasal 6. PERATURAN TIAP-TIAP MAJELIS
Fasal 7. PIMPINAN
Fasal 8. KEWAJIBAN PIMPINAN
Fasal 9. RANTING
Fasal 10. MUKTAMAR
Fasal 11. MUSYAWARAT
PENURUP[12]                        

E. AWAL BERDIRINYA AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
            Berdirinya Al-Jam’iyatul Washliyah merupakan perluasan dari sebuah perkumpulan pelajar. Pada awal pertumbuhannya ia banyak mengalami rintangan, terutama dalam hal keuangan dan penataan organisasi. Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) merupakan sebuah lembaga pendidikan agama yang didirikan pada tahun 1918 oleh orang-orang Tapanuli Selatan. MIT sebagai madrasah dianggap modern pada zamannya, namun masih tetap mempunyai cirri-ciri tradisional. Pelajar-pelajar MIT inilah yang kemudian mendirikan suatu kelompok diskusi yang diberi nama “Debating Club” pada tahun 1928[13].
            Perkumpulan pelajar merupakan hal yang umum di kalangan pelajar-pelajar sekolah umum. Di Medan, misalnya saat itu terdapat perkumpulan pemuda Jong Islamieten Bond (JIB) cabang Medan, yang didirikan oleh pelajar-pelajar Indonesia yang belajar di sekolah Belanda pada tahun 1926[14]. Tetapi pelajar-pelajar MIT tidak bergabung dalam perkumpulan ini, karena belum mampu berkomunikasi dalam bahasa  Belanda, yang sering kali dipergunakan JIB.
            Debating Club dalam perkembangannya bukan hanya mengadakan diskusi pelajaran, tetapi juga membahas persoalan di masyarakat, terutama mengenai perbedaan faham di antara golongan-golongan. Agar bisa bergerak lebih luas, mereka bermaksud mendirikan sebuah organisasi Islam, yang kemudian berhasil mereka dirikan setelah mengadakan pertemuan sebanyak tiga kali membahas hal tersebut, di ujung tahun 1930. Pemberian nama organisasi tersebut mereka serahkan kepada guru kepala MIT, Syekh Muhammad Yunus[15]. Beliau memberikan nama perhimpunan ini, Al-Jam’iyatul Washliyah (Perhimpunan yang menghubungkan dan Mempertalikan). Kemudian para pelajar membentuk panitia persiapan untuk merumuskan dan menyusun Anggaran Dasar. Duduk sebagai ketua dan sekretaris dalam panitia tersebut adalah Ismail Banda dan Arsyad Talib Lubis. Sehingga pada tanggal 30 November 1930 Al-Jam’iyatul Washliyah secara resmi berdiri[16].
            Duduk sebagai pengurus I adalah Ismail Banda (Ketua), Abdurrahman Syihab (Wakil Ketua), Arsyad Talib Lubis (Sekretaris) dan Syekh Muhammad Yunus (Penasehat). Anggota pengurus seluruhnya berasal dari suku Tapanuli Selatan. Dalam pembentukan pengurus disepakati pergantian pengurus setiap enam bulan sekali[17]. Sebenarnya masa kerja pengurus untuk satu periode ini relatif terlalu singkat, tetapi organisasi ini ingin lebih cepat mengadakan evaluasi kerja. Ternyata dalam periode pertama organisasi ini tidak dapat bergerak banyak, hanya maengadakan tabligh yang bersifat insidentil saja.
            Setelah enam bulan kepengurusan pertama berjalan, sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, maka Al-Jam’iyatul washliyah membentuk pengurus baru sebagai berikut:

            Ketua I                        : H. Ilyas (qadhi), (suku Mandailing)
            Ketua II          : Ismail Banda, (suku Mandailing)
            Penulis I          : H. Mahmud (qadhi) (suku Mandailing)
            Penulis II         : Adnan Nur, (suku Mandailing)
            Bendahara       : H.M. Ya’cub, (suku Mandailing)
            Pembantu        : Abdurrahman Syihab, (suku Mandailing)
            Penasehat        : Syekh Hasan Maksum, (mufti) (suku Melayu)
                                      Syekh Muhammad Junus, (suku Mandailing)[18]
            Pada periode kedua ini muncul ide baru untuk menggerakkan Al-Jam’iyatul washliyah dengan mengikut sertakan qadhi (ulama kerajaan). Qadhi mempunyai pengaruh atas Sultan, kare ia adalah aparat kerajaan dan mera bermazhab sama. Pada periode ini Al-Jam’iyatul washliyah diminta oleh masyarakat Firdaus dekat Rampah untuk membuka madrasah. Madrasah tersebut diberi nama Hasaniyah. Nama ini dipakai karena nama Syekh Hasan Maksum sangat terkenal di Sumatera Timur.
            Pada akhir tahun 1931, Al-Jam’iyatul washliyah kembali mengadakan pergantian pengurus untuk periode ketiga. Dalam periode III ini, Ismail Banda mantan ketua Al-Jam’iyatul washliyah pada periode I, berangkat ke Makkah untuk melanjutkan belajarnya. Mantan penulis II Adnan Nur, masuk menjadi anggota Gerindo (gerakan Indonesia). Oleh karena kedua orang tersebut mempunyai pengalaman lebih banyak dalam bidang oraganisasi, maka kepergian mereka melemahkan penataan kegiatan Al-Jam’iyatul washliyah. Pada tahun 1932 Al-Jam’iyatul washliyah kembali mengadakan pemilihan pengurus untuk periode IV dengan susunan sebagai berikut:
            Ketua I            : T.M. Anwar (bangsawan), suku melayu.
            Ketua II          : Abdurrahman Syihab, suku Mandailing
            Sekretaris I      : Udin Syamsuddin (aktivis muda), suku Mandailing.
            Sekretaris II    : H. Yusuf Ahmad Lubis (qadi) suku Mandailing
            Penasehat        : Syekh Hasan Maksum (Imam Paduka Tuan) suku melayu
                                      H. Ilyas (qadhi) suku Mandailing
                                      Syekh Muhammad Yunus (Kepala MIT) suku Mandailing[19].
            Pada masa ini Al-Jam’iyatul washliyah lebih aktif bergerak karena ada dua pendatang baru dalam kepengurusan organisasi yakni T.M. Anwar seorang bangsawan berasal dari Tanjung Balai, ia dikenal ramah, dermawan dan tergolong kaya. Abdurrahman Syihab mengajak T.M. Anwar untuk turut bersama membina dan membantu Al-Jam’iyatul washliyah dengan membiayai sewa rumah untuk kantor organisasi. Bantuan tersebut hanya setahun, namun sangat berarti bagi organisasi ini. Dalam masa 7 tahun Al-Jam’iyatul washliyah berpindah-pindah kantor sebanyak 10 kali.  Pendatang kedua adalah Udin Syamsuddin. Dengan dana yang kecil, sekretaris ini berusaha menata organisasi dengan baik.
            Al-Jam’iyatul washliyah berhasil membuka cabang di daerah Bedagai pada tahun 1931, di wilayah kerajaan Asahan didirikan cabang di Tanjung Balai pada akhir tahun 1932, cabang Aek Kanopan didirikan pada awal tahun 1933, dan membentuk berbagai ranting di sekitar kota Medan (Kampung Baru, Titi Kuning, Sungai Kerah dan Pulau Brayan). Pada tahun 1934 menyusul di daerah Porsea, tapanuli Utara dan Simalungun, juga di daerah Deli yakni Belawan dan Labuhan[20]. Jumlah cabang Al-Jam’iyatul washliyah terus bertambah. Oleh karena itu dirasa perlu membentuk Pengurus Besar agar kegiatan organisasi dapat berjalan dengan baik dan terkoordinasi.
            Pada tahun 1934 seluruh cabang Al-Jam’iyatul washliyah menghadiri rapat pembentukan Pengurus Basar, sehingga hasil rapat tersebut menentukan kepengurusan besar; Ketua I Abdurrahman Syihab, Ketua II Arsyad Talib Lubis, Sekretaris Udin Syamsuddin, Bendahara M. Ali.

F. AKTIVITAS AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
            Pada tahun 1930 Al-Jam’iyatul Washliyah menyusun beberapa majelis, namun belum dapat terlaksana. Setelah Pengurus Besar terbentuk pada tahun 1934 organisasi ini dapat menggerakkan majelis-majelis yang telah disusun tersebut.
            Adapun majelis-majelis yang digerakkan untuk intensifikasi kerja adalah; majelis tabligh, yaitu majelis yang mengurus kegiatan dakwa Islam dalam bentuk ceramah; majelis tarbiyah, yaitu majelis yang mengurus masalah pendidikan dan pengajaran; majelis studie fonds, yaitu majelis yang mengurus beasiswa untuk pelajar-pelajar di luar negeri; majelis fatwa, yaitu majelis yang mengeluarkan fatwa mengenai masalah sosial yang belum jelas status hukumnya bagi masyarakat; majelis hazanatul islamiyah, yaitu majelis yang mengurus bantuan sosial untuk anak yatim piatu dan fakir miskin; dan majelis penyiaran Islam di daerah Toba[21].
            Majelis Tabligh, Al-Jam’iyatul Washliyah seperti semua organisasi Islam lainnya, sangat mementingkan agar ajaran Islam dapat dipahami oleh masyarakat dengan baik. Agar maksud ini tercapai, maka organisasi ini memberikan dakwah dengan tabligh dalam pendidikan non-formal. Al-Jam’iyatul Washliyah mengadakan tabligh intern, dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan para anggota dan keluarganya serta yang bukan anggota. Pada umumnya isi tabligh intern berpusat pada masalah fiqih seperti bersuci, shalat, puasa dan hal-hal yang berhubungan dengan ibadah praktis. Khusus kepada para anggota pengurus Al-Jam’iyatul Washliyah di cabang-cabang, ditambahkan penerangan mengenai maksud dan tujuan organisasi serat langkah-langkah kebijaksanaan yang harus diambil sesuai dengan kondisi daerah.
            Tabligh ekstern sifatnya  lebih terbuka untuk masyarakat luas, dan umumnya dilakukan pada waktu memperingati hari-hari besar Islam, umpamanya pada perayaan Maulid, Isra’ Mi’raj, Idul Fitri dan Idul Adha. Tabligh intern lazimnya diselenggarakan di masjid atau di madrasah, sedangkan tabligh ektern ada yang diadakan di gedung bioskop atau lapangan terbuka, karena mengharapkan jumlah pengunjung yang besar. Di daerah yang penduduknya belum beragama, seperti di Porsea, Tapanuli Utara, tabligh ini diadakan lebih intensif, kadang-kadang diiringi dengan kesenian (tarian dan gendang) di pekarangan masjid. Tabligh merupakan alat yang penting bagi organisasi ini dalam pendidikan non-formal[22].
            Madrasah, Al-Jam’iyatul Washliyah mendirikan madrasah pertama di jalan Sinagar, Petisah, Medan pada tahun 1932. Banguna yang dijadikan madrasah adalah sebuah rumah yang disewa f 8,- per bulan. Madrasah ini sudah mekakai sistem kelas, seperti sekolah model Barat, di samping itu juga dalam kurikulumnya terdapat pelajaran Tafsir dan Hadis, sesuai dengan madrasah modern Islam. Hal ini menunjukkan bahwa madrasah Al-Jam’iyatul Washliyah berorientasi kepada pendidikan model barat dan pendidikan modern Islam, kendati masih sangat sederhana[23].
Pada tanggal 28 Februari 1933 beberapa madrasah milik perseorangan anggota di Medan menggabungkan diri ke dalam madrasah Al-Jam’iyatul Washliyah. Madrasah-madrasah tersebut antara lain:
1.      Madrasah kota Ma’sum, pimpinan M. Arsad Taib Lubis
2.      Madrasah Sei Kerah, pimpinan Baharuddin Ali
3.      Madrasah kampong Sekip, pimpinan Usman Deli
4.      Madrasah Gelugur, pimpinan Sulaiman Taib
5.      Madrasah Tanjung Mulia, pimpinan Suhailuddin[24]
Demikianlah madrasah-madrasah Al-Jam’iyatul Washliyah berdiri di Sumatera Timur, baik di Medan maupun di luar kota Medan seperti di Labuhan Deli dan Simalungun. Madrasah tersebut berdiri sebelun maupun sesudah cabang organisasinya berdiri di tempat tersebut. Sehingga pada tahun 1940 organisasi ini mempunyai madrasah sebanyak 242 buah dengan jumlah murid 12.000 orang[25].
Majelis Penyiaran Islam, majelis ini mempunyai kegiatan khusus dengan tujuan menyiarkan Islam untuk memperluas pengetahuan tentang islam di daerah-daerah yang telah beragama Islam; kegiatan umum dengan tugas menyiarkan Islam ke daerah non-Islam terutama di daerah Toba (Batak Landen). Pada tanggal 5 April 1933, Al-Jam’iyatul Washliyah untuk pertama kalinya melangkah ke Porsea dengan mengirim beberapa mubaligh diantaranya adalah: H. Abd Qadir, H. Yusuf Ahmad Lubis, H. Hasyim dan Abdurrahman Syihab. Kedatangan para mubaligh itu bertepatan pada bulan Syawal. Kesempatan ini dipergunakan untuk bersilaturrahmi sambil memperhatikan keadaaan masyarakat untuk mengetahui langkah selanjutnya dalam menyiarkan Islam di daerah itu. Kontak pertama diadakan dengan para mubaligh di daerah itu adalah Guru Kitab Siberani, Sutan Bengar dan Sutan Porsea[26]. Kemudian mereka bersama-sama memberikan dakwah ke beberapa kampung selama tiga hari. Ternyata kunjungan mereka mendapat sambutan masyarakat Islam di Porsea.
Masyarakat Batak Toba mayoritas pelbegu  dan masih  kuat memegang adat. Walaupun mereka beragama Islam atau Kristen.kepercayaan tradisional tetap masih mewarnai tingkah laku mereka dalam kehidupan sehari-hari. Usaha yang terpenting adalah bagaimana menarik penduduk yang belum Islam menjadi Islam. Guru Kitab sebagai seorang penduduk asli daerah Batak Toba juga pernah menganut kepercayaan asli sangat mengenal tradisi kehidupan masyarakat Batak Toba. Bagi masyarakat Batak Toba, bila seorang raja menukar agamanya, maka seluruh seluruh rakyat di kampong itu akan turut pula menukar agamanya. Tradisi ini dimanfaatkan oleh Guru Kita dalam usahanya menggerakkan Al-Jam’iyatul Washliyah untuk mengadakan propaganda Islam, jadi sasaran utamanya adalah mengislamkan seorang raja adat, kegemaran masyarakat akan kesenian jiga dimanfaatkan sebagai alat propaganda, misalnya tortor.
Dalam mengembangkan tradisi Islam Al-Jam’iyatul Washliyah mendapat tantangan dari kepala adat Porsea. Namun sedikit demi sedekit tantang tersebut dapat dilaluinya. Untuk mengurangi pengaruh Kristen, Al-Jam’iyatul Washliyah memakai metode Zending dalam kegiatan sosial. Nama Zending dipakai organisasi ini dengan menghilangkan Kristen menjadi Islam, jadi “Zending Islam”. Zending Islam di Porsea mempunyai tugas menyaingi Zending Kristen di Tapanuli dan berusaha menarik orang non Muslim menjadi Muslim.
Dengan keberhasilan Al-Jam’iyatul Washliyah mendirikan Zending Islam di Porsea, maka pada Kongres Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI[27]) yang ke III tahun 1938, Al-Jam’iyatul Washliyah ditunjuk sebagai pemegang tugas Zending Islam di Indonesia. Dengan keputusan MIAI tersebut, maka pandangan terhadap Al-Jam’iyatul Washliyah menjadi berubah agak mengejutkan, sehingga kehadiran Al-Jam’iyatul Washliyah mulai diperhitungkan untuk mengembangkan ajaran Islam. Keberhasilan tersebut juga merupakan kebanggaan masyarakat Muslim Sumatera Timur.

G. PERAN AL-WASHLIYAH DALAM MASYARAKAT
            Al-Washliyah adalah salah satu organisasi Islam yang besar dan telah banyak memberikan hal-hal terbaik buat pembangunan bangsa Indonesia. Tidak sedikit, dari lembaga ini terlahir tokoh-tokoh yang kharismatik dan disegani serta telah memberikan sumbangsih pemikiran dan karya nyata. Di awal berdirinya Al-Washliyah pada tanggal 9 Rajab 1349 H/30 November 1930 M, diawali dengan niat perjuangan yang suci untuk mempersatukan umat yang terpecah dan memupuk rasa tanggung jawab (sense of responsibility) terhadap keadaan yang terjadi. Tokoh-tokoh kharismatik seperti Syeikh H. Muhammad Yunus,  H. A. Rahman Syihab, H. Ismail Muhammad Banda, H. M. Arsyad Thalib Lubis dan lain-lain merupakan ulama-ulama yang masyhur karena ilmunya, ketauladanannya (qudwah), dan komitmennya untuk memperbaiki moralitas umat dan memajukan bangsa. Perjuangan mereka benar-benar didasarkan kepada cita-cita yang suci bukan karena interest pribadi (individu) atau kelompok tertentu. Akhirnya, mereka berhasil mewujudkan mimpinya.
Ada beberapa point yang bisa kita renungkan untuk menghidupkan kembali ghirah perjuangan Al-Washliyah ke depan. Paling tidak, Al-Washliyah lebih mampu lagi menunjukkan kiprah dan karya nyatanya membenahi moralitas umat dan mengisi pembangunan bangsa ini di berbagai bidang, yang meliputi: pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, keagamaan dan lain-lain. Akhirnya, Al-Washliyah tidak akan lagi berada di persimpangan jalan. Point-point itu merupakan pengejawantahan dari cita-cita the founding fathers kita, antara lain adalah:
Pertama, perjuangan suci. Membangun Al-Washliyah memang harus dengan perjuangan. Dalam setiap perjuangan harus ada pengorbanan. Bersedia berkorban (tenaga, pikiran, materi bahkan jiwa) adalah indikasi kesucian perjuangan. Mengikhlaskan hati semata-mata hanya karena Allah adalah pintu gerbang dalam perjuangan. Ikhlash itu bukanlah endingpasivitas (akhir dari kemandegan) umat Islam. Ikhlash adalah totalitas pengabdian kepada Allah SWT. Konsekuensinya: jalan kemudahan, terbukanya pintu rizki dan indikasi kebahagiaan lainnya.
Kedua, jangan suka melupakan sejarah. Hari ini banyak orang yang besar (popular) karena Al-Washliyah, tapi ia sendiri lupa kepada Al-Washliyah yang telah membesarkannya. Ketika seseorang memasuki wilayah politik praktis untuk menjadi eksekutif atau pun legislatif maka ia akan mengatakan bahwa "ia adalah salah satu kader  Al-Washliyah untuk mendapatkan dukungan dari keluarga besar Al-Washliyah yang telah tersebar di seluruh penjuru negeri ini". Namun, setelah ia duduk di kursi yang diidamkan "apa yang sudah diberikan untuk kemajuan Al-Washliyah?". Jangankan memberikan bantuan malah "merongrong" dengan mengembangkan sikap otoriter, sewenang-wenang dan lain-lain. Pengurus Al-Washliyah sudah seharusnya melakukan restrukturisasi agar roda Al-Washliyah itu kembali berjalan secara baik.
Ketiga, membina moralitas ukhuwah. Paling tidak, ada beberapa langkah yang harus kita tempuh: a) Berangkat dari kepentingan umat (mashlahatul ummat) bukan kepentingan pribadi atau kelompok. Sehingga siapapun yang memimpin organisasi akan disikapi secara lapang dada selagi capabilitas-nya terpenuhi dan sesuai dengan rambu-rambu organisasi; b) Saling bahu membahu (cooperate) antara satu dengan lainnya dengan mengedepankan persamaan dan arif dalam menyikapi perbedaan yang muncul; c) Bersikap terbuka terhadap kritik yang konstruktif; d) Beranjak dari tekad dan tujuan yang sama untuk membangun Al-Washliyah.
Keempat, menumbuhkan sense of belonging (rasa memiliki) dan sense of responsibility (rasa tanggung jawab). Bila sudah tertanam rasa memiliki maka akan mewujudkan tanggung jawab. Jikalau kita punya sesuatu maka kita akan menjaga, memeliharanya agar tidak rusak, diganggu dan hal-hal yang mafsadat lainnya. Bila kita merasa memiliki Al-Washliyah maka kita akan memeliharanya.
Kelima, mewujudkan yang terbaik. "Apa yang sudah saya berikan untuk Al-Washliyah?". Berbuat dengan karya nyata sesuai dengan bidang masing-masing. Kader Al-Washliyah yang di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, tenaga profesi: guru/dosen, dokter dan lain-lain harus memberikan yang terbaik dengan menebar kemanfaatan buat umat Islam. Paling tidak, menjadi qudwah (ketauladanan moral) di lingkungan kerja kita masing-masing.
Keenam, warga Al-Washliyah harus satu langkah dalam mengoptimalkan kekuatan ummat Islam demi terwujudnya kemaslahatan ummat Islam itu sendiri. Ke depan, umat Islam harus lebih cerdas, lebih dewasa, lebih tegas, lebih arif dalam menentukan arah kehidupan dan menyikapinya.

H. PENUTUP
            Sumatera Timur sebagai kawasan perkebunan pada awal abad ke 19, menjadi ajang migran dari luar negeri dan daerah-daerah sekitarnya. Migran Tapanuli Selatan, Mandailing dengan bekal keterampilan dan pengetahuan yang mereka miliki dapat membuka lembaga pendidikan yang diberi nama Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT), pada tahun 1918.
            AL-Jam’iyatul Washliyah merupakan perluasan dari Debating Club, sebuah perkumpulan pelajar MIT yang didirikan pada tahun 1928. Al-Jam’iyatul Washliyah didirikan pada tahun 1930, bermazhab Syafi’i. Pada awal berdirinya organisasi ini tidak dapat mengembangkan programnya karena kekurangan dana. Barulah pada tahun 1934 organisasi ini dapat mengegrakakn majelis-majelis yang sudah disusun pada awal berdirinya.
            Majelis yang paling berhasil adalah majelis Tarbiyah dan majelis Tabligh. Dalam mensyiarkan Islam Al-Jam’iyatul Washliyah menggunakan metode Tabligh, sehingga dapat menyaingi Zending Kristen di daerah Tapanuli. Dengan prestasinya itu maka Al-Jam’iyatul Washliyah patut diperhitungkan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat nasional dan khususnya di Sumatera Utara.


DAFTAR PUSTAKA

Broegmans, Oostkust van Sumatera, Groningen: 1919.
Hasanuddin, Chalijah, Al-Jam’iyatul Washliyah 1930-1942; Api Dalam Sekam di Sumatra Timur. Bandung: Pustaka, 1988.
Noer,Deliar Gerkan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP2ES, 1980.
Pengurus Besar Al-Djamijatul Washlijah. Al-Djamijatul Washlijah ¼ Abad, Medan: Pengurus Besar Al-Djamijatul Washlijah. 1956
Proyek Penerbitan Buku 70 Tahun Al-Washliyah, Al-Jam’iyatul Washliyah Memasuki Millenium III Kado Ulang Tahun AL-Washliyah ke-69; Membangun Kejayaan Dunia Melalui Kejayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku 70 Tahun Al-Washliyah. 1999.
Sulaiman, Nukman, AL-Washliyah. Medan: Majlis Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Pengurus Besar Al-Jam’iyatul Washliyah, 1967,
Ya’cubM Abu bakar, Sejarah Maktab Islamiyah Tapanuli, Medan: 1975.


[1] Chalijah Hasanuddin, Al-Jam’iyatul Washliyah 1930-1942; Api Dalam Sekam di Sumatera Timur (Bandung: Pustaka, 1988), h. 1-2.
[2] Abu bakar Ya’cub, Sejarah Maktab Islamiyah Tapanuli (Medan: 1975), h. 7.
[3] Chalijah, Al-Jam’iyatul. h. 2
[4] Pengurus Besar Al Djamijatul Washlijah. Al Djamijatul Washlijah ¼ Abad, (Medan: Pengurus Besar Al Djamijatul Washlijah, 1956) h. 35
[5] Pengurus Besar, Washlijah ¼ Abad, h. 36
[6] Deliar Noer, Gerkan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP2ES, 1980), h. 21.
[7] Pengurus Besar, Washlijah ¼ Abad, h. 37 dan 342.
[8] Deliar Noer, Gerkan. h. 266.
[9] Pengurus Besar, Washlijah ¼ Abad, h. 3
[10] Proyek Penerbitan Buku 70 Tahun Al-Washliyah, Al-Jam’iyatul Washliyah Memasuki Millenium III Kado Ulang Tahun AL-Washliyah ke-69; Membangun Kejayaan Dunia Melalui Kejayaan Islam di Indonesia (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku 70 Tahun Al-Washliyah, 1999), h. 18
[11] Proyek, Al-Jam’iyatul ke-69, h. 26
[12] Pengurus Besar, Washlijah ¼ Abad, h. 342-348
[13] Chalijah, Al-Jam’iyatul, h. 34
[14] Broegmans, Oostkust van Sumatera (Groningen: 1919), h. 86.
[15] Beliau adalah seorang tokoh ulama bermazhab Syafi’i yang independent berada du luar birokrasi kerajaan. Lihat Chalijah Hasanuddin, Al-Jam’iyatul Washliyah 1930-1942; Api Dalam Sekam di Sumatera Timur (Bandung: Pustaka, 1988), h. 35
[16] Chalijah, Al-Jam’iyatul, h. 36
[17] Pengurus Besar, Washlijah ¼ Abad, h. 39
[18] Pengurus Besar, Washlijah ¼ Abad, h. 39
[19] Chalijah, Al-Jam’iyatul, h. 39
[20] Chalijah, Al-Jam’iyatul, h. 41
[21] Chalijah, Al-Jam’iyatul, h. 62
[22] Pentingnya tabligh sering dikemukakan dalam ceramah, umpamanya dalam rapat umum di Bagan Asahan, Sinar Deli 17 Februari 1934.
[23] Chalijah, Al-Jam’iyatul, h. 76
[24] Pengurus Besar, Washlijah ¼ Abad, h. 41
[25] Chalijah, Al-Jam’iyatul, h. 77-88
[26] Pengurus Besar, Washlijah ¼ Abad, h. 54
[27] MIAI didirikan di Surabaya, tujuan oraganisasi ini menghimpun semua organisasi Islam tanpa memperhatikan perbedaan paham. Lihat, Chalijah Hasanuddin, Al-Jam’iyatul Washliyah 1930-1942; Api Dalam Sekam di Sumatera Timur (Bandung: Pustaka, 1988), h. 147

Tidak ada komentar:

Posting Komentar